Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Tantangan dan Faktor Kunci Keberhasilan Kolaborasi Digital
Nadea Skandina Putri
Kamis, 13 April 2023 pukul 08:26:18   |   2312 kali

Pola kerja berbasis kolaborasi digital atau e-collaboration berkembang secara cepat selama beberapa tahun terakhir dan menjadi praktik kerja sama tim yang diadopsi secara global (Farshad & Fortin, 2023). Dengan arus digitalisasi yang semakin marak dan didorong oleh pandemi COVID-19 yang membatasi interaksi fisik antar individu, berbagai institusi sektor publik berupaya mengembangkan sarana kolaborasi digital (Agostino, Arnaboldi, & Lema, 2021). Pengembangan kolaborasi digital dilakukan untuk mengakomodasi sistem kerja baru yang tidak mengharuskan kehadiran dan pertemuan fisik tanpa mengurangi efektivitas proses bisnis (Waizenegger, et al, 2020).


Terhitung sejak bulan September 2022, Kemenkeu resmi menggunakan Microsoft Teams (MS Teams) sebagai sarana kolaborasi digital (collaboration tools). Penggunaan MS Teams merupakan respon Kemenkeu terhadap perlunya sebuah platform guna mengakomodasi sistem kerja baru berbasis digital. Jika sebelumnya para pegawai bebas menggunakan berbagai macam sarana kolaborasi (baik yang berbayar maupun free), maka setelah peluncuran collaboration tools, seluruh kolaborasi kerja diarahkan pada MS Teams. Dibanding tools kolaborasi lainnya, MS Teams memiliki fitur yang relatif lengkap dan terhubung dalam satu ekosistem kolaborasi. Fitur-fitur tersebut tidak hanya fitur kolaborasi sederhana (meeting dan office), namun juga mencakup fitur-fitur yang relatif kompleks (project management, power BI, dll).


Tujuan digunakannya MS Teams sebagai sarana kolaborasi digital tidak lain adalah untuk menunjang efektivitas dan efisiensi tim dalam menyelesaikan suatu penugasan/proyek kerja bersama. Sebagai sebuah sarana kolaborasi, efektivitas penggunaan MS Teams tentunya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat bersumber dari teknologi yang digunakan maupun kapabilitas para pengguna.


Sebelum Kemenkeu memperkenalkan konsep pola kerja kolaborasi berbasis digital, sejumlah riset telah mencoba untuk mengidentifikasi dan menganalisis berbagai tantangan dan faktor penting yang menentukan keberhasilan suatu kolaborasi digital. Dalam jurnal bertajuk Challenges and critical success factors of digital communication, collaboration and knowledge sharing in project management virtual teams: a review, Swart, Bond-Barnard, dan Chuck (2022) mengekstraksi sejumlah riset yang terkait dengan tantangan dan faktor kunci keberhasilan (key success factor) komunikasi dan kolaborasi digital. Dalam riset tersebut, Swart, Bond-Barnard, dan Chuck menggunakan 447 artikel yang bersumber dari database penelitian terpercaya (Web of Science, Scopus, Science Direct, dan Elsevier) sebagai sumber reviu literatur. Artikel yang menjadi objek ekstraksi adalah artikel yang terbit dalam dua dekade terakhir sehingga mencerminkan kondisi terkini.


Berdasarkan hasil riset, Swart, Bond-Barnard, dan Chuck mengidentifikasi 8 tema yang dapat menjadi sumber tantangan dan faktor kunci keberhasilan kolaborasi digital, yaitu (1) Trust; (2) Cultural diversity; (3) Collaboration tools and technology; (4) Communication and knowledge hoarding; (5) Leadership; (6) Psychological safety; (7) Communication guidelines and training; dan (8) Resource planning. Dalam praktiknya, kedelapan tema tersebut dapat memiliki keterkaitan dan interaksi antara satu dan lainnya. Adanya interaksi antara satu tema dengan tema lainnya akan semakin kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan kolaborasi digital. Berikut adalah uraian singkat mengenai kedelapan tema tersebut:


  1. 1) Trust (Kepercayaan)

    Trust menjadi tema kunci yang menjadi tantangan dan faktor penentu keberhasilan kolaborasi digital. Agar kolaborasi digital dapat mencapai tujuannya, organisasi perlu membangun trust di antara para pimpinan maupun anggota tim. Dibanding sarana komunikasi konvensional, saluran komunikasi digital memiliki tantangan terkait trust yang lebih besar. Oleh karena itu, membangun kepercayaan dalam tim virtual memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding tim konvensional. Lebih lanjut, permasalahan terkait trust akan lebih besar apabila para anggota tim terdiri dari beragam individu yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Untuk membangun kepercayaan di antara anggota tim, diperlukan pertemuan fisik pada saat kick-off suatu proyek.


  1. 2) Cultural diversity (Keanekaragaman Budaya)

    Cultural diversity merefleksikan keberagaman budaya para anggota tim. Keberagaman budaya dapat menjadi sumber kesalahpahaman dan konflik. Oleh karena itu, setiap anggota tim perlu memiliki cultural intelligent sehingga tercipta sikap toleransi dan meminimalkan terjadinya kesalahpahaman.


  1. 3) Collaboration tools and technology (Sarana dan teknologi kolaborasi)

    Teknologi berperan penting untuk menunjang keberhasilan kolaborasi digital. Berdasarkan riset, teknologi kolaborasi yang direkomendasikan adalah teknologi generasi terkini yang berwujud ruang kerja bersama, terkoneksi dengan internet, dan berbasis cloud. Selain itu, sarana kolaborasi yang bersifat rich media (melalui konferensi video) lebih disukai untuk berbagi pengetahuan daripada lean media (e-mail) karena meminimalkan terjadinya kesalahpahaman dalam proses interaksi digital.

  1. 4) Communication and knowledge hoarding (Komunikasi dan sumber pengetahuan)

    Tim virtual memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap gangguan komunikasi, ketidakpercayaan, dan konflik dibanding tim konvensional. Oleh karena itu, tim harus memiliki pedoman komunikasi standar yang disepakati oleh seluruh anggota tim. Di sisi lain, tim harus mengembangkan mekanisme berbagi pengetahuan yang mudah diakses oleh seluruh anggota tim. Platform digital yang bersifat rich media akan meningkatkan efektivitas komunikasi. Seluruh informasi dan pengetahuan penting harus dapat diakses dengan mudah oleh para anggota tim.

  1. 5) Leadership Kepemimpinan di era digital sering disebut dengan digital leadership. Dalam istilah lain, digital leadership juga sering dikaitkan dengan e-leadership atau virtual leadership. Kepemimpinan virtual yang efektif akan menentukan sebarapa resilience sebuah tim virtual. Dalam kolaborasi digital, para pemimpin harus secara aktif mendorong adanya interaksi antar anggota tim, memotivasi anggota, memimpin rapat, maupun memantau kinerja tim. Dalam lingkungan virtual, dibutuhkan pemimpin yang mampu mentransformasikan prosedur kerja. Para pemimpin virtual perlu melakukan pemantauan dan evaluasi mengenai kinerja dan kemajuan tugas. Selain itu, para pemimpin virtual harus memantau pegawai yang kesulitan dalam melaksanakan suatu penugasan dan memberikan bimbingan maupun asistensi yang memadai.

  1. 6) Psychological safety (keamanan psikologis) Anggota tim harus merasa aman berbagi pemikiran dan ide secara terbuka dalam lingkungan virtual. Riset menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara keamanan psikologis dengan kepemimpinan virtual yang efektif. Dalam hal ini, para pemimpin virtual perlu mendorong interaksi sosial yang nyaman bagi para anggota. Untuk menumbuhkan keamanan psikologis, sebuah tim perlu menumbuhkan rasa saling percaya dan saling menghormati. Para pemimpin perlu membangun interaksi informal yang cair dan menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan.

  1. 7) Communication guidelines and training (Panduan komunikasi dan pelatihan) Aturan komunikasi yang jelas diperlukan untuk bekerja secara kolaboratif. Tim perlu memiliki kesepakatan mengenai bahasa yang akan digunakan dalam komunikasi. Selain itu, para anggota tim perlu mendapatkan pelatihan yang memadai mengenai cara memanfaatkan teknologi dan sarana kolaborasi.

  1. 8) Resource planning (Perencanaan sumber daya) Perencanaan sumber daya dalam kolaborasi digital memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan tim konvensional karena para anggota tim tersebar secara fisik dan geografis. Kolaborasi virtual sangat bergantung pada distribusi sumber daya yang tepat dan efisien. Dalam kolaborasi digital, alokasi sumber daya manusia tidak hanya berdasarkan pada keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi, tetapi juga kemampuannya untuk berkomunikasi dan bersosialisasi secara efektif dalam konteks digital.

Lesson Learned untuk DJKN


Dalam mengembangkan pola kerja kolaborasi digital, Kemenkeu dan DJKN berupaya menerapkan rangkaian kegiatan manajemen perubahan yang bertumpu pada sosialisasi dan internalisasi penggunaan MS Teams sebagai sarana kolaborasi. Sosialisasi penggunaan MS Teams tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu menyasar kepada para pimpinan dan agen perubahan. Selanjutnya, sosialisasi dilakukan secara lebih masif kepada seluruh pegawai. Sebagai bagian dari proses manajemen perubahan tersebut, Kemenkeu melakukan monitoring berkala mengenai keaktifan pegawai dalam menggunakan MS Teams dan menetapkan tingkat penggunaan collaboration tools sebagai salah satu KPI bagi unit IT di masing-masing eselon I.


Di lingkup DJKN, hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat TSI menunjukkan bahwa proses manajemen perubahan terkait penggunaan collaboration tools berlangsung dengan baik. Mayoritas pegawai setuju bahwa MS Teams efektif untuk menunjang proses kolaborasi digital di lingkungan DJKN. Namun demikian, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas pegawai belum bisa meninggalkan sarana kolaborasi yang sebelumnya terlanjur telah digunakan.


Sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas kolaborasi digital, DJKN maupun Kemenkeu secara umum perlu concern pada aspek-aspek penting yang menunjang keberhasilan penerapannya. Faktor trust, misalnya, memegang peranan penting seiring bergesernya pengawasan konvensional yang berbasis fisik dengan pengawasan virtual yang berbasis komunikasi dan output. Dalam membangun trust antara pimpinan dan anggota tim maupun antar anggota tim, perlu disepakati bentuk pengawasan virtual yang relevan.


Faktor cultural diversity juga penting untuk menjadi concern dalam pengembangan pola kerja kolaborasi digital mengingat beragamnya latar belakang pegawai yang mungkin berpengaruh terhadap cara pandang, nilai-nilai, dan kompetensi dalam menggunakan sarana kolaborasi. Faktor perbedaan cara pandang maupun kompetensi dapat bersumber dari perbedaan latar belakang pendidikan dan generasi. Sebagai contoh, pegawai dengan latar belakang IT dan non IT akan memiliki kecepatan respon yang berbeda dalam menggunakan sarana kolaborasi. Perbedaan generasi antar anggota tim juga memungkinkan pandangan yang berbeda mengenai efektivitas tim virtual dalam kaitannya dengan pola kerja fleksibel. Riset menunjukkan perbedaan yang nyata mengenai level penerimaan pegawai terhadap pola kerja fleksibel yang pada gilirannya akan mempengaruhi efektivitas dari kolaborasi digital. Sebagai contoh, berdasarkan riset Myers & Sadaghiani (2010), Setiyani et al. (2019), dan Raisine et al. (2020), generasi milenial cenderung lebih menyukai teleworking berbasis digital dan jam kerja fleksibel, sementara generasi baby boomers cenderung lebih menyukai bekerja dengan kehadiran fisik. Hasil riset ini layak disandingkan dengan hasil survei mengenai Flexible Working Arrangement (FWA) yang dilaksanakan Kemenkeu beberapa waktu lalu.


Leadership menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan kolaborasi digital. Dalam era transformasi digital, para pemimpin dituntut untuk memiliki digital leadership yang memiliki tantangan lebih berat dibanding kepemimpinan tradisional. Dalam mengelola faktor kunci keberhasilan kolaborasi digital, faktor leadership memiliki interaksi positif dengan faktor kunci lainnya. Hal ini mengingat para pemimpin virtual bertanggung jawab untuk membangun trust di antara anggota tim, mengatasi tantangan terkait cultural diversity, menumbuhkan psychological safety, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya yang tepat, serta mengembangkan pola komunikasi maupun proses berbagi pengetahuan di antara anggota tim. Menurut Promsi (2019), seorang pemimpin di era digital perlu memiliki visi yang jelas, digital literacy yang baik, berfokus pada pengguna layanan, memiliki agility, mendorong kolaborasi, mengoptimalkan peluang, dan mengantisipasi risiko. Tone at the top dan lead by example para pemimpin dalam menggunakan dan mempromosikan sarana digital juga sangat diperlukan (Hansellek, 2019).


Hasil riset menunjukkan bahwa kolaborasi digital sangat ditentukan oleh sejumlah faktor. Oleh karena itu, organisasi perlu concern terhadap faktor-faktor yang krusial dan berpengaruh terhadap keberhasilan pola kerja berbasis kolaborasi digital melalui rangkaian proses manajemen perubahan yang sistematis. Dari delapan tema penting yang menjadi tantangan dan faktor kunci keberhasilan kolaborasi digital menurut Swart, Bond-Barnard, dan Chuck (2022), organisasi dapat mengidentifikasi tema-tema yang paling relevan dan berfokus pada upaya improvement berkelanjutan atas tema-tema tersebut.

Daftar Pustaka:

Agostino, Deborah, Arnaboldi, Michela, & Lema, Melisa Diaz. 2020. New development: COVID-19 as an accelerator of digital transformation in public service delivery. Public Money & Management Volume 41, 2021 - Issue 1. https://doi.org/10.1080/09540962.2020.1764206.

Farshad, Sabah & Fortin, Clement. 2022. A novel method for measuring, visualizing, and monitoring e-collaboration. Internasional Journal or e-Collaboration. DOI: 10.4018/IJeC.317223.

Hansellek, Simon. 2020. Digital leadership: A framework for successful leadership in the digital age. Journal of Media Management and Entrepreneurship Volume 2 Issue 1.

Myers, Karen K. & Sadaghiani, Kamyab. 2010. Millenials in the Workplace: A communication perspective on millenialsorganizational relationship and performance. Journal of Business and Psychology 25, 225-238.

Promsri, Chaiyaset. 2019. Developing model of digital transformation fos succesfull digital transformation. Business Management Gph Internasional Journal.

Raisiene, Agota Giedre. 2019. Working form homewho is happy? A survei of Lithuania’s Employees during the COVID-19 quarantine periode.

Setiyani, Aris, et al. 2019. The effect of working environment on flexible working hours, employee engagement and employee motivation. International Review of Management and Marketing.

Swart, Kurt; Bond-Barnard, Taryn; and Chugh, Ritesh. 2022. Challenges and critical success factors of digital communication, collaboration and knowledge sharing in project management virtual teams: a review. International Journal of Information Systems and Project Management: Vol. 10: No. 4, Article 5. https://aisel.aisnet.org/ijispm/vol10/iss4/5.

Waizenegger, Lisa, et al. 2020. An affordance perspective of team collaboration and enforced working from home during COVID-19. European Journal of Information Systems Volume 29, 2020 - Issue 4: Special Section: Information Systems and Innovation in the Public Sector. https://doi.org/10.1080/0960085X.2020.1800417. Ditulis oleh Tim Seksi Manajemen Transformasi, Subdit TBAD, Direktorat TSI

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini