Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
URGENSI PENILAI PEMERINTAH DALAM PENGALIHAN HAK ATAS TANAH ULAYAT DI PAPUA
Michael Gala Bura
Jum'at, 19 Mei 2023 pukul 13:02:06   |   2238 kali

Oleh: Muhammad Fahmi Yansyah, Muhammad Kurniawan Triatmojo, Rody Panuturi Silalahi

Tanah Papua merupakan satu wilayah yang berpegang teguh pada aturan-aturan adat sebagai acuan dan pandangan hidup Orang Asli Papua yang menjadi kesatuan membentuk Masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat adalah warga asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu salah satunya meliputi aturan tanah ulayat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 43 ayat (3) menyatakan bahwa hak menguasai dari Negara pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat Papua diakui oleh pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dijelaskan bahwa Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat Papua dalam melakukan pengembangan daerah Papua. Dijelaskan dalam Pasal 64 ayat (1) UU 21/2001 bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi sumber daya alam, baik hayati ataupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak ulayat milik masyarakat adat Papua untuk kesejahteraan penduduk.

Selain hak kepemilikan atas tanah ulayat, pemegang hak ulayat juga memiliki kewajiban atas tanah ulayat, salah satunya adalah melepaskan tanah apabila diperlukan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan pemberian ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, bahwa pemegang hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah berkewajiban melepaskan tanah apabila diperlukan Pemerintah/Pemerintah Daerah untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti kerugian atas faktor fisik dan ganti kerugian atas faktor non fisik berdasarkan hasil musyawarah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Dewasa ini, telah banyak terjadi sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat baik antara beberapa suku yang berbatasan atas suatu bidang tanah, ataupun atas penyerahan tanah ulayat kepada Pemerintah Daerah. Pelepasan hak atas tanah ulayat berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari. Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, sering terjadi sengketa mengenai tanah-tanah adat termasuk tanah ulayat, adapun penyebab timbulnya sengketa tanah Ulayat salah satu di antaranya karena ganti rugi yang dianggap tidak sepadan dengan nilai tanah ulayat yang sebenarnya. Sebagai contoh sengketa tanah ulayat di Kawasan Bandara Sentani di Kabupaten Jayapura dan sengketa Jalan Strategis Nasional Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua (Jalan P4B). Salah satu bagian dari Jalan P4B adalah jalan Trans Papua Ruas Sorong–Manokwari dari kali Ayae hingga kali Sisu sepanjang 22 km dan lebar 16 m2 yang telah sampai pada putusan kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dari kasus di atas terbukti bahwa dalam proses pelepasan hak tanah ulayat masyarakat adat di Papua berpotensi terjadi sengketa atas nilai ganti rugi. Sengketa ini terjadi karena masing-masing pihak tidak menyepakati nilai ganti rugi. Sengketa nilai ganti rugi inilah yang mendesak kebutuhan akan penilai dalam mengestimasi besaran nilai yang dianggap adil. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. Opini yang diberikan mengacu pada data yang ada di lapangan dan aturan yang mengikat seorang penilai.

Guna mengestimasi nilai ganti rugi pelepasan hak ulayat atas tanah dengan tepat dan tidak menimbulkan konflik, maka diperlukan pihak yang berkompeten dalam hal ini Penilai Pemerintah. Penilai Pemerintah merupakan penilai yang independen dalam melaksanakan tugas penilaian. Selain itu Penilai Pemerintah memiliki kemampuan teknis dan disiplin ilmu di bidang penilaian. Penilai Pemerintah sangat penting agar pihak Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan masyarakat hukum adat tidak mengalami kerugian. Dengan nilai ganti rugi yang adil maka potensi konflik atas sengketa ganti rugi hak ulayat dapat diminimalisir.

Untuk melakukan penilaian atas ganti rugi tanah ulayat, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan Penilai Pemerintah dalam rangka mengestimasi nilai wajar yang mencerminkan ganti rugi dari pelepasan hak atas tanah ulayat dengan mengajukan permohonan penilaian.

Dalam pemberian ganti rugi, sesuai ketentuan Pasal 13 Perda Nomor 23 Tahun 2008, terdapat dua faktor yang menjadi dasar pemberian ganti rugi, yaitu faktor fisik dan faktor nonfisik. Faktor fisik meliputi kehilangan tanah, dimana orang adat yang sebelumnya bisa memanfaatkan tanah dan memiliki akses ke hutan atau sumber daya lainnya, sekarang tidak bisa; kehilangan bangunan, dimana segala bangungan yang telah didirikan di atasnya bukan menjadi miliknya lagi; kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat, seperti tempat ibadah, tempat rekreasi, dan tempat pemakaman. Adapun bentuk ganti rugi atas faktor fisik dapat berupa uang dan atau tanah pengganti, permukiman kembali, dana abadi, penyertaan saham (apabila tanah digunakan untuk suatu proyek tertentu yang menghasilkan profit berkepanjangan), atau bentuk lain yang disepakati bersama. Sedangkan faktor nonfisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan karena ketergantungan pada tanah beserta segala isinya, seperti pembukaan sawah, ladang, toko, atau tempat yang digunakan untuk usaha. Bentuk ganti rugi atas faktor nonfisik yang diberikan dapat berupa penyediaan usaha pengganti, penyediaan lapangan kerja, bantuan kredit, atau bentuk lain yang disepakati bersama.

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan:

1. Peran Penilai Pemerintah dalam penentuan nilai ganti rugi atas tanah hak ulayat masyarakat adat Papua sangat penting guna mengestimasi nilai ganti rugi pelepasan hak ulayat atas tanah dengan tepat dan tidak menimbulkan konflik.

2. Faktor yang menentukan nilai ganti rugi dari pelepasan tanah antara lain faktor fisik meliputi kehilangan tanah, kehilangan bangunan, kehilangan pusat kehidupan dan pusat budaya masyarakat. Sedangkan faktor non fisik meliputi kehilangan pendapatan dan sumber penghidupan.

Artikel merupakan ringkasan atas jurnal berjudul “Urgensi Penilai Pemerintah Dalam Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat Di Papua” yang dipulikasikan Jurnal Ilmu Sosial, Manajemen, dan Akuntansi (JISMA) ISSN:2830-2605 (Online), Vol.1 No.5, Desember 2022.

Link Jurnal: https://melatijournal.com/index.php/jisma/article/view/252

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini