Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
“Substance Over Form” dalam kehidupan
Dedy Sasongko
Jum'at, 05 Juni 2020 pukul 18:14:32   |   30706 kali

Dalam ilmu akuntansi ada satu prinsip dasar “substance over form”, artinya substansi suatu kejadian/transaksi mengungguli formalitas/legalitasnya. Bagi sarjana akuntansi, hal ini sudah menjadi suatu “dogma” yang diterima kebenarannya dan tidak perlu dipertentangkan. Contoh prinsip substance over form, jika si Polan membeli sebidang tanah, telah melunasi dengan bukti transfer/pembayaran, maka tanah tersebut secara substansi telah milik Polan walaupun secara formal belum ada akta jual beli. Idealnya, tidak terjadi time lag antara penyelesaian substansi transaksi dengan pemenuhan formalitas.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih sering berkutat terhadap formalitas dan meninggalkan substansinya. Formalitas ini sering menjadi perhatian utama dan menghabiskan sumberdaya yang pada akhirnya hanya sibuk mengurusi hal yang kurang penting. Hal ini sering terjadi di birokrasi pemerintahan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu pengertian birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Wujud dari definisi ini terlihat ketika mengurus sesuatu ke instansi pemerintah, harus memenuhi sejumlah persyaratan dan prosedur yang panjang. Pelayanan di front office sering juga menggunakan kaca mata kuda. Perilaku ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena SOP-nya demikian. Jika hal itu tidak dilaksanakan, pemeriksa atau APH (Aparat Penegak Hukum) sering mempermasalahkannya apalagi jika terjadi kerugian negara. Padahal kerugian negara tersebut tidak ada kaitannya dengan kelalaian administrasi/SOP.

Demikian juga dengan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) kegiatan yang menyita waktu untuk membuatnya sehingga pekerjaan utama menjadi terpengaruh. Presiden RI, Joko Widodo telah beberapa kali meminta agar kementerian/lembaga menyerderhanakan SPJ-nya. “PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) tidak kelihatan lalu lalang di sawah karena energinya habis untuk mengurus SPJ. Guru lembur hingga tengah malam bukan menyiapkan program belajar-mengajar, tapi mengurus SPJ” kata Presiden RI pada Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi tahun 2016.

Hal yang sama juga terjadi di masyarakat, yang mementingkan penampilan daripada isinya, pada hal ada idiom “don’t judge a book by its cover”. Banyak orang lebih mengejar gelar kesarjanaan daripada kompetensi. Pegawai yang bergelar S2, apalagi S3 lebih diperhatikan untuk berkembang daripada lulusan S1, walaupun kompetensinya kurang. Hal ini menyebabkan banyak pegawai/pejabat “menyambi” kuliah agar dapat meraih gelar. Padahal, perlu disadari output pendidikan adalah input suatu kegiatan untuk menghasilkan output/outcome. Seharusnya pertimbangan utama adalah kompetensi bukan gelar kesarjanaan.

Praktek ini agak berbeda di negara maju, dimana kompetensi lebih penting daripada gelar kesarjaan. Tamatan bachelor yang memilki sertifikasi keahlian misalnya Certified Public Accountant, Cisco Certified (bidang IT), CISA (auditor IT) dan CFA (analis keuangan) sangat dihargai. Tidak mengherankan jenjang pendidikan undergraduate dinominasi oleh local students sementara untuk graduate dan post graduate banyak internasional students.

Saat ini, untuk memutus matarantai Covid-19, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan social distancing, bahkan untuk sebagian wilayah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kebijakan tersebut dilakukan dengan meliburkan sekolah dan perguruan tinggi, diganti dengan long distance learning/belajar di rumah. Pemerintah tidak melakukan wisuda untuk menandai kelulusan kesarjanaan, bekerja dari rumah (work from home) dan melarang pesta perkawinan yang mengumpulkan massa. Ritus agama yang mengumpulkan banyak orang seperti sholat berjamaah dan ibadat/misa di gereja ditiadakan. Ibadat/misa di gereja diganti dengan ibadat/misa on line.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia, membawa kita untuk merenungkan hal yang paling hakiki dalam kehidupan berbangsa termasuk di pemerintahan dan masyarakat. Bangsa ini harus mulai bertransformasi untuk lebih mementingkan substansi kegiatan daripada prosedur/formalitas/legalitas dan bertindak cepat dan tepat. Hal ini memang tidak mudah, membutuhkan perubahan mind and culture set, dan contoh dari para pemimpin (bangsa, agama, masyarakat). Dan kunci terpenting adalah trust yang merupakan buah dari kejujuran. Ketika ada relaksasi persyaratan dan SOP (formalitas/legalitas) dalam kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan maka trust harus terbangun dengan baik.

Demikian juga ketika menghadapi rencana pelaksanaan kenormalan baru (new normal) dalam menghadapi covid-19. Aturan atau protokol kesehatan yang ditetapkan dalam kenormalan baru tersebut tidak hanya merupakan aturan/protokol belaka tapi sungguh-sungguh dilaksanakan oleh masyarakat dan ditegakkan oleh pemerintah dengan penuh tanggung jawab (trust). Dengan demikian substansi atau tujuan kenormalan baru dapat tercapai dengan baik sebagaimana disampaikan oleh Warren Bennis “Trust is the lubrication that makes it possible for organizations to work (well)”

Penulis: Edward UP Nainggolan (Kakanwil DJKN Kalimantan Barat, Kemenkeu Kalbar)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini