Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Memahami Aset Peninggalan BPPN, Hak Tagih Negara Dana BLBI Dan Permasalahannya
Aminah Nurmillah
Rabu, 10 November 2021 pukul 16:33:11   |   15596 kali

Akhir- akhir ini permasalahan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kembali muncul bahkan viral di media sosial setelah Presiden menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 6 Tahun 2021 Tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI. Pembahasan dana BLBI tidak dapat dilepaskan dari BPPN sebagai lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani dana BLBI tersebut. BPPN dibentuk oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya BPPN mengelola total sekitar 640 triliun rupiah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk penyehatan perbankan. Dana tersebut terdiri dari dana rekapitalisasi perbankan dan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI adalah dana yang dikucurkan oleh Bank Indonesia kepada bank umum pada saat krisis moneter tahun 1998 dengan jumlah sekitar 144 triliun. Jumlah bank peneima BLBI sekitar 48 bank. Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020 terdapat aset eks. BLBI yang masih dikelola oleh pemerintah terdiri dari aset kredit, aset properti, aset investasi (surat berharga) dan aset penempatan dana pada bank lain.


Dalam rangka penyelesaian BLBI BPPN menetapkan skema penyelesaian dengan membebankan kewajiban pembayaran BLBI kepada Pemegang Saham Pengendali (PSP) bank penerima. Pengembalian dana yang menjadi tanggungjawab PSP adalah jumlah dana BLBI yang diterima bank dikurangi dengan aset bank. Dari skema tersebut kemudian munculah perjanjian penyelesaian yang kita kenal sebagai Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Perjanjian PKPS tersebut terdiri dari 3 skema yaitu, Master Settlement And Acquitition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan Akta Pengakuan Utang (APU). MSAA adalah skema penyelesaian utang dimana Pemegang Saham Pengendali (PSP) menyerahkan aset sebagai pelunasan utang. Nilai aset yang diserahkan sama dengan jumlah utang. Aset yang diserahkan dapat berupa aset tanah/bangunan (properti), maupun aset saham milik pemegang saham atau aset lain. MRNIA adalah skema penyelesaian utang dimana PSP menyerahkan aset namun nilainya tidak mencukupi. Karena nilai aset tidak mencukupi maka PSP menerbitkan promissory notes/pengakuan utang sebesar sisa utang yang tidak tertutup aset. Skema terakhir adalah Akta Pengakuan Utang (APU). Skema ini dilakukan melalui pembuatan akta pengakuan utang oleh pemegang saham dan pemegang saham memberikan jaminan sebesar jumlah utangnya. Dalam proses di BPPN ada pemegang saham yang kooperatif dan mengikuti skema tersebut sampai dengan lunas. Pemegang saham tersebut kemudian mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Namun demikian terdapat juga pemegang saham yang tidak bersedia mengikuti skema tersebut dan sampai BPPN dibubarkan masih belum menyelesaikan utangnya.


Melalui Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 BPPN dibubarkan. Pembubaran BPPN tersebut meninggalkan tugas yang belum selesai antara lain, pertama aset kredit baik yang berasal dari pinjaman yang diberikan oleh bank yang diambilalih/bank asal dan utang pemegang saham (PKPS). Aset kredit dari bank asal merupakan kredit macet yang saat ini sudah lebih dari 23 tahun. Aset kredit tersebut kualitasnya sangat rendah karena merupakan sisa aset kredit yang sudah dijual BPPN melalui Program Penjualan Aset Kredit (PPAK). Jumlah aset kredit ini masih tercatat sekitar 61,9 triliun rupiah. Untuk aset kredit yang berasal dari pemegang saham (PKPS) masih terdapat 21 pemegang saham dengan nilai sekitar 30,4 triliun rupiah. Debitur ini sebagian sudah tidak tinggal di Indonesia dan aset- asetnya telah banyak yang dipindahtangankan kepada pihak lain. Kedua aset properti yang terdiri dari (1) aset tanah dan bangunan milik bank yang diambil alih oleh pemerintah. Aset ini berupa tanah dan bangunan/aset tetap yang dimiliki bank yang diambilalih baik yang sudah atas nama bank maupun masih atas nama pihak lain. (2) Barang Jaminan Diambil Alih (BJDA) yaitu aset bank yang berasal dari pengambilalihan barang jaminan debitur.(3) Aset settlement yaitu aset yang diserahkan oleh pemegang saham sebagai pembayaran hutang kepada pemerintah melalui skema MSAA dan MRNIA. Aset properti adalah Barang Milik Negara (BMN) dan sesuai LKPP tahun 2020 tercatat 3.555 unit dengan nilai sekitar 9,7 triliun rupiah. Ketiga aset surat berharga yaitu investasi bank yang diambil alih oleh pemerintah dalam bentuk surat berharga. Jenis surat berharga tersebut diantaranya saham dan obligasi. Keempat adalah penempatan bank yang diambilalih pada bank lain baik bank dalam maupun luar negeri.


Dari semua aset tersebut, aset kredit dan aset properti mempunyai jumlah yang sangat besar dan permasalahan yang komplek. Setidaknya ada dua hal yang saat ini sedang dilakukan pemerintah untuk mengembalikan dana BLBI yaitu debitur tracing dan aset tracing. Debitur tracing dilakukan untuk memastikan keberadaan dan kemampuan debitur untuk menyelesaikan hutang. Permasalahan utamanya adalah minimnya data identitas debitur mengingat kredit dikucurkan sudah puluhan tahun yang lalu. Permasalahan lain adalah pada debitur PKPS, debitor ini adalah debitur kakap yang mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan. Upaya kedua adalah aset tracing yaitu melakukan pelacakan aset jaminan utang maupun aset lain yang masih dimiliki oleh debitur. Akibat praktek perbankan dahulu yang tidak prudent menyebabkan asset tracing ini sering mengalami kendala. Pemerintah memegang dokumen jaminan berupa sertipikat tetapi keberadaan dan lokasi jaminan tidak diketahui. Selain itu untuk aset debitur PKPS banyak yang sudah dialihkan kepada pihak lain.

Betapapun banyak dan peliknya permasalahan yang dihadapi, pemerintah tetap berkewajiban untuk mengurai, menyelesaikan dan menarik kembali uang negara untuk kepentingan rakyat. Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI melalui Keppres 6 Tahun 2021 menunjukan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan sehingga perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak.


(Penulis: Kepala Bidang PKN Kanwil DJKN Kalbar - Darnadi)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini