Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
PENETAPAN TARIF SEWA BARANG MILIK NEGARA KONSEP ALTERNATIF: COMPETITIVE EQUILIBRIUM
Hendro Nugroho
Senin, 21 Februari 2022 pukul 15:26:57   |   5678 kali

Sewa adalah salah satu bentuk pemanfaatan barang milik negara (BMN) yang didasarkan pada suatu perjanjian dengan pihak lain yang membayar tarif tertentu secara tunai. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara, sewa bertujuan untuk mengoptimalkan aset idle, mendapatkan fasilitas yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan/atau mencegah penggunaan secara tidak sah oleh pihak ketiga. Sewa didasarkan pada suatu tarif yang merupakan nilai wajar atas sewa. Perhitungan tarif sewa dilakukan oleh penilai. Namun, dalam penetapan tarif sewa terdapat faktor penyesuai yang dapat dipertimbangkan, yaitu jenis kegiatan usaha penyewa dan periodesitas sewa. Jenis kegiatan usaha terdiri atas kegiatan bisnis, kegiatan non bisnis dan kegiatan sosial. Periodesitas sewa meliputi pembayaran sewa dengan jangka waktu per jam, per hari, per bulan, atau per tahun.

Berdasarkan uraian di atas kita dapat memahami bahwa sesuai ketentuan yang berlaku, tarif sewa ditetapkan dengan merujuk pada hasil penilaian. Tarif sewa dapat menjadi berbeda dengan hasil penilaian karena adanya faktor penyesuai yaitu kegiatan usaha yang dijalankan oleh penyewa dan jangka waktu penyewaan aset. Untuk uraian selanjutnya, kita akan melihat satu konsep ekonomi yang dapat menjadi alternatif dalam penetapan tarif sewa, yaitu konsep competitive equilibrium.

Competitive equilibrium dalam ekonomi sebagaimana diperkenalkan oleh Arrow dan Debreu (1951) adalah suatu kondisi dimana produsen mampu memaksimalkan keuntungan dan konsumen mampu memaksimalkan kepuasan dalam satu pasar dengan harga yang berada pada titik keseimbangan. Dalam pasar, kedua pihak mempunyai tujuan yang berbeda. Produsen ingin menjual barang dengan harga setinggi-tingginya, sedangkan konsumen ingin membayar serendah mungkin. Ketika harga naik, penawaran meningkat dan permintaan turun. Sebaliknya, ketika harga turun, permintaan meningkat dan penawaran menurun. Saat kondisi ini terjadi, ada kelangkaan atau surplus dalam pasar, sehingga diperlukan realokasi sumber daya agar produsen dan konsumen dapat sama-sama menyetujui harga dan jumlah barang yang diperdagangkan. Pada titik inilah, jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran dan pasar berada dalam kondisi keseimbangan.

Untuk menjelaskan competitive equilibrium, sebagai contoh, terdapat dua pihak yaitu A dan B, sama-sama memiliki dua barang yaitu X dan Y dengan jumlah tertentu. Kedua pihak ingin melakukan pertukaran agar bisa memaksimalkan tingkat kepuasan. Proses pertukaran tersebut dapat digambarkan dalam sebuah kotak yang mempertemukan keinginan konsumsi kedua pihak seperti gambar berikut:



Tahapan-tahapan untuk mencapai competitive equilibrium adalah sebagai berikut:

1. A dan B berada pada suatu titik awal I yang disebut initial endowment, yaitu kondisi sebelum A dan B melakukan pertukaran.

2. Masing-masing A dan B memiliki pola konsumsi barang X dan Y yang membentuk suatu lengkungan dan disebut kurva indiferen yaitu kurva yang menghubungkan titik-titik kombinasi dari konsumsi barang X dan Y yang memberikan tingkat kepuasan sama.

3. Untuk melakukan pertukaran, A dan B akan selalu bergerak di kurva indiferen masing-masing. Ada berbagai titik di mana A dan B bisa melakukan pertukaran yaitu ketika kurva indiferen A berpotongan dengan kurva indiferen B.

4. Dalam proses pertukaran, ada faktor harga P yang harus dipertimbangkan oleh A dan B.

5. Ketika kurva indiferen A dan B saling berpotongan dengan initial endowment, maka terbentuk suatu area negosiasi (area yang diarsir merah) yang merupakan area terbaik untuk melakukan pertukaran.

6. Di dalam area negosiasi, terdapat satu titik (titik CE) yang merupakan titik pertemuan antara kurva indiferen A dan B serta garis harga. Titik inilah yang disebut competitive equilibrium yaitu titik dimana pertukaran yang dilakukan oleh A dan B memberikan kepuasan maksimal yang sama bagi kedua pihak (sama-sama menguntungkan).

Kembali ke topik mengenai sewa BMN, konsep competitive equilibrium dapat digunakan dalam penetapan tarif sewa BMN. Dalam konsep ini, prinsip utama yang harus dipegang adalah penyewaan BMN harus sama-sama menguntungkan bagi Pemerintah sebagai pemilik BMN dan bagi pihak ketiga sebagai penyewa BMN. Selain itu, dalam proses penetapan sewa, hanya dua pihak yang terlibat, tidak ada pihak eksternal yang dapat mengintervensi pelaksanaan sewa.

Sesuai alur pencapaian competitive equilibrium di atas, maka tahapan penetapan sewa BMN adalah pertama ada initial endowment bagi Pemerintah dan penyewa. Informasi mengenai initial endowment dimiliki masing-masing pihak yang didasarkan pada perhitungan tertentu. Pemerintah dapat menggunakan hasil penilaian tarif sewa yang dilakukan oleh tim penilai sebagai initial endowment. Nilai ini merupakan nilai terendah sewa BMN yang dapat diterima oleh Pemerintah. Penyewa juga tentunya mempunyai perhitungan initial endowment tersendiri yang kemungkinan berbeda dengan Pemerintah.

Pada proses berikutnya, Pemerintah memiliki kurva indiferen yang menggambarkan tingkat kepuasan (dalam hal ini PNBP sewa dan utilisasi BMN) atas penyewaan BMN yang dilakukan. Artinya penetapan tarif sewa oleh Pemerintah tidak bisa hanya memperhitungkan PNBP semata tetapi bagaimana agar aset yang idle dapat dimanfaatkan. Apabila aset tetap idle, terdapat biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan aset tersebut. Di sisi yang lain, penyewa juga memiliki kurva indiferen tersendiri yang mencerminkan, misalnya, perkiraan keuntungan usaha yang dapat diperoleh dari penggunaan aset yang disewa.

Selanjutnya, berdasarkan initial endowment dan kurva indiferen masing-masing, Pemerintah dan penyewa masuk ke tahapan negosiasi tarif sewa. Pada tahap ini, Pemerintah akan memulai negosiasi dengan mengajukan tarif sewa yang tinggi, dengan mempertimbangkan PNBP aset dan utilisasi BMN. Sebaliknya, penyewa akan berupaya agar tarif sewa mendekati initial endowment penyewa. Negosiasi bisa berjalan lancar atau berjalan alot, tergantung pada bagaimana kedua pihak mampu memenuhi persyaratan dan kepentingan masing-masing. Ketika Pemerintah dan penyewa mampu mencapai kesepakatan artinya telah dicapai suatu kondisi competitive equilibrium. Pada titik tersebut disetujui besaran tarif sewa dan persyaratan dari kedua pihak. Kesepakatan tersebut mengindikasikan penyewaan BMN oleh Pemerintah kepada penyewa mampu memberikan kepuasan maksimal yang sama bagi kedua pihak.

Demikianlan konsep competitive equilibrium dapat menjadi alternatif dalam proses penetapan tarif sewa. Tentu saja ada pro dan cons dalam penggunaan konsep tersebut, tetapi setidaknya ada sisi pandang lain yang dapat dipertimbangkan agar penyewaan BMN semakin meningkat di masa mendatang.

Penulis: Charles Jimmy, Pelaksana pada Seksi Informasi, Bidang KIHI, Kanwil DJKN Sulseltrabar


Referensi:

Arrow, K.J. 1951. An Extension of the Basic Theorems of Classical Welfare Economics. Berkeley and Los Angeles. University of California Press 507-532

Debreu, G. 1951. The Coefficient of Resource Utilization. Econometrica 19(3), 273-292

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini