Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Masker, Oksigen, Panic Buying, dan Krisis Empati
Mahmud Ashari
Senin, 12 Juli 2021 pukul 09:36:04   |   30759 kali

Miris. Sedih. Galau. Sedikit dari beberapa diksi yang mewakili perasaan publik saat ini, khususnya ketika melihat kelangkaan beberapa komoditi yang sangat urgent dibutuhkan pada saat kondisi dunia diliputi pandemi, tak terkecuali Indonesia. Penulis terhenyak saat membaca sebuah berita yang menghiasi news portal Indonesia, dimana puluhan pasien di RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta meninggal akibat krisis stok oksigen di rumah sakit rujukan pasien COVID-19 tersebut. Pihak RSUP Dr Sardjito mengungkap total ada 33 pasien yang meninggal karena kekurangan oksigen.

Jika melihat data beberapa waktu terakhir ini, lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia memang kembali meningkat. Hal tersebut mengakibatkan permintaan oksigen naik, bahkan berdasarkan data dari website liputan6.com dan bigalpha.id, permintaannya naik sampai 3-4 kali lipat. Dampaknya? Permintaan yang tinggi pun memicu kelangkaan supply, dan harga oksigen pun dikabarkan terbang hingga 900 persen. Melansir informasi dari katadata.co.id, pada tanggal 24 Juni 2021 Indonesia memerlukan 207,3 ribu ton setiap harinya untuk penanganan Covid-19. Kebutuhan itu melonjak menjadi 306,6 ribu ton per tanggal 1 Juli 2021. Terjadi kenaikan sampai 48 persen, sedangkan stock di pasar belum ditambah.

Dilansir dari beberapa sumber literasi, pasien Covid-19 memerlukan oksigen untuk menjaga kadar saturasi oksigen. Jadi, ketika sedang sakit, paru-paru tidak akan berfungsi secara maksimal. Suplai oksigen ke dalam tubuh akan berkurang, sehingga mengakibatkan sesak napas sehingga tubuh juga akan melemah dan pucat. Kondisi inilah yang menyebabkan pasien membutuhkan oksigen untuk membantunya.

Oksigen dapat diperoleh melalui pembelian pertama bersama tabungnya (tabung oksigen atau tangki oksigen portable), maupun dengan isi ulang (jika konsumen sebelumnya telah memiliki tabung atau tangki portable). Oksigen biasanya digunakan di rumah sakit dan klinik rawat jalan. Umumnya, dokter akan merekomendasikan pasien untuk menjalani terapi oksigen melalui tangki oksigen portable terstandardisasi, karena oksigen di dalam tubuh manusia berfungsi dalam proses oksidasi makanan. Jadi secara medis, kebutuhan akan oksigen bukan hanya melulu didominasi oleh pasien Covid-19, namun juga oleh pasien penyakit lain seperti asma, pneuomia, gagal jantung, dan beberapa penyakit lainnya.

Kondisi kelangkaan oksigen ini mengingatkan kita pada kondisi tahun lalu, tepatnya saat awal-awal pandemi, dimana pada waktu itu dunia-tak terkecuali Indonesia- dihebohkan dengan kelangkaan masker. Padahal masker, menurut World Health Organization (WHO) dikampanyekan sebagai perlengkapan yang wajib dipakai untuk menangkal penyebaran wabah. Pada awalnya terdapat kebijakan bahwa masker hanya wajib dipakai oleh orang-orang yang sakit. Namun belakangan, masker dianjurkan untuk seluruh manusia. Akibatnya, masker menjadi salah satu komoditi yang paling diburu (prime comodity). Dalam waktu singkat, permintaan masker melonjak. Namun disisi lain, ketersediaannya langka di pasar. Seandainyapun ada, harganya mengalami lonjakan yang luar biasa.

Masyarakat pun berbondong-bondong melakukan panic buying, memburu komoditi masker secara berlebihan, antara takut kehabisan stock maupun khawatir akan penyebaran virus Corona yang semakin meluas. Berbagai toko ritel dan apotek diserbu oleh konsumen, mulai dari perburuan masker, sampai dengan produk medis lain semisal hand sanitizer, obat-obatan, sampai multivitamin. Bahkan panic buying melebar hingga perburuan makanan kaleng, mie instan, minuman kemasan, dan diapers.

Fenomena panic buying waktu itu membuat stok barang berkurang drastis, bahkan ada yang “ludes”, terutama masker yang dianggap sebagai alat yang efektif mencegah penularan virus Corona. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum, antara lain dengan cara menimbun komoditi medis, terutama masker yang menjadi prime commodity saat itu. Penimbunan tersebut dilakukan tidak lain untuk memainkan stok dan harga, dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, terjadi kenaikan dan kelangkaan yang luar biasa pada stock masker saat itu. Salah satu kondisi di pertengahan Februari 2020, di Pasar Pramuka-Jakarta Timur, yang terkenal sebagai pasar penyedia peralatan medis, harga masker N95 saat itu menyentuh Rp1,6 juta per boks yang berisi 20 buah. Padahal, harga normalnya hanya berkisar Rp 195.000 per boks. Selain itu, harga masker berjenis biasa pun juga tidak kalah melonjak. Harga masker jenis biasa mencapai Rp170.000 hingga Rp350.000 per boksnya yang berisi 50 buah. Padahal harga normalnya hanya sekitar Rp15.000 hingga Rp25.000 per boks.

Isu masker itu pun menjadi perhatian pemerintah, lembaga non pemerintah, polisi, dan masyarakat. Polisi misalnya melakukan sidak penjualan masker ke pasar-pasar untuk merespon kelangkaan masker akibat mewabahnya Covid-19. Kementerian Perindustrian melakukan kebijakan relaksasi perizinan produksi masker untuk menggenjot produksi masker. Hasilnya, per bulan Mei 2020, produksi masker meningkat dari kondisi biasa hanya 26 produsen menjadi 83 produsen. Bahkan, selama periode Juli-Desember 2020, angka produksi masker medis dalam negeri mencapai sekitar 3,1 miliar lembar, dengan rincian 350,5 juta lembar per bulan. Sementara, kebutuhan dalam negeri selama periode tersebut hanyalah 129,8 juta lembar. Artinya, ada kelebihan stok hingga 2,97 miliar lembar. Stock masker pun melimpah di pasaran, permasalahan masker pun teratasi.

Saat ini, fenomena kelangkaan komoditi kembali terjadi, yaitu pada jenis oksigen. Apakah hal tersebut dikarenakan panic buying semata, ataukah memang ada pihak-pihak yang memanfaatkan celah mekanisme pasar, bahwa semakin besar permintaan atas suatu produk, maka saatnya menimbun produk itu besar-besaran agar komoditi dimaksud semakin langka sehingga harga dapat dinaikkan sedemikian rupa? Ataukah memang kombinasi diantara keduanya?

Dilihat dari aspek hukum, tindakan penimbunan dapat dijerat pasal 107 Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 dijelaskan bahwa para pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu saat terjadi kelangkaan barang, bisa dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah). Namun, ancaman ini sepertinya tidak menyurutkan para oknum. Hal ini sedikit banyak membuktikan bahwa manusia mulai mengalami krisis moral khususnya empati terhadap sesama. Ada beberapa pihak yang disinyalir memang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan, sebagaimana pernyataan Kepala Kanwil III Komisi Pengawas Persaingan Usaha bahwa terdapat perilaku toko yang memanfaatkan kesempatan tingginya permintaan untuk menaikan harga oksigen portable. Hmmm, sungguh perilaku tidak terpuji dan tanpa empati.

Padahal empati, menurut Spreng, McKinnon & Levine (2009: 62), adalah salah satu aspek kognisi sosial yang memainkan peran penting ketika seseorang merespons emosi orang lain untuk membangun hubungan yang baik. Empati adalah dasar dari segala jenis interaksi, berwujud penempatan diri pada kondisi orang lain secara penuh. Dengan kata lain, empati adalah paham dan memahami perasaan orang lain.

Jika tidak ada empati, maka tidak akan terjadi tolong menolong dan hanya akan menciptakan indivualisme pada setiap individu. Empati menjadi penting karena mampu menciptakan kepercayaan dan kenyamanan di planet biru ini. Maka dari itu, empati sangatlah diperlukan dalam membangun kemanusiaan. Bahkan, bisa dikatakan empati adalah substansi dari kemanusiaan itu sendiri.

Perilaku menimbun dan menaikkan harga masker dan (kemungkinan juga) oksigen, atau entah apa lagi komoditi yang akan ditimbun dan dinaikkan harganya di masa mendatang oleh oknum-oknum tertentu, sudah pasti menimbulkan keresahan publik. Selain dibutuhkan upaya pemerintah dalam memberangus perbuatan tidak terpuji tersebut, kita sebagai masyarakat juga selayaknya melakukan hal-hal empati lainnya semisal membeli barang sesuai kebutuhan. Tidak melakukan aksi panic buying secara membabi buta.

Mulailah membangun empati, tanamkan prinsip: bahwa jikapun pada saat ini tersedia komoditi tertentu yang menjadi prime comodity, namun perlu disadari bahwa tidak semua masyarakat mampu membelinya-hari ini. Sehingga, jika kita memborongnya hari ini, yang mengakibatkan stock menjadi kosong, saat besok masyarakat lain sudah mempunyai kemampuan untuk membeli produk tersebut, tentunya mereka tidak akan mendapatkan komoditi itu. Oleh sebab itu, marilah kita berempati, menempatkan diri jika kita di posisi mereka. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang hidup berdampingan, makhluk yang tidak dapat hidup sendiri. Semoga menjadi perenungan kita bersama.

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran

Referensi:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

https://katadata.co.id/ariayudhistira/infografik/60e65d79eb147/kelangkaan-oksigen-medis-di-tengah-ledakan-kasus-covid-19

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4601008/waduh-harga-oksigen-di-jakarta-melonjak-hingga-900-persen

Spreng, R Nathan, McKinnon, Margharet, & Levine, Brian. 2009. The Toronto Empathy Questionnaire: Scale Development and Initial Validation of a Factor-Analytic Solution to Multiple Empathy Measures. Journal of Personality Assessment 91(1): 62-71.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini