Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Lelang Eksekusi PUPN dengan Pembayaran secara Non Tunai
Margono Dwi Susilo
Jum'at, 08 Juli 2022 pukul 14:04:10   |   1955 kali

Lelang Eksekusi PUPN dengan Pembayaran secara Non Tunai

Oleh: Margono Dwi Susilo

1. PENDAHULUAN

Pengelolaan keuangan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan bernegara, dapat menimbulkan hak pemerintah pusat/pemerintah daerah, yang di dalamnya termasuk Piutang Negara/Daerah yang saat ini diurus oleh Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berdasarkan Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.

Berdasarkan UU ini, PUPN mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan eksekutorial berupa penyitaan agunan, pengajuan pelelangan, bahkan Paksa Badan/penyanderaan. Yang menjadi masalah adalah pelelangan agunan tidak serta merta membuahkan hasil. Alih-alih terjual, kebanyakan lelang PUPN justru tidak ada peminat bahkan timbul gugatan.

Dalam kondisi ini penyelesaian Piutang Negara semakin sulit. Tidak heran jika piutang yang diurus PUPN telah berusia lebih dari sepuluh tahun, termasuk piutang yang berasal dari eks BLBI yang semakin masuk ke ranah politik. Yang membuat kondisi lebih runyam manakala PUPN tidak mempunyai kewenangan untuk mendayagunakan jaminan yang tidak terjual tersebut, akhirnya mangkrak bahkan dikuasai pihak ketiga. Dalam posisi ini diperlukan langkah terobosan untuk mempercepat penyelesaian Piutang Negara oleh PUPN.

2. OPSI TEROBOSAN YANG SENANTIASA MENIMBULKAN PERDEBATAN

Opsi ini sederhana yaitu dengan menetapkan agunan/harta kekayaan lain dari debitor yang diurus PUPN tersebut menjadi Barang Milik Negara (BMN). Prosesnya adalah:

a. Terhadap barang jaminan/harta kekayaan lain tersebut dilakukan penjualan secara lelang, jika tidak terjual, pada tahap selanjutnya diusulkan untuk ditetapkan menjadi Barang Milik Negara oleh Penyerah Piutang. Penetapan menjadi BMN bisa melalui Keputusan Presiden atau instrument lain;

b. Sebelum penetapan menjadi BMN, terlebih dahulu dilakukan penilaian barang jaminan/harta kekayaan lain dimaksud untuk mendapatkan nilai likuidasi.

c. Jumlah hutang dari Debitur/penanggung hutang dikurangi dengan nilai likuidasi barang jaminan/harta kekayaan lain tersebut.

Opsi ini sangat menarik dan akan berkontribusi besar dalam penyelesaian Piutang Negara oleh PUPN, terutama asset eks BLBI. Namun, ada beberapa kendala regulasi yang perlu dicermati. Kendala ini menyangkut adanya larangan untuk memperjanjikan agunan milik debitor akan serta merta menjadi milik kreditor manakala terjadi piutang macet. Beberapa regulasi antara lain:

a. Pasal 1178 ayat (1) KUHPerdata: “Segala perjanjian yang menentukan bahwa kreditur diberi kuasa untuk menjadikan barang-barang yang dihipotekkan itu sebagai miliknya adalah batal;

b. Pasal 1154 KUHPerdata: Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal;

c. Pasal 12 UU 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan: “Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.

d. Pasal 33 UU 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia: “Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia untuk memiliki Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.

Kesimpulannya: menjajikan untuk dimiliki saja tidak boleh, bahkan batal demi hukum, apalagi menetapkan sebagai milik kreditor (baca: menjadi BMN).

Pertanyaannya, apakah tidak ada solusi lain? Sebenarnya ada, yaitu harus ada regulasi setingkat Undang-Undang yang mengatur perampasan agunan tersebut untuk menjadi milik negara. Namun tentu tidak mudah. Terus bagaimana solusinya? Mari kita lihat.

3. OPSI TEROBOSAN YANG KEMUNGKINAN MULUS

Opsi ini terinpirasi dari Pasal 12A UU 7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU 10/1998. Bunyinya sebagai berikut: “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.”

Kalau bank sebagai kreditor bisa membeli sendiri agunannya melalui lelang atau di luar lelang, maka tentu pemerintah sebagai kreditor juga bisa. Yang menjadi pertanyaan adalah bahwa regulasi untuk itu belumlah ada.

Dalam pembahasan penyusunan RPP tentang Pengurusan Piutang Negara oleh PUPN, hal ini menjadi hal yang serius didiskusikan. Salah satu argument yang dibangun yaitu untuk menghindari mangkraknya agunan. Disini pemerintah sebagai badan hukum publik tentu mempunyai hak yang sama dengan bank dalam menyelesaikan kredit macetnya, termasuk opsi untuk membeli sendiri agunannya.

Perdebatan terjadi pada kewenangan perbankan tersebut yang sifatnya sementara, karena dalam waktu 1 (satu) tahun harus menunjuk pembeli yang definitif. Tentu tidak efektif manakala pemerintah membeli dengan klausul harus mencari pembeli definitif. Bukankah mencari pembeli sangat sulit.

Dalam UU Perbankan sendiri ketentuan untuk menunjuk pembeli definitif dalam waktu 1 (satu) tahun tidak diatur dalam pasal batang tubuh, tetapi dalam penjelasan. Hal ini mengundang serangkaian tafsir bahwa norma yang sejati adalah kebolehan kreditor untuk membeli agunannya sendiri. Sedangkan ketentuan mencari pembeli definitif hanyalah merupakan solusi alternatif mana kala bank memang ingin mendapatkan dana tunai.

Dalam UU perbankan juga tidak diatur ancaman kebatalan jika setelah lewat waktu satu tahun bank gagal menunjuk pembeli definitif. Bahkan sudah lazim, bank sendiri yang akan balik nama sertifikat menjadi atas nama bank. Ketentuan ini juga dianut dalam PMK 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Perhatikan Pasal 79 PMK dimaksud:

1) Lembaga jasa keuangan sebagai kreditor dapat membeli agunannya dalam pelaksanaan lelang sepanjang diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan.

2) Dalam hal lembaga jasa keuangan akan membeli agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lembaga jasa keuangan harus menyampaikan kepada Pejabat Lelang surat pernyataan dalam bentuk akte notaris yang berisikan pernyataan pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang.

3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui, lembaga jasa keuangan ditetapkan sebagai Pembeli.

Apakah dalam lelang eksekusi PUPN dengan pemerintah sendiri yang menjadi pembeli juga harus terlebih dahulu menunggu satu tahun untuk bisa menjadi BMN? Menurut hemat penulis tidak perlu. Namun tentang hal ini harus tegas dinyatakan dalam regulasi di bidang Piutang Negara.

Namun, tetap ada satu penghalang, yaitu pemerintah tidak ada uang untuk membeli melalui lelang. Bagaimana ini?

4. BAGAIMANA WUJUD NYATA OPSI TEROBOSAN YANG KEMUNGKINAN MULUS TADI?

Solusinya dengan menciptakan lelang eksekusi PUPN dengan pembayaran secara non tunai. Ingat, lelangnya merupakan lelang biasa, yaitu terbuka untuk umum dan bersaing. Namun saat pemerintah menjadi pemenang/pembeli, maka tidak perlu membayar secara tunai. Terus gimana bayarnya? Ya, pakai koreksi akuntansi. Artinya utang debitor yang ada dalam neraca Pemerintah harus dikoreksi sesuai pokok lelang dikurangi biaya, dari sisi asset tetap pemerintah mendapatkan tambahan BMN berdasarkan kutipan risalah lelang. Jadi seimbang secara akuntansi. Dan yang paling penting proses menjadi BMN tidak melanggar undang-undang sebagaimana diatas.

Menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) hal yang harus diselesaikan yaitu, pertama tata cara pembayaran lelang secara koreksi akuntansi; kedua perluasan jaminan penawaran lelang; dan ketiga solusi menyeluruh terhadap bea lelang dan kewajiban perpajakan. Bagaimana ini? Penulis mengusulkan ada amandemen terhadap PMK 213 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang atau menyusun PMK khusus yang mengakomodir hal ini. Beberapa norma yang bisa diatur:

1. memperluas pembayaran lelang secara tunai maupun non tunai. Cara non tunai hanya berlaku jika pembeli adalah Pemerintah;

2. memperluas bentuk-bentuk jaminan penawaran lelang, tidak hanya uang tunai dan garansi bank, tetapi ditambakan surat kesanggupan dari pemerintah untuk menyelesaikan pembayaran lelang dengan perlakukan akuntansi;

3. memberi perlakuan khusus terhadap kewajiban pembayaran bea lelang pembeli, bea lelang penjual, BPHTB dan PPH. Kabar baiknya BPHTB memang tidak perlu bayar jika yang memperoleh hak adalah pemerintah. Sedangkan PPH dan Bea Lelang penjual dalam konteks lelang PUPN merupakan kewajiban dari debitor sehingga memang tidak bisa dihapus. Dalam kasus ini PPH dan bea lelang penjual tetaplah ditagihkan kepada debitor sesuai peraturan, jika tidak dibayar maka akan ditagih sesuai UU PUPN atau UU Pajak. Sedangkan bea lelang pembeli bisa diproses tarif 0 persen dengan peraturan Menteri.

5. KESIMPULAN

Usulan untuk menjadikan agunan/harta kekayaan debitor sebagai BMN merupakan usulan yang menarik dan dapat menyelesaikan masalah Piutang Negara termasuk yang berasal dari eks BLBI. Namun jalan yang ditempuh menggunakan cara non tunai, agar selamat secara hukum.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini