Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Parate Executie dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan
Prilla Geonestri Ramlan
Jum'at, 08 April 2022 pukul 15:07:18   |   13291 kali

Kehadiran lelang di Indonesia sudah ada sejak lama, tepatnya pada saat zaman Hindia Belanda yang dibuktikan dengan adanya peraturan mengenai lelang yaitu Vendue Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3 (Undang-Undang Lelang). Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK No. 213/2020), Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Menurut jenisnya, lelang secara umum terdiri dari 3 jenis, yaitu:

1) Lelang Eksekusi;

2) Lelang Noneksekusi Wajib; dan

3) Lelang Noneksekusi Sukarela.

Lelang eksekusi sendiri terbagi lagi ke dalam beberapa jenis, salah satunya adalah Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai lelang eksekusi, kiranya perlu bagi kita untuk memahami definisi dari eksekusi itu sendiri. Istilah eksekusi pada dasarnya adalah tindakan melaksanakan atau menjalankan putusan pengadilan, namun nyatanya eksekusi tidak hanya berkaitan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan grosse akta saja, namun juga terdapat dalam bidang hukum jaminan yang merupakan pelaksanaan hak kreditur pemegang hak jaminan terhadap objek jaminan dengan cara menjual jaminannya, apabila debitur cidera janji atau wanprestasi.[1]

Berdasarkan Pasal 6 UUHT, yang menyatakan :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”, maka kreditur selaku pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Selain itu dipertegas pula dalam Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UUHT yang menyebutkan bila pemegang Hak Tanggungan pertama berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Atas dasar inilah, lelang eksekusi Pasal 6 UUHT yang diselenggarakan oleh KPKNL dilakukan dengan dasar konsep Parate Executie.

Istilah parate executie sendiri secara implisit tidak pernah tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Secara etimologis parate executie berasal dari kata paraat yang berarti siap di tangan, sehingga parate executie dikatakan sebagai sarana yang siap di tangan. Menurut kamus hukum, parate executie mempunyai arti pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses pengadilan atau hakim. Sedangkan berdasarkan doktrin ilmu hukum, parate executie memiliki arti sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri, atau bisa juga diberikan arti bahwa jika debitur wanprestasi maka kreditur bisa melakukan eksekusi objek jaminan tanpa harus meminta fiat dari ketua pengadilan, tanpa harus mengikuti aturan dalam hukum acara perdata, tanpa perlu melibatkan juru sita dan oleh karenanya prosedurnya jauh lebih mudah dan biaya lebih murah.

Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa Pasal 6 UUHT dipedomani sebagai ketentuan bagi para pemegang hak tanggungan pertama dalam hal ini kreditur yang memiliki hak untuk menjual objek hak tanggungan atas dasar kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut apabila debitur cidera janji. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang hak tanggungan pertama tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai kekuasaan/wewenang untuk dapat melakukan penjualan melalui pelelangan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan bahwa hak untuk menjual atau kekuasaan sendiri menguntungkan dalam 2 hal, yaitu:

a) Tidak dibutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi.

b) Dapat melaksanakan eksekusi sendiri secara langsung (mandiri) tidak peduli adanya kepailitan dari debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis.[2]

Merujuk pada ketentuan Angka 4 Penjelasan Umum UUHT yang memuat:

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.”

Dengan demikian, sesuai uraian di atas, di dalam UUHT diatur bahwa apabila debitur wanprestasi, dengan tujuan untuk melindungi kreditur, maka kreditur dapat melakukan eksekusi Hak Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan Pertama mempunyai hak menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan mereka.

Kreditur sebagai pemohon eksekusi dapat melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan melalui parate executie, dengan syarat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) terdapat janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan.

Dengan adanya janji menjual atas kekuasaan sendiri yang tercantum dalam APHT dan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT), maka jika debitur cidera janji, kreditur dapat melakukan eksekusi objek Hak Tanggungan secara langsung melalui Kantor Lelang Negara (dalam hal ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang/KPKNL) tanpa perlu fiat Pengadilan Negeri.

Oleh karena itu, dengan merujuk Pasal 6 UUHT, Pasal 20 ayat (1) huruf (1) UUHT, dan Angka 4 Penjelasan Umum UUHT, setiap eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini dapat diperoleh harga yang paling tinggi, dan kreditur berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu melebihi piutang tersebut, maka sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.

Parate executie juga mempunyai keuntungan dan kelebihan, menurut Pitlo yang dikutip oleh J. Satrio kelebihan itu terdiri dari:

1) Penjualan itu berdasarkan kuasa (Mandaat) atau sebagai pelaksanaan haknya sendiri (Eksekusi), yang diperjanjikan dengan pemberi jaminan;

2) Di luar wilayah hukum acara, dengan konsekuensinya hukum acara, sepanjang mengenai eksekusi, tidak wajib diturut. Ini membawa konsekuensi-konsekuensi lain lagi;

3) Tidak perlu melalui atau didahului dengan persitaan;

4) Tidak perlu menunjukkan grosse acte;

5) Tidak perlu ada fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan;

6) Tidak perlu somasi, kalau dalam perjanjian kredit diperjanjikan, bahwa dengan lewatnya waktu/tanggal tertentu saja, debitor sudah dianggap dalam keadaan lalai (sekalipun sebaiknya diberikan).[3]

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat diambil suatu pengertian bahwa prinsip yang mendasari parate executie sebagai sarana untuk mempercepat pelunasan piutang kreditor, adalah prinsip perlindungan hukum bagi pemegang hak jaminan pertama. Perwujudan prinsip perlindungan hukum tersebut, tercermin dalam pelaksanaan parate executie, yaitu adanya kemudahan, waktu yang cepat dan biaya yang murah untuk mendapatkan piutang kreditor, dibandingkan dengan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, hal ini sehubungan prosedur penjualan objek hak jaminan atas kekuasaan sendiri, tanpa didahului sita jaminan dan sita eksekusi serta tanpa fiat pengadilan.


Penulis : Prilla Geonestri Ramlan

Sumber :

1. Anton Suyatno, kepastian hukum dalam penyelesaian kredit macet melalui eksekusi hak tanggungan tanpa proses gugatan pengadilan, (Jakarta, kencana, 2016)

2. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 2000)

3. J Satrio, (2002), Janji-Janji (Bedingeng) Dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan, Media Notariat Edisi Januari-Maret, Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia.


[1] Anton Suyatno, kepastian hukum dalam penyelesaian kredit macet melalui eksekusi hak tanggungan tanpa proses gugatan pengadilan, (Jakarta, kencana, 2016) h.54

[2] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda (Yogyakarta: Liberty, 2000), h.32

[3] J Satrio, (2002), Janji-Janji (Bedingeng) Dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan, Media Notariat Edisi Januari-Maret, Jakarta: Ikatan Notaris Indonesia, hlm.12

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini