Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Kartini dan Kesetaraan Gender, No One Left Behind
Tantri Dewayani
Rabu, 21 April 2021 pukul 17:20:59   |   107845 kali

Penulis : Tantri Dewayani


"Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata Aku tiada dapat! melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung."

(Kutipan Pemikiran Kartini)

Setiap tahunnya, Indonesia selalu memperingati Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April. Sosok Raden Adjeng (R.A.) Kartini merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Hari Kartini diperingati sebagai bentuk penghormatan pada Ibu Kartini yang telah berjuang untuk mendapatkan kesetaraan hak perempuan dan laki-laki di masa lalu. Ia dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita pribumi kala itu.

Ibu Kartini adalah sosok pelopor persamaan derajat perempuan nusantara yang mendedikasikan intelektualitas, gagasan, dan perjuangannya untuk mendobrak ketidakadilan yang dihadapi. Sebagai pemikir dan penggerak emansipasi perempuan, Kartini menjadi sumber inspirasi perjuangan perempuan yang mengidamkan kebebasan dan persamaan status sosial dengan keberhasilannya menuliskan pemikirannya secara runut dan detail.

Ibu Kartini juga sangat erat kaitannya dengan isu gender di masa kini. Konsep gender menurut KMK 807 Tahun 2018 merupakan peran dan status yang melekat pada laki-laki atau perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman, bukan berdasarkan perbedaan biologis.

Apa itu gender? Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Istilah gender ini pertama kali dikemukakan oleh para ilmuwan sosial, mereka bermaksud untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial).

Banyak orang mengartikan atau mencampuri ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah sepanjang zaman. Perbedaan gender ini pun menjelaskan orang berfikir kembali tentang peran mereka yang sudah melekat, baik pada laki-laki maupun perempuan.

Keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia dipelopori oleh RA Kartini sejak tahun 1908. Perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sebagai wujud perlawanan atas ketidak adilan terhadap kaum perempuan pada masa itu. Dalam perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartini ditindak lanjuti pada tanggal 22 Desember 1928 oleh Kongres Perempuan Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu.

Jadi, bila saat ini marak isu Pengarus Utamaan Gender (PUG), nampak bahwa kesetaraan dan keadilan gender tidak muncul begitu saja, melainkan dari zaman kolonial sudah muncul, dipelopori oleh sosok perempuan (RA Kartini). Sehingga sampai sekarang antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, namun tidak terlepas dari konteks cara pandang harus tetap disesuaikan dengan “kodrat perempuan”.

Dalam kehidupan sekarang tidak jarang kesetaraan dan keadilan gender sering menjadi masalah sosial, tidak pelak kesetaraan gender dijadikan sebagai alasan laki-laki (suami) untuk tidak memenuhi kewajibannya kepada perempuan (istri).

Contohnya saja dalam mencari nafkah, tidak sedikit perempuan bekerja banting tulang layaknya laki-laki untuk mencukupi kehidupan keluarga sedangkan suami seakan-akan lepas tanggung jawab terhadap istri dan anaknya. Hal demikian sesungguhnya adalah masalah gender yang tidak wajar, karena sesungguhnya kesetaraan gender yang dimaksud adalah harus tetap memperhatikan “kodrat perempuan”.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan kesetaraan gender, kenapa? Karena adanya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasakan masih kurang, dan adanya budaya (adat istiadat) yang bias akan gender. Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender yaitu kurangnya pemahaman masyarakat akan akibat dari adanya sistem struktur sosial dimana salah satu jenis (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban.

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup. Tidak hanya diperuntukkan bagi para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun mempunyai hak yang sama.

Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus dibebani konsep gender.

Namun, sampai saat ini perempuan sering dianggap sebagai sosok pelengkap. Ketidakadilan gender ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat, bahkan dalam dunia pekerjaan pun terjadi diskriminatif atau ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, yaitu:

  • Stereotip/citra baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak. Padahal disisi lain laki-laki pun bisa menjadi sekretaris tidak hanya perempuan saja.
  • Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: dari sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.
  • Marginalisasi/Peminggiran, yaitu kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
  • Beban Ganda/Double Burden, yaitu adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Mengapa Beban Ganda bisa terjadi? Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Dan bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik dan sebagainya.
  • Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang,sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan sosialisasi yang terus menerus bahwa perempuan juga mempunyai hak untuk berkedudukan setara dengan laki-laki. Dan penting bagi perempuan untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat disetarakan dengan laki-laki. Karena untuk hal tertentu perempuan tidak bisa menduduki posisi laki-laki dalam menjaga kehormatan dan melindungi perempuan itu sendiri.

Selain itu, memberikan hak yang sama dengan laki-laki, dengan tetap melindunginya akan menjadikan perempuan merasakan keadilannya sudah terpenuhi secara utuh. Maka keseimbangan kehidupan pun akan terwujud.

Untuk lebih optimal dalam pencapaian kesetaraan gender, perlu pula dilakukan penyempurnaan perangkat hukum dalam melindungi setiap individu dan ketersediaan data serta peningkatan partisipasi masyarakat. Tujuannya sebenarnya cukup sederhana, agar semuanya seimbang, setara, adil, wujud impian kita semua.

So, Kesetaraan Gender, itulah cita-cita mulia Ibu Kartini. Selamat memperingati Hari Kartini Tahun 2021 para perempuan hebat!



'coz we're equal, no one left behind


Tidak ingin berada di atasmu

Apalagi di bawahmu

Cukup berada di sebelahmu

Karena kita setara…”

(tidi)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini