Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
   150 991      Login Pegawai
Artikel DJKN
Peran Hakim terkait Dengan Mala In Se versus Mala Prohibita, Dalam Hukum Pidana

Peran Hakim terkait Dengan Mala In Se versus Mala Prohibita, Dalam Hukum Pidana

RAHMAT IBNU WIBOWO
Kamis, 30 Juni 2022 pukul 22:54:23 |   14974 kali

Mala prohibita atau malum prohibitum, adalah istilah bahasa latin yang mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang, akan tetapi belum tentu ada yang dirugikan dengan adanya perbuatan tersebut.

Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga isitilah mala in se, yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-undang, akan tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab, sehingga walaupun masyarakat tersebut tidak pernah membaca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, namun semua orang tahu perbuatan demikian adalah patut dan wajib diberi sanksi hukum secara tegas dan keras, karena meskipun di dalam dunia hukum, terdapat asas fiksi berbunyi semua orang dianggap tahu hukum, namun secara rasional asas hukum demikian adalah absurd adanya, sehingga dapat disimpulkan landasan dari mala in se adalah norma yang hidup di dalam masyarakat.

Terdapat pandangan mengenai penerapan kedua istilah tersebut. Jeremy Bentham menyatakan bahwa suatu tindakan yang tergolong mala in se, tidak dapat berubah (immutable), artinya dalam ruang manapun dan waktu tertentu kapanpun, tindakan tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh Undang-Undang. Sedangkan suatu tindakan yang tergolong mala prohibita, dapat berubah (not immutable), artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh Undang-Undang.

Menurut Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State, kedua pembedaan tersebut hanya terdapat pada teori tradisional hukum pidana. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu perbuatan mungkin merupakan suatu delik di suatu komunitas masyarakat, namun tidak demikian dalam komunitas masyarakat yang lain karena perbedaan nilai moral yang dianut oleh masing-masing komunitas. Dan oleh karena suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu delik hanya ketika telah dilekati oleh sanksi hukum oleh Undang-Undang, maka semua delik adalah mala prohibita. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat menurut hati nurani seseorang (mala in se) tetaplah bukan merupakan delik, jika atasnya tidak dilekati sanksi (hukuman/pidana). Karena terdapat kaidah hukum yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

Namun yang menjadi masalah yang belum terpecahkan oleh doktrinal hukum saat ini yaitu pertanyaan besar : apakah dapat dibenarkan terbentuknya mala prohibita yang secara hakekat perbuatan tersebut bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai mala in se.

Membunuh, merampok, atau korupsi misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam undang-undang, perbuatan tersebut juga dianggap bertentangan dengan norma di masyarakat yang berlaku secara umum, di sisi yang lain, dampak dari perbuatan tersebut juga nyata menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Tapi kalau kita menerobos lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Apalagi jika dikaitkan dengan apabila tindakan melanggar tersebut dalam rangka melindungi diri, karena di daerah tersebut memang lokasi rawan terjadi kejahatan. Kondisi lain misalnya pada saat terjadinya pandemi Covid-19, seseorang yang melaksanakan kegiatan dengan melibatkan sejumlah massa, seperti hajatan, pengajian, acara hiburan seperti konser, sejatinya kegiatan-kegiatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, namun dalam kondisi darurat Covid-19 seperti beberapa waktu yang lalu, maka pelaku kegiatan-kegiatan tersebut di beberapa kesempatan, dianggap seperti melakukan pelanggaran/kejahatan. Ada yang dijatuhi hukuman denda, bahkan ada juga yang sampai dengan masuk penjara.

Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tetapi idealnya, tidak semua perbuatan tersebut harus dilabeli sebagai perbuatan kriminal, terutama apabila mala prohibita yang terjadi tidak disertai dengan mala in se, atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian atau penderitaan bagi pihak lain.

Hal ini juga sejalan dengan konsep atau ide Restorative Justice yang menghendaki penyelesaian masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak melulu membawa kasus ke pengadilan kecuali mengandung mala in se. Ini juga selaras dengan asas Ultimum Remedium yang memiliki pengertian bahwa hukum pidana hendaknya dijadikan sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Posisi hakim dalam konteks ini memiliki peran yang sangat vital yaitu bahwa dalam mengadili sebuah perkara, hakim terlebih dahulu harus mengkonstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir dari fakta hukum secara keseluruhan. Mengkonstatir artinya menilai apakah peristiwa yang diajukan memang benar perkara hukum, bila benar, maka apakah benar perkara tersebut benar terjadi.

Dikualifisir artinya dinilai, persitiwa tersebut termasuk hubungan hukum apa atau peristiwa hukum yang mana, dengan rumusan lain, menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan hukumnya kepada yang berperkara, yaitu memberi keadilan. Di tahap ini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan) hukum dan premis minor (peristiwa), inilah yang disebut hakim mengkonstituir (memberi konstitusinya).

Namun terdapat sisi lain yang perlu dilihat sehubungan dengan hakim mengkonstutuir sebuah perkara, yaitu bahwa secara metodologis serta ajaran filsafat ilmu, kebenaran hukum adalah kebenaran koherensi, artinya kebenaran yang bisa ditelusuri secara logika, bahwa hukum adalah logis dan bernalar. Artinya bahwa hukm bukanlah kebenaran mutlak, sebagaimana dianut dalam dunia keilmuan pengetahuan eksakta. Berdasarkan paradigma tersebut, maka dalam memahami dan memaknai sebuah konstruksi hukum perlu melihat konteks perspektif dan spiritnya, mengapa sebuah aturan dibentuk (apakah berkarakter mala inse atau malah prohibita) dan yang tak boleh dilupakan adalah karakter sebuah peraturan khususnya terkait pidana adalah umum dan abstrak, tidak konkret dan individual, artinya penerapannya tidak bisa dipukul rata, akan tetapi menjadi tanggung jawab hakim untuk menilai.

Dengan demikian ungkapan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia, sedikit banyak dapat tercermin dalam kondisi ini bahwa hakim dituntut untuk secermat dan sebijak mungkin dalam menilai suatu perkara salah satunya terkait dengan terjadinya mala prohibita yang tidak disertai dengan mala in se, karena terdapat pula adagium yang menjadi pegangan hakim yaitu “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

 

Referensi :

Bentham, Jeremy, “Of the Influence of Time and Place in Matters of Legislation”

Kelsen, Hans, “General Theory of Law”, Lawbook Exchange Publisher, April 1999

https://www.hukum-hukum.com/2016/12/mala-in-se-versus-mala-prohibita.html

https://nasional.sindonews.com/berita/961369/18/mala-prohibita-abraham-samad/10

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Floating Icon