Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
(Masih) Perlukah Resolusi Awal Tahun?
Mahmud Ashari
Senin, 18 Januari 2021 pukul 13:08:13   |   9059 kali

Minggu ini tanpa terasa sudah menginjak minggu ketiga pasca pergantian tahun. Percaya atau tidak, jika kita menengok kembali ke penghujung tahun yang lalu, atau di awal tahun ini, banyak orang atau minimal segelintir orang berlomba-lomba menyusun-merencanakan-membuat daftar panjang mengenai keinginan yang ingin mereka capai di tahun ini, agar lebih keren khalayak ramai menyebutnya dengan istilah “resolusi”.

Sebenarnya apa sih resolusi itu? Berdasarkan definisi yang ditulis dalam Kamus Cambridge, resolusi tahun baru didefinisikan sebagai janji yang dibuat pada diri sendiri untuk memulai sesuatu yang baik dan menghentikan kebiasaan yang buruk mulai dari hari pertama di tahun baru. Terdapat satu diksi yang menarik dari definisi tersebut, yaitu janji. Penulis sangat ingat akan petuah guru-guru di masa sekolah dasar, bahwa yang namanya janji, bila diingkari sama saja dengan mengkhianati.

Kembali ke topik resolusi, jika kita review kembali beberapa tahun belakangan, apalagi di era medsos yang sudah menjadi bagian dari hidup kita, pergantian tahun sangat identik dengan yang namanya resolusi. Jika diibaratkan, resolusi merupakan garam bagi sebagian orang untuk membumbui sayur di daftar resep awal tahunnya.

Tidak dipungkiri bahwasanya sebagian orang menganggap kurang lengkap apabila menyambut awal tahun tanpa menyusun resolusi. Mereka percaya bahwa resolusi melecut seseorang mencapai sesuatu yang diinginkan, minimal dalam setahun. Namun ironisnya, resolusi yang dibuat dari tahun ke tahun tersebut nyaris selalu sama dan bahkan banyak resolusi (yang tidak tercapai) telah dilupakan. Jadi, masih pentingkah resolusi itu?

Kebanyakan orang beranggapan bahwa resolusi awal tahun sangatlah penting. Banyak dari mereka yang berlomba-lomba menyusun resolusi sebagus mungkin untuk nantinya diposting di sosial media masing-masing. Penulis masih ingat, bagaimana menu status di whatsapp beberapa contact person yang terekam di gadget penulis, diwarnai dengan etalase daftar resolusi mereka. Mungkin bagi mereka, resolusi akan mendorong semangat juang dan memperkuat tekad dalam mencapai target yang diinginkan. Selain itu, (bisa jadi) resolusi juga merupakan sumber kebahagiaan sederhana apabila dari longlist yang telah disusun, terdapat satu saja dari daftar impian-impiannya yang terwujud. Prinsipnya, pergantian kalender mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Apakah hal tersebut salah? Tentu tidak, karena yang mereka susun merupakan cita-cita yang mulia. Karena pada dasarnya, mereka atau hampir seluruh umat manusia, ingin hari esok lebih baik daripada hari ini. Namun, kita semua pasti sadar bahwa hidup tidak semudah merangkai resolusi. Beberapa hal bisa saja terjadi diluar ekspektasi. Kebanyakan dari mereka yang memiliki resolusi tahun baru terjebak pada euforia sesaat, tanpai memikirkan aksi untuk mencapai resolusi yang dibuat. Sekali lagi, suatu rencana membutuhkan aksi. Tanpa adanya aksi, rencana yang telah disusun hanyalah sekedar rangkaian longslist yang indah dan puitis di atas selembar kertas yang dibingkai dalam figura bertahtakan emas 24 karat.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Hershfield (2011) berjudul Future self-continuity: how conceptions of the future self transform intertemporal choice menyimpulkan bawah orang yang melihat atau merencanakan sesuatu tentang dirinya di masa depan bisa dibayangkan seperti sedang melihat orang asing dan berjalan makin jauh. Positifkah hal itu? Atau cenderung negatif? Semua kembali kepada perspektif masing-masing. Jika sekiranya sebuah cita-cita telah dirumuskan sendiri, maka semuanya kembali ke pribadi masing-masing untuk menentukan rencana aksi dan langkah kongkret untuk menyetir dirinya melalui lika-liku rute jalan hidup dalam setahun agar mencapai garis finish dan memenangkan trophy yang bernama tujuan “resolusi”.

Namun demikian, sebagian orang percaya bahwa menjalani rentang perjalanan satu tahun adalah satu waktu yang tidak singkat, walaupun sebagian yang lain meyakini bahwa satu tahun adalah waktu yang sebentar. Kembali lagi, itu menjadi hak setiap orang dalam mempertahankan persepsinya. Singkat atau tidaknya penghitungan durasi waktu setahun, terdapat satu poin yang menarik, yaitu adanya potensi kegagalan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Sebuah artikel dalam BBC.com yang ditulis oleh Dizik (Why your New Year’s resolutions often fail, 2016) mendeskripsikan bahwa studi yang dilakukan oleh University of Scranton yang kemudian dikumpulkan oleh Statistic Brain menunjukkan hanya 8% orang yang bisa memenuhi resolusi Tahun Baru yang mereka buat. Selebihnya? Gagal memenuhi ekspektasinya sendiri.

Lantas, kenapa resolusi yang sudah disusun sedemikian rapi, indah, dan puitis itu bisa gagal? Tim Pychyl, seorang psikolog di Carleton University Kanada, dalam artikelnya yang berjudul An initial study on its role in the prediction of academic procrastination menjelaskan bahwa sebagian besar resolusi yang disusun itu akan menghasilkan kegagalan karena kita sering menunda-menunda pekerjaan yang seharusnya menjadi bagian dari roadmap untuk menggapai resolusi itu sendiri. Jika diibaratkan, ada seseorang yang berprofesi menjadi penulis, sudah menyusun daftar resolusi. Dalam resolusinya, penulis itu ingin menghasilkan 12 tulisan dalam setahun. Penulis itu menyadari bahwa untuk memulai satu artikel diperlukan pengamatan atau observasi terhadap satu objek atau isu tertentu. Namun sampai menjelang berakhirnya paruh semester kedua, observasi itu tidak kunjung dilaksanakannya. Dampaknya? Jangankan setengah dari artikelnya, seperduabelas dari targetnya pun tidak akan tercapai karena delay dalam salah satu tahapan. Dan naasnya, hal tersebut sering terjadi pada sebagian besar orang yang telah bersusah payah menyusun longlist resolusinya. Namun, longlist tersebut hanyalah sebuah daftar panjang belaka jika tidak disertai dengan aksi yang kongkret.

Lantas bagaimana dengan penulis artikel ini sendiri? Alhamdulillah, penulis tidak pernah membuat resolusi tahunan. Namun bagi anda yang telah menyusun resolusi, penulis sarankan untuk mereview kembali resolusi anda, dan sekiranya mungkin merevisinya dengan resolusi yang mudah untuk direalisasikan. Setelah berhasil mencapai resolusi tersebut, mulai tambahkan target resolusi anda. Tentunya harus tetap berpedoman pada target yang realistis dan executable. Dan tentunya, jangan pernah menunda untuk mengeksekusinya. Bagaimana menurut anda?

Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum & Informasi KPKNL Kisaran)

Referensi:

Hershfield, Hal E. (2011). Future self-continuity: How conceptions of the future self transform intertemporal choice. Annals of the New York Academy of Sciences. New York University, Department of Marketing.

Pychyl, T.A. (2016). Committed Action: An initial study on its role in the prediction of academic procrastination. Journal of Contextual Behavioral Science, 5, 97-102.

Dizik, Alina. (2016). Why your New Year’s resolutions often fail. www.bbc.com/worklife/article/20161220-why-your-new-years-resolutions-often-fail.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini