Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Hari Guru dan Harapan Proses Belajar Mengajar yang (Lebih) Menyenangkan
Mahmud Ashari
Rabu, 25 November 2020 pukul 16:37:39   |   9446 kali

Mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu kalimat yang dirumuskan oleh founding fathers dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Satu kalimat namun penuh makna. Satu kalimat namun melibatkan segenap penduduk NKRI. Hal tersebut dikarenakan sejak dilahirkan, tanpa disadari, umat manusia secara fitrahnya dituntut untuk menjadi cerdas. Tidak hanya cerdas dalam bidang akademisi dan formal, namun cerdas dalam hidup dan kehidupan.

Namun demikian, sejalan dengan usia kemerdekaan yang telah berpuluh-puluh tahun silam kita genggam, masih ditemukan fakta di lapangan tentang “belum merdeka”nya kita dalam berpendidikan. Seringkali guru, siswa, bahkan orang tua merasakan tekanan berat ketika berhadapan dengan pembelajaran. Mulai beban administrasi, prestasi, nilai, kesejahteraan, keuangan, sampai hubungan interaksi pendidikan yang kurang baik. Dan fenomena tersebut terjadi secara berulang dan tanpa disadari terkadang kita alami juga.

Mungkin fenomena yang hampir dialami oleh semua guru, murid, maupun orang tua murid adalah perubahan kurikulum yang terjadi sejak zaman kemerdekaan. Sejarah pendidikan di Indonesia terus mengalami transformasi yang panjang guna memenuhi standar mutu yang baik dari waktu ke waktu. Tak pelak lagi, perubahan yang mendasar pun terus dilakukan. Tengok saja dalam sejarahnya, sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan, mulai dari tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, hingga 2006. Hal ini tidak lepas dari konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara.

Perubahan dan pergeseran mindset pendidikan di Indonesia juga sudah mulai terasa satu dua dekade ini. Bagi orang tua yang masuk ke dalam klasifikasi generasi baby boomer maupun penulis sendiri yang masuk ke dalam klasifikasi generasi X, niscaya akan terkaget-kaget dengan perubahan kurikulum yang terjadi sejak tahun 1994, 2004, dan 2006. Terdapat beberapa mata pelajaran yang sebelumnya tidak dikenal oleh dua generasi tersebut, padahal sebagai kewajiban orang tua, mereka tetap harus mendampingi putra-putrinya yang notabene masuk ke dalam generasi milenial dan generasi Z untuk belajar di rumah, khususnya pada saat ini di era pandemi yang sebagian besar masih menerapkan metode pengajaran jarak jauh. Tak ayal lagi, mereka dan kita yang saat ini menjadi orang tua akan berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dan pengetahuan dalam mendampingi putra putri tercinta.

Mungkin oleh sebagian orang, hal itu dirasakan sebagai beban yang hanya diemban oleh orang tua. Namun tanpa disadari, baik guru maupun murid juga mengalami hal serupa. Guru maupun murid yang sudah terbiasa dengan kurikulum lama, harus mulai berbenah menyesuaikan diri dan ritme kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum yang baru.

Selain perubahan kurikulum, guru-murid-maupun orang tua murid selalu dituntut-atau bahkan menuntut target yang tinggi, biasanya diistilahkan dengan indikator “nilai”. Target mencapai “nilai” yang tinggi yang dicerminkan oleh angka-angka atau huruf dalam rapor ataupun Ujian Nasional seringkali disinyalir menjadi momok dan keluhan tersendiri.

Dengan patokan nilai-nilai tertentu untuk seleksi masuk sekolah-sekolah “favorit”, orang tua murid menuntut anak-anak mereka agar mampu menorehkan nilai-nilai tersebut guna menembus sekolah “favorit”. Guru-guru pun menjadi berusaha ekstra keras untuk menggembleng anak didiknya supaya memenuhi ekspektasi para orang tua. Dan akhirnya anak-anak kita-para murid-muridlah yang dibebani dengan segala macam pelajaran di sekolah maupun pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah. Waktu bermain mereka berkurang. Pun dengan waktu untuk bersosialisasi dengan sebayanya atau lingkungannya. Waktu bagi para guru untuk keluarga dan lingkungannya juga berkurang. Dan akhirnya semuanya seperti benang ruwet yang saling berikatan tapi susah untuk diuraikan.

Namun demikian, patut disyukuri, Kemendikbud menyikapi fenomena tersebut dengan program merdeka belajar. Program yang dicetuskan dari banyaknya keluhan di sistem pendidikan. Salah satunya keluhan soal banyaknya peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu. Program ini berupaya untuk memastikan proses pendidikan harus menciptakan suasana-suasana yang membahagiakan bagi semua orang (happy learning). Merdeka belajar adalah kebebasan berpikir, terutama esensi kemerdekaan berpikir harus ditanamkan kepada kalangan tenaga pendidik dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid.

Paradigma program merdeka belajar adalah untuk mempertimbangkan perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai macam sekolah. Salah satu wujud program ini adalah ditetapkannya kebijakan penghapusan Ujian Nasional mulai tahun 2021 untuk diganti dengan sistem Asesmen Nasional. Asesmen Nasional dilakukan untuk menilai efektivitas pembelajaran dan ketercapaian kurikulum pada satuan pendidikan.

Menurut penjelasan Kemendikbud, asesmen nasional yang akan dilaksanakan nanti merupakan asesmen yang dilakukan untuk pemetaan mutu pendidikan pada semua sekolah, madrasah, serta program kesetaraan jenjang dasar dan menengah. Asesmen ini juga tidak lagi mengevaluasi capaian peserta didik secara individu, akan tetapi mengevaluasi dan memetakan sistem pendidikan berupa input, proses, dan hasil.

Asesmen Nasional yang direncanakan terdiri dari 3 instrumen, yaitu Asesmen kompetensi minimum, Survei karakter, dan Survei lingkungan belajar diharapkan akan mampu membentuk mindset bahwa nilai bukanlah penentu kompetensi seseorang atau akreditas bukan juga menjadi tolak ukur kemampuan, sehingga kegiatan peningkatan mutu sumber daya manusia dapat menghadirkan masyarakat yang kaya akan kreatifitas dalam pengaktualisasian ilmunya sendiri dan memaksa supaya tidak berpikir monoton.

Semoga program merdeka belajar mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi dunia pendidikan di Indonesia. Saatnya membebaskan pendidikan agar tercipta pembelajaran yang menyenangkan sehingga terbentuk pendidikan yang bermutu dan mencerdaskan. Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2020.

Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini