Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
PERAN ASET NEGARA DALAM MENDUKUNG DEKARBONISASI (MENGURANGI SUMBER DAN EMISI GAS RUMAH KACA)
Jose Arif Lukito
Rabu, 08 Juni 2022 pukul 17:47:06   |   1722 kali

PERAN ASET NEGARA DALAM MENDUKUNG DEKARBONISASI (MENGURANGI SUMBER DAN EMISI GAS RUMAH KACA)

Jose A. Lukito (jose@kemenkeu.go.id)


Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara - DJKN


Tindakan untuk mengurangi risiko dampak perubahan iklim secara luas terbagi dalam dua pilar yaitu MITIGASI dan ADAPTASI (IPCC, 2007, 2014). Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Inter-governmental Panel on Climate Change atau IPCC (2007), MITIGASI bertujuan untuk mengurangi efek manusia pada sistem iklim dengan strategi untuk mengurangi sumber dan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dan untuk mempercepat penurunan GRK. Sementara itu ADAPTASI mengacu pada penyesuaian dalam merespons perubahan iklim beserta dampak yang ada dan menurunkan risiko. Tulisan singkat ini akan menitikberatkan pada upaya pengenalan MITIGASI perubahan iklim dengan strategi untuk mengurangi sumber dan emisi GRK dari Bangunan/Gedung.

Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap perubahan iklim, sebagaimana dinyatakan oleh McGranahan et al. (2007) bahwa setidaknya terdapat sekitar 41 juta orang penduduknya tinggal di zona pesisir dataran rendah rendah (9 persen dari total luas daratan Indonesia). Ward (2013) menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga kota di dunia termasuk Indonesia akan sering terkena banjir dalam 30 tahun ke depan karena faktor-faktor termasuk perubahan iklim. Orang-orang yang tinggal di sepanjang pantai Indonesia akan berisiko terkena banjir dan intrusi air laut akibat kenaikan permukaan laut yang akan sangat mempengaruhi infrastruktur di wilayah tersebut (Cruz et al., 2007). Case et al. (2007) mencatat bahwa sekitar 60 persen dari semua orang Indonesia tinggal di daerah pesisir dan kota-kota pesisir dataran rendah. Mayoritas aset Pemerintah Pusat yang memberikan pelayanan kepada masyarakat berada di daerah yang dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat terutama kota pesisir (yaitu Jakarta, Surabaya dan Semarang).

Kebutuhan untuk mengembangkan strategi adaptasi manajemen aset untuk mengurangi dampak perubahan iklim perlu diprioritaskan oleh Pemerintah Indonesia dalam kebijakan pembangunan nasional. Organisasi—publik dan swasta—yang beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim lebih cenderung menyediakan infrastruktur dan layanan yang tangguh, sementara mereka yang tidak mengelola risiko iklim mereka akan menghadapi biaya yang lebih tinggi (The Climate Institute, 2012). Sejumlah penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap Indonesia telah dilakukan dalam skala nasional (Bappenas, 2013). Namun, penelitian tentang dampak iklim terhadap aset Pemerintah Pusat Pemerintah Indonesia masih terus berkembang walaupun masih sedikitnya jumlah publikasi atau penelitian di bidang ini.

Perubahan iklim merupakan tantangan yang berkembang bagi Indonesia karena negara ini adalah penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar ketiga di dunia sebagian besar melalui hasil deforestasi, kebakaran hutan, dan perubahan penggunaan lahan (Bappenas, 2013; Kasus et al., 2007; Measey, 2010; World Bank, 2011). Pulau Jawa, Bali dan Sumatera disebutkan dalam The Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) sebagai tiga wilayah yang paling rentan dibandingkan dengan daerah lain karena ukuran populasi, lokasi pemukiman, dan infrastrukturnya (Bappenas, 2013).

Bangunan/Gedung (B/G) berkontribusi sekitar 40 persen dari emisi CO2 global per tahun yang berasal dari Operasional B/G (28 persen) dan Material serta Konstruksi B/G (11 persen). Perlu langkah dekarbonisasi yang diinisiasi Pemerintah melalui B/G Barang Milik Negara (BMN) untuk mendukung tercapainya (1) Paris Agreement (target 1.5°C) dan (2) Target pengurangan emisi GRK di Indonesia (29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional) pada tahun 2030.

Selanjutnya apa peran B/G BMN dalam rangka dekarbonisasi atau bahkan dalam gerakan ‘actions for zero carbon buildings’. Beberapa langkah awal namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut:


1. Optimalisasi dekarbonisasi dari B/G BMN melalui EFISIENSI penggunaan energi dalam operasional B/G dan mulai menggunakan energi listrik alternatif yang bersumber dari energi baru dan terbarukan yang bebas karbon.

2. Perubahan regulasi yang mendorong peran B/G BMN dalam upaya dekarbonisasi yang berdampak pada renovasi B/G, penggantian peralatan dan material, perubahan peruntukan B/G agar lebih optimal.

3. Tantangannya adalah adanya konsekuensi biaya tambahan untuk B/G BMN namun dalam jangka panjang akan tersedia B/G BMN yang lebih ramah lingkungan dan bahkan berpredikat “B/G zero-carbon”.

4. Peningkatan peran BMN dalam efisiensi penggunaan air, penerapan prinsip reduce, mengembangkan reuse dan recycle, serta pengembangan konsep pemanfaatan air limbah yang aman.

Adapun konsep rencana program/kegiatan (jangka menengah & panjang) atau action plans yang dapat didiskusikan lebih lanjut adalah:


Terwujudnya pengembangan dan implementasi program Go-Green secara konsisten dan berkelanjutan.

Terwujudnya penyusunan standardisasi sarpras yang mendukung program Go-Green DJKN.

Terwujudnya penyusunan tata kelola green building di DJKN.

Terwujudnya target terbangunnya dan tersertifikasinya beberapa green building DJKN (piloting).

Terwujudnya target terbangunnya dan tersertifikasinya beberapa green building Kementerian Keuangan dan K/L.

Terwujudnya pengelolaan aset (data-driven asset management) yang efisien dalam penggunaan energi (a.l. penggunaan solar system, automation/smart system).

Terlaksananya penggunaan renewable materials dalam pembangunan gedung pemerintah.

Tulisan ini masih terlalu singkat untuk menjelaskan peran BMN dalam dekarbonisasi, sehingga sangat menarik bagi pendalaman dan kajian lebih jauh terkait hal tersebut.


_____________________

*Tulisan merupakan pendapat pribadi


Referensi

____, Why the built environment? Retrieved from https://architecture2030.org/

Bappenas. (2013). National Action Plan For Climate Change Adaptation: Synthesis Report, edited by Bappenas, Republik Indonesia. Retrieved from https://gc21.giz.de/ibt/var/app/wp342deP/1443/wp-content/uploads/filebase/programme-info/RAN-API_Synthesis_Report_2013.pdf.

Case, M., Ardiansyah, F., & Spector, E. (2007). Climate change in Indonesia: implications for humans and nature.

http://awsassets.panda.org/downloads/inodesian_climate_change_impacts_report_14nov07.pdf

The Climate Institute. (2012). Executive Summary, Coming Ready or Not: Managing climate risks to Australia's infrastructure.

Cruz, R., Harasawa, H., Lal, M., Wu, S., Anokhin, Y., Punsalmaa, B., . . . Ninh, N. H. (2007). Asia. Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change In O. C. ed. ML Parry, JP Palutikof, PJ van der Linden, and CE Hanson (Ed.), (pp. 469-506): Cambridge: Cambridge University Press.

de Wilde, P., & Coley, D. (2012). The implications of a changing climate for buildings. Building and Environment, 55, 1-7.

Guan, L. (2007). Status of current research on the implication of climate change on built environment. Paper presented at the ANZAScA 2007-Architectural Science Association 41st Annual Conference.

Hasegawa, T. (2004). Climate change, adaptation and government policy for the building sector. Building Research & Information, 32(1), 61-64.

IPCC. (2007). The Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Geneva, Switzerland.

IPCC. (2014). Summary for Policymakers, In: Climate Change 2014, Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., R. Pichs-Madruga, Y. Sokona, E. Farahani, S. Kadner, K. Seyboth, A. Adler, I. Baum, S. Brunner, P. Eickemeier, B.Kriemann, J. Savolainen, S. Schlömer, C. von Stechow, T. Zwickel and J.C. Minx (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Jones, K., & Desai, A. (2006). An asset management strategy to accommodate a changing climate. (In: Proceedings of the CIB W70 Trondheim International Symposium: Changing User Demands on Buildings - Needs for lifecycle planning and management. Norwegian University of Science and Technology (NTNU), Trondheim, Norway), 189-197.

Lukito, Jose Arif. Framework for climate change adaptation for incorporation in public asset management: An Indonesian context. Diss. Queensland University of Technology, 2018.

Lukito, Jose Arif, Connie Susilawati, and Ashantha Goonetilleke. "Climate change adaptation in the management of public buildings: an Indonesian context." International Journal of Building Pathology and Adaptation (2018).

McGranahan, G., Balk, D., & Anderson, B. (2007). The rising tide: assessing the risks of climate change and human settlements in low elevation coastal zones. Environment and Urbanization, 19(1), 17-37.

Measey, M. (2010). Indonesia: A Vulnerable Country in the Face of Climate Change. Global Majority E-Journal, 1(1), 31-45.

Queensland Government. (2011). Climate Change: Adaptation for Queensland. Retrieved from http://www.ehp.qld.gov.au/climatechange/pdf/adaptation-issues-paper.pdf.

Sari, A. P., Maulidya, M., Butarbutar, R. N., Sari, R. E., & Rusmantoro, W. (2007). Executive Summary: Indonesia and Climate Change Working Paper on Current Status and Policies.

The Climate Institute. (2012). Executive Summary, Coming Ready or Not: Managing climate risks to Australia's infrastructure. .

Warren, C. M. (2010). The role of public sector asset managers in responding to climate change: Disaster and business continuity planning. Property Management, 28(4), 245-256.

World Bank. (2011). Vulnerability, Risk Reduction, and Adaptation to Climate Change Indonesia.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini