Energi merupakan mesin penggerak manusia. Saat ini, sebagian besar penyediaan energi berasal dari proses pembangkitan dengan energi yang tidak terbarukan seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam. Hal ini memberikan dampak adanya kerusakan lingkungan baik dari proses penambangan maupun sisa pembakaran. Selain itu, energi tak terbarukan pada suatu waktu akan habis.
Dalam konteks penyediaan energi di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat energi fosil pada Tahun 2020 masih menjadi penyumbang utama pembangkit listrik di Indonesia. Sumbangan energi fosil dari seluruh pembangkit listrik Indonesia mencapai 60.485 MW setara 85,31 persen dari total kapasitas terpasang nasional. Sedangkan porsi penggunaan energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik Indonesia baru mencapai 14,69 persen. Untuk mendorong penggunaan EBT, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang meliputi energi yang bersumber dari sinar matahari, angin, tenaga air, biomassa, biogas, sampah kota, dan panas bumi.
Salah satu bentuk pembangkit EBT adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang memanfaatkan cahaya matahari yang sepanjang tahun menyinari negeri ini. Untuk membangun PLTS diperlukan lahan yang sangat luas untuk menyimpan panel surya sebagai tempat menangkap sinar matahari untuk selanjutnya dikonversi menjadi sumber energi. Dengan karakteristik proyek EBT yang padat kapital, muncul masalah ketersediaan lahan.
Penelitian menunjukkan bahwa pemasangan panel surya untuk memenuhi target Indonesia untuk mencapai 1.500 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya pada 2050 akan membutuhkan setidaknya 8.000 kilometer persegi atau sekitar 0,4% lahan. Sedangkan, pembebasan lahan untuk pengembangan proyek energi adalah suatu proses yang panjang dan rumit karena membutuhkan persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jika menggunakan lahan hutan, dan persetujuan dari pemerintah kabupaten/kota tempat lokasi proyek berada. Selain itu, pengadaan lahan untuk proyek energi juga sering memberikan pengaruh secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat yang terdampak di sekitar lokasi pengembangan lahan.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai pengelola aset negara perlu menajamkan fungsinya dalam penyediaan lahan bagi proyek EBT. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk perwujudan misi DJKN yaitu mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dan meningkatkan tata kelola dan nilai tambah pengelolaan kekayaan negara.
Penyediaan Lahan ITERA Untuk PLTS
Kantor Wilayah DJKN Lampung dan Bengkulu/ KPKNL Bandar Lampung sebagai Pengelola Barang Milik Negara (BMN) bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan c.q. Institut Teknologi Sumatera (ITERA), bekerjasama mewujudkan hal tersebut dengan melakukan pembangunan Proyek Laboratorium PLTS 1 MWP (mega watt peak) dan Pusat Penelitian dengan skema Pemanfaatan BMN dalam bentuk Kerjasama Pemanfaatan (KSP).
Proyek ini dibangun di atas BMN berupa sebagian tanah seluas 10.500 m2 dengan nilai wajar sebesar Rp.12.509.070.000,- (dua belas miliar rupiah lima ratus sembilan juta tujuh puluh ribu rupiah). Bidang tanah ini merupakan bagian dari Sertifikat Hak Pakai Nomor 02/Desa Sabah Balau dengan luas keseluruhan 274 Ha (2.740.000 m2) atas nama Pemerintah Republik Indonesia yang terletak di Jalan Terusan Ryacudu, Desa Way Hui, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan. Sebelumnya lahan seluas 10.500 m2 tersebut dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau di lingkungan kampus ITERA. Adapun jangka waktu pelaksanaan KSP selama 25 tahun.
Pembangunan Laboratorium PLTS ITERA
Pembangunan laboratorium PLTS 1 MWp ITERA dibangun oleh PT Wijaya Karya dengan mitra swasta PT Surya Utama Nuansa. Proses pemasangan dan pembangunan instalasi PLTS dilakukan dari bulan September 2020 sampai dengan Desember 2020. Pada bulan Januari 2021, PLTS sudah berfungsi dan mampu memproduksi listrik sebesar 1 MWp. Sumber energi listrik ini digunakan oleh ITERA untuk mendukung sumber energi listrik yang selama ini dipasok oleh PT PLN.
Pada tahun 2019 kebutuhan energi listrik ITERA mencapai 2000-3000 KVA, angka tersebut akan terus meningkat, pada tahun 2034 diperkirakan mencapai 16.000 KVA. Beberapa alternatif PLTS yang bisa dikembangkan di kampus ITERA, seperti tipe PV Plant dan solar farm location. Kedua tipe ini, dengan memanfaatkan lahan terbuka di ITERA, hingga roof building area atau pemanfaatan atap gedung sebagai lokasi penempatan pembangkit listrik panas matahari.
PLTS adalah pembangkit listrik yang mengubah energi surya menjadi energi listrik. Pembangkit listrik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung menggunakan photovoltaic (PV) dan secara tidak langsung dengan pemusatan energi surya. Photovoltaic mengubah secara langsung energi cahaya menjadi energi listrik menggunakan efek fotoelektrik. Pemusatan energi surya menggunakan sistem lensa atau cermin dikombinasikan dengan sistem pelacak untuk memfokuskan energi matahari ke satu titik untuk menggerakkan mesin kalor.
PLTS menggunakan Panel Surya PV dapat langsung mengubah tenaga surya menjadi listrik. Sedangkan PLTS solar thermal mengumpulkan panas dari matahari untuk memanaskan sejumlah besar liquid hingga menghasilkan uap yang kemudian akan digunakan untuk memutar turbin guna menghasilkan listrik.
Dengan keadaan geografis Indonesia yang setiap tahun dapat sinar matahari, salah satu alat yang optimal adalah ”Panel Surya PV”. Panel Surya PV bekerja mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Panel Surya PV adalah alat yang terdiri dari sel surya, aki dan baterai yang mengubah cahaya menjadi listrik. Panel Surya PV menghasilkan arus listrik searah atau DC.
Sifat yang mendasar dari PLTS ialah pembangkitan listrik dilaksanakan hanya pada siang hari. Mengingat sebagian besar wilayah di Indonesia mempunyai beban puncak pada malam hari, maka pemanfaatan PLTS untuk penggunaan malam hari harus memiliki sarana penyimpanan daya. Pemanfaatan PLTS dibagi dalam tiga sistem yaitu sistem mandiri (stand alone), sistem terpusat (centralized), dan sistem terhubung jaringan (grid connected/on-grid).
Pembangunan laboratorium PLTS ini menjadi kebanggaan ITERA dan Provinsi Lampung terutama dalam pengembangan EBT sebagai upaya pemenuhan energi listrik secara mandiri. Tidak hanya itu, ITERA juga menjadi kampus dengan laboratorium PLTS terbesar di Indonesia yang diharapkan menjadi pusat munculnya inovasi dan riset-riset baru tentang energi surya. Laboratorium PLTS ITERA tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh para dosen dan mahasiswa ITERA saja, tetapi juga oleh para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi lainnya, para peneliti, hingga tenaga profesional.
Gambar: Lahan sebelum optimalisasi
Gambar: Foto proses penilaian
Gambar: Setelah proyek optimalisasi
Manfaat dan Dampak Ekonomi PLTS ITERA
Dengan beroperasinya PLTS di ITERA manfaat dan dampak ekonomi yang diperoleh antara lain :
Sementara untuk dampak ekonomi, dengan menggunakan analisis Input Output diperoleh kesimpulan bahwa dengan stimulus pada permintaan akhir di bidang pengadaan listrik dan gas pembangunan PLTS ITERA dengan total investasi mitra sebesar Rp15.000.000.000,00 maka proyeksi besarnya perubahan nilai (output multiplier) yang didapat adalah sebesar Rp44.283.000.000,00 dengan hasil efek pengganda 2.95, nilai tambah sebesar Rp13.552.000.000,00, potensi pendapatan (income multiplier) sebesar Rp4.399.000.000,00, dan potensi bagi tumbuhnya lapangan pekerjaan (employment multiplier) sebanyak 43 orang.
Manfaat dan Dampak Sosial
Dengan beroperasinya PLTS di ITERA, manfaat dan dampak sosial yang diperoleh antara lain:
1. Peningkatan kualitas pembelajaran di ITERA berdasarkan indikator keberhasilan yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yaitu:
a. Pelaksanaan Kerja Praktik di PLTS;
b. Adanya Praktikum terkait beberapa prodi; dan
c. Publikasi hasil penelitian dengan fasilitas PLTS.
2. Terdapat manfaat lingkungan (environmental benefits), yaitu dengan adanya pengurangan penggunaan bahan bakar fosil berupa batubara dalam energi baru terbarukan ini, maka akan mengurangi emisi gas rumah kaca (pengurangan gas CO2) yang dapat menimbulkan pencemaran udara, serta polutan radioaktif yang dapat meningkatkan paparan radioaktivitas alam, dimana dari data yang diperoleh pada tahun pertama masa KSP dapat menghindari terbentuknya gas CO2 sebanyak 762,05 ton (grid emission factor 0,6790 kg CO2/kwh), atau setara dengan penanaman pohon baru sebanyak 41.642 pohon.
Gambar: Manfaat lingkungan (environmental benefits) atas berdirinya PLTS ITERA
3. Meningkatkan peranan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional dan percepatan peningkatan pemanfaatan energi surya, serta mendorong berlangsungnya industri energi surya dalam negeri;
4. Meningkatkan lapangan kerja;
Sementara untuk dampak sosial yang didapat antara lain:
1. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3. Meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi.
Peran DJKN dalam KSP PLTS ITERA
DJKN sebagai Pengelola Barang memiliki peran penting dalam pemanfaatan BMN ini, terutama pada awal pelaksanaan KSP dimana DJKN melakukan bimbingan teknis bagaimana menghitung mekanisme kontribusi tetap dan pembagian keuntungan serta monitoring dan evaluasi proses pemanfaatan. Selain itu, DJKN secara berkala melakukan pengawasan dan pengendalian (wasdal) atas pelaksanaan KSP PLTS ITERA.
Dengan adanya optimalisasi aset Kerja Sama Pemanfaatan BMN PLTS ITERA sebagai bentuk sinergi antara Pengelola Barang dan Pengguna Barang dalam pengembangan EBT, diharapkan DJKN selangkah lebih dekat dengan visinya menjadi manajer aset yang unggul.
***
Penulis:
Tim KOIN Kanwil DJKN Lamkulu:
Ketua: M. Arief Widodo (Kanwil DJKN Lamkulu)
Anggota: Dyuwaraninda Rachardono (Kanwil DJKN Lamkulu), Dadang Noor Fithri, Suryo Winarno (KPKNL Bandar Lampung)