Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
BMN dan Bencana
Krisno Nugroho
Rabu, 03 Februari 2021 pukul 14:39:52   |   1159 kali




Kepulauan Indonesia terletak di Ring of Fire. Hal ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana. Bencana alam berupa gempa yang menimpa Sulawesi Barat dan banjir yang melanda Kalimantan Selatan baru-baru ini menambah panjang daftar bencana yang pernah melanda Indonesia. Kerugian materiel yang ditimbulkan oleh kedua bencana tersebut sangat besar yang bisa mencapai Rp10 Triliun (Wahyudi 2021). Kerugian tersebut belum menghitung kerugian imateriel berupa korban jiwa dan trauma dari para keluarga korban. Namun, apabila dikaji lebih dalam lagi, Pemerintah sebagai sebuah entitas juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Seluruh Barang Milik Negara (BMN) yang berada di wilayah bencana terutama gempa di Sulawesi Barat menjadi rusak berat dan tidak dapat digunakan kembali untuk operasional. Kerugian tersebut tidak hanya dalam bentuk materiel tetapi juga imateriel berupa terhentinya pelayanan kepada masyarakat dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun kembali seluruh fasilitas yang rusak. Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak bencana secara umum dan peran yang dapat dioptimalkan oleh DJKN sebagai aset manajer ketika berhadapan dengan bencana alam.


Penyebab bencana alam terbagi menjadi beberapa kelompok antara lain geofisika, meteorologi, hidrologi, dan klimatologi (Djalante & Garschagen 2017). Gempa bumi yang mengguncang wilayah Sulawesi Barat merupakan gempa tektonik yang merupakan kategori bencana alam geofisika. Sedangkan banjir yang menimpa Kalimantan Selatan merupakan kategori bencana alam hidrometeorologi. Kedua bencana tersebut memiliki karakteristik dan menimbulkan dampak yang berbeda.


Indonesia telah mengalami berbagai macam bencana yang berbeda. Berdasarkan data The International Disaster Database Centre for Research on the Epidemiology of Disaster, sejak tahun 1909 sampai 2020 telah terjadi setidaknya 499 kali bencana yang berkaitan dengan aktivitas geofisika dan hidrometeorologi. Sekitar 38% merupakan bencana akibat aktivitas geofisika dan 62% merupakan bencana yang terkait hidrometeorologi (EMDAT 2021). Data tersebut senada dengan hasil penelitian Djalante dan Garschagen (2017) yang menggunakan sumber data dari tahun 1900 - 2016.


Sumber: EMDAT 2021

Kerugian yang ditimbulkan oleh dua jenis bencana tersebut sangat beragam. Bencana geofisika relatif lebih kecil meskipun hanya 38% tetapi menyebabkan kematian yang sangat tinggi mencapai 95% dari total keseluruhan (EMDAT 2021). Sedangkan korban terdampak bencana geofisika memberikan kerugian yang relatif lebih kecil dibandingkan korban bencana hidrometeorologi. Korban terdampak ini yaitu korban luka dan korban yang kehilangan tempat tinggal.


Sumber: EMDAT 2021

Dari sisi kerugian materiel, selama kurun waktu 111 tahun terakhir, bencana Geofisika telah menelan kerugian senilai US$15 Milyar sedangkan bencana hidrometeorologi membawa kerugian kurang lebih US$8 Milyar (EMDAT 2021).


Dengan besarnya kerugian dan korban yang diderita, perlu upaya-upaya yang terstruktur untuk menanggulangi dan mengurangi risiko bencana alam. Setelah bencana gempa dan tsunami yang melanda wilayah Samudra Hindia pada tahun 2004 yang menyebabkan kerugian 165.708 korban jiwa dan kerugian materiel senilai US$4,4 Milyar (EMDAT 2021) membuat masyarakat internasional berinisiasi untuk membuat panduan dalam penanganan bencana yang dikenal dengan Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015. HFA memberikan panduan kepada setiap negara dalam melakukan mitigasi dan pengurangan risiko bencana. Dalam perkembangannya selanjutnya, HFA dikembangkan menjadi Sendai Framework 2015-2030. Framework tersebut telah mengubah paradigma penanggulangan bencana dari responsif menjadi preventif. Framework tersebut juga menetapkan standar bahwa penanganan bencana harus terstruktur dari level nasional, regional dan daerah dengan tujuan untuk menciptakan ketahanan terhadap bencana.


Penanggung jawab dan koordinator penanganan bencana secara nasional di Indonesia dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007. Undang-undang tersebut menjadi penanda reformasi penanganan bencana di Indonesia (Das & Asrizal 2017). Sejak Undang-undang tersebut terbit, implementasi pengelolaan bencana harus merujuk pada Undang-undang tersebut dan diharapkan menjadi dasar hukum pengelolaan bencana yang dapat membantu memperlancar koordinasi antara pemerintah dan stakeholder (Mardiah et al., 2017). Di level regional dan daerah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008. Otonomi daerah menjadi tantangan tersendiri dalam menciptakan kesiapan dan manajemen bencana di level kabupaten dan provinsi (Das & Asrizal 2017). Selain terkait permasalahan anggaran, mekanisme yang mempermudah partisipasi masyarakat perlu dikaji lebih jauh (Mardiah et al., 2017)


DJKN selaku pengelola Barang mempunyai fungsi yang salah satunya adalah melakukan perumusan kebijakan di bidang kekayaan negara. Penanggulangan bencana yang menimpa atau yang berpotensi menimpa kekayaan negara termasuk Barang Milik Negara (BMN), memiliki tantangan tersendiri. Dalam peraturan perundangan yang mengatur barang milik negara, antara lain Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan barang milik negara/daerah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2020 dan aturan turunannya kita akan mendapati setidaknya dua peran DJKN terkait bencana. Yang pertama adalah terkait dengan usulan penghapusan BMN karena force majeure (keadaan kahar) dan yang kedua adalah terkait pengasuransian BMN.


BMN yang berupa gedung kantor, sekolah, jalan, jembatan, bendungan sangat rentan terhadap kerusakan apabila terjadi bencana alam terutama gempa bumi. BMN tersebut perlu dijaga demi keberlangsungan pelayanan kepada masyarakat. Pendekatan yang terintegrasi dan komprehensif perlu dibuat untuk meningkatkan keamanan gedung dan infrastruktur dari bencana alam (Benson et al., 2007).


Dengan kewenangan yang dimiliki saat ini, DJKN dapat berpartisipasi dalam melakukan pengelolaan risiko bencana. setidaknya ada dua bagian dimana DJKN bisa berperan yaitu tataran kebijakan dan tataran operasional. Di bidang kebijakan, DJKN berpeluang untuk membuat regulasi yang mengatur agar BMN bisa memiliki ketahanan terhadap bencana sehingga bisa membentuk institutional resilience (Jha et al. 2013). Pada level operasional DJKN dapat mengambil peran untuk menciptakan infrastuctural resilience (Jha et a. 2013).


DJKN dapat melakukan asesmen atas kondisi di lapangan guna mengidentifikasi dan mengurangi risiko bencana. Metode yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan identifikasi bahaya, analisis exposure, analisis kerentanan, dan analisis risiko (Jha et al., 2013). Identifikasi bahaya yang mengancam BMN dilakukan untuk mengetahui bahaya apa saja yang mengancam dan berpotensi mengancam BMN seperti banjir, gempa, tanah longsor. Setelah teridentifikasi, selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap BMN yang berpotensi terdampak atas bahaya dimaksud seperti jalan, jembatan, sekolah, kantor. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis kerentanan. Analisis ini dilakukan untuk melihat siapa saja atau apa saja yang mungkin rentan terpengaruh atas munculnya berbagai jenis bahaya. Yang terakhir adalah analisis risiko. Analisis risiko ini akan memberikan informasi terkait penilaian atas risiko bahaya, pihak yang rentan atas bahaya dan kemampuan untuk menghadapi bahaya. Analisis risiko juga bertujuan mengestimasi berapa besar potensi kerugian ekonomi baik langsung maupun tidak langsung. Hasil analisis risiko ini dapat digambarkan melalui peta risiko bencana yang berguna untuk pengambilan keputusan dan mengkampanyekan risiko kepada stakeholder.


Bencana alam yang terjadi di Indonesia membawa dampak yang luar biasa bagi perekonomian Indonesia salah satunya adalah rusaknya BMN. Oleh karena itu, perlu upaya yang komprehensif guna mengurangi risiko bencana tersebut. DJKN sebagai pengelola barang dapat mengambil peran dalam mengurangi risiko bencana dengan membuat kebijakan di bidang kekayaan negara yang tahan terhadap bencana dan juga melakukan asesmen lapangan terhadap BMN guna memetakan BMN yang berpotensi terdampak bencana.



Krisno Nugroho

KPKNL Banda Aceh

krisno@kemenkeu.go.id






Referensi:



Benson, C. and Twigg, J. (2007) Tools for mainstreaming disaster risk reduction: guidance notes for development organisations, Geneva: ProVention Consortium.


Das A, Luthfi A. (2017) Disaster Risk Reduction in Post-Decentralisation Indonesia: Institutional Arrangements and Changes, in Djalante, R., Garschagen, M., Thomalla, F & Shaw, R. (eds.) Disaster Risk Reduction in Indonesia Progress, Challenges, and Issues, Springer.


Djalante R, Garschagen M (2017) A review of disaster trend and disaster risk governance in Indonesia: 1900–2015. In: Djalante, R, Garschagen, M, Thomalla, F. (eds.) Disaster Risk Reduction in Indonesia Progress, Challenges, and Issues, Springer.


EM-DAT (2021) Disaster profile: Indonesia. http://www.emdat.be/country_profle/index.html. Accessed 20 Jan 2021.


Jha, AK, Miner, TW, & Stanton-Geddes, Z (eds) (2013) Building Urban Resilience : Principles, Tools, and Practice, World Bank Publications, Herndon. Available from: ProQuest Ebook Central.


Mardiah, ANR, Lovvet, JC and Evanty N. (2017) Toward Integrated and Inclusive Disaster Risk Reduction in Indonesia: Review of Regulatory Frameworks and Institutional Networks, in Djalante, R., Garschagen, M., Thomalla, F & Shaw, R. (eds.) Disaster Risk Reduction in Indonesia Progress, Challenges, and Issues, Springer.


Wahyudi NA.(2021) ‘Kajian BNPB: Kerugian Fisik & Ekonomi Gempa Sulbar Sentuh Rp10,21 Triliun’, Bisnis.com, 17 Januari, available at: https://kabar24.bisnis.com/read/20210117/15/1344067/kajian-bnpb-kerugian-fisik-ekonomi-gempa-sulbar-sentuh-rp1021-triliun, (Accessed: 20 Jan 2021).

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini