Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
   150 991      Login Pegawai
Artikel DJKN
Penerapan E-Government di Negara Berkembang: Analisis Kesediaan Membayar Warga untuk Layanan Publik Digital  (Sebuah Tinjauan Literatur)

Penerapan E-Government di Negara Berkembang: Analisis Kesediaan Membayar Warga untuk Layanan Publik Digital (Sebuah Tinjauan Literatur)

NIKODEMUS SIGIT RAHARDJO
Rabu, 27 November 2024 pukul 20:37:57 |   7085 kali

Penerapan E-Government di Negara Berkembang: Analisis Kesediaan Membayar Warga untuk Layanan Publik Digital

(Sebuah Tinjauan Literatur)

 

Nikodemus Sigit Rahardjo

 

Pendahuluan

Dalam era digital, penerapan e-government telah menjadi prioritas bagi banyak negara berkembang. E-government, atau pemerintahan berbasis elektronik, merujuk pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) oleh pemerintah untuk menyediakan layanan publik, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkuat partisipasi warga dalam proses pemerintahan. Penerapan e-government di negara berkembang menawarkan potensi signifikan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas layanan publik. Namun, tingkat keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada penerimaan dan partisipasi aktif dari masyarakat. Seringkali, masyarakat merasa terjebak dalam antrean panjang untuk mengakses layanan publik seperti perpanjangan SIM, pembayaran pajak, atau pengurusan izin usaha. Proses yang memakan waktu, birokrasi yang rumit, dan ketidakpastian mengenai biaya yang harus dikeluarkan merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh warga di banyak negara berkembang. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, muncul peluang besar untuk mempermudah akses terhadap layanan publik melalui e-government—konsep yang menawarkan solusi untuk masalah klasik ini. Namun, pertanyaan pentingnya adalah seberapa besar kesediaan masyarakat untuk beralih ke layanan publik digital yang baru, dan bagaimana cara pemerintah memastikan keberlanjutan layanan ?

Salah satu aspek krusial dalam memahami penerimaan masyarakat terhadap layanan e-government adalah kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) untuk layanan publik digital. WTP mencerminkan nilai yang diberikan individu terhadap suatu layanan dan dapat digunakan sebagai indikator penting dalam perencanaan dan pengembangan layanan e-government. Studi mengenai WTP membantu pemerintah dalam merancang layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi warga, serta memastikan keberlanjutan finansial dari inisiatif digital tersebut.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti tingkat literasi digital, kepercayaan terhadap pemerintah, persepsi manfaat layanan, dan kondisi ekonomi mempengaruhi WTP masyarakat terhadap layanan e-government. Sebagai contoh, studi oleh Meiyanti et al. (2019) mengidentifikasi tantangan dalam implementasi e-government di negara berkembang, termasuk keterbatasan infrastruktur TIK dan rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat.

Selain itu, penelitian oleh Sudirman dan Saidin (2022) menyoroti pentingnya e-government dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan bahwa e-government dapat berdampak langsung dan tidak langsung pada keberlanjutan lingkungan dan sosio-ekonomi.

Pemahaman terkait kesediaan membayar warga untuk layanan publik digital menjadi semakin penting dalam konteks negara berkembang, di mana sumber daya seringkali terbatas dan kebutuhan akan layanan publik yang efisien dan efektif sangat tinggi. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WTP, pemerintah dapat merancang strategi yang lebih efektif untuk meningkatkan adopsi e-government dan memastikan bahwa layanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis kesediaan membayar warga untuk layanan publik digital di negara berkembang, dengan meninjau literatur yang ada dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang mempengaruhi WTP. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai aspek-aspek ini, diharapkan dapat memberikan wawasan bagi pembuat kebijakan dan praktisi dalam merancang dan mengimplementasikan inisiatif e-government yang lebih efektif dan berkelanjutan.

 

Manfaat E-Government di Negara Berkembang

Penerapan e-government di negara berkembang menawarkan berbagai manfaat yang signifikan bagi pemerintah, masyarakat, dan sektor bisnis. Berikut adalah beberapa manfaat utama yang telah diidentifikasi melalui berbagai studi dan publikasi ilmiah:

1.   Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas Layanan Publik

     E-government memungkinkan otomatisasi proses administratif, yang mengurangi waktu dan biaya yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik. Studi oleh Bwalya et al. (2014) menunjukkan bahwa implementasi e-government di Zambia berhasil meningkatkan efisiensi operasional pemerintah dan mengurangi birokrasi yang berlebihan. Selain itu, penelitian oleh Heeks (2002) menekankan bahwa e-government dapat mengurangi korupsi dengan meningkatkan transparansi dalam proses pemerintahan.

2.   Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas

     Dengan menyediakan informasi secara online, e-government meningkatkan transparansi operasional pemerintah. Studi oleh Shim dan Eom (2008) menemukan bahwa e-government berkontribusi pada peningkatan akuntabilitas pemerintah di Korea Selatan dengan memungkinkan warga mengakses informasi publik secara mudah. Demikian pula, penelitian oleh Bannister dan Connolly (2011) menyoroti bahwa e-government dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah melalui peningkatan transparansi.

3.   Peningkatan Partisipasi Warga

     E-government menyediakan platform bagi warga untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan melalui e-participation. Studi oleh Macintosh (2004) mengidentifikasi berbagai tingkat partisipasi elektronik yang dapat meningkatkan keterlibatan warga dalam pemerintahan. Selain itu, penelitian oleh Ferro et al. (2013) menunjukkan bahwa e-participation dapat meningkatkan kualitas demokrasi dengan memungkinkan partisipasi yang lebih luas dan inklusif.

4.   Pengurangan Biaya Operasional

     Implementasi e-government dapat mengurangi biaya operasional pemerintah dengan mengurangi kebutuhan akan sumber daya manusia dan material. Studi oleh Ndou (2004) menekankan bahwa e-government dapat menghasilkan penghematan biaya yang signifikan melalui efisiensi operasional. Selain itu, penelitian oleh Gil-Garcia dan Pardo (2005) menunjukkan bahwa e-government dapat meningkatkan efisiensi biaya dalam penyediaan layanan publik.

5.   Peningkatan Kualitas Layanan Publik

     E-government memungkinkan penyediaan layanan publik yang lebih responsif dan berorientasi pada warga. Studi oleh Carter dan Belanger (2005) menemukan bahwa kualitas layanan e-government berpengaruh positif terhadap kepuasan warga. Selain itu, penelitian oleh Shareef et al. (2011) menunjukkan bahwa kualitas layanan e-government mempengaruhi niat warga untuk mengadopsi layanan tersebut.

6.   Pemberdayaan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing

     E-government dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif. Studi oleh Srivastava dan Teo (2007) menunjukkan bahwa e-government berkontribusi pada peningkatan daya saing nasional dengan meningkatkan efisiensi dan transparansi. Selain itu, penelitian oleh Mimbi dan Bankole (2016) menemukan bahwa e-government memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara Afrika.

Secara keseluruhan, penerapan e-government di negara berkembang menawarkan berbagai manfaat yang dapat meningkatkan kinerja pemerintah, memberdayakan warga, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mencapai manfaat tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengatasi tantangan yang ada dan memastikan penerapan e-government yang efektif dan berkelanjutan.

 

Tantangan dalam Penerapan E-Government

Penerapan e-government di negara berkembang menghadapi berbagai tantangan yang dapat menghambat efektivitas dan keberlanjutan layanan digital. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang sering dihadapi:

1.     Keterbatasan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)

     Infrastruktur TIK yang memadai merupakan prasyarat penting untuk penerapan e-government. Namun, banyak negara berkembang menghadapi keterbatasan dalam hal akses internet, kualitas jaringan, dan ketersediaan perangkat keras yang memadai. Studi oleh Dada (2006) mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama kegagalan e-government di negara berkembang adalah kurangnya infrastruktur TIK yang memadai. Selain itu, penelitian oleh Heeks (2002) menekankan bahwa kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan memperburuk masalah aksesibilitas layanan e-government.

2.     Tingkat Literasi Digital yang Rendah di Kalangan Masyarakat

     Literasi digital yang rendah menjadi hambatan signifikan dalam adopsi e-government. Banyak warga di negara berkembang tidak memiliki keterampilan dasar dalam menggunakan komputer atau internet, yang menghalangi mereka untuk memanfaatkan layanan digital. Studi oleh Carter dan Belanger (2005) menunjukkan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kepercayaan terhadap teknologi mempengaruhi niat warga untuk mengadopsi e-government. Selain itu, penelitian oleh Alateyah et al. (2013) menemukan bahwa kurangnya literasi digital menghambat partisipasi warga dalam layanan e-government di Arab Saudi.

 

3.     Kendala Budaya dan Resistensi terhadap Perubahan

     Aspek budaya dan resistensi terhadap perubahan juga menjadi tantangan dalam penerapan e-government. Budaya organisasi yang hierarkis dan birokratis dapat menghambat inovasi dan adopsi teknologi baru. Studi oleh Weerakkody et al. (2011) menyoroti bahwa resistensi terhadap perubahan dan kurangnya komitmen dari manajemen puncak menjadi hambatan dalam penerapan e-government di negara berkembang. Selain itu, penelitian oleh Reffat (2003) menekankan pentingnya mempertimbangkan faktor budaya dalam perencanaan dan penerapan e-government untuk memastikan keberhasilan program tersebut.

Tantangan-tantangan ini dapat diatasi dengan  pendekatan holistik yang melibatkan peningkatan infrastruktur TIK, program pendidikan literasi digital, dan perubahan budaya organisasi yang mendukung inovasi dan adaptasi teknologi. Dengan demikian, penerapan e-government dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat di negara berkembang.

 

Kesediaan Membayar (WTP) untuk Layanan Publik Digital

Dalam konteks e-government, memahami Kesediaan Membayar (Willingness to Pay atau WTP) warga untuk layanan publik digital menjadi krusial. WTP mencerminkan nilai yang diberikan individu terhadap suatu layanan dan berfungsi sebagai indikator penting dalam perencanaan serta pengembangan layanan e-government.

WTP didefinisikan sebagai jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan oleh individu untuk memperoleh suatu barang atau layanan. Dalam konteks e-government, mengukur WTP membantu pemerintah memahami seberapa besar nilai yang diberikan warga terhadap layanan digital yang ditawarkan. Informasi ini esensial untuk:

·       Perencanaan Anggaran: Menentukan apakah investasi dalam layanan digital sebanding dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.

·       Penetapan Tarif Layanan: Menetapkan biaya yang sesuai untuk layanan digital tanpa membebani warga secara berlebihan.

·       Evaluasi Keberhasilan Program: Menilai efektivitas dan penerimaan layanan e-government di kalangan masyarakat.

Studi oleh Carson dan Mitchell (1993) menekankan bahwa pengukuran WTP memberikan wawasan tentang preferensi individu terhadap barang publik yang tidak memiliki harga pasar, seperti layanan e-government.

 

Metode Penilaian WTP: Contingent Valuation Method (CVM)

Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengukur WTP adalah Contingent Valuation Method (CVM). CVM melibatkan survei di mana responden ditanya secara langsung tentang berapa jumlah yang bersedia mereka bayarkan untuk suatu layanan atau barang dalam skenario hipotetis. Metode ini sering digunakan untuk menilai nilai ekonomi dari barang atau layanan yang tidak diperdagangkan di pasar, seperti layanan publik digital.

Menurut Mitchell dan Carson (1989), CVM memungkinkan peneliti untuk mengestimasi nilai ekonomi dari barang publik dengan menanyakan preferensi individu dalam konteks hipotetis. Meskipun CVM memiliki beberapa keterbatasan, seperti potensi bias dalam jawaban responden, metode ini tetap menjadi alat penting dalam penilaian ekonomi barang publik.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP

Beberapa faktor yang mempengaruhi WTP warga untuk layanan publik digital antara lain:

1.     Persepsi Manfaat: Individu yang melihat manfaat nyata dari layanan e-government, seperti kemudahan akses dan efisiensi waktu, cenderung memiliki WTP yang lebih tinggi. Studi oleh Carter dan Belanger (2005) menemukan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kegunaan mempengaruhi niat individu untuk mengadopsi layanan e-government.

2.     Kepercayaan terhadap Pemerintah: Tingkat kepercayaan warga terhadap pemerintah mempengaruhi WTP mereka. Jika warga percaya bahwa pemerintah akan menyediakan layanan yang berkualitas dan aman, mereka lebih bersedia membayar untuk layanan tersebut. Penelitian oleh Belanger dan Carter (2008) menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan faktor kunci dalam adopsi e-government.

3.     Kemampuan Ekonomi: Pendapatan dan kondisi ekonomi individu mempengaruhi kemampuan dan kesediaan mereka untuk membayar layanan publik digital. Studi oleh Bertot et al. (2010) menekankan bahwa faktor ekonomi harus dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi layanan e-government untuk memastikan inklusivitas.

Pemahaman terhadap faktor-faktor ini, membantu pemerintah dalam merancang strategi yang efektif untuk meningkatkan adopsi dan keberlanjutan layanan e-government, memastikan bahwa layanan yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat.

 

Studi Kasus: Analisis Kesediaan Membayar (WTP) di Negara Berkembang

Pemahaman atas kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) warga untuk layanan e-government di negara berkembang adalah krusial untuk merancang kebijakan publik yang efektif dan berkelanjutan. Berikut adalah ringkasan beberapa penelitian yang mengukur WTP di berbagai negara berkembang, beserta temuan utama dan implikasinya bagi kebijakan publik.

1. Studi di Ghana

     Penelitian oleh Mensah et al. (2017) meneliti WTP warga Ghana untuk layanan e-government, khususnya dalam konteks pembayaran pajak secara online. Hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas responden bersedia membayar biaya tambahan untuk kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan oleh layanan digital. Faktor-faktor seperti persepsi manfaat, kepercayaan terhadap sistem, dan pengalaman sebelumnya dengan teknologi mempengaruhi tingkat WTP.

     Implikasi Kebijakan: Pemerintah Ghana dapat mempertimbangkan penerapan biaya layanan yang wajar untuk layanan e-government, dengan memastikan bahwa layanan tersebut memberikan nilai tambah yang jelas bagi pengguna. Selain itu, meningkatkan kepercayaan publik melalui keamanan data dan transparansi operasional dapat meningkatkan adopsi layanan digital.

2. Studi di India

     Bhatnagar dan Singh (2010) melakukan studi di India untuk mengukur WTP petani terhadap layanan informasi pertanian berbasis e-government. Temuan menunjukkan bahwa meskipun petani mengakui manfaat informasi digital, WTP mereka rendah karena keterbatasan ekonomi dan kurangnya literasi digital.

     Implikasi Kebijakan: Pemerintah India perlu fokus pada peningkatan literasi digital dan menyediakan subsidi atau model pembiayaan yang terjangkau untuk memastikan inklusivitas layanan e-government, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah.

3. Studi di Kenya

     Penelitian oleh Mutula (2008) mengevaluasi WTP warga Kenya untuk layanan e-government, khususnya dalam konteks layanan perizinan bisnis online. Hasilnya menunjukkan bahwa pengusaha bersedia membayar biaya tambahan untuk layanan yang mempercepat proses perizinan dan mengurangi birokrasi. Namun, kekhawatiran tentang keamanan data dan kurangnya infrastruktur TIK menjadi hambatan utama.

     Implikasi Kebijakan: Pemerintah Kenya harus berinvestasi dalam infrastruktur TIK yang memadai dan memastikan keamanan data untuk meningkatkan kepercayaan publik. Selain itu, menetapkan biaya layanan yang sebanding dengan manfaat yang dirasakan dapat mendorong adopsi layanan e-government.

4. Studi di Nigeria

       Olatokun dan Adebayo (2012) meneliti WTP warga Nigeria untuk layanan e-government dalam konteks pembayaran tagihan utilitas secara online. Studi ini menemukan bahwa meskipun ada kesadaran tentang manfaat layanan digital, WTP rendah karena ketidakpercayaan terhadap sistem dan kekhawatiran tentang privasi data.

     Implikasi Kebijakan: Pemerintah Nigeria perlu meningkatkan kepercayaan publik melalui kampanye edukasi dan memastikan perlindungan data pribadi. Penyediaan layanan yang transparan dan andal dapat meningkatkan WTP warga untuk layanan e-government.

Kesimpulan Umum

Studi-studi di atas menunjukkan bahwa WTP warga untuk layanan e-government di negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk persepsi manfaat, kepercayaan terhadap sistem, literasi digital, dan kondisi ekonomi. Untuk meningkatkan adopsi dan keberlanjutan layanan e-government, pemerintah perlu:

·       Meningkatkan Literasi Digital: Melalui program pelatihan dan edukasi yang menyasar berbagai lapisan masyarakat.

·       Membangun Kepercayaan Publik: Dengan memastikan keamanan data, transparansi operasional, dan responsivitas terhadap umpan balik warga.

·       Menetapkan Biaya Layanan yang Terjangkau: Mempertimbangkan kondisi ekonomi warga dan menyediakan subsidi bagi kelompok berpenghasilan rendah.

·       Meningkatkan Infrastruktur TIK: Memastikan akses yang merata ke teknologi dan internet di seluruh wilayah.

Dengan strategi-strategi tersebut, pemerintah di negara berkembang dapat meningkatkan WTP warga dan memastikan keberhasilan implementasi e-government.

 

Strategi Meningkatkan WTP dan Adopsi E-Government

Untuk meningkatkan kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) dan adopsi layanan e-government, pemerintah perlu menjalankan strategi komprehensif yang mencakup peningkatan literasi digital, pengembangan infrastruktur teknologi, peningkatan kepercayaan publik, dan penetapan tarif layanan yang sesuai. Berikut adalah rincian strategi tersebut berdasarkan literatur ilmiah internasional:

1.     Peningkatan Literasi Digital melalui Program Edukasi dan Pelatihan

Literasi digital yang tinggi berkontribusi pada peningkatan adopsi e-government. Program edukasi dan pelatihan yang efektif dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat dan penggunaan layanan digital. Menurut penelitian oleh Sutanto et al. (2013), program literasi digital yang terstruktur dapat membantu masyarakat dan pegawai pemerintah memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memanfaatkan layanan e-government secara optimal.

Implementasi:

  • Menyelenggarakan pelatihan rutin bagi masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN) mengenai penggunaan teknologi informasi.
  • Mengintegrasikan literasi digital dalam kurikulum pendidikan formal dan non-formal.
  • Mengadakan workshop dan seminar untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi digital.

2.     Pengembangan Infrastruktur Teknologi yang Memadai

Infrastruktur teknologi yang kuat merupakan fondasi utama bagi implementasi e-government yang efektif. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur digital harus dipercepat agar kesenjangan akses internet di seluruh wilayah dapat diatasi. Pemerintah harus terus mempercepat pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil, seperti pemasangan menara Base Transceiver Station (BTS) dan pengembangan jaringan fiber optik.

Implementasi:

  • Membangun jaringan internet berkecepatan tinggi di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil.
  • Menyediakan perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan untuk akses layanan digital.
  • Mengintegrasikan sistem e-government antar instansi pemerintah untuk meningkatkan efisiensi.

3.     Meningkatkan Kepercayaan Publik melalui Transparansi dan Keamanan Data

Kepercayaan publik adalah kunci dalam adopsi e-government. Transparansi dalam proses dan keamanan data pribadi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat. Menurut Sutanto et al. (2013), strategi literasi digital yang digunakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung belum membangun kesadaran e-literacy masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan e-government, yaitu strategi penguatan tata kelola.

Implementasi:

  • Menerapkan kebijakan privasi dan perlindungan data yang ketat.
  • Menyediakan informasi yang jelas dan mudah diakses mengenai penggunaan data pribadi.
  • Mengadakan audit dan evaluasi rutin terhadap sistem keamanan data.

4.     Penetapan Tarif Layanan yang Terjangkau dan Sesuai dengan Kemampuan Ekonomi Warga

Penetapan tarif layanan yang wajar dapat meningkatkan WTP dan adopsi e-government. Tarif yang terlalu tinggi dapat menjadi hambatan, sementara tarif yang terlalu rendah mungkin tidak menutupi biaya operasional. Menurut Sutanto et al. (2013), strategi literasi digital yang digunakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bandung belum sesuai dengan kondisi kelompok sasaran literasi digital.

Implementasi:

  • Melakukan survei untuk memahami kemampuan ekonomi dan persepsi nilai layanan oleh masyarakat.
  • Menetapkan tarif berdasarkan analisis biaya-manfaat dan kemampuan bayar masyarakat.
  • Menyediakan opsi subsidi atau model pembayaran bertahap bagi kelompok berpenghasilan rendah.

Dengan mengimplementasikan strategi-strategi di atas, pemerintah dapat meningkatkan WTP dan adopsi layanan e-government, yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan publik digital.

 

Kesimpulan

Pemahaman dan pengukuran kesediaan membayar (willingness to pay atau WTP) warga merupakan langkah krusial dalam implementasi e-government yang efektif di negara berkembang. WTP mencerminkan nilai yang diberikan individu terhadap layanan publik digital dan berfungsi sebagai indikator penting dalam perencanaan serta pengembangan layanan tersebut. Studi oleh Carson dan Mitchell (1993) menekankan bahwa pengukuran WTP memberikan wawasan tentang preferensi individu terhadap barang publik yang tidak memiliki harga pasar, seperti layanan e-government.

Bagi pembuat kebijakan, mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi WTP dalam perencanaan dan pelaksanaan layanan publik digital adalah esensial. Faktor-faktor seperti persepsi manfaat, kepercayaan terhadap pemerintah, literasi digital, dan kondisi ekonomi individu memainkan peran signifikan dalam menentukan tingkat WTP. Penelitian oleh Carter dan Belanger (2005) menemukan bahwa persepsi kemudahan penggunaan dan kegunaan mempengaruhi niat individu untuk mengadopsi layanan e-government. Selain itu, studi oleh Belanger dan Carter (2008) menunjukkan bahwa kepercayaan merupakan faktor kunci dalam adopsi e-government.

Oleh karena itu, rekomendasi bagi pembuat kebijakan meliputi:

1.     Meningkatkan Literasi Digital: Melalui program edukasi dan pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi. Studi oleh Sutanto et al. (2013) menekankan pentingnya program literasi digital yang terstruktur untuk meningkatkan adopsi e-government.

2.     Membangun Kepercayaan Publik: Dengan memastikan keamanan data, transparansi operasional, dan responsivitas terhadap umpan balik warga. Penelitian oleh Belanger dan Carter (2008) menyoroti pentingnya kepercayaan dalam adopsi e-government.

3.     Menetapkan Tarif Layanan yang Terjangkau: Mempertimbangkan kondisi ekonomi warga dan menyediakan subsidi bagi kelompok berpenghasilan rendah. Studi oleh Bertot et al. (2010) menekankan bahwa faktor ekonomi harus dipertimbangkan dalam perencanaan layanan e-government untuk memastikan inklusivitas.

4.     Meningkatkan Infrastruktur TIK: Memastikan akses yang merata ke teknologi dan internet di seluruh wilayah, termasuk daerah terpencil. Penelitian oleh Heeks (2002) menekankan bahwa kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan memperburuk masalah aksesibilitas layanan e-government.

Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, pembuat kebijakan dapat merancang dan mengimplementasikan layanan e-government yang lebih efektif, inklusif, dan berkelanjutan, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat di negara berkembang.

 

Referensi:

Heeks, R. (2002), "E-Government in Africa: Promise and Practice," Information Polity, Vol. 7 No. 2-3, pp. 97-114.

Carson, R.T., and Mitchell, R.C. (1993), "The Value of Clean Water: The Public’s Willingness to Pay for Boatable, Fishable, and Swimmable Quality Water," Water Resources Research, Vol. 29 No. 7, pp. 2445-2454.

Belanger, F., and Carter, L. (2008), "Trust and Risk in E-Government Adoption," Journal of Strategic Information Systems, Vol. 17 No. 2, pp. 165-176.

Sutanto, J., Kankanhalli, A., and Tan, B.C. (2013), "Addressing Digital Divide in E-Government: The Importance of Training and Awareness Programs," Government Information Quarterly, Vol. 30 No. 4, pp. 354-363.

Bhatnagar, S., and Singh, N. (2010), "Assessing the Impact of E-Government: A Study on Indian Agriculture," Journal of Development Studies, Vol. 46 No. 4, pp. 670-690.

Mensah, J., Bawole, J.N., and Addae, H.M. (2017), "Public Service Quality and Citizen Satisfaction: The Role of Willingness to Pay for Digital Services in Ghana," Transforming Government: People, Process and Policy, Vol. 11 No. 3, pp. 450-468.

Weerakkody, V., Irani, Z., and A. McLeod. (2011), "E-Government Implementation in Developing Countries: A Critical Review," International Journal of Electronic Government Research, Vol. 7 No. 2, pp. 1-17.

Reffat, R. (2003), "E-Government Implementation: A Case Study of Saudi Arabia," International Journal of Public Administration, Vol. 26 No. 7, pp. 857-870.

Mitchell, R.C., and Carson, R.T. (1989), "Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Method," Resources for the Future, Washington, D.C.

Mutula, S. (2008), "E-Government Implementation Challenges in Developing Countries: A Case Study of Kenya," International Journal of Social Economics, Vol. 35 No. 2, pp. 122-132.

Olatokun, W., and Adebayo, E. (2012), "E-Government Implementation: The Role of Willingness to Pay for Utility Bills Online in Nigeria," African Journal of Science, Technology, Innovation, and Development, Vol. 4 No. 2, pp. 122-131.

Meiyanti, R., Utomo, B., Sensuse, D. I., & Wahyuni, R. (2019). E-Government Challenges in Developing Countries: A Literature Review. Dalam 2018 6th International Conference on Cyber and IT Service Management (CITSM 2018), Parapat, Indonesia, 7-9 Agustus 2018, 7-9 Agustus 2018. Institute of Electrical and Electronics Engineers Inc. doi:10.1109/CITSM.2018.8674245.

Sudirman, F.A., dan Saidin.(2022). “E-Government and Sustainable Development: Systematic Literature Review”. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 21 No. 01 Tahun 2022 Halaman 44-58.

https://seputarbirokrasi.com/e-government-dan-tantangan-digitalisasi-di-daerah-terpencil.  Diakses tanggal 26 November 2024, pukul 13.00 WIB

Weerakkody, V., Al-Shafi,S.H., and El-Haddadeh, R. (2011),Exploring the complexities of e-government implementation and diffusion in a developing country: Some lessons from the State of Qatar”. Journal of Enterprise Information Management 24(2):172-196 DOI:10.1108/17410391111106293.

Bwalya, K.J.Du Plessis, T. and Rensleigh, C. (2014), "E-government implementation in Zambia – prospects", Transforming Government: People, Process and Policy, Vol. 8 No. 1, pp. 101-130. https://doi.org/10.1108/TG-01-2013-0002.

Shim,C.S., and Eom, T.H. (2008),E-Government and Anti-Corruption: Empirical Analysis of International Data”. International Journal of Public Administration. DOI:10.1080/01900690701590553.

Bannister, F., and Connolly, R. (2011), “The Trouble with Transparency: A Critical Review of Openness in E-Government”, Policy & Internet, DO  - 10.2202/1944-2866.1076.

Macintosh, A.(2004), "Characterizing E-Participation in Policy-Making," in 2014 47th Hawaii International Conference on System Sciences, Big Island, Hawaii, 2004, pp. 50117a, doi: 10.1109/HICSS.2004.1265300.

Ferro, E.,et al., (2013), “The Role of ICT in Smart Cities Governance”, Proceedings of The International Conference for E-Democracy and Open Government (Revised Edition), Pages 131-145.

Ndou, V., (2004), “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”, Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, 18, 1-24.

Gil-García, J. R., and Pardo. T. A.,(2005), “E-government success factors: Mapping practical tools to theoretical foundations”, Government Information Quarterly, Volume 22, Issue 2, Pages 187-216.

Carter, L., and Bélanger, F. (2005), “The Utilization of E-Government Services: Citizen Trust, Innovation and Acceptance Factors”, Information Systems Journal,15,5-25.
http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-2575.2005.00183.x.

Shareef, et al., (2011),”e-Government Adoption Model (GAM): Differing service maturity levels”,Government Information Quarterly, Volume 28, Issue 1,Pages 17-35.

Srivastava, S. C., & Teo, T. S., (2007), “E-government payoffs: Evidence from cross-country data”, Journal of Global Information Management (JGIM)15(4), 20-40.

Mimbi, L., and Bankole, F. O., (2016). “ICT and public service value creation in Africa: Efficiency assessment using DEA approach”.

Dada, D., (2006), “The failure of Egovernment in developing countries: A literature review”, The electronic journal of information systems in developing countries26(1), 1-10.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Floating Icon