Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Manusia Dalam Label Generasi
Shabira Afina
Senin, 28 Juni 2021 pukul 15:37:45   |   2126 kali

Dalam beberapa tahun terakhir, dinamika di lingkungan kerja telah berubah secara dramatis, bukan hanya segmentasi antara bidang kerja melainkan secara tidak sengaja, segmentasi generasi kelahiran. Segmentasi generasi tersebut seringkali menimbulkan beban kerja yang tidak seimbang bagi tiap individu dan menimbulkan efek samping seperti bentuk protes dengan akun pseudonim di media sosial serta kesehatan fisik dan mental yang menurun.

Segmentasi generasi tersebut didasarkan pada hasil riset PEW Reasearch Center. Menurut PEW Reasearch Center, generasi milenial merupakan orang-orang yang lahir pada tahun 1981 sampai dengan 1996. Generasi milenial sendiri dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu the student millenial, the working millenial, dan the family millenial. Dimana pola berpikir ketiganya bisa dikatakan berbeda akibat pengalaman hidup yang dialami serta peristiwa sejarah yang disaksikan. Generasi The Family Millenial dan The Working Millenial adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1981 sampai dengan 1993 dimana saat kejadian tahun 1998 terjadi, mereka sudah memahami dampaknya sehingga memiliki pola berpikir dan berperilaku yang berbeda dengan the student millenial.


Berbeda dengan Generasi Milenial, karakteristik Generasi X dan Baby Boomers didefinisikan memiliki loyalitas dan etika bekerja yang lebih tinggi, lebih fokus, dan suka bekerja keras. Ini disebabkan oleh pengalaman hidup dan peristiwa bersejarah yang mereka alami lebih variatif serta paparan informasi yang mereka dapat juga tidak sebanyak dan sevariatif generasi sesudahnya. Perbedaan karakteristik generasi inilah yang menyebabkan dinamika pada lingkungan kerja.


Sebagai contoh Generasi X dan Baby Boomer melihat karakteristik generasi milenial sebagai generasi yang menghendaki semuanya serba cepat dan instan, berkepribadian narsistik, tidak responsif, dan tidak loyal. Namun demikian, pandangan tersebut juga diimbangi dengan stereotipe bahwa generasi milenial dapat diandalkan dalam menciptakan terobosan-terobosan baru yang berhubungan dengan teknologi. Sebaliknya generasi milenial menganggap bahwa generasi sebelum mereka adalah generasi yang kurang fleksibel, kurang peka terhadap kesehatan mental, dan bekerja terlalu keras. Perbedaan pandangan tersebutlah yang menciptakan segmentasi generasi di lingkungan kerja.

Sayangnya, segmentasi generasi menciptakan labelisasi pada masing-masing individu. Segmentasi tersebut sering dinyatakan dengan label “Kamu kan milenial” dan “Mereka bukan milenial”. Seringkali label tersebut menciptakan beban pada masing-masing individu yang dilabeli demikian. Label “kaum milenial” menggambarkan seseorang harus selalu menemukan solusi dengan teknologi yang terus berkembang pesat, kreatif, dan mampu melakukan multitasking. Sedangkan label “bukan kaum milenial” ditujukan untuk seseorang yang berusia di atas 30-an, sudah bekerja lebih dari 10 tahun, dan tidak memiliki akun media sosial. Padahal label berdasarkan segmentasi generasi tersebut belum tentu benar.

Pada dasarnya masing-masing generasi yang telah diidentifikasi oleh PWE Research Center di atas adalah sekumpulan manusia yang dapat berkembang dan berubah sesuai dengan lingkungan serta paparan informasi yang didapat. Seorang generasi milenial bisa saja tidak bisa membuat konten kreatif karena ia tidak terlalu aktif bermain media sosial. Seorang generasi X bisa saja lebih memahami tentang data science karena ia merupakan seorang yang bekerja dalam bidang data. Bahkan seorang generasi baby boomer dapat menghasilkan sebuah pakaian maha karya karena sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia fashion pakaian dunia.

Segmentasi generasi dalam dunia kerja seharusnya tidak dianggap menjadi sesuatu yang signifikan hingga terbentuk label. Sebab, kualitas seseorang seharusnya dinilai dari kompetensi, kualifikasi dan performa bekerja seperti penerepan sistem merit. Sebagaimana cita-cita Pemerintah untuk mencetak ASN yang kompeten, handal, dan kompetitif dengan menerapkan sistem merit. Menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.

Dengan adanya sistem merit ini diharapkan tidak ada lagi segmentasi ASN berdasarkan SARA, jenis kelamin, bahkan generasi sehingga dapat tercipta teamwork di lingkungan Kementerian Keuangan dan DJKN khususnya, yang harmonis dengan tujuan bersama yaitu berkontribusi penuh untuk negara Republik Indonesia.

-KJY-


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini