Budaya Korupsi atau Korupsi Membudaya
AMINAH NURMILLAH
Minggu, 14 Maret 2021 pukul 11:40:25 |
90285 kali
Pada tanggal 25 November 2020,
kita semua dikejutkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy
Prabowo lewat operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Ironinya, OTT dilakukan sesaat
setelah Edhy Prabowo, isteri dan
rombongan tiba di Bandara Soekarno Hatta dari Honolulu AS yang membeli barang-barang mewah diduga menggunakan
uang hasil dari korupsi.
Tidak berselang lama, rakyat
Indonesia disuguhkan lagi OTT Menteri Sosial, Juliari Batubara, atas dugaan korupsi
pengadaan Bansos penanganan Covid-19 tahun 2020. Juliari Batubara diduga
menerima fee Rp10.000 dari setiap
paket pengadaan sembako untuk rakyat miskin sebesar Rp300.000/paket.
Pada tanggal 26 Februari yang
lalu, KPK kembali melakukan penangkapan terhadap Gubernur Sulawesi Selatan,
Nurdin Abdullah atas dugaan korupsi. Sebelum menjabat Gubernur Sulawesi
Selatan, Nurdin Abdullah merupakan Bupati Bantaeng dua periode (tahun 2008-2018)
yang mempunyai prestasi fenomenal. Bahkan Nurdin Abdullah disejajarkan dengan
para kepala daerah yang berhasil memimpin daerahnya seperti Ridwan Kamil (walikota
Bandung) dan Tri Rismaharini (Walikota Surabaya). Banyak prestasi dan
penghargaan yang diperoleh antara lain dianugerahi
Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2017.
Sejarah Panjang Korupsi
Korupsi
yang berasal dari Bahasa Latin corrumpere (berarti busuk, rusak,
menggoyahkan) telah ada dari sejak peradaban mesir kuno, Babilonia, Yunani, Cina
serta romawi. Berdasarkan catatan peninggalan Babilonia, perilaku koruptif
mencapai puncaknya sekitar tahun 1200 sebelum masehi yang melibatkan para
pejabat pemerintahan. Oleh sebab itu ketika Raja Hammurabi memerintah Babilonia,
membuat Code of Hammurabi untuk menghukum pejabat yang korupsi
Di Indonesia perilaku korupsi juga sudah ada dan mengalami pasang surut sejak masa kerajaan-kerajaan di Nusantara. Korupsi berlanjut terus pada masa Kolonial Belanda, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Bahkan Begawan Ekonom Indonesia, Prof. Sumitro Joyohadikusumo, pada awal tahun 1980-an, menengarai 30 persen dana APBN dikorupsi.
Budaya Korupsi atau Korupsi yang Membudaya
Melihat sejarah panjang korupsi di atas, dan “massif”-nya
perilaku korupsi yang terus berkembang sampai dikategorikan sebagai extraordinary crime, terbersit dalam
pikiran kita, apakah korupsi merupakan budaya turun-temurun sejak dulu?
Budaya (bahasa Sansekerta yaitu Buddhaya kata jamak dari kata Buddhi ) artinya adalah segala hal yang
berhubungan dengan budi dan akal manusia. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa budaya
merupakan perilaku positif yang berasal dari akal budi manusia. Jika
parameternya adalah akal budi, maka perilaku yang dihasilkan oleh budaya,
mempunyai unsur kebaikan dan memberikan manfaat untuk masyarakat.
Korupsi merupakan perbuatan busuk
yang mempunyai daya rusak yang sangat luar biasa antara lain mempengaruhi perekonomian
nasional, meningkat kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak
mental dan budaya bangsa, mendistorsi
hukum, dan mempengaruhi kualitas layanan
publik. Semakin tinggi korupsi di suatu negara, bisa dipastikan negara tersebut
tidak sejahtera/maju dan layanan publiknya memprihatinkan. Sebaliknya, negara
yang sangat rendah tingkat korupsinya, maka negara tersebut sejahtera/ maju,
kehidupan sosial dan pelayanan publiknya baik. Oleh sebab itu, korupsi bukanlah
budaya, namun kemungkinan bisa membudaya
Melihat korupsi yang ‘massif’ dan
daya rusaknya, maka sudah selayaknya seluruh komponen bangsa untuk memerangi
korupsi dan mencegahnya supaya tidak membudaya di Indonesia. Artinya korupsi
tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar.
Perilaku korupsi bisa saja dianggap
perbuatan yang wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi
dan tidak membangun sikap anti korupsi. Oleh sebab itu pencegahan dan
pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.
Peran
masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Strategi preventif,
masyarakat berperan aktif mencegah terjadinya perilaku koruptif, misalnya dengan tegas menolak
permintaan pungutan liar dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan
aturan. Strategi detektif, masyarakat diharapkan aktif melakukan pengawasan sehingga
dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini mungkin. Selanjutnya
adalah strategi advokasi, masyarakat aktif melaporkan tindakan korupsi kepada instusi penegak hukum dan
mengawasi proses penanganan perkara korupsi.
(Edward Nainggolan, Kepala Kanwil DJKN Kalbar)
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |