Bukan Sekadar Cepat: Mencari Arah Baru Pelayanan Publik di Era Digital
YUSUF EKO SUSILO
Selasa, 24 Juni 2025 pukul 14:48:59 |
2574 kali
Sebuah pesan
singkat masuk ke kanal pengaduan KPKNL. Isinya singkat namun mendesak disertai
nada kemarahan. Pengirim meminta kuitansi pembayaran lelang segera diterbitkan,
karena ia mengaku sudah melunasi sehari sebelumnya. Menariknya, waktu
pengiriman pesan itu tercatat pukul 6:09 pagi, hampir 90 menit sebelum jam
kerja formal dimulai. Konfirmasi sistem menunjukkan bahwa pelunasan betul tercatat
pada pukul 14:58 di hari sebelumnya. Sesungguhnya, masih ada tenggat waktu bagi
petugas untuk menyelesaikan layanan sesuai batas yang dijanjikan. Namun tetap
saja, pesan yang datang di pagi itu menunjukkan betapa cepatnya harapan publik,
melampaui keterbatasan kerja birokrasi.
Harapan serupa kini
bukan hal langka. Ia tak hanya muncul di ruang pesan daring, tapi juga
tercermin dalam hasil Survei Kepuasan Masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa
ia bukan sekadar permintaan layanan kasuistis, tapi refleksi dari realitas saat
ini: pergeseran cara masyarakat melihat dan memperlakukan birokrasi. Sekarang,
di mata banyak orang, layanan publik dituntut untuk menyamai kualitas layanan penyedia
video streaming yang sederhana, cepat, dan bahkan, real-time.
Harapan Baru dan Realitas Lama
Fenomena di atas
menunjukkan masuknya logika pasar dalam relasi antara masyarakat dan negara. Masyarakat
modern telah terbiasa dengan standar pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan,
kecepatan respons, kemudahan akses, dan personalisasi layanan yang diberikan
oleh sektor swasta. Pengalaman ini kemudian menjadi tolok ukur yang secara
otomatis diterapkan masyarakat ketika berinteraksi dengan layanan publik.
Konsekuensinya, ekspektasi terhadap pelayanan publik tidak lagi dibentuk oleh
standar sektor publik konvensional, melainkan oleh pengalaman terbaik yang
pernah dialami masyarakat dalam berbagai konteks pelayanan komersial.
Singkatnya, masyarakat kini datang sebagai pelanggan, bukan sekadar warga
negara. Mereka menuntut layanan yang cepat, tanpa birokrasi yang rumit, dan
hasil instan, mirip saat mereka berbelanja daring atau menggunakan layanan
keuangan digital.
Namun, penting
untuk ditegaskan kembali bahwa ekspektasi masyarakat yang demikian itu bukanlah
anomali, melainkan refleksi dari transformasi budaya layanan secara lebih luas.
Bahkan, sejak 1980-an, telah banyak institusi publik di berbagai belahan dunia yang
mengadopsi sistem manajemen berbasis pasar dan prinsip-prinsip manajerial
sektor swasta (dikenal sebagai New Public Management/NPM), demi
mendorong efisiensi, akuntabilitas, dan performa institusi publik (Hughes, 2017).
Di sisi lain,
birokrasi tidak (dan tidak bisa) sepenuhnya mengadopsi logika pasar, untuk alasan
yang baik. Birokrasi berjalan di atas prinsip hierarki kewenangan, impersonalitas
(tanpa memandang orang), akuntabilitas, dan kepatuhan prosedural (Gay, 2020). Maka, pastilah birokrasi terkesan kaku, lambat, dan “dingin” karena ia
harus memastikan bahwa semua berjalan sesuai aturan, bahkan jika itu berarti pemohon
layanan publik harus menunggu sistem tersinkronisasi kembali di jam kerja keesokan
paginya. Perlu digarisbawahi, artikel ini tidak mengingkari pentingnya
efisiensi prosedur, melainkan justru mendorong agar birokrasi memahami dan
menanggapi ekspektasi layanan modern dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip
akuntabilitas dan legalitas.
Ketegangan antara Dua Perspektif
Pekerjaan rumah
besar institusi publik dewasa ini adalah bagaimana menemukan titik temu antara
standar kualitas layanan yang tinggi dengan struktur tata kelola publik yang
bertanggung jawab. Perlu disadari bahwa logika pasar dan logika birokrasi
memang memiliki akar yang berbeda, tetapi dalam praktiknya keduanya tidak
selalu bertabrakan secara frontal. Banyak contoh birokrasi modern yang mampu
memadukan orientasi kepuasan pengguna dengan standar prosedural yang adil.
Mungkin artikel ini terdengar bias, tapi Portal Lelang adalah satu dari sekian
banyak contoh baik hibridasi dalam birokrasi modern.
Masalah muncul
ketika ekspektasi layanan tidak memahami struktur kerja birokrasi, dan sebaliknya,
ketika birokrasi gagal menjelaskan batas dan logikanya secara komunikatif.
Tidak jarang ketika dua logika ini bertemu di ruang layanan publik, sering kali
muncul ketegangan:
1. Masyarakat merasa frustrasi dengan
layanan yang dianggap lambat atau tidak responsif. Masyarakat yang kini terbiasa
dengan click-and-go dan seamless transaction yang selesai dalam
hitungan menit—atau bahkan detik—mengharapkan tingkat responsivitas yang
sebanding dari layanan publik. Masyarakat menginginkan informasi real-time
tentang status permohonan mereka, estimasi waktu penyelesaian, serta penjelasan
yang gamblang di setiap tahap proses pelayanan. Tidak heran, birokrasi sering
kali dipandang sebagai “kotak hitam”[1];
masyarakat tahu apa yang mereka serahkan di awal, dan tahu hasil akhirnya,
tetapi tidak benar-benar tahu apa yang terjadi di tengah proses. Kondisi ini
diperparah dengan fakta bahwa masyarakat tidak bisa memilih kantor pemerintah
mana yang akan melayani mereka. Dalam situasi seperti ini, warga berada dalam
posisi dilematik. Mereka ingin menegaskan haknya sebagai warga negara, namun
pada saat yang sama harus menyesuaikan diri dengan logika birokrasi yang
cenderung kaku dan impersonal.
2. Pegawai/birokrat merasa tertekan
oleh ekspektasi “pelanggan” yang menghendaki pelayanan instan. Padahal, setiap layanan
memiliki prosedur baku yang berjenjang, memerlukan ketelitian tinggi, belum
lagi proses untuk menghasilkan produk layanan harus lolos dari saringan quality
assurance unit kepatuhan internal. Dalam konteks ini, birokrat berada di dalam
kondisi rasionalitas terbatas atau bounded rationality. Dalam
kesehariannya, birokrat bekerja dengan berbagai keterbatasan: informasi yang
tidak selalu lengkap, tekanan waktu, serta beban kerja yang tinggi. Faktor-faktor
ini turut memengaruhi cara birokrat mengambil keputusan. Akibatnya, pengambilan
keputusan kerap mengandalkan jalan pintas seperti intuisi, pengalaman pribadi,
atau rutinitas pribadi dan organisasi yang sudah terbentuk. Masalahnya, jalan
pintas semacam ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kesalahan.
Sebagai organisasi
yang memantabkan diri menjadi learning organization, ketegangan ini
tidak boleh dianggap sebagai hambatan. Sebaliknya, hal ini selayaknya dibaca
sebagai peluang perbaikan.
Menemukan Jalan Tengah
Realita bahwa
masyarakat terbiasa dengan layanan on-demand, menuntut birokrasi agar
lebih tanggap dan, di sisi lain, menjaga integritas serta keadilan. Tentulah
institusi publik tak harus berevolusi menjadi startup penyedia video
streaming untuk beradaptasi terhadap tuntutan zaman. Maka, tindakan yang
dibutuhkan adalah:
1. Menambah ruang bagi keterlibatan publik
dalam penyelenggaraan pelayanan, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi.
Ide besar dibalik upaya ini adalah, yang pertama, membuka proses yang saat ini masih
dianggap terjadi di dalam “kotak hitam birokrasi” kepada publik. Cara membuka kotak hitam ini tidak terbatas
pada pembuatan aplikasi yang menampilkan progres penyelesaian layanan secara real-time.
Lebih dari itu, organisasi pemerintahan juga perlu mengedukasi masyarakat,
salah satunya dengan menerjemahkan aturan dan prosedur formal yang rumit
menjadi bahasa awam yang mudah dimengerti masyarakat.
Tak
cukup berhenti di edukasi saja, untuk memenuhi tuntutan masyarakat, langkah
yang paling logis selanjutnya adalah “bertanya” kepada mereka tentang apa yang mereka
butuhkan. Dalam hal ini, masyarakat bukan hanya penerima layanan, tapi juga
sumber pengetahuan praktis yang sangat berharga. Sejatinya, proses bertanya ini
sudah diatur dan dilembagakan ke dalam penyelenggaraan Forum Konsultasi Publik.
Maka tantangannya adalah bagaimana menjadikan masukan dari proses bertanya
sebagai kompas berharga untuk menemukan solusi atas keluhan pengguna layanan,
lalu mengintegrasikannya ke dalam proses bisnis pemberian layanan.
Melibatkan
masyarakat dalam proses perumusan atau evaluasi layanan dan kebijakan publik
tidak hanya memperkaya perspektif organisasi pemerintah, tetapi juga memperkuat
dukungan terhadap suatu kebijakan, mencegah konflik, meredam ketidakpuasan, dan
membangun kepatuhan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah itu sendiri (Bobbio, 2019).
2. Memperkuat mindset melayani.
Terdengar klise memang, tapi bukanlah hal yang mudah. Meningkatkan orientasi
pelayanan membutuhkan pendekatan yang konsisten dan sistematis. Beberapa tahun
lalu, satpam-satpam di suatu bank swasta nasional sempat menjadi perbincangan
hangat di media sosial karena sikap ramah dan profesionalismenya dalam melayani
nasabah. Menanggapi hal ini, Direktur Utama bank tersebut membagikan
rahasianya: pelatihan (Rosa, 2021). Baginya, pelatihan yang berkelanjutan adalah kunci utama untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan, bahkan sejak dari lini paling
depan. Pengalaman dari bank lain menambahkan satu pelajaran penting, yaitu
evaluasi berkala melalui metode mystery shopping (Barlian, 2024). Metode ini terbukti efektif sebagai umpan
balik nyata yang mendorong peningkatan kualitas layanan.
Kesadaran akan
jalan tengah ini penting. Sebab negara memang tidak bisa (dan tidak perlu)
menjadi toko, tetapi bukan berarti ia kebal terhadap ekspektasi kualitas layanan
yang baik. Justru di era ketika masyarakat membandingkan semua bentuk interaksi
sebagai pengalaman layanan, birokrasi harus mampu mengemas integritas dalam
bentuk-bentuk layanan yang mudah dipahami dan diakses, serta dirasakan relevan
oleh publik.
Penutup
On-demand
culture di era digital sekarang ini mengajarkan kita
pentingnya pelayanan yang responsif dan berorientasi pada pengguna. Namun, tetap
ada keseimbangan yang harus dijaga sebab negara bukanlah toko dan masyarakat lebih
dari sekedar pelanggan. Di dalam hubungan ini, ada tanggung jawab,
keadilan, dan tujuan kolektif yang tidak selalu bisa diukur dengan kecepatan
atau kepuasan semata.
Maka, mari kita
dorong birokrasi yang efisien tanpa menjadi transaksional, yang manusiawi tanpa
kehilangan ketertiban hukum, dan yang adaptif tanpa kehilangan prinsip. Justru
dengan itulah negara akan tetap relevan di tengah on-demand culture. Bukan
karena negara meniru pasar, tapi karena ia mampu mengintegrasikan nilai-nilai
publik ke dalam bentuk layanan yang bermakna.
PS: Kuitansi tersebut diserahkan pukul 7:40 pagi, hari yang sama.
[1] Kotak hitam birokrasi adalah sebutan untuk proses internal pemerintahan yang tampak rumit dan tidak terlihat dari luar di mana masyarakat hanya bisa menunggu hasilnya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya.
Referensi
Barlian, J. K. (2024, October 31). Ini
Strategi bank bjb Bangun Customer Service yang Excellence. swa.co.id.
https://swa.co.id/read/452542/ini-strategi-bank-bjb-bangun-customer-service-yang-excellence
Bobbio, L. (2019). Designing effective public
participation. Policy and Society, 38(1), 41–57.
https://doi.org/10.1080/14494035.2018.1511193
Gay, P. D. (2020). The Bureaucratic Vocation:
State/Office/Ethics. New Formations, 100(100), 77–96.
https://doi.org/10.3898/neWF:100-101.06.2020
Hughes, O. (2017). Public management: 30 years
on. International Journal of Public Sector Management, 30(6–7),
547–554. https://doi.org/10.1108/IJPSM-06-2017-0174
Rosa, C. M. (2021, October 23). Satpam BCA
jadi Trending Topic karena Dinilai Berikan Layanan Terbaik, Apa Rahasianya?
Kompas.Com. https://www.kompas.com/wiken/read/2021/10/23/140900881/satpam-bca-jadi-trending-topic-karena-dinilai-berikan-layanan-terbaik-apa
Penulis:
Samson Gumilang Manalu
Disclaimer:
Tulisan
ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana
penulis bekerja.
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |