Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Aspek Konstitusional Pengelolaan Kekayaan Negara
Hadyan Iman Prasetya
Rabu, 18 Agustus 2021 pukul 08:25:27   |   7859 kali

Agutus menjadi bulan yang istimewa bagi bangsa Indonesia karena pada tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa mengurangi nilai penting peringatan Hari Kemerdakan itu, rasanya perlu juga diketahui bahwa setiap tanggal 18 Agustus juga telah ditetapkan menjadi hari penting lainnya. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi, hingga saat ini tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Merujuk pada konsiderans dari Keputusan Presiden tersebut, penetapan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi tidak terlepas dari ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Republik Indonesia oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.

Secara luas, konstitusi dimaknai sebagai seperangkat prinsip-prinsip nilai dan norma dasar yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu sistem kekuasaan dilembagakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah organisasi. Dalam pengertian demikian, konstitusi dapat dipakai oleh berbagai macam dan jenis organisasi, mulai dari organisasi negara yang berdaulat, organisasi Internasional, sampai ke organisasi-organisasi perusahaan, dan asosiasi-asosiasi berbadan hukum ataupun organisasi-organisasi profesi, dan organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan pada umumnya, yang semuanya dapat memiliki dokumen yang dapat dikaitkan dengan pengertian konstitusi juga[1].

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan ketatanegaraan khususnya tata urutan peraturan perundang-undangan, pengertian konstitusi adalah level paling tinggi dalam hukum nasional[2]. Dengan demikian dalam konteks Indonesia, konstitusi Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa pemaknaan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia adalah pengertian dalam arti sempit. Sedangkan dalam arti luas, terdapat konstitusi yang tidak tertulis[3]. Berkaitan dengan hal ini, dalam tulisan ini penggunaan kata konstitusi akan digunakan secara bergantian dengan UUD 1945 untuk menunjuk pada makna yang sama.

Kedudukan UUD 1945 yang merupakan konstitusi Indonesia amatlah penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan dikategorikannya UUD 1945 sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Kedudukan UUD 1945 sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara juga tidak mengelami perubahan baik sebelum maupun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013[4].

Penjelasan singkat di atas cukup menggambarkan bahwa konstitusi berada pada tempat yang fundamental dalam penyelenggaraan negara. Lantas apakah pengelolaan kekayaan negara, yang menjadi tugas dan fungsi utama Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, memiliki keterkaitan dengan pembahasan mengenai konstitusi? Terlebih selama ini kerap kali pembahasan kekayaan negara “hanya” berkaitan dengan masalah-masalah teknis. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam pengelolaan kekayaan negara terdapat aspek-aspek yang bersinggungan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia.

Isu-isu Konstitusional dalam Putusan Pengadilan

Salah satu cara untuk mengidentifikasi aspek konstitusional dalam pengelolaan kekayaan negara adalah dengan menengok kepada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan perkara pengujian undang-undang dalam bidang kekayaan negara. Hakim pada Mahkamah Konstitusi tentunya sebelum sampai pada sebuah amar putusan akan mengkonstantir berbagai fakta dan menentukan ada atau tidaknya isu konstitusional dalam permohonan pengujian undang-undang yang diajukan kepadanya. Sehingga dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi kita dapat menemukan isu-isu konstitusional, yang dalam hal ini, berkaitan dengan pengelolaan kekayaan negara.

Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya berkaitan dengan bidang kekayaan negara dapat menjadi contoh bahwa pengelolaan kekayaan negara memiliki aspek konstitusional. Sebagai contoh akan dibahas beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menjelaskan hal tersebut.

Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VII/2009 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pada Putusan a quo Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian ketentuan undang-undang tersebut. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa barang milik negara memang harus diperlakukan secara khusus tidak sebagaimana barang-barang yang dimiliki oleh badan hukum perdata yang lain, hal tersebut mengingat fungsi yang melekat pada barang tersebut untuk digunakan dalam pelayanan umum. Putusan ini sekaligus bermakna bahwa ketentuan larangan penyitaan terhadap barang milik negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Perbendaharaan, adalah konstitusional.

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 143/PUU-VII/2009 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (UU SBSN). Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa pada pokoknya penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN, tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan BMN yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset, tidak ada pemindahan hak milik (legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah[5].

Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN). Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan menolak untuk selain dan selebihnya. Putusan a quo berimplikasi pada hilangnya kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara untuk melakukan pengurusan piutang-piutang yang diserahkan oleh “badan-badan lain” selain instansi Pemerintah (BUMN).

Selanjutnya, jika dihubungkan dengan isu pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang erat kaitannya dengan kekayaan negara yang dipisahkan (KND) maka akan ditemui lebih banyak lagi putusan Mahkamah Konstitusi yang substansinya bersinggungan. Putusan-putusan tersebut diantaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XVI/2018, Nomor 12/PUU-XVI/2018, Nomor 62/PUU-XI/2013, dan Nomor 48/PUU-XI/2013[6].

Melihat putusan-putusan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pengelolaan kekayaan negara mengandung aspek-aspek yang bersinggungan dengan konstitusi. Meskipun berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya menjadi salah satu alat untuk mengidentifikasi keberadaan aspek konstitusional dalam pengelolaan kekayaan negara, namun setidaknya telah cukup memberi gambaran bahwa sejalan dengan ruang lingkup kekayaan negara yang sangat luas maka isu-isu konstitusional juga dapat timbul dari berbagai sisi.

UUD 1945: Basis, Rambu-rambu, dan Tujuan Pengelolaan Kekayaan Negara

Sebagai Konstitusi Republik Indonesia dan salah satu pilar berbangsa dan bernegara sebagaimana telah disinggung sebelumnya, UUD 1945 menjadi dasar pedoman, rambu-rambu sekaligus memuat tujuan dari pengelolaan kekayaan negara. Dasar-dasar dan rambu-rambu tersebut dapat kita jumpai dari norma-norma dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Sedangkan tujuan dari pengelolaan kekayaan negara dapat dijumpai dalam Pembukaan UUD 1945.

Pasal 33 UUD 1945 menjadi salah satu norma Konstitusi yang menjadi dasar dalam pengelolaan kekayaan negara. Dalam pasal ini pula kita dapat menemukan bahwa tujuan pengelolaan kekayaan negara tidak lain adalah untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tujuan tersebut sejatinya juga telah diadopsi menjadi visi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Selengkapnya visi tersebut berbunyi,” Menjadi Pengelola Kekayaan Negara yang Profesional dan Akuntabel dalam rangka mendukung visi Kementerian Keuangan: Menjadi Pengelola Keuangan Negara untuk mewujudkan Perekonomian Indonesia yang Produktif, Kompetitif, Inklusif, dan Berkeadilan, serta untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”[7]

Selain Pasal 33 UUD 1945, Pasal 4 dan Pasal 5 UUD 1945 yang mengatur Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) juga menjadi landasan konstitusional dalam pengelolaan kekayaan negara. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai salah satu unit eselon I Kementerian Keuangan yang berada pada ranah eksekutif tentunya melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sebagaimana diatribusikan dalam norma konstitusi tersebut.

Selanjutnya, norma-norma Konstitusi pada BAB VIII UUD 1945 berkaitan dengan Hal Keuangan juga dapat menjadi dasar pengelolaan kekayaan negara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam hal pelaksanaan kewenangan di bidang keuangan negara tercakup pula didalamnya pengelolaan kekayaan negara, baik yang dimiliki Pemerintah maupun yang dikuasai Negara. Sehingga, norma-norma tersebut menjadi landasan dalam pengelolaan kekayaan negara.

Beranjak dari dasar pedoman, pengelolaan kekayaan negara juga harus mematuhi rambu-rambu konstitusional sebagaimana dapat dijumpai dalam norma-norma dalam UUD 1945 maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Jika melihat pada Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang disebutkan pada bagian sebelumnya kita dapat menemukan bahwa norma-norma tentang Hak Asasi Manusia yang terdapat dalam UUD 1945 kerap digunakan sebagai batu uji pengujian undang-undang. Berdasar fakta tersebut tidaklah salah kiranya apabila norma-norma berkaitan dengan Hak Asasi Manusia haruslah dianggap sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan kekayaan negara. Dengan demikian, pengelolaan kekayaan negara yang konstitusional adalah pengelolaan kekayaan negara yang tidak sedikitpun mengurangi keterpenuhan hak-hak asasi manusia.

Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dipandang sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan kekayaan negara. Sesuai dengan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi juga berkedudukan sebagai penafsir konstitusi yang putusannya mengikat secara umum. Hal ini berarti apabila Mahkamah Konstitusi memberikan sebuah putusan, dalam konteks ini berkaitan dengan kekayaan negara, maka putusan tersebut haruslah dipatuhi. Terlepas dari sifat putusan tersebut yang nantinya akan bersifat korektif ataupun memperkuat regulasi, kebijakan, dan praktik pengelolaan kekayaan negara.

Setelah dasar dan rambu-rambu dalam pengelolaan kekayaan negara, UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia juga memuat tujuan dari pengelolaan kekayaan negara. Tujuan pengelolaan kekayaan negara ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara Republik Indonesia itu sendiri. Sebagaimana juga telah disinggung sebelumnya, bahwa tujuan dari pengelolaan kekayaan negara adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan tersebut disebutkan dengan frasa “kesejahteraan umum”.

Berdasar Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Menurut ketentuan tersebut maka Pembukaan UUD 1945 juga merupakan bagian dari Konstitusi Republik Indonesia. Hamid Attamimi justru mengklasifikasikan Pembukaan UUD 1945 sebagai Staatsfundamentalnorm[8] yang kedudukannya lebih tinggi dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 juga dikatakan memuat tujuan tertinggi dari negara Indonesia (supreme goals)[9] dan pencantuman frasa “kesejahteraan umum” sebagai salah tujuan negara menjelaskan bahwa Indonesia menganut konsep Negara Kesejahteraan (welfare state)[10]. Menengok penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tujuan negara yang telah ditetapkan dalam Kontitusi Republik Indonesia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum sebagai haruslah menjadi mandat konstitusional yang harus selalu diperhatikan dalam pengelolaan kekayaan negara.

Penutup

Pengelolaan kekayaan negara yang selama ini mungkin lebih banyak dikaitkan dengan permasalahan teknis pada tataran implementasi sejatinya juga mengandung aspek-aspek konstitusional yang penting dan fundamental. Aspek-aspek konstitusional tersebut tercakup dalam dasar-dasar, rambu-rambu, serta tujuan konstitusional pengelolaan kekayaan negara. Aspek-aspek konstitusional tersebut dapat diidentifikasi dengan mencermati kembali norma-norma konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945 maupun dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara-perkara di bidang kekayaan negara. Pemahamanan terhadap aspek-aspek konstitusional pengelolaan kekayaan negara dapat menghantarkan kepada praktik pengelolaan kekayaan negara yang sesuai dengan norma-norma konstitusi sebagai dasar dengan penghormatan penuh terhadap hak-hak asasi manusia sebagai rambu-rambu dan mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat sebagai tujuan.

Penulis: Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)

[1] Jiimly Asshiddiqie, t.t., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, diunduh dari https://pusdik.mkri.id/materi/materi_24_KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME INDONESIA - Prof. Jimly.pdf, hal. 1.

[2] Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safaát, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, hal. 111.

[3] Jiimly Asshiddiqie, t.t., op. cit. hal. 2.

[4] Jimly Asshiddiqie, t.t., Pancasila dan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa, diunduh dari http://www.jimly.com/makalah/namafile/184/PANCASILA_DAN_4_PILAR_BARU.pdf.

[5] Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/keabsahan-penggunaan-bmn-sebagai-underlying-asset-sbsn-diperkuat-dengan-keputusan-mk/.

[6] Diakses dari https://jdih.bumn.go.id/putusan mk.

[7] Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/page/2923/Visi-dan-Misi-DJKN.html.

[8] Ahmad Redi, 2018, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 42.

[9] Mei Susanto, 2021, Kedudukan dan Fungsi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: Pembelajaran dari Tren Global, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 18 No. 2 Juni 2021: 184-203, hal. 196.

[10] Anonim, 2019, Hak Sosial Ekonomi dan Welfare State Kita, Editorial Majalah Konstitusi, Nomor 152 Oktober 2019, Jakarta: Sekretariat Mahkamah Konstitusi, hal. 3.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini