Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Sumpah Pemuda: Estafetisasi Daya Juang dan Nasionalisme Para Milenial
Mahmud Ashari
Kamis, 28 Oktober 2021 pukul 09:54:56   |   4307 kali

Dalam setiap sejarah bangsa di seluruh dunia, peran pemuda tidak dapat dilepaskan begitu saja. Kaum muda dengan kombinasi karakteristik mimpi-mimpi besarnya, gelora semangat, dan luapan darah muda yang mengalir dalam tubuhnya, kerap menjadi garda terdepan terhadap suatu perubahan, kemajuan, maupun lompatan besar perjalanan suatu bangsa. Tak ayal, sentuhan-sentuhan mereka selalu mewarnai goresan sejarah suatu bangsa, bahkan dunia.

Pun demikian dalam sejarah perjalanan Indonesia, deretan nama pemuda dengan segala kiprah maupun organisasi pergerakan yang dibentuk dan dimotorinya memainkan peran penting dalam menggoreskan tinta dalam lembaran buku sejarah bangsa ini. Era pergerakan milenial di awal tahun 1900-an yang dimulai dengan berdirinya organisasi kepemudaan Budi Utomo (1908), diikuti dengan organisasi gerakan lain seperti Sarekat Islam (1912), Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918) dan Jong Celebes (1919) membawa semangat yang sama, yaitu nasionalisme.

Dalam bayangan penulis, para milenial di era itu masing-masing membawa kegelisahan tersendiri pada saat mendirikan dan atau bergabung dengan organisasi kepemudaan. Pada saat itu kemungkinan mereka mempunyai kegelisahan yang identik yaitu “mau diapakan dan akan dibawa kemana bangsa ini”. Tidak dipungkiri, bahwa kehadiran kaum kolonial VOC dengan segala bentuk represivitasnya mempengaruhi kondisi dan kebebasan berkehidupan bangsa Indonesia kala itu. Sampai kemudian, tiba di satu titik di bulan Oktober 1928, para milenial yang gelisah tersebut disatukan dalam momentum konferensi dan mengikrarkan sumpah: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan.

Apakah kegelisahan itu berhenti sampai pengucapan ikrar saja? Tidak. Para milenial terus bergerak. Mereka tidak cepat berpuas diri dengan kesuksesan menggelar konferensi pemuda pada saat itu. Fakta sejarah membuktikan bahwa dengan seluruh daya upayanya, mereka aktif dalam setiap kemunculan dan penyuaraan gerakan-gerakan positif dan menjadi motor dalam setiap peristiwa besar yang dialami bangsa ini. Lihat saja peristiwa Proklamasi 1945, Revolusi 1966, serta Reformasi 1998. Para milenial itu menjadi pelopor dan pelumas dalam setiap gerakan-gerakan nasionalisme tersebut.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah anak muda. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika melihat fakta sejarah bahwa dalam setiap peristiwa besar yang dialami oleh bangsa, selalu melibatkan pemuda. Lihat saja kebangkitan nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Revolusi 1966, serta Reformasi 1998. Artinya meskipun masih belia, kaum milenial saat itu selalu dapat mengambil peran fundamental dan mampu menciptakan sejarah dengan melakukan perubahan. Semangat nasionalisme para milenial, yang kemudian menjadi founding fathers - pembawa perubahan maupun reformasi di negeri ini, selayaknya diteladani oleh para milenial di penjuru nusantara.

Bagi penulis yang merupakan kaum milenial, nasionalisme tidak cukup hanya dengan mengenal tokoh-tokoh pahlawan dan memahami sejarah. Sejarah keberhasilan perjuangan kaum milenial terdahulu seharusnya tidak hanya membentuk perasaan romantisme kejayaan masa lalu, namun harus menjadi bahan bakar bagi milenial zaman now untuk terus bergerak dinamis, kreatif dan kontributif bagi bangsa khususnya di era globalisasi ini.

Fenomena kaum milenial zaman now yang lebih berkonsentrasi dan disibukkan dengan travelling, discover the world, dan berburu konten untuk mengisi feed Instagram merupakan sesuatu yang wajar mengingat era telah berubah, nilai-nilai telah bergeser. Namun demikian, menanamkan rasa nasionalisme kepada para milenial perlu terus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini merupakan proyek bersama (common project) dan tanggung jawab bersama (common responsibility) seluruh komponen bangsa, agar generasi penerus tidak kehilangan jati dirinya. Sah-sah saja jika sebagian pengamat menyatakan bahwa arus globalisasi yang begitu masif berpotensi menggerus persepsi dan kemandekan kebangsaan bagi para milenial. Namun pandangan-pandangan tersebut seharusnya tidak melulu menjadi suatu kekhawatiran dan sebaliknya harus menjadi variabel-variabel untuk menanamkan jiwa nasionalisme kepada generasi muda, penerus estafetisasi kebersinambungan bangsa dan negara ini.

Belajar dari sejarah, bahwa setiap masa mempunyai generasi, tren, dan tantangan tersendiri. Milenial era perjuangan menghadapi tantangan berupa kolonialisme, sedangkan milenial saat ini menghadapi tantangan berupa globalisasi, kompleksitas perekonomian, serta kemajuan teknologi dan informasi yang mengalami pergeseran sangat cepat dan bahkan tiba-tiba (disrupsi). Oleh karena itu, bagaimana milenial era saat ini mampu mengidentifikasi dan berkontribusi dalam mendobrak persepsi kejumudan jiwa nasionalisme perlu mendapatkan dukungan dan bimbingan dari seluruh pihak. Dengan memaknai kembali peringatan Sumpah Pemuda, penulis meyakini bahwa seluruh pihak memiliki harapan agar seluruh generasi milenial dapat kembali membentuk kesadaran nasional menurut apa yang kita identifikasikan sebagai tantangan dari common project bangsa Indonesia hari ini. Karena, masyarakat Indonesia telah menitipkan harapan besar di atas pundak milenial untuk selalu bersatu, bangkit, dan tumbuh. Satu hal yang pasti, keberagaman adalah kekuatan utama kita guna menciptakan kembali perubahan dan mengukir sejarah pemuda dan bangsa nan gemilang.

Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2021. Bersatu, Bangkit, dan Tumbuh.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini