Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Pustakawan: Antara Stereotip, Tantangan, dan Peluang
Mahmud Ashari
Rabu, 07 Juli 2021 pukul 13:56:18   |   1380 kali

Tahun 1994, pertama kali penulis menginjakkan kaki di sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang lumayan lengkap. Perpustakaan itu adalah perpustakaan di salah satu SMA Negeri favorit di Salatiga. Disana jugalah penulis mengenal Pak Wiryawan, seorang penjaga perpustakan (yang dikemudian hari barulah penulis mengenal profesinya itu adalah pustakawan). Jika anda berpikir sosok Pak Wiryawan itu udah sepuh, rambut udah memutih (bahkan putih semua), dan berkacamata tebal, maka dugaan anda seratus persen benar. Yaaa, stereotip itu memang melekat pada pustakawan di planet biru ini. Bahkan ada beberapa kawan yang menambahkan label tukang ssssst” pada pustakawan, karena frekuensi para pustakawan dalam mengingatkan para pengunjung yang bercakap-cakap di ruang perpustakaan dengan desisan panjang “sssst” dan mata mendelik.

Stereotip tersebut melekat sekian lama, sehingga menimbulkan stigma “kalo mau ke perpustakaan, siap-siap ketemu pustakawan yang jutek”. Jutek? Ahhh, itu relative. Tergantung orangnya juga, karena pustakawan juga manusia. Yang namanya manusia, tentu ada naik turun mood dan perasaannya. Jika berbicara mengenai sisi manusiawi profesi pustakawan, penulis jadi teringat sebuah film yang dirilis tahun 1995 berjudul Party Girl. Film tersebut menggambarkan sisi manusiawi dan alakadarnya dari seorang pustakawan.

Dalam film tersebut, dikisahkan seorang gadis bernama Mary (diperankan oleh Parker Posey), dengan circle pergaulan bebas dan sangat hobi berpesta. Pada suatu hari dia ditangkap karena mengadakan pesta secara illegal dan dikenakan denda akibat perbuatannya itu. Karena kesulitan melunasi uang denda, Mary menerima tawaran pekerjaan sebagai pegawai perpustakaan. Awalnya dia merasa bahwa bekerja di perpustakaan itu membosankan dan ribet. Namun setelah mengalami beberapa insiden, Mary memutuskan untuk berjuang menjadi pustakawan yang kompeten, mulai dari belajar teknik menata buku agar rapi sampai mempelajari Dewey Decimal System (DDC), yaitu sebuah sistem standar pengelompokan buku dengan metode desimal untuk membagi semua bidang ilmu pengetahuan (Zen, 2009: 24). Mary mempelajari dengan tekun seluk beluk DDC yang membagi ilmu pengetahuan manusia menjadi 10 kelas utama, dimana masing-masing kelas utama di bagi menjadi 10 divisi, dan masing-masing divisi dibagi menjadi 10 seksi (Rahayuningsih, 2007:52). Persona itulah yang jarang diekspos ke publik. Film itu mengangkat secara gamblang setiap celah dari rumitnya profesi pustakawan dan sisi manusiawi dari seorang pustakawan.

Stereotip lain dari pustakawan adalah bahwa profesi tersebut tidak sepopuler profesi-profesi lainnya. Coba kita flashback masa kecil kita. Sewaktu kecil, pada saat ditanya mengenai cita-cita, secara spontan kita akan menjawab profesi-profesi yang “populer” semisal dokter, tentara, polisi, atau guru. Dan sepertinya jika pertanyaan itu diajukan ke kids zaman now, kita akan mendapatkan jawaban yang kurang lebih sama. Hal tersebut selain dikarenakan pandangan bahwa profesi pustakawan tidak semenarik profesi lain, juga karena anggapan bahwa orang yang bekerja di perpustakaan kerjanya hanya menjaga atau menunggu perpustakaan. Orang yang beranggapan seperti itu mungkin tidak pernah berkunjung ke perpustakaan atau mungkin kurangnya informasi tentang perpustakaan yang sudah berkembang pesat sampai saat ini. Perpustakaan zaman now sudah keren-keren. Perpustakaan umum di daerah sudah banyak yang berbenah diri menjadi lebih bagus. Mulai dari gedung hingga fasilitas dan pengelolaannya semakin baik dan menarik. Tapi mindset masyarakat masih menganggap pustakawan adalah orang yang menjaga atau menunggu perpustakaan.

Padahal pustakawan juga mempunyai sumbangsih dan pengabdian kepada masyarakat, sama seperti kontribusi yang dilakukan oleh profesi lain seperti dokter, tentara, polisi, atau guru. Pustakawan bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai sumber informasi yang dibutuhkan masyarakat melalui koleksi bahan pustaka yang ada di perpustakaan. Bahkan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, seorang pustakawan tidak hanya menyediakan informasi. Pustakawan juga harus dapat menyajikan informasi secara baik dan benar, menguasai teknologi yang ada, serta harus berpengetahuan luas.

Seorang pustakawan bertugas untuk mengelola dan memberikan pelayanan kepada pengguna perpustakaan. Semua koleksi perpustakaan menjadi tanggung jawab pustakawan dalam hal pengelolaannya. Mulai dari seleksi dan pengadaan bahan pustaka, inventarisasi, proses katalogisasi, serta kelengkapan bahan pustaka juga menjadi tanggung jawab pustakawan.

Seorang pustakawan juga dituntut menjadi manusia yang up to date, karena seorang pustakawan harus mengetahui informasi dan teknologi. Apalagi di era digital, dimana perpustakaan bisa diakses darimana saja dan kapan saja sepanjang ada koneksi internet. Dan seperti profesi lain, pustakawan pun harus bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan teknologi saat ini. Sehingga pengunjung dapat mengakses e-book, jurnal, makalah dan informasi yang dibutuhkan dengan mudah, nyaman dan menyenangkan. Dengan begitu diharapkan semakin banyak warga yang berminat mengakses perpustakaan dan mau meluangkan waktu untuk membaca buku (e-book), tidak sekadar rajin membaca status-status yang diposting di media sosial.

Tantangan pada profesi pustakawan memang tidak mudah, banyak aral rintangan yang harus dihadapi. Faktor tantangan dan stereotip yang melekat pada profesi pustakawan ternyata berdampak pada kurangnya tenaga profesi khususnya di Indonesia. Di tahun 2020, Kepala Perpustakaan Nasional, dalam jumpa pers Rakornas Perpustakaan Nasional (21 Februari 2020) mengungkapkan bahwa pada saat ini Indonesia hanya memiliki 5.000 orang pustakawan, sedangkan yang dibutuhkan sebanyak 600.000 orang. Di satu sisi, data tersebut membuat miris. Namun disisi lain, data tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa masih terdapat lapangan pekerjaan yang terbuka untuk digeluti.

Namun sekali lagi perlu diingat bahwa semua profesi memiliki kelebihan dan kekurangan, memiliki kemudahan maupun kesulitan tersendiri. Demikian juga halnya profesi pustakawan. Pasti akan ada aral rintangan yang harus dihadapi. Tetapi hal tersebut harus menjadi suatu motivasi dan cambuk agar pustakawan dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mengelola sebuah perpustakaan sebagai upaya meningkatkan semangat berliterasi masyarakat. Selamat hari pustakawan nasional, 7 Juli 2021. Salam literasi!

Penulis: Mahmud Ashari, Kepala Seksi Hukum dan Informasi

Referensi:

Rahayuningsih (ed). 2007. Pengelolaan Perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zen, Zulfikar. 2009. Klasifikasi DDC 22 : buku Kerja. Depok: Program Studi Ilmu Perp. FIB UI

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini