Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Tinjauan Aspek Eko-Geografi, Eko-Geologi dan Eko-Ekonomi Kelahiran Pancasila
Bend Abidin Santosa
Selasa, 31 Mei 2022 pukul 19:52:33   |   1668 kali

Tinjauan Aspek Eko-Geografi, Eko-Geologi dan Eko-Ekonomi Kelahiran Pancasila

Oleh: Rusmawati Damarsari


Terlahir Untuk Merdeka

Merdeka! Merdeka! Merdeka!


Mungkin begitu pekik “heroik” masa-masa kemerdekaan tahun 1945. Ruang imaginer sejarah terngiang seolah-oleh aura kekuatan peran dan usaha para pemimpin bangsa juga rakyat saat itu seakan menggema dan terasa “gaung” semangat kemerdekaannya sekarang. Tidak ayal suara dan pekik merdeka riuh dimana-mana di seantero Indonesia. Rakyat mengharapkan hidup bebas lepas dari belenggu dominasi dan hegemoni penjajahan. Rakyat menginginkan hidup mandiri, di kaki sendiri, untuk mengisi kemerdekaan dan pembangunan bagi kemakmuran Bangsa Indonesia.



Rasa batin cipta saat itu, terasa yang seakan menandakan, betapa beratnya Peran Para Pemimpin dalam menyatukan Bangsa demi menyepakati (konsensus) sebuah kesatuan konsep kebangsaan dan kenegaraan dalam satu visi dan misi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Sejarah menyebutkan, bahwa hari lahir Pancasila jatuh pada tanggal 1 Juni yang ditandai oleh pidato Presiden pertama Indonesia, Soekarno pada 1 Juni 1945. Saat itu, Soekarno berpidato pertama kali dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Pidatonya tersebut mengemukakan konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.



Tidak bisa dipungkiri, kejadian saat itu dari kekalahan Jepang pada perang pasifik, mereka kemudian berusaha mendapatkan hati masyarakat dengan menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk sebuah Lembaga yang tugasnya untuk mempersiapkan hal tersebut. Lembaga ini dinamai Dokuritsu Junbi Cosakai. Pada sidang pertamanya di tanggal 29 Mei 1945 yang diadakan di Gedung Chuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila), para anggota membahas mengenai tema dasar negara.


Anggota, yang kemudian disebut oleh penulis di sini adalah Para Pemimpin Bangsa, melakukan peran dan tugasnya masing-masing dalam merumuskan sebuah konsep untuk menyatukan Negara Indonesia yang beraneka ragam kedalam sebuah “blue print” kehidupan untuk hidup bersama-sama, seirama dalam wadah Negara Kesatuan Repubik Indonesia.


Sidang berjalan sekitar hampir 5 hari, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan ide serta gagasannya terkait dasar negara Indonesia, yang dinamai “Pancasila”. Panca artinya lima, sedangkan sila artinya prinsip atau asas. Pada saat itu Bung Karno menyebutkan lima dasar untuk negara Indonesia, yakni Sila Pertama “Kebangsaan”, Sila Kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”, Sila Ketiga “Demokrasi”, Sila Keempat “Keadilan sosial”, dan Sila Kelima “Ketuhanan yang Maha Esa”.


Untuk menyempurnakan rumusan Pancasila dan membuat Undang-Undang Dasar yang berlandaskan Kelima Asas tersebut, maka Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk sebuah panitia yang disebut sebagai Panitia Sembilan. Berisi Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo.


Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya dapat disahkan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang tersebut, disetujui bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah.


Berbeda Namun Tetap Satu

Dalam pembacaan sejarah Pancasila, penulis tidak lepas dari informasi suatu referensi geografi serta ekologi yang menjadi ciri khas Indonesia yaitu, keanekaragaman. Keanekaragaman ini suatu anugerah dimana kondisi Indonesia begitu kaya dengan budaya, bahasa, kepulauan, serta keanekaragaman flora dan fauna.


Setidaknya ada tiga postulat (dasar pemikiran) yang penulis coba tafsirkan terhadap para ide-ide behind in the scene (kalau tidak untuk dikatakan semesta mendukung) para Pemimpin Bangsa mengemukakan Pancasila dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. Pertama, konsep eko-geografi (Ekologi Geografi) dimana kondisi budaya menyebutkan bahwa Indonesia terlahir dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, serta kepercayaan dan agama yang begitu banyak tumbuh hidup dari Sabang sampai Merauke. Dari atas suku bangsa, juga terlahir berbagai macam kerajaan-kerajaan, yang muncul dari keluarga-keluarga membentuk sebuah budaya dan bahasa. Membentuk sebuah komunitas kehidupan kecil yang kemudian membentuk kehidupan besar yang saling memakmurkan (gemah ripah loh jinawi).


Kedua, konsep eko-geologi (Ekologi Geologi), yang tidak dipungkiri berada di wilayah Ring Of Fire yang beruntun berada di garis gunung merapi, sebagai sebuah anugerah sekaligus sebuah kewaspadaan untuk selalu waspada (melakukan pencegahan) terhadap segala kemungkinan bencana (yang dalam bahasa lain adalah proses keseimbangan alam). Selain itu, konsep eko-geologi ini menunjukan posisi Indonesia sebagai Negara Hujan Hutan Tropis yang terbelah garis katulistiwa yang berada sebagai negara kepulauan. Tentunya kondisi ekologi seperti ini, menunjukan bahwa Indonesia sangat heterokultur Flora dan Fauna. Tipe Hutan Hujan Tropis yang hujan sepanjang bulan dan ada musim panas bukan pengkondisian monokultur, semua adalah hidup dalam suasana heterokultur. Berbagai macam tanaman, juga hewan begitu banyak beraneka ragam. Belum lagi posisi kelautan yang sangat kaya dengan perikanan, zooplankton, phitoplakton, padang lamun (padang rumput laut), terumbu karang, serta berbagai macam keindahan Laut. Belum lagi kekayaan Hutan, juga Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara, semua komoditas beranekaragam, dan ada di Indonesia.


Ketiga, konsep eko-ekonomi, yaitu sebuah konsep dimana struktur budaya, masyarakat, geografi, geologi dan sebagainya yang penulis tulis di atas, merupakan potensi bangsa dengan segala kekhasan dan keanekaragamannnya membentuk linkage keekonomian alami yang sudah berjalan ratusan mungkin ribuan tahun, dalam suasana kemakmuran gemah ripah loh jinawi tadi. Walaupun berbeda suku bangsa namun dalam suasana kenusantaraan, sudah melakukan transaksi perdagangan, jual beli, barter hasil bumi dan hasil tanaman serta ternak yang berlangsung setiap hari selama ribuan tahun kehidupan Nusantara ini ada. Tentu saja, semua ini adalah kekhasan nusantara yang secara alami membantuk ruang kesadaran kolektif dari irama perbedaan membentuk sebuah harmoni kehidupan.


Ketiga Postulat inilah, kemudian penulis merelasikan dasar pemikiran para pemimpin tersebut bersepakat membentuk sebuah dasar negara dalam semangat membentuk Bhineka Tunggal Ika, beranekaragam namun tetap satu jua, atau membentuk sebuah pola unity in diversity. Konsep ini tentunya mewadahi semua entitas bangsa tanpa tekecuali dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Melihat “behind in the scene” ketiga postulat ini, tentunya menandakan bahwa Pancasila lahir dari ruang kesadaran “Blue Print” rakyat dan para pemimpin bangsa untuk menyatukan bangsa dan negara dalam satu visi dan misi kehidupan.


Berbagi Peran Perjuangan

Bila diamati secara seksama dari analisa di atas, atau dalam ruang analisa framing, fenomena lahirnya pancasila merupakan pembagian peran dan tugas masing-masing entitas, atau bagian, yang tidak hanya bekerja secara sendiri-sendiri. Mereka bekerja berbagi peran, memfungsikan kinerja untuk berbagi tugas mencapai tujuan. Bahkan bila menilik secara kontemplatif dari ketiga postulat tadi, semesta pun mengkondisikan peran para Pemimpin Bangsa untuk merumuskan Pancasila menjadi konsep dasar negara agar digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Artinya, dalam sebuah pekerjaan, peran dan tugas adalah amanat yang dikerjakan secara bersama-sama. Walapun para pemimpin bangsa itu berbeda karakter, berbeda pemikiran, berbeda pekerjaan, ada yang metranskripsi, ada yang mensosialisasi, ada yang menjaga komunikasi dengan rakyat, ada yang berjuang di lapangan, ada yang mensuplai logistik dan makanan, ada yang menyediakan akomodasi transportasi dan sebagainya, namun terlihat mereka bahu mambahu berjuang untuk kemerdekaan NKRI.


Peran dan tugas para pemimipin bangsa sangat berat, dan mereka mengorbankan waktu, harta dan jiwa untuk Bangsa dan Negara ini. Penulis merasakan, bahwa para pemimpin bangsa tersebut patut menjadi teladan, karena perbedaan peran dan dalam segala situasi dan kondisi tidak menurunkan semangat mereka untuk terus berharmoni bekerja dan berkarya. Peran dalam persepktif gender begitu kentara, karena gender sejatinya tidak hanya dalam ruang persoalan laki-laki dan perempuan, namun lebih ke makna Peran Strategis yang dapat kita ambil contoh dari para funding fathers tersebut.


Saat ini, detik ini, anugerah kemerdekaan dari hasil keringat para pemimpin bangsa haruslah dijaga, bila perlu ditingkatkan ke level kerja dan karya nyata. Peran Institusi negara sudah pasti akan terus menjadi pelayan rakyat, pelayan negara, dan oleh karena itu, status sebagai abdi negara bukan hanya merupakan sebuah tanggung jawab personal, namun juga sebuah anugerah dan amanat semesta, karena kehadiran abdi negara menjadi pertaruhan besar kemana negara ini akan dibawa, apakah kepada karya nyata dan kemakmuran sesuai arahan Sang Semesta atau malahan menjadi kebalikannya? Semoga kita sebagai ASN mampu mencontoh teladan para pemimpin bangsa dalam konsep peran perekat persatuan bangsa, serta mampu berkarya menjadi lebih baik dalam menseimbangkan kinerja dari ketiga postulat di atas, eko-geografi, eko-geologi, eko-ekonomi. Salam Merdeka!!!


Oleh: Rusmawati Damarsari

Penulis adalah Kepala Bidang Lelang kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini