Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Kriteria Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Fexible Working Space) Lingkup KPKNL
Muhammad Iqbaal Fadhilah
Selasa, 12 Mei 2020 pukul 13:47:52   |   4134 kali

A. Latar Belakang

Didorong oleh perkembangan teknologi dan peningkatan globalisasi, wajah dunia kerja saat ini telah mengalami perubahan yang bersifat konstan dalam rentang dua ratus tahun terakhir (Grampp & Zobrist, 2018). Mulai dari ekonomi agraris menjadi ekonomi industrialis, yang saat ini telah berevolusi kembali menjadi ekonomi berbasis jasa. Dalam periode ini, keseluruhan sektor perekonomian dan pekerjaan telah bertransformasi, di mana sebagian pola-pola lama tergerus digantikan dengan yang lebih dinamis.

Beragam transformasi terjadi pada dunia kerja saat ini, untuk merespon perkembangan digitalisasi, yang akan membawa perubahan sangat signifikan. Penggunaan teknologi digital telah meningkat luar biasa membawa berbagai perubahan yang sangat prinsipil bagi dunia kerja, mekanisme pelaksanaannya serta keahlian-keahlian yang melibatkan penggunaan dari teknologi-teknologi dimaksud.

Model transformasi ini telah banyak bermunculan, salah satunya adalah co-working space yang ide awalnya dikembangkan sekitar tahun 2007 di Silicon Valley dan pada akhirnya menuju kepada konsep yang saat ini kita ketahui (Jackson, 2013). Disisi lain, bentuk transformasi yang juga mulai banyak diterapkan adalah Flexible Working Space (FWS). Meskipun sudah mulai merebak sejak abad ke-21 (Omondi & K’Obonyo, 2018), akan tetapi baru pada beberapa tahun terakhir saja praktik ini dipersepsikan oleh banyak pihak dapat menguntungkan bagi pihak pekerja dan pemberi kerja (Clutterbuck, 2003). Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kontribusi positif, meskipun sebagian tidak secara langsung, bagi organisasi yang mempraktekannya (Morgan, 2009).

Organisasi dan pihak pekerja telah menyadari potensi keuntungan dari praktek FWS ini, mulai dari membentuk pekerja yang mampu bekerja secara optimal, peningkatan kesejahteraan pegawai, pengurangan tingkat kealphaan, pertumbuhan komitmen kerja pegawai yang lebih kuat, serta menciptakan perilaku organisasi yang lebih manusiawi (White, Hill, McGovern, Mills & Smeaton, 2003).

Sejalan dengan hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu unit organisasi pemerintah, yang membawahi berbagai unit eselon I, telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi FWS di Lingkungan Kementerian Keuangan (KM, 2020), yang memberikan pengaturan pola kerja pegawai yang memberikan fleksibilitas lokasi bekerja selama periode tertentu dengan memaksimalkan teknologi informasi. Ketentuan dalam KMK dimaksud mengatur berbagai kriteria yang berlaku umum bagi seluruh unit eselon I terkait tata cara pelaksanaannya, meliputi kriteria pekerjaan yang diprioritaskan, kriteria yang harus dipenuhi pegawai, serta kriteria jumlah pegawai dan lokasi serta batasan waktu menjalankan FWS.

Dari berbagai kriteria dimaksud, kriteria pekerjaan yang menjadi prioritas merupakan salah satu yang menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Jika menilik ketentuan dalam KMK dimaksud, maka hanya yang memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut yang mendapat prioritas untuk dapat menjalankan FWS. Pertama, pekerjaan di bidang perumusan kebijakan atau rekomendasi kebijakan. Kedua, pekerjaan yang tidak berhubungan secara langsung/tatap muka dengan pengguna layanan baik internal maupun eksternal Kemenkeu. Terakhir, pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas daring (online).

Secara umum, tidak seluruh unit layanan di Kementerian Keuangan akan dapat memenuhi kriteria pekerjaan dimaksud, terutama unit-unit pelayanan vertikal yang merupakan ujung tombak pelayanan dan harus berinteraksi langsung dengan para stakeholder, salah satunya adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

Namun demikian, ketentuan dimaksud juga mengatur bahwa masing-masing unit eselon I dapat menetapkan kriteria lainnya setelah mendapatkan rekomendasi dari Sekretaris Jenderal Kemenkeu. Terkait dengan hal dimaksud, tulisan ini akan menganalisis kriteria tugas dan fungsi di lingkup KPKNL, DJKN dalam rangka implementasi FWS tersebut melalui 3 tahapan, dengan mengambil contoh salah satu tugas dan fungsi (tusi) di KPKNL yaitu kegiatan dari Seksi Pelayanan Penilaian. Pertama, menjelaskan kondisi normatif atas tusi pelayanan penilaian yang dilaksanakan KPKNL. Kedua, pola kerja Seksi Pelayanan Penilaian selama masa social distancing dan pelaksanaan Work From Home (WFH). Terakhir, penulis akan memberi masukan terkait kriteria pekerjaan dalam lingkup KPKNL dalam rangka implementasi FWS dimaksud.

B. Pembahasan

Pelayanan penilaian merupakan salah satu core business yang dilaksanakan oleh KPKNL, yang sebagian besar adalah pelaksanaan penugasan penilaian dari pihak yang memberi tugas. Untuk dapat memahami ruang lingkup tusi penilaian, maka perlu diketahui pengertian dari penilaian itu sendiri. Berdasarkan PMK Nomor 64/PMK.06/2016 (MK, 2016), penilaian adalah suatu kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. Sedangkan menurut Standar Penilaian Indonesia 2015 (KLC, 2020), penilaian adalah proses pekerjaan seorang penilai dalam memberikan opini tertulis mengenai nilai ekonomi pada saat tertentu. Seorang Penilai adalah pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Adapun penilai yang bertugas di KPKNL merupakan penilai pemerintah.

Selanjutnya, perlu dipahami terkait proses penilaian yang dilakukan oleh penilai pemerintah pada KPKNL, yaitu sesuai bagan dibawah ini:

Sumber: klc Kemenkeu.go.id

Dari definisi dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sifat dari pelaksanaan penilaian itu membutuhkan kehadiran dan analisis seorang penilai untuk mempertimbangkan seluruh fakta yang tersedia di lapangan (analysis of relevant market information). Oleh karena itu, dari basis keilmuan maka pelaksanaan penilaian belum dimungkinkan untuk melakukan FWS. Namun demikian, hal ini perlu dielaborasi lebih jauh dengan memperhatikan apa yang hendak dicapai oleh tusi pelayanan penilaian, bagaimana cara mencapainya, dan landasan hukumnya.


I. Kondisi Normatif Tusi Penilaian

Berdasarkan laporan analisis beban kerja triwulan I tahun 2020 pada Seksi Pelayanan Penilaian (ABK, 2020), KPKNL, maka produk dan kegiatan yang dilakukan dapat digolongkan menjadi 3 form, yaitu Form A terdiri atas 41 (empat puluh satu) output yang menunjukkan berbagai output terkait tusi dari Seksi Pelayanan Penilaian selama tahun 2020. Selanjutnya adalah form B yang terdiri atas 25 (dua puluh lima) kegiatan menunjukkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan oleh Seksi Pelayanan Penilaian selama tahun 2020, dan terakhir form lain terdiri atas 5 (lima) kegiatan menunjukkan kegiatan diluar tusi rutin yang ada.

Apabila dilakukan klasifikasi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Seksi Pelayanan Penilaian di atas, maka dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Pekerjaan yang dilakukan di lingkungan kantor dan memerlukan kegiatan lapangan serta berinteraksi dengan pihak lain secara langsung/tatap muka.

2. Pekerjaan yang dilakukan di lingkungan kantor, tanpa kegiatan lapangan dan perlu berinteraksi dengan pihak lain baik secara langsung/tatap muka ataupun melalui media.

3. Pekerjaan yang dapat dilakukan di lingkungan kantor atau diluar kantor dan tidak perlu berinteraksi dengan pihak lain baik secara langsung/tatap muka atau dapat melalui media.

Selanjutnya, dari kategori pekerjaan di atas dapat diklasifikasikan lagi menurut jenis input atau sumber pekerjaannya, yaitu:

1. Pekerjaan yang sudah terjadwal dan diketahui kapan harus dilaksanakan.

2. Pekerjaan yang berdasarkan permintaan pihak luar yang belum dapat diketahui kapan datangnya.

Dari seluruh kegiatan dan produk yang dilakukan oleh Seksi Pelayanan Penilaian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara normatif, mayoritas pekerjaan yang dilakukan berhubungan secara langsung/tatap muka dengan pengguna layanan baik internal, maupun eksternal Kementerian Keuangan, meskipun ada beberapa pekerjaan minoritas terkait rekomendasi kebijakan berupa kajian peraturan dan juga pekerjaan yang dilakukan menggunakan fasilitas daring (online). Selain itu, pekerjaan-pekerjaan dimaksud ada yang telah diketahui kapan harus dilaksanakan, dan ada yang tidak (sesuai permintaan).

Pada kondisi normal, dimana kehadiran pegawai 100% berada di lingkungan kantor dan siap melakukan kegiatan lapangan, maka pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan secara baik, produktivitas stabil dan output pekerjaan berkualitas dapat dihasilkan sesuai target yang ditetapkan. Namun demikian, bagaimanakah pekerjaan yang mayoritas memerlukan interaksi/tatap muka dimaksud pada akhirnya dapat dilakukan dengan mempraktekan prinsip social distancing dan bahkan dilakukan secara WFH? Hal yang sebenarnya sedang dilaksanakan saat ini, dan apakah output serta produktivitas yang dihasilkan menjadi menurun? Hal ini dapat dilihat dari pemaparan pola kerja dibawah ini.


II. Pola Kerja Selama Social Distancing dan WFH

Berdasarkan data yang dikompilasi dari Seksi Pelayanan Penilaian, dengan mengambil sampel dari 2 kegiatan utama Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Gorontalo, maka diketahui bahwa output kegiatan selama periode 16 Maret s.d. 29 April 2020 (masa social distancing dan WFH) adalah sebagai berikut. Pertama, tindak lanjut penyelesaian perbaikan atas sisa obyek revaluasi BMN, tercatat telah tercapai 45,34% dari target Q2 (25%). Jumlah penilaian selesai dimaksud s.d. selesai cetak dan scan, namun belum dapat dimasukkan di SIP Reval maupun SIMAN.

Hal ini dapat dilakukan para pegawai dengan mengoptimalkan penggunaan aplikasi SIAPBANG Web yang disediakan kantor pusat, membawa berkas hardcopy ataupun softcopy, dan membuat work station di luar lingkungan kantor. Hal ini sekaligus menunjukkan pola pelaksanaan tugas di lingkungan KPKNL dapat dilakukan tidak hanya di lingkungan kerja namun juga berpotensi dilakukan secara FWS, dengan memenuhi kriteria yang ketat serta pengawasan yang memadai, dalam hal ini dicontohkan melalui desk valuation dengan TIK yang handal.

Bagaimana dengan produktivitas dan kualitas output pekerjaannya? Jika melihat pola kerja penyelesaian tindak lanjut revaluasi BMN berdasarkan data di bawah ini, diketahui bahwa perkembangannya menunjukkan positif growth bahkan sudah melampaui target yang diberikan dalam kondisi normal. Adapun terkait pengendalian kualitas pekerjaan tetap dilakukan seperti kondisi normal namun diakumulasi dengan penjadwalan pada saat pegawai melaksanakan pekerjaan dari kantor.

Sumber: diolah dari data Seksi Pelayanan Penilaian, KPKNL Gorontalo

Kedua, laporan penilaian yang dihasilkan selama masa dimaksud adalah sebanyak dua laporan penilaian, dengan Deviasi Ketergunaan Hasil Penilaian: 0%. Angka ini sekilas menunjukkan hampir zero growth, di mana dalam masa satu bulan lebih hanya mampu menghasilkan dua laporan saja, dibandingan dengan data bulan Februari 2020 (sebelum social distancing dan WFH) yang mencapai 30 laporan. Hal ini berarti produktivitas selama periode 16 Maret s.d. 29 April dalam pelaksanaan penilaian adalah 4,65%.

Namun demikian, hal ini merupakan transisi yang wajar mengingat pola kerja baru yang perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada pengguna layanan. Meskipun begitu, hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penurunan produktivitas dimaksud dapat menjadi berkelanjutan apabila Kantor Pusat DJKN tidak segera mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan. Oleh karena itu dikeluarkan Perdirjen 4/KN/2020 (DJKN, 2020), yang antara lain memberikan relaksasi berupa:

1. Pemberlakuan perpanjangan masa berlaku Laporan Penilaian, melebihi yang seharusnya hanya 6 (enam) bulan, untuk laporan yang berakhir di masa tanggap bencana, dan

2. Pelaksanaan Survei Lapangan oleh petugas dari Pemohon bagi objek penilaian berupa Non-Tanah & Bangunan.

Selama pemberlakuan social distancing dan WFH ini juga, pola kerja yang tadinya berfokus kepada pemberian layanan secara langsung/tatap muka kepada stakeholder dan shareholder, beralih menjadi daring (online), antara lain:

1. Koordinasi melalui surat resmi terkait panduan pemberian layanan penilaian selama masa social distancing kepada pemohon.

2. Pemenuhan kelengkapan berkas oleh pemohon melalui e-mail.

3. Koordinasi dengan pengguna layanan melalui media WhatsApp.

4. Penggunaan aplikasi Zoom untuk rapat-rapat internal bersama tim penilai.

5. Komunikasi dengan staf penilaian dengan menggunakan aplikasi Nadine.

6. Rapat-rapat pembahasan dengan superintenden dan kantor pusat menggunakan media online.

Kemudian, aktivitas-aktivitas lainnya masih dapat dilakukan dengan bantuan teknologi digital, di antaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan melalui klc.kemenkeu.go.id.


III. Masukan Kriteria Pelaksanaan FWS Lingkup KPKNL

Berbagai pola kerja existing pada saat social distancing dan WFH pada penjelasan sebelumnya tentu akan berbeda dan belum memadai dengan apa yang dibutuhkan pada saat FWS. Bagaimana cara membuat implementasi FWS pada sektor publik dapat berhasil? Beberapa faktor di bawah ini dapat menjadi fator-faktor yang mendukung ataupun menghalangi kesuksesan implementasi dari FWS (Korunka, Kubicek & Risak, 2018), yaitu:

1. Kecocokan antara FWS dan aktivitas kerja;

2. Interaksi antara rekan kerja dan penggunaan teknologi informasi komunikasi;

3. Kemandirian dalam melaksanakan tugas;

4. Kecocokan antara FWS dengan pola kehidupan pribadi;

5. Pengaturan dan pilihan pelaksanaan pekerjaan oleh pegawai;

6. Pola pengendalian superintenden bagi pegawai yang melaksanakan FWS;

7. Gaya kepemimpinan;

8. Budaya organisasi;

9. Tingkat kepercayaan;

10. Lingkungan teknis; dan

11. Panduan dan aturan/ketentuan.

Taskin dan Edwards memberikan pendapat bahwa implementasi dari FWS sebaiknya bukan merupakan uji coba semata mengingat sudah banyak kasus dilaporkan di mana FWS mengalami kegagalan (2007). Pembelajaran dari dua unit organisasi pemerintah di Belgia menunjukkan bahwa faktor-faktor struktural, dukungan strategis, dan perubahan regulasi memadai merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan dari implementasi FWS pada unit-unit pemerintah (Taskin & Edwards, 2007).

Terkait faktor-faktor struktural, maka kecocokan antara karakteristik pekerja, superintenden dan pola kerja FWS yang baru menjadi penting. Banyaknya pegawai yang berpendidikan dan bersedia belajar serta pegawai yang mampu bekerja secara bertanggung jawab tanpa perlu diawasi akan membuat praktik FWS ini menjadi lebih mudah. Lebih jauh lagi, implementasinya harus dilandasi dengan dukungan strategis, artinya superintenden harus dapat memaknai FWS sebagai sebuah tujuan penting yang memberikan keuntungan bagi keseluruhan efektivitas organisasi (Su, Li, & Curry, 2017; Taskin & Edwards, 2007). Dengan adanya perubahan dalam praktik kerja, metode baru dalam pengendalian dan komunikasi harus dibuat dan kepercayaan menjadi semakin penting.

Selanjutnya, sebuah sistem manajerial berbasis performa akan dibutuhkan dan proses berkolaborasi harus di re-organisasi (Taskin & Edwards, 2007). Apabila budaya kerja organisasi tidak koheren dengan norma-norma ini, maka konflik, kekacauan, dan kegagalan implementasi sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu pada saat menetapkan pola FWS, maka persepsi integral pada unit kerja dan bagaimana hendak mencapai tujuan menjadi sangat penting.

Di sisi yang lain, ada beberapa persepsi yang harus ditanamkan dalam memandang FWS, yang dapat dipergunakan dalam mengimplementasikan FWS sebagai cara baru dalam bekerja (Korunka, Kubicek & Risak, 2018). Pertama, FWS ini mendukung keahlian yang dibutuhkan di masa depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pada fasilitas tempat bekerja terus bertumbuh dan memberikan kesempatan untuk bekerja secara fleksibel, namun juga berisiko sehingga dapat membuat beberapa pekerja yang tidak mampu mengikuti perkembangannya menjadi tertinggal (OECD, 2017a).

Untuk diketahui, bahwa pada tahun 2017, lebih dari separuh populasi manusia usia dewasa di 28 negara OECD tidak memiliki keahlian mempergunakan TIK atau hanya mampu mengoperasikan tugas-tugas mendasar, seperti menulis e-mail atau mencari sesuatu di web. Lebih jauh lagi, keahlian TIK menjadi penting tidak memandang negara dan usianya. Tidak mengherankan apabila para generasi muda di berbagai negara memiliki keunggulan dibandingkan orang-orang berusia lanjut dikarenakan mereka telah mempersiapkan diri lebih baik untuk lingkungan kerja digital (OECD, 2017a).

Kedua, FWS dapat menjadi pola kerja masa depan yang menjanjikan. Pada saat ini, para orang tua bekerja yang memiliki anak usia pra sekolah lebih memilih untuk FWS (OECD, 2017b). Namun demikian, kekhawatiran terkait kualitas pekerjaan terus meningkat mengingat penggunaan FWS dapat menurunkan kualitas hasil pekerjaan disebabkan kemungkinan meningkatnya jam kerja di luar batas yang sewajarnya dan buramnya batas-batas antara kegiatan profesional dan pribadi.


Terakhir, FWS memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan bekerja. Secara umum, tingkat perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dengan menggunakan perangkat TIK diharapkan akan lebih baik dibandingkan bekera di lapangan.


Berdasarkan hal-hal di atas, apabila dikolaborasikan dengan pola kerja yang saat ini ada di lingkup KPKNL, DJKN, maka penulis memberikan masukan kriteria-kriteria pelaksanaan FWS sebagai berikut:

1. Pekerjaan dengan tingkat pemahaman pegawai terkait TIK yang memadai.

Penggunaan TIK yang akan diterapkan selama FWS mengharuskan interaksi pegawai dengan sesama rekan kerja, pimpinan, dan pihak eskternal. Oleh karena itu, pemahaman pegawai terhadap TIK ini menjadi penting mengingat setiap jenis pekerjaan memerlukan penerapan TIK yang berbeda, mulai dari hal mendasar seperti pembuatan naskah dinas, penggunaan aplikasi pendukung seperti aplikasi penilaian online, hingga ke beragam aplikasi lainnya.

2. Pekerjaan yang memiliki kecocokan dengan aktivitas kerja rutin dan pola kehidupan pribadi.

Pekerjaan yang dilakukan selama FWS akan dibuktikan dengan output yang dihasilkan, di mana proses menghasilkannya akan membutuhkan aktivitas kerja yang berbeda-beda, mulai dari administratif hingga analisis. Terdapat jenis-jenis pekerjaan yang akan sulit dilakukan di luar lingkungan kerja kantor, terlebih lagi untuk menghindari gangguan atau hal-hal yang memecah konsentrasinya apabila pekerjaan tersebut dilakukan di lingkungan rumahnya.

3. Pekerjaan yang dapat dilakukan pola pengendalian atas pelaksanaan tugas pegawai, serta terdapat kemandirian dan kepercayaan terhadap pegawai yang melaksanakan tugas.

FWS membutuhkan pola pengendalian yang memadai terhadap pelaksanaan tugas pegawai serta pelaporan secara berjenjang ke pimpinan. Kemandirian serta kepercayaan atas pelaksanaan tugas terindikasi melalui track record pelaksanaan tugas harian pegawai, yang berarti pegawai diyakini akan mampu menyelesaikan tugas secara FWS untuk tugas-tugas yang telah menjadi kesehariannya selama kondisi normal.

4. Pekerjaan yang didukung panduan dan landasan hukum dari manajemen level atas untuk perubahan pola pelaksanaan tugas konvensional menjadi daring (online) atau terdapat pengaturan input pelaksanaan tugas di lingkungan kerja.

Untuk beberapa pekerjaan konvensional saat ini ada yang dapat dilakukan perubahan sehingga dapat dilakukan secara daring (online) atau menggunakan perantaraan pihak lain, misalnya pelaksanaan desk valuation atau survey lapangan menggunakan perantaraan pemohon untuk penilaian non-tanah bangunan.

Namun demikian, terdapat beberapa pekerjaan yang apabila dilakukan tidak secara langsung/tatap muka ataupun dialihkan oleh pihak lain maka kualitas pekerjaan akan menurun. Untuk tipe-tipe pekerjaan seperti ini maka dapat dilakukan pengendalian terhadap input (permohonannya) atau penjadwalan pelaksanaannya sehingga bisa ditentukan pelaksanaanya hanya pada saat jadwal pegawai berada di kantor. Pengendalian serta penjadwalan tugas ini dapat diakomodir melalui penerbitan panduan dan landasan hukum sesuai kebutuhan, hal yang sama telah dilakukan pada masa social distancing dan WFH, maka seharusnya dapat juga dilakukan pada masa implementasi FWS.

Meskipun masih memerlukan kajian lebih lanjut terkait penyesuaian mekanisme dalam aturan bersifat terobosan, namun perubahan-perubahan peraturan terkait mekanisme kerja konvensional mencerminkan bahwa sebuah organisasi bersifat dinamis dan terbuka dengan kemajuan TIK yang sangat luar biasa saat ini. Perubahan di lingkungan sekitar yang luar biasa tentu harus diimbangi dengan perubahan pola pikir aparaturnya serta didukung dengan perangkat aturan yang mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Dalam hal persyaratan-persyaratan yang menyertai kriteria di atas belum dapat dipenuhi, maka penulis berpendapat akan sulit bagi unit layanan vertikal seperti KPKNL untuk dapat mengimplementasikan FWS dengan baik dan sesuai harapan.

C. Kesimpulan

Berdasarkan pola kerja existing dan hasilnya selama masa social distancing dan WFH diterapkan oleh KPKNL, serta melihat teori-teori serta success story implementasi WFH diberbagai tempat, maka penulis memberikan masukan kriteria-kriteria pelaksanaan FWS sebagai berikut:

1. Pekerjaan dengan tingkat pemahaman pegawai terkait TIK yang memadai.

Penggunaan TIK yang akan diterapkan selama FWS mengharuskan interaksi pegawai dengan sesama rekan kerja, pimpinan, dan pihak eskternal. Oleh karena itu, pemahaman pegawai terhadap TIK ini menjadi penting mengingat setiap jenis pekerjaan memerlukan penerapan TIK yang berbeda, mulai dari hal mendasar seperti pembuatan naskah dinas, penggunaan aplikasi pendukung seperti aplikasi penilaian online, hingga ke beragam aplikasi lainnya.

2. Pekerjaan yang memiliki kecocokan dengan aktivitas kerja rutin dan pola kehidupan pribadi.

Pekerjaan yang dilakukan selama FWS akan dibuktikan dengan output yang dihasilkan, di mana proses menghasilkannya akan membutuhkan aktivitas kerja yang berbeda-beda, mulai dari administratif hingga analisis. Terdapat jenis-jenis pekerjaan yang akan sulit dilakukan di luar lingkungan kerja kantor, terlebih lagi untuk menghindari gangguan atau hal-hal yang memecah konsentrasinya apabila pekerjaan tersebut dilakukan di lingkungan rumahnya.

3. Pekerjaan yang dapat dilakukan pola pengendalian atas pelaksanaan tugas pegawai, serta terdapat kemandirian dan kepercayaan terhadap pegawai yang melaksanakan tugas.

Implementasi FWS membutuhkan pola pengendalian yang memadai terhadap pelaksanaan tugas pegawai serta pelaporan secara berjenjang ke pimpinan. Kemandirian serta kepercayaan atas pelaksanaan tugas terindikasi melalui track record pelaksanaan tugas harian pegawai, yang berarti pegawai diyakini akan mampu menyelesaikan tugas secara FWS untuk tugas-tugas yang telah menjadi kesehariannya selama kondisi normal.

4. Pekerjaan yang didukung panduan dan landasan hukum dari manajemen level atas untuk perubahan pola pelaksanaan tugas konvensional menjadi daring (online) atau terdapat pengaturan input pelaksanaan tugas di lingkungan kerja.

Untuk beberapa pekerjaan konvensional saat ini ada yang dapat dilakukan perubahan sehingga dapat dilakukan secara daring (online) atau menggunakan perantaraan pihak lain, misalnya pelaksanaan desk valuation atau survei lapangan menggunakan perantaraan pemohon untuk penilaian non-tanah bangunan.

Namun demikian, terdapat beberapa pekerjaan yang apabila dilakukan tidak secara langsung/tatap muka ataupun dialihkan oleh pihak lain maka kualitas pekerjaan akan menurun. Untuk tipe-tipe pekerjaan seperti ini maka dapat dilakukan pengendalian terhadap input (permohonannya) atau penjadwalan pelaksanaannya sehingga bisa ditentukan pelaksanaanya hanya pada saat jadwal pegawai berada di kantor. Pengendalian serta penjadwalan tugas ini dapat diakomodir melalui penerbitan panduan dan landasan hukum sesuai kebutuhan, hal yang sama telah dilakukan pada masa social distancing dan WFH, maka seharusnya dapat juga dilakukan pada masa implementasi FWS.

Meskipun masih memerlukan kajian lebih lanjut terkait penyesuaian mekanisme dalam aturan bersifat terobosan, namun perubahan-perubahan peraturan terkait mekanisme kerja konvensional mencerminkan bahwa sebuah organisasi bersifat dinamis dan terbuka dengan kemajuan TIK yang sangat luar biasa saat ini. Perubahan di lingkungan sekitar yang luar biasa tentu harus diimbangi dengan perubahan pola pikir aparaturnya serta didukung dengan perangkat aturan yang mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Dalam hal persyaratan-persyaratan yang menyertai kriteria diatas belum dapat dipenuhi, maka penulis berpendapat akan sulit bagi unit layanan vertikal seperti KPKNL untuk dapat mengimplementasikan FWS dengan baik dan sesuai harapan.


Penulis: Meiseno Purnawan – Kepala Seksi Pelayanan Penilaian KPKNL Gorontalo

Sumber :

ABK, lihat Analisis Beban Kerja

Analisis Beban Kerja, 2020. Analisis Beban Kerja: Seksi Pelayanan Penilaian, Triwulan I 2020. KPKNL Gorontalo.

Clutterbuck, D., 2003. Managing Work-life Balance: A guide for HR in achieving organisational and individual change. London: UK Chartered Institute of Personnel and Development.

DJKN. Lihat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, 2020. Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 4/KN/2020 Tentang Panduan Pemberian Layanan Penilaian Dan Analisis Di Bidang Penilaian Dalam Keadaan Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

Galinsky, E., Bond, J. T., & Hill, E. J., 2004. A Status Report On Workplace Flexibility: Who Has It? Who Wants It? What Difference Does It Make?. New York: Families & Work Institute.

Grampp, M., Zobrist, L., 2018. Workplace Transformation In The Digital Age: Challenges And Success Factors. Deloitte. pp 1-22.

Jackson, K., 2013. Making Space for Others. Dilihat: 10 Mei 2020 (http://www.makingspaceforothers.com/)

Karnowski, S., White, B., 2002. The Role Of Facility Managers In The Diffusion Of Organizational Telecommuting. Environment and Behavior, vol. 34, pp. 322-334.

KLC. Lihat Kemenkeu Learning Center

Kemenkeu Learning Center, 2020. E-Learning Pengetahuan Dasar Penilaian.

KM. Lihat Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan, 2016. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.06/2016

----------------------------------, 2020. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/ 2020 Tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) Di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Korunka, C., Kubicek, B., Risak, M., 2018. New Way of Working in Public Administration. Austrian Presidency of the Council of the European Union. Federal Ministry for the Civil Service and Sport DG III – Civil Service and Administrative Innovation. pp 1-126.

Morgan, L., 2009. The Impact Of Work Life Balance And Family Friendly Human Resource Policies On Employees Job Satisfaction. London: Oxford University Press.

OECD. 2017a. OECD employment outlook 2017. Paris: OECD Publishing. Diambil dari: http://dx.doi.org/10.1787/empl_outlook-2017-en

OECD., 2017b. Going digital: The future of work for women. Policy brief on the future of work. Paris: OECD Publishing. Diambil dari: http://www.oecd.org/employment/Going-Digital-the-Future-of-Work-for-Women.pdf

Omondi, A. A., K’Obonyo, P., 2018. Flexible Work Schedules: A Critical Review Of Literature ©Strategic Journals Flexible Work Schedules: A Critical Review Of Literature. Vol. 5, Iss. 4, pp 2069 – 2086.

Taskin, L., & Edwards, P., 2007. The Possibilities And Limits Of Telework In A Bureaucratic Environment: Lessons From The Public Sector. New Technology, Work, and Employment, vol. 22, pp. 195–207.


Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini