Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Memahami Utang Pemerintah
Aminah Nurmillah
Kamis, 08 Juli 2021 pukul 09:33:31   |   133265 kali

Selama ini, utang Pemerintah menjadi isu yang sangat seksi, dan sering dibawa-bawa ke ranah politik. Beberapa pihak berpandangan, bahwa jumlah utang Pemerintah saat ini sudah mengkhawatirkan dan meragukan kemampuan Pemerintah untuk membayarnya.

Namun, perlu diketahui, dalam melakukan dan mengelola utang/pinjaman, Pemerintah mempunyai aturan main yaitu undang-undang, best practices dan prinsip kehatian-hatian (prudent). Hal penting yang juga perlu dipahami, bahwa utang tersebut digunakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional, disepakati bersama antara Pemerintah dan DPR RI ketika membahas dan menetapkan APBN.

Utang sebagai Instrumen Pembangunan

Pembangunan nasional membutuhkan dana yang besar, yang dicantumkan dalam APBN. Sumber penerimaan untuk mendanai pengeluaran APBN berasal dari Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan. Pendapatan Negara berasal dari Perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah. Sementara Penerimaan Pembiayaan antara lain berasal dari penerimaan utang.

Selama kurun waktu 7 tahun (2015-2021), pengeluaran belanja dalam APBN terus meningkat, sebesar Rp1.806,5 triliun (2015) menjadi Rp2.750 triliun (2021). Pengeluaran belanja digunakan untuk Belanja Pemerintah Pusat serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Belanja Pemerintah Pusat dialokasikan kepada kementerian/lembaga. Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan dana yang ditransfer ke pemda dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal dan menjadi pendapatan pemda yang bersangkutan.

Jika dianalisis APBN 2015-2021, terjadi perubahan yang siginifikan dalam postur APBN. Selama tahun 2015-2019, defisit APBN dikisaran 1,82 persen - 2,59 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan tahun 2018 dan 2019 mencapai titik terendah yaitu 1,82 persen dan 2,20 persen, jauh di bawah 3 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.

Pada tahun 2020 dan 2021 terjadi peningkatan yang signifikan terhadap defisit APBN yaitu 6,34 persen dan 5,7 persen. Peningkatan defisit tersebut dikarenakan menurunnya Pendapatan Negara dan terjadinya kenaikan Belanja Negara akibat pandemi Covid-19. Kenaikan belanja tersebut untuk kesehatan, Perlindungan Sosial (Social Safety Net), program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Belanja kesehatan antara lain untuk penyedian fasilitas kesehatan dan penyediaan vaksin Covid-19. Perlindungan Sosial berupa Bantuan Sosial untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Program PEN untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya.

Pada Tahun 2020 dan 2021, Pendapatan Negara adalah sebesar Rp1.647,8 triliun dan Rp 1.743,6 jauh dibawah tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 sebesar Rp1.960. Sementara Belanja Negara tahun 2020 dan 2021 meningkat signifikan yaitu Rp2.595,5 dan Rp2.750, sebelumnya sebesar Rp2.309,3 triliun pada tahun 2019. Penurunan Pendapatan Negara dan kenaikan Belanja Negara yang signifikan tersebut mengakibatkan peningkatan defisit. Untuk menutup defisit, Pemerintah melakukan pinjaman. Utang tersebut merupakan bagian instrumen fiskal untuk mendanai pembangunan nasional.

Pengelolaan Utang Pemerintah

Sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 yang telah diaudit oleh BPK RI dan beropini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), posisi pinjaman Pemerintah Pusat sebesar Rp6.079,17 triliun. Pertanyaannya apakah Utang Pemerintah di atas aman, dan mampu dibayar oleh Pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek:

Pertama, peraturan perundan-undangan, sesuai dengan UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang Pemerintah adalah maksimal 60 persen dari PDB. Posisi Utang Pemerintah per 31 Desember 2020 adalah 39,39 persen artinya masih jauh dibawah ketentuan. Kedua, porsi Utang Pemerintah, 85,89 persen dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini menggambarkan upaya Pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan dan peran masyarakat dalam pembangunan serta meminimalkan risiko. Ketiga, Utang Pemerintah didominasi Rupiah untuk meminimalkan risiko terhadap fluktuasi nilai tukar dan mengoptimalkan sumberdaya domestik. Keempat, diversifikasi portofolio utang, yang meningkatkan efisiensi utang (biaya dan meminimalkan risiko). Kelima, Porsi Pinjaman Jangka Panjang melebihi 90 persen dari total Utang. Pemerintah mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk mengambil kebijakan pembayaran utang yang lebih baik. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam membangun infrasruktur yang akan memberikan multiplier effects jangka menengah dan panjang.

Last but not least, posisi keuangan Pemerintah menurut LKPP 2020 sangat baik, di mana ekuitas atau kekayaan bersih Pemerintah mencapai Rp4.473,2. Artinya aset Pemerintah lebih besar dari utangnya. Porsi terbesar aset Pemerintah adalah aset tetap termasuk infrastruktur, dan Investasi Jangka Panjang yang mencapai 82,4 persen dari total Aset. Hal ini menandakan, Pemerintah juga menggunakan APBN untuk memperoleh aset yang memberikan manfaat kepada masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Penulis: Edward UP Nainggolan, Kakanwil DJKN, Kemenkeu, Kalbar

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini