Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Teknik Penilaian Parsial pada Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Bangun Guna Serah (BGS)
Fia Malika Sabrina
Selasa, 01 Desember 2020 pukul 12:26:16   |   6408 kali

PENDAHULUAN

Berdasarkan pasal 27 (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020 disebutkan terdapat beberapa bentuk pemanfaatan BMN, yaitu Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Selanjutnya yang di maksud dengan Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut, dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Pengertian BGS tersebut dapat dikatakan bahwa pihak lain (swasta/mitra) membangun fasilitas untuk spesifikasi yang disetujui oleh pengguna/pengelola barang, selanjutnya mengoperasikan fasilitas tersebut untuk periode waktu yang ditetapkan di bawah suatu kontrak dengan pengguna/pengelola barang dan kemudian menyerahkan fasilitas tersebut kepada pengguna/pengelola barang pada akhir periode waktu tertentu.

Konsep pemanfaatan BMN berupa BGS umumnya dapat terjadi karena lahan komersial pada suatu daerah/kota terbatas jumlahnya, dimana tanah mempunyai sifat tetap dan tidak bertambah dalam jumlah luas. Hal ini menyebabkan nilai pasar atau harga pasar tanah akan terus meningkat, sebagaimana ditunjukan pada kurva supply dan demand tanah di bawah ini:



Gb. Kurva Penawaran dan Permintaan Tanah

Kelangkaan tanah di daerah komersial juga menjadi salah satu pemicu hubungan kerjasama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah (pengguna/pengelola barang) dan mitra dalam memanfaatkan tanah yang setinggi mungkin (Highest and Best Use).

Pada praktek pengelolaan BMN, khususnya BGS, pada awal pengajuan persetujuan BGS kepada pengelola barang, Penilai Pemerintah dapat dikatakan berperan sebagai konsultannya pengelola barang, yaitu melakukan review atas proposal BGS yang diajukan oleh pengelola barang guna memberikan opini/pendapat atas kelayakan proposal BGS yang diajukan tersebut. Terkait hal ini, panduan atau teknik menganalisis/mereviewnya Penilai Pemerintah dapat mengacu pada pedoman yang telah disediakan oleh Direktorat Penilaian.

Dalam PP No. 28 tahun 2020 disebutkan bahwa jangka waktu pelaksanaan BGS paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut, sangat dimungkinkan terjadi pihak lain (swasta/mitra) atau pengguna/pengelola barang mengakhiri perjanjian lebih cepat atau pihak lain (swasta/mitra) berdasarkan perjanjian BGS dapat mengalihkan haknya kepada pihak ketiga.

PERMASALAHAN

Apabila terjadi hal yang seperti di atas, sebagai ilustrasinya pada tahun ke-18 salah satu pihak ingin mengakhiri perjanjian BGS yang belum genap 30 tahun, maka pengelola barang sejatinya perlu mengantisipasi dan menganalisis terkait pengelolaan BMN atas kejadian tersebut. Dalam bidang penilaian, kejadian/hal tersebut pada prakteknya dapat dilakukan analisis/penilaian atas posisi nilai ekonomis dari kedua belah pihak pada tahun rencana pengakhiran kerjasama BGS tersebut, yaitu dengan mengestimasi nilai ekonomis dari sisa masa manfaat dari kedua belah pihak atas objek BGS. Selanjutnya, bagaimanakah teknik penilaian atas properti (objek BGS) tersebut, yang notabene hak atas tanah tersebut dalam periode waktu tertentu (30 tahun) dimiliki oleh lebih dari satu pemegang hak atas tanah (antara pemilik tanah cq. Pemerintah dan pemilik bangunan cq. Mitra) yang dapat dilakukan oleh Penilai?

PEMBAHASAN

Dalam konsep hukum properti di Indonesia bentuk kepemilikan atas obyek penilaian dapat berbentuk kepemilikan tunggal/lengkap dan kepemilikan parsial dan/atau kemitraan.

Suatu kepemilikan properti terdapat hak kepemilikan yang tunggal/lengkap (bundle of rights), yang meliputi hak untuk menjual kepemilikan, hak untuk menyewakan kepemilikan dan menempati suatu properti, hak untuk menjaminkan kepentingan, hak untuk memberikan kepentingan, hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tersebut di atas (Appraisal Institute, 2001). Satu atau lebih dari bagian keseluruhan bundle of rights merepresentasikan adanya suatu hak kepemilikan parsial (partial interest) pada suatu properti tertentu. Kepemilikan tunggal adalah apabila hak atas kepemilikan property tersebut hanya dimiliki oleh satu pihak saja. Sedangkan kepemilikan parsial dan/atau kemitraan adalah apabila hak atas kepemilikan properti tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pihak. Dapat kepemilikan atas tanah & bangunan dimiliki bersama pada suatu waktu tertentu, dapat kepemilikan atas tanah dimiliki oleh lebih dari satu pihak pada saat yang sama , dan bukti kepemilikan lainnya yang bersifat parsial.

Beberapa bukti kepemilikan parsial yang kita kenal dalam Penilaian Tanah di Indonesia antara lain :

· Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan

· Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Milik

· Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Guna Bangunan

· Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diatas tanah Hak Guna Bangunan yang status tanahnya adalah Hak Pengelolaan .

· Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diatas tanah Hak Guna Bangunan yang status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan

· Surat Hijau atau surat sewa jangka panjang yang ada di Surabaya dan sekitarnya

Pada pemanfaatan BMN dalam bentuk BGS, Pemerintah (pengguna/pengelola barang) adalah pemegang hak kepemilikan secara yuridis atas tanah objek kerjasama, sedangkan pihak mitra adalah pemegang hak yang diberikan pemilik tanah (Pemerintah) untuk memakai, menggunakan, memanfaatkan, dan menempati selama jangka waktu tertentu (dalam peraturan adalah 30 tahun). Atas kerjasama ini biasanya hak dan kewajiban masing-masing pihak dituangkan dalam suatu kontrak/perjanjian BGS.

Pada perkembangannya terhadap pemanfaatan BMN dalam bentuk BGS ini, apabila ditemui adanya kontrak/perjanjian BGS yang ada tidak selesai sampai dengan masa kontraknya (30 tahun) akibat salah satu pihak berkeinginan untuk mengakhiri kontrak/perjanjian BGS tersebut, maka sejatinya diperlukan informasi atas nilai ekonomis bagi masing-masing pihak (Pemerintah dan Mitra) pada posisi waktu/tahun rencana pengakhiran kerjasama BGS tersebut.

Guna memberikan informasi tersebut, Penilai akan menggunakan apa yang dinamakan penilaian parsial, yaitu penilaian properti yang mana hak atas properti/tanah bangunan tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemegang hak. Penilai dapat mengestimasi nilai ekonomis bagi Pemerintah dan nilai ekonomis bagi Mitra pada saat pengakhiran perjanjian terjadi.

Dalam melakukan penilaian dengan bukti kepemilikan yang bersifat parsial maka penilai wajib mendapatkan informasi keterikatan dalam bentuk perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang menyebabkan kepemilikan yang bersifat parsial.

Sebagai ilustrasi, terdapat perjanjian BGS pada tahun ke-18 salah satu pihak ingin mengakhiri perjanjian BGS lebih cepat yang seharusnya selama 30 tahun. Terhadap hal ini, dapat dilakukan teknik penilaian berapa nilai properti secara keseluruhan, nilai bagi pemerintah dan berapa nilai bagi Mitra selama masa sisa kontrak, dalam hal ini adalah 12 tahun.

Hak Mitra terhadap sisa manfaat properti selama 12 tahun tersebut dalam Konsep dan Prinsip Umum Penilaian (KPUP) point 5.1, Standar Penilaian Indonesia (SPI) Edisi VII Tahun 2018 disebut Hak Kepemilikan Finansial (HKF). Dalam SPI tersebut disebutkan HKF pada properti berasal dari pembagian secara hukum dari hak kepemilikan atas badan usaha dan real property (misalnya persekutuan/partnership, sindikasi, BOT, sewa/co-tenancies, joint venture), dan dari pemberian secara kontraktual hak opsi untuk membeli atau menjual properti (misalnya tanah dan bangunan, saham atau instrumen keuangan lainnya) pada harga yang dinyatakan dalam periode tertentu , atau berasal dari pembentukan instrument investasi yang dijamin dengan sekumpulan aset real estate.

Latar belakang terjadinya kerjasama pemanfaatan dalam bentuk BGS umumnya berdasarkan pola yang saling menguntungkan dengan prinsip investasi sebagai dasar pijakan. Dalam investasi berlaku hukum ekonomi bahwa kedua belah pihak ini harus mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan jumlah investasi yang dikeluarkan dengan memperhatikan tingkat risiko yang ditanggung masing-masing pihak.

Teknik penilaian parsial, guna mengestimasi nilai bagi pemilik tanah (Pemerintah) dan nilai bagi Mitra digunakan pendekatan pendapatan. Penggunaan pendekatan ini disebabkan umumnya properti BGS adalah properti yang menghasilkan dan sejalan dengan konsep dari pendekatan pendapatan yaitu nilai suatu properti adalah fungsi dari pendapatan atas hak kepemilikan properti itu sendiri. Pendekatan ini mempertimbangkan pendapatan yang akan dihasilkan aset selama masa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat ekonomi di masa yang akan datang kemudian dikonversi ke nilai saat ini dengan cara mengalikan dengan diskon tertentu sesuai konsep nilai waktu uang (time value of money). Pendapatan di masa yang akan datang merupakan arus kas yang diprediksi akan diterima oleh properti. Walau teknik penilaian dengan pendekatan lainnya seperti pendekatan pasar dan pendekatan biaya dapat digunakan untuk membantu dalam penyelesaian penilaian, khususnya sebagai alat kontrol atas nilai yang dihasilkan oleh pendekatan pendapatan.

Dalam pola pemanfaatan BMN, khususnya skema BGS, normalnya sejalan dengan berlalunya waktu, maka nilai bagi pemilik tanah (Pemerintah) akan semakin besar, demikian pula sebaliknya, nilai bagi Mitra (HKFnya) akan semakin kecil. Pada konteks kondisi sebagaimana tersebut di atas, yaitu akan ada pengakhiran BGS pada tahun ke-18 maka hubungan nilai bagi pemilik tanah (Pemeritah) dan bagi Mitra sejalan dengan berjalannya waktu disaat pengakhiran BGS dapat digambarkan dengan grafik sebagai berikut:


Gb. Grafik Penilaian Parsial (BOT)

Berdasarkan grafik di atas maka dapat diperoleh persamaan yang dikenal dalam penilaian parsial adalah sebagai berikut :

V = VLo + VLe

dimana:

V = Nilai Pasar Properti, yaitu (PV.NOI + PV Terminal Value)

VL0 = Nilai bagi Pemerintah, yaitu (PV.Kontribusi Tahunan + PV Terminal Value)

VLe = Nilai bagi Mitra, yaitu PV.NOI – PV. Kontribusi Tahunan)

Bentuk persamaan tersebut diatas adalah bentuk persamaan dengan asumsi V (nilai properti) dihitung pada kondisi penggunaan tertinggi dan terbaik (Highest and Best Use).

Selanjutnya, secara umum langkah-langkah dalam penilaian parsial dengan pendekatan pendapatan metode Discounted Cash Flow (DCF) yang dapat diterapkan dalam konteks BGS adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan informasi keterikatan dalam bentuk perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang menyebabkan kepemilikan yang bersifat parsial. Dalam hal ini adalah perjanjian/kotrak BGS.

2. Mengestimasikan Potential Gross Income (PGI) atas objek BGS.

3. Mengestimasikan tingkat pertumbuhan. Untuk mengestimasikan pertumbuhan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara (Damodaran : 2002), yaitu berdasarkan a) pertumbuhan tahun-tahun yang lalu, b) hasil analisis para ahli yang mengikuti perkembangan usaha, atau c) faktor fundamental.

4. Mengestimasikan tingkat kekosongan (Vacancy) dan pendapatan tak tertagih (Collection Loss). Pendapatan tak tertagih (collection loss) adalah pendapatan yang hilang karena sesuatu sebab, seperti penyewa melarikan diri, penyewa tidak mampu bayar dan berbagai sebab lain. Pendapatan tak tertagih bukan menunjukkan bahwa bangunan tidak terkonsumsi, tetapi bangunan terkonsumsi tetapi tidak terbayar (Hidayati dan Harjanto, 2003). Penentuan tingkat kekosongan dan pendapatan tak tertagih yang digunakan mengestimasikan nilai properti dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan cara melihat kecenderungan atau melalui rata-rata data historis yang dimiliki oleh properti atau dengan cara perbandingan dengan properti lain yang sejenis (Hidayati dan Harjanto, 2003).

5. Mengestimasikan biaya-biaya terkait dengan pengelolaan properti. Biaya-biaya yang terkait dengan pegelolaan properti antara lain biaya pemeliharaan, biaya manajemen, biaya listrik, air, dan Pajak Bumi dan Bangunan. Biaya-biaya ini bervariasi untuk masing-masing jenis properti.

6. Menentukan periode proyeksi, dalam hal ini adalah sisa masa kerjasama BGS.

7. Menentukan tingkat diskonto, yaitu tingkat risiko yang ditanggung kedua pihak selama masa perjanjian kerjasama BGS dan tingkat kapitalisasi yang cocok digunakan dalam perhitungan arus kas. Untuk tingkat diskonto pemilik tanah (Pemerintah) adalah sebesar risk free.

8. Mengestimasikan nilai bagi pemilik tanah (Pemerintah). Nilai real property bagi pemilik tanah sama dengan penjumlahan nilai sekarang dari pendapatan bersih yang diperoleh dari suatu real properti ditambah nilai real property pada masa akhir kerjasama BGS (reversion). Pendapatan bagi pemilik tanah berupa kontribusi tahunan yang diterima pada masa kerjasama pengelolaan dari Mitra/investor.

9. Mengestimasikan nilai bagi Mitra dalam hal ini adalah investor. Investor dalam yang lebih menekankan pada pendapatan yang dihasilkan oleh propertinya dengan cara menyewakan kepada pihak lain, maka berlakulah konsep nilai sekarang (present value), di mana nilai suatu properti adalah nilai kini dari seluruh pendapatan di masa yang akan datang yang dapat diperoleh karena kepemilikan atas properti tersebut atau penguasaan atas properti yang ditimbulkan dari perjanjian seperti built operate transfer/bangun guna serah. Teori penilaian mengatakan bahwa nilai suatu aset adalah nilai sekarang dari ekspektasi pengembalian. Secara spesifik, aset diharapkan menyediakan suatu pengembalian selama periode tertentu. Untuk mengubah arus pengembalian itu menjadi nilai, harus didiskontokan pada tingkat diskonto tertentu (Prawoto, 2004).


Ilustrasi Perhitungan Penilaian Parsial

Bangunan Perkantoran berdiri di atas tanah pengguna barang satker A. Perjanjian BOT antara Satker A sebagai pemilik tanah dengan Mitra B sebagai Pengembang/Investor terikat perjanjian kerjasama yang lamanya 30 tahun. Kerjasama ini telah diperhitungakan oleh A dan B dengan prinsip saling menguntungkan. Saat ini perjanjian kerjasama telah berjalan selama 18 tahun dan salah satu pihak berkeinginan untuk mengakhiri perjanjian BOT.

Dari data pasar yang dikumpulkan oleh Penilai didapat informasi sebagai berikut:

Gross Rentable Area seluas 30.000 m2

Net Rentable Area seluas 19.500 m2

Tarif Sewa sebesar Rp2.520.000/m2/thn, Service Charge Rp960.000/m2/thn, Growth Tarif Sewa & SC sebesar 5%

Tingkat Hunian (thn 19 s.d. thn 30) diprediksi sebesar 70% dan thn 24 s.d. thn 30 sebesar 85%.

Biaya Operasional 20% dari Efektif Gross Income

Biaya cadangan Pengganti/thn sebesar Rp500.000.000 dan naik sebesar 5%/thn.

Tingkat Kapitalisasi pada terminal value sebesar 7%

Discount Rate perkantoran 12%,

Safe Rate 9%, dan

Kontribusi Tahunan ke Pengguna Barang Rp1.800.000.000.

Berapa kah Nilai pasar bagi Satker A (Pemerintah) dan bagi Mitra B?




PENUTUP

Pemanfaatan BMN dengan skema BGS yang memiliki masa kerjasama yang cukup lama, yaitu 30 tahun, secara tidak langsung memiliki potensi terjadinya atau berakhirnya perjanjian BGS sebelum masa perjanjian/kontrak selesai. Baik akibat salah satu pihak berkeinginan mengakhiri perjanjian tersebut atau karena sebab-sebab lain yang disepakati dalam perjanjian BSG antara Pengguna/Pengelola Barang dengan Mitra BGS. Apabila situasi dan kondisi tersebut terjadi maka perlu diantisipasi, dicermati, dan dianalisis oleh pengelola barang terkait tindak lanjut atas situasi/keadaan tersebut. Pada situasi dan kondisi yang demikian, penilai dapat membantu pengelola barang dalam memberikan informasi/opini terkait posisi nilai manfaat ekonomis bagi masing-masing pihak (Pemerintah dan Mitra) di waktu pengakhiran kerjasama BGS akan dilakukan.

Proses atau teknik mengestimasi posisi nilai manfaat ekonomis bagi masing-masing pihak dikenal dengan penilaian parsial, yaitu penilaian yang mana hak atas properti tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemegang hak pada periode waktu tertentu. Oleh karena umumnya properti yang menjadi objek BGS adalah properti yang menghasilkan maka pendekatan yang paling tepat di terapkan dalam penilaian parsial adalah pendekatan pendapatan.


Referensi

Appraisal Institute, 2001, The Appraisal of Real Estate, twelfth edition. Appraisal Institute Chicago, Illinois.

Agus Prawoto, 2003, Teori dan Praktek Penilaian Properti, BPFE Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Damodaran, Aswath, 2002. Investment Valuation, second edition, University Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York, USA.

Hidayati, W. dan Harjanto, B., 2003, Konsep Dasar Penilaian Properti, BPFE Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Keating, D.M., 1998, Appraising Partial Interests, Appraisal Institute, Chicago.

Standar Penilaian Indonesia (SPI) Edisi VII Tahun 2018

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020


Penulis : Dwi Rahmanto (Pejabat Fungsional Penilai Pemerintah Ahli Madya Kanwil DJKN Sumatera Utara)


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini