Penerapan E-Government di Negara Berkembang: Analisis Kesediaan Membayar Warga untuk Layanan Publik Digital (Sebuah Tinjauan Literatur)
NIKODEMUS SIGIT RAHARDJO
Rabu, 27 November 2024 pukul 20:37:57 |
7085 kali
Penerapan E-Government di Negara
Berkembang: Analisis Kesediaan Membayar Warga untuk Layanan Publik Digital
(Sebuah Tinjauan Literatur)
Nikodemus Sigit Rahardjo
Pendahuluan
Dalam era digital, penerapan e-government telah menjadi prioritas
bagi banyak negara berkembang. E-government,
atau pemerintahan berbasis elektronik, merujuk pada penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) oleh pemerintah untuk menyediakan layanan
publik, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkuat partisipasi warga
dalam proses pemerintahan. Penerapan e-government di negara berkembang
menawarkan potensi signifikan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas layanan
publik. Namun, tingkat keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada
penerimaan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Seringkali, masyarakat merasa
terjebak dalam antrean panjang untuk mengakses layanan publik seperti
perpanjangan SIM, pembayaran pajak, atau pengurusan izin usaha. Proses yang
memakan waktu, birokrasi yang rumit, dan ketidakpastian mengenai biaya yang harus
dikeluarkan merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh warga di banyak negara
berkembang. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, muncul
peluang besar untuk mempermudah akses terhadap layanan publik melalui e-government—konsep yang menawarkan
solusi untuk masalah klasik ini. Namun, pertanyaan pentingnya adalah seberapa
besar kesediaan masyarakat untuk beralih ke layanan publik digital yang baru,
dan bagaimana cara pemerintah memastikan keberlanjutan layanan ?
Salah satu aspek krusial dalam memahami
penerimaan masyarakat terhadap layanan e-government
adalah kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) untuk
layanan publik digital. WTP mencerminkan nilai yang diberikan individu terhadap
suatu layanan dan dapat digunakan sebagai indikator penting dalam perencanaan
dan pengembangan layanan e-government.
Studi mengenai WTP membantu pemerintah dalam merancang layanan yang sesuai
dengan kebutuhan dan ekspektasi warga, serta memastikan keberlanjutan finansial
dari inisiatif digital tersebut.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
faktor-faktor seperti tingkat literasi digital, kepercayaan terhadap
pemerintah, persepsi manfaat layanan, dan kondisi ekonomi mempengaruhi WTP
masyarakat terhadap layanan e-government.
Sebagai contoh, studi oleh Meiyanti et al. (2019) mengidentifikasi
tantangan dalam implementasi e-government
di negara berkembang, termasuk keterbatasan infrastruktur TIK dan rendahnya
literasi digital di kalangan masyarakat.
Selain itu, penelitian oleh Sudirman
dan Saidin (2022) menyoroti pentingnya e-government
dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan bahwa e-government dapat berdampak langsung dan tidak langsung pada keberlanjutan
lingkungan dan sosio-ekonomi.
Pemahaman terkait kesediaan membayar warga untuk layanan publik digital menjadi semakin penting
dalam konteks negara berkembang, di mana sumber daya seringkali terbatas dan
kebutuhan akan layanan publik yang efisien dan efektif sangat tinggi. Dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WTP, pemerintah dapat
merancang strategi yang lebih efektif untuk meningkatkan adopsi e-government dan memastikan bahwa
layanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan
untuk menganalisis kesediaan membayar warga untuk
layanan publik digital di negara berkembang, dengan meninjau literatur yang ada
dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang mempengaruhi WTP. Dengan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek ini, diharapkan dapat
memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan dan praktisi dalam merancang dan
mengimplementasikan inisiatif e-government
yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Manfaat
E-Government di Negara Berkembang
Penerapan e-government di negara berkembang menawarkan berbagai manfaat yang
signifikan bagi pemerintah, masyarakat, dan sektor bisnis. Berikut adalah
beberapa manfaat utama yang telah diidentifikasi melalui berbagai studi dan
publikasi ilmiah:
1.
Peningkatan
Efisiensi dan Efektivitas Layanan Publik
E-government
memungkinkan otomatisasi proses administratif, yang mengurangi waktu dan biaya
yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik. Studi oleh Bwalya et al.
(2014) menunjukkan bahwa implementasi e-government
di Zambia berhasil meningkatkan efisiensi operasional pemerintah dan mengurangi
birokrasi yang berlebihan. Selain itu, penelitian oleh Heeks (2002)
menekankan bahwa e-government dapat
mengurangi korupsi dengan meningkatkan transparansi dalam proses pemerintahan.
2.
Peningkatan
Transparansi dan Akuntabilitas
Dengan menyediakan informasi secara online, e-government meningkatkan transparansi operasional pemerintah.
Studi oleh Shim dan Eom (2008) menemukan bahwa e-government berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas
pemerintah di Korea Selatan dengan memungkinkan warga mengakses informasi
publik secara mudah. Demikian pula, penelitian oleh Bannister dan Connolly
(2011) menyoroti bahwa e-government
dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah melalui peningkatan
transparansi.
3.
Peningkatan Partisipasi Warga
E-government
menyediakan platform bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan melalui e-participation. Studi
oleh Macintosh (2004) mengidentifikasi berbagai tingkat partisipasi
elektronik yang dapat meningkatkan keterlibatan warga dalam pemerintahan.
Selain itu, penelitian oleh Ferro et al. (2013) menunjukkan bahwa e-participation dapat meningkatkan
kualitas demokrasi dengan memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan
inklusif.
4.
Pengurangan Biaya Operasional
Implementasi e-government dapat mengurangi biaya
operasional pemerintah dengan mengurangi kebutuhan akan sumber daya manusia dan
material. Studi oleh Ndou (2004) menekankan bahwa e-government dapat menghasilkan penghematan biaya yang signifikan
melalui efisiensi operasional. Selain itu, penelitian oleh Gil-Garcia dan
Pardo (2005) menunjukkan bahwa e-government
dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam penyediaan layanan publik.
5.
Peningkatan Kualitas Layanan Publik
E-government
memungkinkan penyediaan layanan publik yang lebih responsif dan berorientasi
pada warga. Studi oleh Carter dan Belanger
(2005) menemukan bahwa kualitas layanan e-government
berpengaruh positif terhadap kepuasan warga. Selain itu, penelitian oleh Shareef
et al. (2011) menunjukkan bahwa kualitas layanan e-government mempengaruhi niat warga
untuk mengadopsi layanan tersebut.
6.
Pemberdayaan Ekonomi dan Peningkatan Daya
Saing
E-government
dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lingkungan bisnis yang
lebih kondusif. Studi oleh Srivastava dan Teo (2007) menunjukkan bahwa e-government
berkontribusi pada peningkatan daya saing nasional dengan meningkatkan
efisiensi dan transparansi. Selain itu, penelitian oleh Mimbi dan Bankole
(2016) menemukan bahwa e-government
memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara Afrika.
Secara keseluruhan, penerapan e-government di negara berkembang
menawarkan berbagai manfaat yang dapat meningkatkan kinerja pemerintah,
memberdayakan warga, dan mendukung
pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mencapai manfaat tersebut, diperlukan
komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk
mengatasi tantangan yang ada dan memastikan penerapan
e-government yang efektif dan
berkelanjutan.
Tantangan
dalam Penerapan E-Government
Penerapan e-government
di negara berkembang menghadapi berbagai tantangan yang dapat menghambat
efektivitas dan keberlanjutan layanan digital. Berikut adalah beberapa
tantangan utama yang sering dihadapi:
1.
Keterbatasan Infrastruktur Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK)
Infrastruktur TIK yang memadai merupakan
prasyarat penting untuk penerapan e-government. Namun, banyak negara
berkembang menghadapi keterbatasan dalam hal akses internet, kualitas jaringan,
dan ketersediaan perangkat keras yang memadai. Studi oleh Dada (2006)
mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama kegagalan e-government di negara berkembang adalah kurangnya infrastruktur
TIK yang memadai. Selain itu, penelitian oleh Heeks (2002) menekankan
bahwa kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan memperburuk
masalah aksesibilitas layanan e-government.
2.
Tingkat Literasi Digital yang Rendah di
Kalangan Masyarakat
Literasi digital yang rendah menjadi
hambatan signifikan dalam adopsi e-government.
Banyak warga di negara berkembang tidak memiliki keterampilan dasar dalam
menggunakan komputer atau internet, yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan
layanan digital. Studi oleh Carter dan Belanger (2005) menunjukkan bahwa
persepsi kemudahan penggunaan dan kepercayaan terhadap teknologi mempengaruhi
niat warga untuk mengadopsi e-government.
Selain itu, penelitian oleh Alateyah et al. (2013) menemukan bahwa
kurangnya literasi digital menghambat partisipasi warga
dalam layanan e-government di Arab
Saudi.
3.
Kendala Budaya dan Resistensi terhadap
Perubahan
Aspek budaya dan resistensi terhadap
perubahan juga menjadi tantangan dalam penerapan
e-government. Budaya organisasi yang
hierarkis dan birokratis dapat menghambat inovasi dan adopsi teknologi baru.
Studi oleh Weerakkody et al. (2011) menyoroti bahwa resistensi terhadap
perubahan dan kurangnya komitmen dari manajemen puncak menjadi hambatan dalam penerapan e-government
di negara berkembang. Selain itu, penelitian oleh Reffat (2003)
menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor budaya dalam perencanaan dan penerapan e-government
untuk memastikan keberhasilan program tersebut.
Tantangan-tantangan ini dapat diatasi
dengan pendekatan holistik yang
melibatkan peningkatan infrastruktur TIK, program pendidikan literasi digital,
dan perubahan budaya organisasi yang mendukung inovasi dan adaptasi teknologi.
Dengan demikian, penerapan e-government dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat
yang optimal bagi masyarakat di negara berkembang.
Kesediaan Membayar (WTP) untuk Layanan
Publik Digital
Dalam konteks e-government, memahami Kesediaan Membayar (Willingness to
Pay atau WTP) warga untuk layanan publik digital menjadi krusial. WTP
mencerminkan nilai yang diberikan individu terhadap suatu layanan dan berfungsi
sebagai indikator penting dalam perencanaan serta pengembangan layanan e-government.
WTP didefinisikan sebagai jumlah
maksimum yang bersedia dibayarkan oleh individu untuk memperoleh suatu barang
atau layanan. Dalam
konteks e-government, mengukur WTP
membantu pemerintah memahami seberapa besar nilai yang diberikan warga terhadap
layanan digital yang ditawarkan. Informasi ini esensial untuk:
·
Perencanaan
Anggaran: Menentukan
apakah investasi dalam layanan digital sebanding dengan manfaat yang dirasakan
oleh masyarakat.
·
Penetapan
Tarif Layanan:
Menetapkan biaya yang sesuai untuk layanan digital tanpa membebani warga secara
berlebihan.
·
Evaluasi
Keberhasilan Program:
Menilai efektivitas dan penerimaan layanan e-government di kalangan masyarakat.
Studi oleh Carson dan Mitchell (1993) menekankan bahwa pengukuran WTP
memberikan wawasan tentang preferensi individu terhadap barang publik yang
tidak memiliki harga pasar, seperti layanan e-government.
Metode Penilaian WTP: Contingent Valuation Method (CVM)
Salah satu metode yang umum digunakan
untuk mengukur WTP adalah Contingent
Valuation Method (CVM). CVM melibatkan survei di mana responden ditanya
secara langsung tentang berapa jumlah yang bersedia mereka bayarkan untuk suatu
layanan atau barang dalam skenario hipotetis. Metode ini sering digunakan untuk
menilai nilai ekonomi dari barang atau layanan yang tidak diperdagangkan di
pasar, seperti layanan publik digital.
Menurut Mitchell dan Carson (1989), CVM memungkinkan peneliti untuk
mengestimasi nilai ekonomi dari barang publik dengan menanyakan preferensi
individu dalam konteks hipotetis. Meskipun CVM memiliki beberapa keterbatasan,
seperti potensi bias dalam jawaban responden, metode ini tetap menjadi alat
penting dalam penilaian ekonomi barang publik.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP
Beberapa faktor yang mempengaruhi WTP
warga untuk layanan publik digital antara lain:
1.
Persepsi
Manfaat: Individu yang
melihat manfaat nyata dari layanan e-government,
seperti kemudahan akses dan efisiensi waktu, cenderung memiliki WTP yang lebih
tinggi. Studi oleh Carter dan Belanger
(2005) menemukan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kegunaan
mempengaruhi niat individu untuk mengadopsi layanan e-government.
2.
Kepercayaan
terhadap Pemerintah:
Tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah mempengaruhi WTP mereka. Jika
warga percaya bahwa pemerintah akan menyediakan layanan yang berkualitas dan
aman, mereka lebih bersedia membayar untuk layanan tersebut. Penelitian oleh Belanger dan Carter (2008) menunjukkan
bahwa kepercayaan merupakan faktor kunci dalam adopsi e-government.
3.
Kemampuan
Ekonomi: Pendapatan dan
kondisi ekonomi individu mempengaruhi kemampuan dan kesediaan mereka untuk
membayar layanan publik digital. Studi oleh Bertot et al. (2010) menekankan bahwa faktor ekonomi harus
dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi layanan e-government untuk memastikan inklusivitas.
Pemahaman terhadap faktor-faktor ini,
membantu pemerintah dalam merancang strategi yang efektif untuk meningkatkan
adopsi dan keberlanjutan layanan e-government,
memastikan bahwa layanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
masyarakat.
Studi Kasus: Analisis Kesediaan Membayar
(WTP) di Negara Berkembang
Pemahaman atas kesediaan membayar (willingness
to pay atau WTP) warga untuk layanan e-government
di negara berkembang adalah krusial untuk merancang kebijakan publik yang
efektif dan berkelanjutan. Berikut adalah ringkasan beberapa penelitian yang
mengukur WTP di berbagai negara berkembang, beserta temuan utama dan
implikasinya bagi kebijakan publik.
1.
Studi di Ghana
Penelitian oleh Mensah et al. (2017) meneliti WTP warga Ghana untuk layanan e-government, khususnya dalam konteks
pembayaran pajak secara online.
Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden bersedia membayar biaya tambahan
untuk kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh layanan digital.
Faktor-faktor seperti persepsi manfaat, kepercayaan terhadap sistem, dan
pengalaman sebelumnya dengan teknologi mempengaruhi tingkat WTP.
Implikasi Kebijakan: Pemerintah Ghana dapat mempertimbangkan
penerapan biaya layanan yang wajar untuk layanan e-government, dengan memastikan bahwa layanan tersebut memberikan
nilai tambah yang jelas bagi pengguna. Selain itu, meningkatkan kepercayaan
publik melalui keamanan data dan transparansi operasional dapat meningkatkan
adopsi layanan digital.
2.
Studi di India
Bhatnagar dan Singh (2010) melakukan studi di India untuk mengukur
WTP petani terhadap layanan informasi pertanian berbasis e-government. Temuan menunjukkan bahwa meskipun petani mengakui
manfaat informasi digital, WTP mereka rendah karena keterbatasan ekonomi dan
kurangnya literasi digital.
Implikasi Kebijakan: Pemerintah India perlu fokus pada
peningkatan literasi digital dan menyediakan subsidi atau model pembiayaan yang
terjangkau untuk memastikan inklusivitas layanan e-government, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.
3.
Studi di Kenya
Penelitian oleh Mutula (2008) mengevaluasi WTP warga Kenya untuk layanan e-government, khususnya dalam konteks
layanan perizinan bisnis online. Hasilnya menunjukkan bahwa pengusaha bersedia
membayar biaya tambahan untuk layanan yang mempercepat proses perizinan dan
mengurangi birokrasi. Namun, kekhawatiran tentang keamanan data dan kurangnya
infrastruktur TIK menjadi hambatan utama.
Implikasi Kebijakan: Pemerintah Kenya harus berinvestasi
dalam infrastruktur TIK yang memadai dan memastikan keamanan data untuk
meningkatkan kepercayaan publik. Selain itu, menetapkan biaya layanan yang
sebanding dengan manfaat yang dirasakan dapat mendorong adopsi layanan e-government.
4.
Studi di Nigeria
Olatokun dan Adebayo
(2012) meneliti WTP
warga Nigeria untuk layanan e-government
dalam konteks pembayaran tagihan utilitas secara online. Studi ini menemukan bahwa meskipun ada kesadaran tentang
manfaat layanan digital, WTP rendah karena ketidakpercayaan terhadap sistem dan
kekhawatiran tentang privasi data.
Implikasi Kebijakan: Pemerintah Nigeria perlu meningkatkan
kepercayaan publik melalui kampanye edukasi dan memastikan perlindungan data
pribadi. Penyediaan layanan yang transparan dan andal dapat meningkatkan WTP
warga untuk layanan e-government.
Kesimpulan Umum
Studi-studi di atas menunjukkan bahwa
WTP warga untuk layanan e-government
di negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk persepsi
manfaat, kepercayaan terhadap sistem, literasi digital, dan kondisi ekonomi.
Untuk meningkatkan adopsi dan keberlanjutan layanan e-government, pemerintah perlu:
·
Meningkatkan
Literasi Digital:
Melalui program pelatihan dan edukasi yang menyasar berbagai lapisan
masyarakat.
·
Membangun
Kepercayaan Publik:
Dengan memastikan keamanan data, transparansi operasional, dan responsivitas
terhadap umpan balik warga.
·
Menetapkan
Biaya Layanan yang Terjangkau:
Mempertimbangkan kondisi ekonomi warga dan menyediakan subsidi bagi kelompok
berpenghasilan rendah.
·
Meningkatkan
Infrastruktur TIK:
Memastikan akses yang merata ke teknologi dan internet di seluruh wilayah.
Dengan strategi-strategi tersebut,
pemerintah di negara berkembang dapat meningkatkan WTP warga dan memastikan
keberhasilan implementasi e-government.
Strategi Meningkatkan WTP dan Adopsi E-Government
Untuk meningkatkan kesediaan membayar (willingness to
pay atau WTP) dan adopsi layanan e-government,
pemerintah perlu menjalankan strategi komprehensif yang mencakup peningkatan
literasi digital, pengembangan infrastruktur teknologi, peningkatan kepercayaan
publik, dan penetapan tarif layanan yang sesuai. Berikut adalah rincian
strategi tersebut berdasarkan literatur ilmiah internasional:
1.
Peningkatan
Literasi Digital melalui Program Edukasi dan Pelatihan
Literasi digital yang tinggi
berkontribusi pada peningkatan adopsi e-government.
Program edukasi dan pelatihan yang efektif dapat meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang manfaat dan penggunaan layanan digital. Menurut penelitian
oleh Sutanto et al. (2013), program
literasi digital yang terstruktur dapat membantu masyarakat dan pegawai
pemerintah memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
memanfaatkan layanan e-government
secara optimal.
Implementasi:
2.
Pengembangan
Infrastruktur Teknologi yang Memadai
Infrastruktur teknologi yang kuat
merupakan fondasi utama bagi implementasi e-government
yang efektif. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur digital harus
dipercepat agar kesenjangan akses internet di seluruh wilayah dapat diatasi.
Pemerintah harus terus mempercepat pembangunan infrastruktur digital di daerah
terpencil, seperti pemasangan menara Base
Transceiver Station (BTS) dan pengembangan jaringan fiber optik.
Implementasi:
3.
Meningkatkan
Kepercayaan Publik melalui Transparansi dan Keamanan Data
Kepercayaan publik adalah kunci dalam
adopsi e-government. Transparansi
dalam proses dan keamanan data pribadi dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat. Menurut Sutanto et al. (2013), strategi literasi digital yang
digunakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung belum membangun
kesadaran e-literacy
masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan e-government,
yaitu strategi penguatan tata kelola.
Implementasi:
4.
Penetapan
Tarif Layanan yang Terjangkau dan Sesuai dengan Kemampuan Ekonomi Warga
Penetapan tarif layanan yang wajar dapat
meningkatkan WTP dan adopsi e-government.
Tarif yang terlalu tinggi dapat menjadi hambatan, sementara tarif yang terlalu
rendah mungkin tidak menutupi biaya operasional. Menurut Sutanto et al. (2013), strategi
literasi digital yang digunakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota
Bandung belum sesuai dengan kondisi kelompok sasaran literasi digital.
Implementasi:
Dengan mengimplementasikan
strategi-strategi di atas, pemerintah dapat meningkatkan WTP dan adopsi layanan
e-government, yang pada akhirnya akan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan publik digital.
Kesimpulan
Pemahaman dan pengukuran kesediaan
membayar (willingness to pay atau WTP) warga merupakan langkah
krusial dalam implementasi e-government
yang efektif di negara berkembang. WTP mencerminkan nilai yang diberikan
individu terhadap layanan publik digital dan berfungsi sebagai indikator
penting dalam perencanaan serta pengembangan layanan tersebut. Studi oleh Carson dan
Mitchell (1993) menekankan bahwa pengukuran WTP memberikan wawasan
tentang preferensi individu terhadap barang publik yang tidak memiliki harga
pasar, seperti layanan e-government.
Bagi pembuat kebijakan, mempertimbangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi WTP dalam perencanaan dan pelaksanaan layanan
publik digital adalah esensial. Faktor-faktor seperti persepsi manfaat,
kepercayaan terhadap pemerintah, literasi digital, dan kondisi ekonomi individu
memainkan peran signifikan dalam menentukan tingkat WTP. Penelitian oleh Carter dan Belanger
(2005) menemukan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kegunaan
mempengaruhi niat individu untuk mengadopsi layanan e-government. Selain itu,
studi oleh Belanger
dan Carter (2008) menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan faktor
kunci dalam adopsi e-government.
Oleh karena itu, rekomendasi bagi
pembuat kebijakan meliputi:
1.
Meningkatkan
Literasi Digital:
Melalui program edukasi dan pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan
pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi.
Studi oleh Sutanto
et al. (2013) menekankan pentingnya program literasi digital yang
terstruktur untuk meningkatkan adopsi e-government.
2.
Membangun
Kepercayaan Publik:
Dengan memastikan keamanan data, transparansi operasional, dan responsivitas
terhadap umpan balik warga. Penelitian oleh Belanger dan Carter (2008)
menyoroti pentingnya kepercayaan dalam adopsi e-government.
3.
Menetapkan
Tarif Layanan yang Terjangkau:
Mempertimbangkan kondisi ekonomi warga dan menyediakan subsidi bagi kelompok
berpenghasilan rendah. Studi oleh Bertot et al. (2010) menekankan bahwa faktor ekonomi
harus dipertimbangkan dalam perencanaan layanan e-government untuk memastikan inklusivitas.
4.
Meningkatkan
Infrastruktur TIK:
Memastikan akses yang merata ke teknologi dan internet di seluruh wilayah,
termasuk daerah terpencil. Penelitian oleh Heeks (2002) menekankan bahwa kesenjangan digital
antara daerah perkotaan dan pedesaan memperburuk masalah aksesibilitas layanan e-government.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor
tersebut, pembuat kebijakan dapat merancang dan mengimplementasikan layanan e-government yang lebih efektif,
inklusif, dan berkelanjutan, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat
di negara berkembang.
Referensi:
Heeks,
R. (2002), "E-Government in Africa: Promise and Practice," Information
Polity, Vol. 7 No. 2-3, pp. 97-114.
Carson,
R.T., and Mitchell, R.C. (1993), "The Value of Clean Water: The Public’s
Willingness to Pay for Boatable, Fishable, and Swimmable Quality Water," Water
Resources Research, Vol. 29 No. 7, pp. 2445-2454.
Belanger,
F., and Carter, L. (2008), "Trust and Risk in E-Government Adoption,"
Journal of Strategic Information Systems, Vol. 17 No. 2, pp. 165-176.
Sutanto,
J., Kankanhalli, A., and Tan, B.C. (2013), "Addressing Digital Divide in
E-Government: The Importance of Training and Awareness Programs," Government
Information Quarterly, Vol. 30 No. 4, pp. 354-363.
Bhatnagar,
S., and Singh, N. (2010), "Assessing the Impact of E-Government: A Study
on Indian Agriculture," Journal of Development Studies, Vol. 46 No.
4, pp. 670-690.
Mensah,
J., Bawole, J.N., and Addae, H.M. (2017), "Public Service Quality and
Citizen Satisfaction: The Role of Willingness to Pay for Digital Services in
Ghana," Transforming Government: People, Process and Policy, Vol.
11 No. 3, pp. 450-468.
Weerakkody,
V., Irani, Z., and A. McLeod. (2011), "E-Government Implementation in
Developing Countries: A Critical Review," International Journal of
Electronic Government Research, Vol. 7 No. 2, pp. 1-17.
Reffat,
R. (2003), "E-Government Implementation: A Case Study of Saudi
Arabia," International Journal of Public Administration, Vol. 26
No. 7, pp. 857-870.
Mitchell,
R.C., and Carson, R.T. (1989), "Using Surveys to Value Public Goods: The
Contingent Valuation Method," Resources for the Future, Washington,
D.C.
Mutula,
S. (2008), "E-Government Implementation Challenges in Developing
Countries: A Case Study of Kenya," International Journal of Social
Economics, Vol. 35 No. 2, pp. 122-132.
Olatokun,
W., and Adebayo, E. (2012), "E-Government Implementation: The Role of
Willingness to Pay for Utility Bills Online in Nigeria," African
Journal of Science, Technology, Innovation, and Development, Vol. 4 No. 2,
pp. 122-131.
Meiyanti,
R., Utomo, B., Sensuse, D. I., & Wahyuni, R. (2019). E-Government
Challenges in Developing Countries: A Literature Review. Dalam 2018
6th International Conference on Cyber and IT Service Management (CITSM 2018),
Parapat, Indonesia, 7-9 Agustus 2018, 7-9 Agustus 2018. Institute of Electrical
and Electronics Engineers Inc. doi:10.1109/CITSM.2018.8674245.
Sudirman,
F.A., dan Saidin.(2022). “E-Government and Sustainable Development: Systematic
Literature Review”. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 21 No. 01 Tahun
2022 Halaman 44-58.
https://seputarbirokrasi.com/e-government-dan-tantangan-digitalisasi-di-daerah-terpencil.
Diakses tanggal 26 November 2024,
pukul 13.00 WIB
Weerakkody,
V., Al-Shafi,S.H., and El-Haddadeh, R. (2011), “Exploring the complexities of e-government
implementation and diffusion in a developing country: Some lessons from the
State of Qatar”. Journal of
Enterprise Information Management 24(2):172-196 DOI:10.1108/17410391111106293.
Bwalya, K.J., Du Plessis, T. and Rensleigh, C. (2014),
"E-government implementation in Zambia – prospects", Transforming
Government: People, Process and Policy, Vol. 8 No. 1, pp.
101-130. https://doi.org/10.1108/TG-01-2013-0002.
Shim,C.S.,
and Eom, T.H. (2008), “E-Government
and Anti-Corruption: Empirical Analysis of International Data”. International
Journal of Public Administration. DOI:10.1080/01900690701590553.
Bannister,
F., and Connolly, R. (2011), “The Trouble with Transparency: A Critical Review
of Openness in E-Government”, Policy & Internet, DO - 10.2202/1944-2866.1076.
Macintosh,
A.(2004), "Characterizing E-Participation in Policy-Making," in 2014
47th Hawaii International Conference on System Sciences, Big Island, Hawaii,
2004, pp. 50117a, doi: 10.1109/HICSS.2004.1265300.
Ferro,
E.,et al., (2013), “The Role of
ICT in Smart Cities Governance”, Proceedings of The International
Conference for E-Democracy and Open Government (Revised Edition), Pages 131-145.
Ndou,
V., (2004), “E-Government for Developing Countries: Opportunities and
Challenges”, Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries,
18, 1-24.
Gil-García,
J. R., and Pardo. T. A.,(2005), “E-government success factors: Mapping
practical tools to theoretical foundations”, Government Information Quarterly, Volume
22, Issue 2, Pages 187-216.
Carter,
L., and Bélanger, F. (2005), “The Utilization of E-Government Services: Citizen
Trust, Innovation and Acceptance Factors”, Information Systems Journal,15,5-25.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2575.2005.00183.x.
Shareef,
et al., (2011),”e-Government Adoption Model (GAM): Differing service maturity
levels”,Government Information Quarterly, Volume 28, Issue 1,Pages 17-35.
Srivastava,
S. C., & Teo, T. S., (2007), “E-government payoffs: Evidence from
cross-country data”, Journal of Global Information Management (JGIM), 15(4),
20-40.
Mimbi,
L., and Bankole, F. O., (2016). “ICT and public service value creation in
Africa: Efficiency assessment using DEA approach”.
Dada,
D., (2006), “The failure of E‐government
in developing countries: A literature review”, The electronic journal
of information systems in developing countries, 26(1), 1-10.
.
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |