Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Ingin Tahu Bagaimana Menyikapi Gratifikasi? Simak Yuk
Sri Supangati
Kamis, 01 September 2022 pukul 13:09:04   |   1612 kali

Salah satu tolok ukur predikat WBK/WBBM pada sebuah instansi pemerintah adalah telah terbebasnya semua lini dalam instansi tersebut dari korupsi dan gratifikasi. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak dapat ditawar lagi.

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada Pegawai atau Penyelenggara Negara.

Istilah gratifikasi sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Pasalnya, gratifikasi sering dilakukan agar seseorang mudah untuk mencapai tujuannya. Namun, perlu diketahui tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum.

Gratifikasi sebenarnya telah menjadi budaya turun temurun bangsa kita. Seperti acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan lain sebagainya. Pada acara tersebut dilakukan praktik pemberian hadiah sebagai bentuk ekspresi persahabatan, solidaritas, dan kekeluargaan. Namun, pada perkembangannya, gratifikasi telah dibelokkan menjadi sebuah cara untuk memperlancar sebuah urusan. Gratifikasi sering kali ditunggangi oleh kepentingan terselubung.

Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai “tanam budi” atau upaya menarik perhatian pejabat. Tanam budi ini kemudian menciptakan benturan kepentingan antara pejabat yang diberi gratifikasi dan pelaku pemberi gratifikasi. Benturan kepentingan yang terjadi menyebabkan perumusan kebijakan menjadi tidak objektif, berpihak, dan sering kali diskriminatif. Hal lain yang dapat terjadi adalah pengangkatan pegawai berdasarkan balas jasa, pemilihan partner atau rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak professional, dan lain sebagainya.

Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap terselubung”. Pegawai atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi. Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong sikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak professional, sehingga tidak dapat melaksankan tugasnya dengan baik.

PMK Nomor 227/PMK.09/2021 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Kementerian Keuangan membagi gratifikasi menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Gratifikasi yang wajib dilaporkan meliputi gratifikasi yang diterima atau ditolak oleh Pegawai atau Penyelelnggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan.

Contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima biasanya berhubungan dengan: 1). Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah; 2). Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah; 3). Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah; 4). Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari instansi; 5). Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai.

Gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan meliputi:

a. Pemberian dalam keluarga yaitu kakek nenek, bapak ibu/mertua, suami/ istri, anak/ menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan;

b. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;

c. Manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan, yang berlaku umum;

d. Perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;

e. Hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki Benturan Kepentingan dan berlaku umum;

f. Hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;

g. Penghargaan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

h. Hadiah langsung/ undian, diskon / rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;

i. Kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;

j. Kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Benturan Kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;

k. Karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/ agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;

l. Pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/ agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap pemberi;

m. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima Gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/ atau menantu penerima Gratifikasi sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;

n. Pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan;

o. Pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan paling banyak senilai Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan;

p. Pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan

q. Pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu Pegawai atau Penyelenggara Negara.

Sebagai upaya pelaksananaan pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementerian Keuangan dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). UPG terdiri dari UPG koordianator yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan UPG Unit Kerja yang salah satunya terbentuk di tingkat eselon III sebagai UPG Tingkat III.

Baru-baru ini KPKNL Tegal menerima gratifikasi berupa makanan (1 paket telor asin) dari salah satu Satuan Kerja di wilayah KPKNL Tegal. Sesuai peraturan maka obyek gratifikasi dilaporkan ke UPG. Selanjutnya UPG menyerahkan obyek gratifikasi tersebut ke Panti Pelayanan Sosial Anak Suko Mulyo Tegal. Hal ini sejalan dengan Pasal 9 huruf b PMK Nomor 227/PMK.09/2021 yang menyebutkan bahwa “untuk objek Gratifikasi berupa makanan dan/ atau minuman yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak memungkinkan untuk dikembalikan kepada pihak pemberi Gratifikasi, dapat disalurkan sebagai bantuan sosial kepada pihak yang membutuhkan oleh penerima Gratifikasi atau UPG Unit Kerja;

Pada dasarnya gratifikasi harus ditolak, namun jika terpaksa harus diterima maka harus dilaporkan ke UPG dan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Gratifikasi merupakan akar dari korupsi karena gratifikasi dapat menjerumuskan kita ke dalam tindakan-tindakan korupsi lainnya. Oleh sebab itu, mari senantiasa menanamkan sikap anti korupsi dan menjaga integritas guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berkualitas. (Dari berbagai sumber)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini