Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Meneladani Nilai-Nilai Kearifan Lokal Suku Dayak dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender
Bhika Arnanda Chary Widjaya
Kamis, 25 Agustus 2022 pukul 10:20:52   |   24835 kali

Kearifan Lokal Sebagai Treasure Dunia

“Ujang, Neng, tanamlah pohon Damar ini di pinggir bukit itu, agar kemiringan bukit itu kokoh”.

“Tole, bila engkau pergi mengambil ikan, atau engkau menjadi nelayan, ambil lah kira-kira yang ikannya sudah besar, jangan engkau ambil anak-anaknya yang masih kecil-kecil”.

“Uda/ uni, bila engkau menanam padi pasti jadi padi, bila engkau menanam cabe pasti jadi cabe. Jadi tanamlah hal-hal yang bermanfaat, karena suatu hari nanti akan bermanfaat untuk kalian”.

“di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.

“dunrung ruah rare, petan sangkuh benet. pedang bermata dua, sumpitan bermata tombak".

Ungkapan sebagai ucapan bangga terhadap seseorang yang telah bekerja keras dan layak mendapatkan kesuksesan.

Sepenggal peribahasa di atas terkesan seperti nasehat orang tua kepada anak-anaknya. Namun bila ditelisik lebih dalam, pernyataan tersebut lebih bermakna kearifan lokal dimana para orang tua melihat dengan pengalamannya melakukan hal-hal yang sudah diamanatkan para leluhur-leluhur sebelumnya.

Adalah kearifan lokal, sebagai sebuah kekayaan atau khazanah atau treasure yang sering kita jumpai di kehidupan budaya Bangsa Indonesia. Lalu, apakah kearifan lokal ini berdiri sendiri? Tentunya, kearifan lokal, hadir dalam sebuah budaya atau kehidupan yang memberikan pesan moral agar anak cucu menjaga alam serta budaya, adat dan tingkah polah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya tidak lain agar generasi sesudahnya, menjadi generasi yang selalu harmoni dan atau selaras dengan alam semesta.

Kearifan Lokal tidak saja diakui oleh dunia, bahkan dalam status hukum Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 30, menerangkan kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, kemudian dilanjutkan poin berikutnya yaitu masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menetukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Dalam kajian ilmu antropologi, local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuannya sendiri (Ayatrohaedi, 1986).

Salah satu cara untuk melindungi kearifan lokal adalah dengan cara melakukan konservasi. Indonesia memiliki berbagai suku dengan kearifan lokal penduduknya masing-masing mempunyai cara tersendiri untuk melindungi alamnya. Kawasan konservasi dilindungi oleh hukum yang disebut pula sebagai kawasan lindung. Pengelolaan atas sumber daya alam selama ini berada dibawah kewenangan pemerintah pusat sebagaimana disebutkan dalam UUD 45 Pasal 33 Ayat (3). Dalam konteks legal makro, bahwa tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikelola oleh negara dan ditujukan untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia adalah negara yang kaya, negara yang mempunyai ribuan pulau dan suku yang beranekaragam. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki acuan norma-norma yang bersumber dari kebudayaan masing-masing, yang dikenal dengan kearifan budaya lokal (local genius) atau sering disebut kebijakan lokal (local wisdom).

Orang Jawa memiliki falsafah “guyup rukun, rukun agawe santosa crah agawe bubrah”. Juga seperti masyarakat Bali memiliki norma sosial “menyama braya”; suku Sasak memiliki konsep “Patuh Patuh Patju”; suku Dayak memiliki konsep “rumah betang”; suku Timor memiliki tradisi “okomama” dan sebagainya (Sulaiman, 2015).

Kearifan lokal mengacu pada pengetahuan yang berasal dari pengalaman masyarakat dan akumulasi pengetahuan lokal. Kearifan lokal ditemukan di masyarakat, dan individu. Kearifan lokal sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman orang-orang yang diturunkan dari generasi ke generasi, terkadang oleh mereka yang dianggap sebagai “filsuf desa”. Pengetahuan ini digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan sehari-hari masyarakat dalam hubungannya dengan keluarga mereka, tetangga mereka, dan orang lain di desa dan sekitarnya.

Kearifan lokal biasanya berlaku dalam bentuk gagasan, nilai, dan pandangan lokal yang dicirikan untuk dianjurkan, bijaksana, dan berharga. Oleh karena itu, mereka diperhitungkan membantu orang mengelola sumber daya alam di sekitar tempat mereka. Pengetahuan lokal yang banyak diterapkan oleh masyarakat setempat agar bisa bertahan di daerah tertentu telah terintegrasi dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya, dan hal tersebut diekspresikan melalui praktik budaya dan mitos lokal.

Penulis, dalam hal ini mengamati, bahwa fenomena kearifan lokal cenderung terpinggirkan. Padahal bila kita kaji lebih mendalam, banyak ilmu dan manfaat yang dapat diteladani oleh kita sekarang. Oleh karena itu, Penulis mencoba akan mengkaji bagaimana kearifan lokal dari Peran Perempuan di Suku Dayak, dan bagaimana pula implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) yang dapat kita teladani sebagai nilai-nilai kearifan lokal.

Dunia, dalam hal ini traktat human ecology, secara teori dan aplikasi mengakui local wisdom (kearifan Lokal) sebagai bagian entitas dalam penyelamatan alam, adat istiadat dan budaya.

Terlahir Untuk Berbagi Peran

Konsep kesetaraan gender sudah sejak awal menyatu dalam kehidupan suku Dayak. Hal ini terlihat dimana konsepsi kesetaraan gender merupakan tantangan bagi setiap perempuan untuk membuktikan diri bahwa para perempuan dari suku Dayak bukan insan lemah. Salah satu konsep kesetaraan gender dalam tradisi perempuan Dayak adalah, dirinya harus mampu berperan sebagai Balian.

Dalam tradisi Dayak, seorang Balian adalah seorang perempuan yang memiliki tugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan makhluk lainnya yang keberadaannya tidak terlihat mata jasmani manusia.

Dalam bahasa lain, seorang perempuan yang mampu menyampaikan dan atau menafsirkan pesan “metabahasa” dari fenomena alam yang diterima sebagai sebuah informasi bagi kepentingan tradisi Dayak.

Perempuan Dayak sejak balita telah diarahkan memiliki sikap kewaspadaan tingkat tinggi, baik dalam perilaku, ucap kata maupun janji. Dalam tradisi Dayak, kewaspadaan tehadap ucapan sangat penting, karena frekuensi kata yang terucap akan te-receive ke alam dan alam akan men-feedback ke personal dirinya. Artinya, setiap kata mengandung resiko dan konsekuensi, misalnya waspada mencemooh, atau menertawakan bahkan mengomentari peristiwa fenomena alam, maka alam sendiri yang akan membalas melalui mekanisme naturalnya.

Dalam konsep kepercayaan suku Dayak, manusia dan makhluk lainnya telah ditentukan dan ditugaskan dalam kedudukan masing-masing untuk memenuhi fungsinya dalam rangka memelihara tata tertib alam agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Serasi dan seimbang di kalangan suku Dayak disebut Hadat.

Manusia dikatakan baik apabila mampu menjalankan seluruh “Hukum Hadat” dan mentaati Hukum Pali. Apabila mereka melakukan kesalahan maka harus menerima sangsi berupa Singer yang cukup berat. Singeradalah denda atau hukuman, atau diusir dari daerah jika tidak mentaati Singer. Denda dapat ditujukan untuk melindungi perempuan.

Baik laki-laki maupun perempuan Dayak memiliki jiwa ksatria pemberani dan pantang menyerah, hal tersebut terungkap dalam semboyan hidup mereka Isen Mulang artinya pantang menyerah. Sikap demikian sejak masa lalu mau tidak mau harus mereka memiliki karena tuntutan hidup di alam. Hidup di rimba belantara dihuni binatang buas, sungai yang luas dengan arus deras dan riam-riam ganas membuat mereka harus waspada demi keselamatan hidup.

Nilai-nilai Teladan Perempuan Dayak Untuk Implementasi Dalam Pekerjaan

Perlindungan hukum adat di atas, setidaknya memperlihatkan sosok peran perempuan memiliki harkat dan derajat yang setara dengan laki-laki dalam hal peran untuk saling menghormati dan menghargai dalam kehidupan masing-masing. Fenomena di atas, adalah suatu teladan yang bisa diterapkan dalam kehidupan di pekerjaan sehari-hari.

Peran laki-laki dan perempuan dalam menjaga hutan dan alam sangat kuat, kalau tidak dikatakan harmoni.

Dalam ruang pekerjaan seperti kita sekarang, keberanian dan ketangguhan sosok Balian menjadi hal yang patut diimplementasikan dengan berbagi peran. Perempuan Dayak tetap bekerja secara kolaboratif bersama-sama lainnya, terutama menjaga alam, hutan dan adat istiadatnya.

Hutan sebagai ruang hidup mereka, benar-benar dijaga, karena dari hutan lah semua dapat menjalankan fungsi dan tugas kehidupannya. Alam menjadi baik, harmoni, iklim dan cuaca bagus, bentang alam yang hijau adalah gambaran para perempuan mendukung perannya bersama laki-laki dalam melestarikan alam.

Dalam pekerjaan, bila “hutan raya” sebuah analogi presisi dengan institusi (kantor:red) kita, maka berbagi peran setidaknya membuat suasana “hutan raya” menjadi lebih harmoni, penuh aktifitas sesuai dengan porsinya.

Peribahasa “di mana langit dipijak di situ langit dijunjung”, adalah pribahasa Indonesia yang mengharuskan para pendatang menghargai dan menghormati budaya dan adat istiadat setempat.

Sikap ini bisa disebut sebagai “survival adaptation”, karena saat kita datang, maka kita berada dalam “ruang kehidupan” tempat tersebut. Akses udara, oksigen, cahaya matahari, air, tanah, hingga makanan, minuman, “menyatu” dalam diri, sehingga seharusnya terjadi proses asimilasi budaya dan pemikiran, bahkan bila perlu melakukan sebuah “simbiosis mutualisme”, dimana terjadi saling menebar manfaat dan kebaikan di tempat yang kita pijak.

Keberadaan kita, di sini saat ini, adalah pada sisi yang lain sebuah skema sang maha semesta mendudukan “tugas” agar kita mengambil “pelajaran” dan menyelesaikan “ujian” hidup dan pekerjaan dengan “tulus” agar menjadi “lulus”. Tentunya, semua mesti dijalani dengan seksama, sabar, kolaboratif, dan bekerja secara “team work” untuk kebermanfaatan tidak saja bagi para pendatang, tetapi untuk masyarakat dan kearifan lokal.

Setidaknya, secara kontemplatif kita bisa hening sejenak untuk belajar dengan alam dan budaya setempat.

Teladan dan contoh dari suasana kehidupan “Hutan Raya”, setidaknya menggambarkan suasana kognisi yang memberikan teladan dalam hal harmonisasi, sinkronisasi, team work, bekerja pada level job deskmasing-masing. Tentu saja, bila sedikit saja koneksi pada alam, jelas terlihat suasana keteladanan “Hutan Raya” lebih beradab dan berakhlak fokus pada job desk nya, sehingga mampu mensupport kokohnya alam menjadi kaya air, kaya unsur hara, dan kaya akan oksigen.

Atau sesuai dengan tugas kita dimana capaian-capaian program kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku, karena bila konsep khalifah fil ardh benar-benar dipahami secara aplikatif, maka kelestarian dan harmoni “hutan raya” yang jadi analogi di atas, dapat dijalankan dengan berbagi peran secara harmoni dan sinkron.

Team work seperti alam dan pepohonan, sesuai dengan cuaca dan air yang diterima dari alam, juga fokus bekerja sesuai peran masing-masing. Pohon, rumput, ilalang, air, cuaca, tanah, unsur hara, bahkan manusianya yang berada sebagai “avatar” di ruang “Hutan Raya” bekerja terus dalam simbiosis yang saling menguntungkan dan tebar manfaat.

Oleh karena itu, mari kita jaga alam hidup kita dengan harmoni. Setidaknya peribahasa “di mana langit dipijak di situ langit dijunjung” jadi modal dasar agar suasana kehidupan di “Hutan Raya” ini mampu survivedan struggle dalam menghadapi segala tantangannya.


Penulis adalah Kepala Bidang Lelang Kantor Wilayah DJKN Kalimantan Timur dan Utara, Rusmawati Damarsari

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini