Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Uniknya Penilaian Barang Rampasan Kejaksaan
Ratna Astuti
Rabu, 05 Agustus 2020 pukul 15:24:09   |   17184 kali
Beberapa minggu lalu marak beredar di media massa nasional berita terkait lelang mobil mewah rampasan salah satu Kejaksaan Negeri di pulau Sumatera. Dilengkapi dengan foto yang bagus, berita itu menarik animo masyarakat luas,baik yang berminat ikut lelang atau sekedar penasaran ingin tahu prosesnya.

Barang yang akan dilelang itu disebut dengan barang rampasan. Mengacu pada peraturan yang berlaku, barang rampasan negara merupakan Barang Milik Negara yang berasal dari barang bukti yang ditetapkan dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht).
Sebelum dijual atau dilelang, ada salah satu tahap yang cukup penting yaitu penetapan harga limit atau harga dasar lelang. Sebagai harga acuan, maka perlu adanya taksiran atau penilaian yang wajar dari penaksir atau tim penilai yang kompeten.
Hal itu ditegaskan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-002/A/JA/05/2017 tentang Pelelangan dan Penjualan Langsung Benda Sitaan atau Barang Rampasan Negara atau Benda Sita Eksekusi, pasal 24 :
1. Ayat (1) Terhadap benda sitaan atau barang bukti yang tidak diambil oleh pemiliknya dan/ atau barang rampasan negara dengan nilai taksiran tidak lebih dari Rp35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dapat dilakukan penjualan secara Iangsung oleh Pusat Pemulihan Aset atau Kejaksaan Negeri, tanpa melalui Kantor Lelang Negara. 2. Ayat (2) Penjualan secara langsung benda sitaan atau barang rampasan negara sebagaimana dimaksud ayat (1), didasarkan pada penetapan Kepala Kejaksaan Negeri dan hanya dapat dilakukan terhadap benda sitaan atau barang rampasan negara yang penilaian harga wajar dilakukan oleh KPKNL atau pihak berwenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.3. Ayat (3) Penjualan benda sitaan dan/ atau barang rampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Jaksa Pemulihan Aset yang ditunjuk oleh Kepala PPA, atau Pengelolaan Barang Bukti dan Barang Rampasan pada Kejaksaan Negeri, di hadapan 2 (dua) orang saksi yang terdiri dari Kepala Seksi Pidana Umum atau Pidana Khusus yang menangani benda sitaan dan atau barang rampasan negara dan pihak atau perwakilan dari Instansi yang terkait dengan benda sitaan dan/ atau barang rampasan dimaksud. 4. Ayat (4) Dalam hal benda sitaan dan/ atau barang rampasan negara pada ayat (1) berupa kendaraan bermotor, Penetapan Kepala Kejaksaan Negeri, berita acara penjualan benda sitaan dan/ atau barang rampasan negara tersebut serta hasil penilaian KPKNL menjadi pengganti risalah lelang yang digunakan untuk proses registrasi pendaftaran kendaraan bermotor di Kantor Kepolisian setempat."
Jika kita melihat berita pada paragraf awal di atas, tentu banyak yang menganggap Kejaksaan melalui DJKN/KPKNL sering melelang barang rampasan semacam itu. Namun realitanya, barang rampasan sangat beragam kasus dan bentuknya. Dari kasus besar dengan barang bukti mobil/rumah mewah sampai kasus kecil dengan barang bukti handphone jadul polyponic.
Sebagai barang yang disita dari suatu tindak pidana, tentu memiliki karakteristik tersendiri. Inilah yang membuat penilaian barang rampasan menjadi unik. Mengapa unik? Karena barang yang dinilai bukan barang biasa. Karakter yang dimiliki barang rampasan akan sangat mempengaruhi strategi yang digunakan dan nilai yang dihasilkan. Lalu seperti apa karakter barang rampasan?
Pertama, barang rampasan yang dinilai KPKNL selama ini, ada yang tidak dilengkapi dengan dokumen legalitas. Contohnya, kendaraan bermotor tidak dilengkapi dengan BPKB/STNK atau rumah/tanah tanpa dilengkapi sertifikat. Ketiadaan dokumen legalitas membuat nilai barang rampasan tidak maksimal.
Kedua, barang rampasan rata-rata dalam kondisi kurang baik. Hal itu bisa disebabkan tempat penyimpanan barang rampasan penuh karena adanya barang rampasan yang baru sedangkan banyak barang rampasan yang tidak laku dijual/dilelang sehingga terjadi penumpukan barang rampasan. Dengan kondisi seperti itu tentu nilainya tidak akan optimal.

Ketiga, barang rampasan ini berasal dari beragam kasus. Misal, Kriminal khusus seperti korupsi, penggelapan, pencucian uang, atau kriminal umum seperti narkotika, pencurian, pembunuhan, tabrak lari dan lain sebagainya. Faktor ini menyebabkan tingkat ketertarikan masyarakat untuk membeli barang rampasan menjadi rendah sehingga daya laku juga rendah. Hal ini akan menjadi pertimbangan penilai dalam melakukan penyesuaian.
Dengan mengetahui karakteristiknya maka penilai bisa menentukan besaran penyesuaian/adjusment. Dalam proses penilaian barang rampasan, kegiatan survei lapangan merupakan tahapan yang penting. Tim penilai harus dapat melihat, memahami, menelaah, dan mengestimasi bagaimana kondisi barang yang akan dinilai. Keandalan informasi, profesionalitas, dan kecermatan dari tim penilai sangat dibutuhkan. Penilai harus membuka wawasannya seluas mungkin. Perbincangan mengenai penilaian BMN berupa barang rampasan negara dengan penilai lain perlu dilakukan. Tidak hanya penilai yang sekantor tetapi juga penilai di kantor lain.
Tantangan terbesar bagi penilai pemerintah adalah mampu menentukan nilai sewajar mungkin dan nilai yang dihasilkan dapat diserap pasar. Dengan demikian barang rampasan yang dijual/dilelang dapat laku pada kesempatan pertama sehingga tidak menimbulkan tumpukan baru di tempat penyimpanan barang rampasan Kejaksaan. (Penulis : Ratna Astuti _ Edit @wd HI KPKNL Tegal)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini