Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Mewujudkan Barang Milik Negara Untuk Kemakmuran Bangsa
Aminah Nurmillah
Selasa, 26 Oktober 2021 pukul 12:59:30   |   1195 kali


Oleh

Darnadi,

Kepala Bidang Pengelolaan Kekayaan Negara, Kanwil DJKN Kalimantan Barat

Dalam terminologi pengelolaan kekayaan negara, Barang Milik Negara (BMN) adalah barang yang dimiliki negara melalui beban APBN atau melalui perolehan lainnya yang sah. Secara umum BMN dimiliki negara untuk digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun dalam kenyataannya terdapat BMN yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga atau BMN idle atau digunakan tetapi tidak optimal (underutilized).

Hal tersebut dapat dipahami karena peraturan tentang perencanaan kebutuhan BMN baru terbit tahun 2014 yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara. Dengan demikian maka pengadaan BMN sebelum tahun 2014 belum dilakukan melalui perencanaan dan analisis kebutuhan yang terstruktur. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab adanya BMN idle dan underutilized. Penyebab yang lain adalah adanya BMN yang diperoleh karena sebab lain yang sah yaitu berasal dari hibah/sumbangan atau yang sejenisnya, pelaksanaan perjanjian/kontrak, karena ketentuan undang undang dan perolehan karena adanya putusan pengadilan yang telah berkuatan hukum tetap. Karena pada umumnya perolehan barang seperti ini tidak melalui perencanaan pengadaan barang, maka terhadap barang tersebut tidak dapat secara langsung digunakan oleh Kementerian/Lembaga yang memerlukan, namun perlu dilakukan inventarisasi dan didistribusikan kepada kementerian/Lembaga yang membutuhkan. Tidak semua barang yang diperoleh tersebut terserap oleh kementerian/Lembaga sehingga pada akhirnya ada yang menjadi barang idle. Contoh untuk barang seperti ini adalah barang eks. Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) dan aset properti eks. BPPN. Aset eks. KKKS diperoleh karena kontrak kerjasamanya telah berakhir atau diakhiri. Kemudian aset properti eks. BPPN dimiliki karena adanya kebijakan BLBI pada saat krisis ekonomi 1998/1999. Akumulasi BMN yang idle atau underutilized ke depan akan semakin meningkat apabila pemindahan ibukota negara sudah dilakukan. Akan banyak BMN di Jakarta yang tidak digunakan karena pindah ke ibukota baru.

BMN idle dan underutilized tersebut merupakan “inventory” yang dapat ditawarkan kepada pihak swasta untuk menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Potensi penerimaan PNBP dari pemanfaatan BMN masih sangat mungkin dioptimalkan di masa depan. Hal tersebut didasari pada telah adanya regulasi dan kondisi yang mendukung diantaranya pertama Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 secara berturut turut. Opini WTP tersebut antara lain adalah hasil dari kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN yang dilakukan pemerintah sejak tahun 2007. Hal tersebut menunjukan bahwa BPK menilai pengelolaan BMN telah akuntable. Hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut merupakan database yang dapat digunakan sebagai referensi pengelolaan BMN termasuk di dalamnya pemanfaatan BMN. Kedua Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara yang telah beberapa kali diubah terakhir PMK Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara. Peraturan Menteri Keuangan tersebut pada dasarnya mengatur bagaimana aset negara dapat dikelola/dikerjasamakan dengan pihak swasta untuk mendapatkan PNBP. Ketiga, Kementerian Keuangan sebagai Pengelola BMN telah memiliki jaringan di seluruh pelosok tanah air dan memiliki tenaga fungsional penilai yang mempunya kapasitas untuk melakukan penilaian untuk menentukan besaran kontribusi kepada negara.

Meskipun perangkat aturan dan kondisi tersebut telah mendukung, bukan berarti pemanfaatan BMN akan dapat dengan mudah dilaksanakan. Terdapat beberapa hal yang kadang menjadi hambatan diantaranya pertama, berdasarkan ketentuan pengelolaan BMN terdapat 2 pihak dalam pengelolaan BMN yaitu Pengguna Barang dan Pengelola Barang. Pengguna Barang adalah Menteri atau pimpinan Kementerian/Lembaga sedangkan Pengelola Barang adalah Menteri Keuangan. Seluruh BMN dikuasai oleh Pengguna Barang sementara pemanfaatan BMN harus mendapat persetujuan dari Pengelola Barang. Dengan demikian maka Kementerian/Lembaga merupakan ujung tombak dalam pemanfaatan BMN. Kondisi saat ini ASN di Kementerian/Lembaga belum memiliki sense of entrepreneurship untuk memanfaatkan BMN. Pada umumnya mereka masih berpikir hanya sebagai operator BMN. Kedua, belum semua ASN yang mengelola BMN memahami peraturan khususnya jenis- jenis pemanfaatan BMN sehingga belum mampu menggali potensi dan mengaplikasikan pemanfaatan BMN yang dikelolanya. Ketiga, pemanfaatan BMN khususnya untuk pemanfaatan sebagian (sebagai contoh pemanfaatan sebagian ruangan atau tanah) yang pada umumnya berbentuk sewa, secara aturan tidak memberikan ruang bagi calon penyewa untuk melakukan negosiasi. Pemanfaatan dalam bentuk ini adalah jenis pemanfaatan yang terbanyak. Pilihan bagi calon mitra adalah “take it or leave it” dengan keputusan nilai sewa yang ditentukan oleh Pengelola Barang. Dengan demikian maka apabila harga yang diminta tidak sesuai dengan nilai yang ditetapkan maka pemanfaatan tidak terjadi. Pada umumnya peminat pemanfaatan seperti ini terbatas bahkan hanya 1 pihak sehingga ketika peminat mundur maka pemanfatan gagal. Keempat, pemanfaatan aset idle atau aset yang seluruhnya tidak digunakan dalam tugas dan fungsi, sering terkendala ego sektoral dari kementerian/lembaga Pengguna Barang. Ketentuan mewajibkan Pengguna Barang menyerahkan aset idle kepada Menteri Keuangan. Namun dalam prakteknya masih banyak Kementerian/Lembaga yang enggan untuk menyerahkan aset tersebut kepada Kementerian Keuangan. Selain 4 hal tersebut tentu masih terdapat permasalahan lain yang timbul dalam praktek pengelolaan BMN. Dengan melihat trend ke depan dimana diprediksi BMN idle yang akan ditawarkan adalah BMN yang mempunyai nilai yang tinggi dan di lokasi yang strategis, terutama karena danya pemindahan ibukota, maka permasalahan tersebut perlu mandapatkan perhatian.

Pemanfaatan BMN pada dasarnya adalah praktik pemerintah memasuki dunia bisnis secara langsung, untuk itu diperlukan perangkat aturan yang dapat mengakodasi kepentingan kedua belah pihak secara fleksibel. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya database BMN yang “siap jual” dan kemudian dipasarkan secara masif baik melalui media online maupun offline, agar tercipta persaingan peminat sehingga dapat optimal. Kesiapan ASN sebagai “pelaku usaha” juga harus terus menerus ditingkatkan sehingga era yang diimpikan oleh Menteri Keuangan dimana aset negara dapat bekerja untuk sebesar besar kemakmuran rakyat dapat terwujud.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini