Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Opini Wajar Tanpa Pengecualian? What next?
David Sukma Putra
Kamis, 20 Agustus 2020 pukul 15:28:03   |   2191 kali

David Sukma Putra, Pelaksana pada Direktorat Barang Milik Negara.


Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang kelima yakni “Kesempurnaan” seringkali disalahartikan dan disalah mengerti. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin organisasi yang didalamnya berisi manusia dengan segala kelemahannya, bisa menjadi sempurna? Dalam rumusannya[1] nilai Kesempurnaan dimaksudkan dengan kondisi dimana segenap seluruh individu dalam Kementerian Keuangan senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik dengan selalu melakukan perbaikan terus menerus dan mengembangkan inovasi dan kreativitas. Dalam konteks yang berbeda, James D Collins menyebutkan bahwa “Good is the enemy of greatness”[2]. Mengapa hal ini bisa terjadi? Collins menjelaskan dengan logika bahwa sebuah keadaan yang baik dapat dengan mudahnya membuat individu terjebak dalam keadaan itu, sehingga tidak lagi mengejar kesempurnaan.

Dalam tulisannya berjudul “Opini “WTP” dan Utang Pemerintah”[3], Bapak Edward UP Nainggolan, Kakanwil DJKN Kalimantan Barat menjelaskan dengan baik apa makna Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Opini WTP keempat kalinya yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) mengandung arti bahwa Pemerintah telah menyajikan Laporan Keuangannya secara wajar semua informasi keuangan Pemerintah yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Dengan demikian, “dapat disimpulkan tata kelola keuangan Pemerintah secara umum telah baik”. Namun demikian, beberapa pertanyaan yang bisa menjadi bahan permenungan antara lain: apakah WTP merupakan ultimate goal yang menjadi “kesempurnaan” dalam pengelolaan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah, sehingga terasa ada kesan “euforia WTP”[4]? Dan selanjutnya apakah setelah mendapatkan WTP, semuanya selesai? Sebagaimana diutarakan Menteri Keuangan[5] pada Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah 2018.

Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kita lihat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK terhadap LKPP 2019 Nomor:19/LHP/XV/06/2019 Tanggal 15 Juni 2020[6]. Dalam konteks pengelolaan Barang Milik Negara, terdapat area perbaikan yang perlu mendapat perhatian, seperti: pencatatan ganda aset, penyajian hasil penilaian kembali BMN yang tidak akurat, pengendalian atas pengelolaan persediaan, aset tetap dan aset tak berwujud belum memadai sehingga mengakibatkan saldo aset yang tidak akurat, dan sebagainya. Lebih lanjut lagi, dalam temuan tersebut terdapat temuan berulang dan sifatnya sangat administratif seperti persediaan yang tidak dilakukan stock opname di akhir periode pelaporan. Walaupun memberikan opini WTP, pada LKPP tahun 2019 BPK secara keseluruhan menyampaikan lima belas rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah. Dengan demikian, jelas opini WTP bukanlah sebuah “ultimate goal” sehingga menjadi zona nyaman segenap unsur yang terlibat dalam penyusunan LKPP. Dalam hal ini, masih banyak ruang perbaikan yang bisa dilakukan sebagai perwujudan dari “Kesempurnaan” yang menjadi 1 dari 5 Nilai Kementerian Keuangan.

Aset tetap sering merupakan suatu bagian utama aset pemerintah, dan karenanya signifikan dalam penyajian neraca[7]. Dalam kaitanya dengan penyusunan LKPP, penatausahaan Barang Milik Negara yang meliputi pencatatan, inventasisasi dan pelaporan yang dilakukan dengan berpedoman kepada Standar Akuntansi Pemerintah[8], merupakan bagian yang penting untuk dilaksanakan dengan baik. Usaha Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menuju Distinguished Asset Manager tidak mungkin dicapai dengan meninggalkan penatausahaan Barang Milik Negara. Walaupun pada praktiknya, penatausahaan seringkali dianggap sebagai hal rutin yang kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan sepuluh siklus pengelolaan BMN lainnya, seperti pemanfaatan Barang Milik Negara yang belakangan menjadi buah bibir.

Peran DJKN dalam penyusunan LKPP ke depan semakin penting. Proses penyusunan LKPP yang dilaksanakan melalui single database dalam aplikasi erekon-LK, tidak lagi memerlukan rekonsiliasi antar jenjang pelaporan[9]. Rekonsiliasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan dilaksanakan hanya pada jenjang satuan kerja, dengan demikian Laporan Keuangan yang salah satu unsurnya adalah neraca pada satuan kerja setidaknya harus disusun dengan baik untuk menjamin keakuratan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga maupun konsolidasian pada LKPP. Penguatan fungsi Kantor Pelayanaan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dalam memberikan asistensi dalam pencatatan sampai dengan pelaporan, baik akun belanja yang menghasilkan Barang Milik Negara maupun transaksi pengelolaan BMN sebagai transaksi non keuangan, mutlak untuk dilaksanakan. Hal ini membawa konsekuensi logis yakni pemahaman akan Standar Akuntansi Pemerintahan dan prosedur penatausahaan BMN serta perangkat penyusunannya mutlak dikuasai dengan baik. Sinergi yang baik dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai penyusun LKPP, pada setiap tingkatan, kiranya baik untuk terus ditingkatkan. Dengan demikian dapat diharapkan, temuan pengendalian internal terkait pengelolaan persediaan, aset tetap, dan aset tak berwujud pada Kementerian Lembaga dapat ditindaklanjuti dengan baik sehingga selanjutnya tidak lagi menjadi temuan di masa yang akan datang. Upaya-upaya dimaksud tentu tidak dapat dilaksanakan dengan mudah, target-target project based yang dikerjakan KPKNL sungguh menyita waktu dan tenaga, namun demikian penatausahaan kiranya tidak dapat ditinggalkan dibelakang dalam upaya DJKN untuk menjadi pengelola BMN yang andal.

Opini WTP tentunya merupakan pencapaian yang baik, hal ini mencerminkan bahwa LKPP sudah disusun wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Namun demikian, LKPP bukanlah sebuah ultimate goal. WTP membawa konsekuensi bahwa perbaikan yang terus menerus harus dilakukan dalam menjamin penyusunan LKPP yang andal. Karena neraca merupakan bagian yang besar dalam Laporan Keuangan, peran DJKN ke depan semakin penting terutama dalam proses penatausahaan BMN. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan fungsi asistensi KPKNL kepada satuan kerja Kementerian/Lembaga sehingga temuan pengelolaan persediaan, aset tetap dan aset tak berwujud dapat ditindaklanjuti dan dikelola dengan baik. Tidak mudah namun bisa untuk dilaksanakan, untuk mewujudkan DJKN sebagai Distinguished Asset Manager.


[1] Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 Tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan

[2] Collins, James D. Good to Great: Why Some Companies Make the Leap... and Others Don't.

[3] Nainggolan, Edward UP. Opini “WTP” dan Utang Pemerintah. diakses pada portal DJKN tanggal 20 Agustus 2020

[4] Gutomo, Kokot. Berburu WTP. diakses di laman http://www.bpkp.go.id/ jateng/konten/1910/berburu-opini-wtp.bpkp tanggal 20 Agustus 2020

[5] Sri Mulyani: Banyak yang Dapat WTP Tapi Korupsi, diakses di laman https://www.cnbcindonesia.com/news/20180920130426-4-33997/sri-mulyani-banyak-yang-dapat-wtp-tapi-korupsi tanggal 20 Agustus 2020

[6] Dapat diakses oleh umum melalui tautan https://www.bpk.go.id/laporan_hasil_pemeriksaan#, diakses tanggal 20 Agustus 2020.

[7] Paragraf 6 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap

[8] (Pasal 39 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181 Tahun 2016 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara).

[9] Oflagi, dkk. Analisis Aplikasi E-Rekon-Lk Terhadap Rekonsiliasi Laporan Keuangan Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Provinsi Utara. Jurnal Riset Akuntansi Going Concern 13(2), 2018, 693-704.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini