Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Perlunya ‘Nilai Likuidasi’ Atas BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan Yang Akan Dihapuskan Dengan Cara Dilelang
Anton Wibisono
Selasa, 04 Februari 2020 pukul 16:43:47   |   13581 kali

Beberapa saat lalu Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan memberikan arahan yang pada intinya adalah ‘aset negara harus bekerja, aset negara tidak boleh hanya dicatat dineraca kemudian tidur’. Aset tidur saja tidak boleh, apalagi jika sebuah aset membebani keuangan negara. Apakah ada aset yang membebani keuangan negara? Ada, contohnya adalah aset yang sudah rusak berat sehingga biaya pemeliharaan (cost) nya lebih besar dari manfaatnya.

Sebuah Barang Milik Negara (BMN) yang sudah rusak berat tidak akan memberikan manfaat maksimal bagi instansi yang menggunakannya, justru biaya pemeliharaan (cost) atas BMN rusak berat tersebut lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang bisa diperoleh instansi penggunanya. Jika cost yang dikeluarkan sudah lebih besar daripada manfaat yang bisa diperoleh maka penghapusan atau pemindahtanganan adalah jalan keluar terbaik. Sebagian besar penghapusan/pemindahtanganan BMN yang rusak berat dilakukan dengan cara dijual secara terbuka melalui lelang. Selain bisa menghasilkan penerimaan berupa PNBP, penjualan secara secara lelang juga meminimalisir potensi moral hazard karena prosesnya yang terbuka.

Dalam prosesnya, sebelum BMN dijual secara lelang, maka atas BMN selain tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan penilaian atas BMN yang akan dipindahtangankan tersebut, hasil penilaian ini kemudian akan menjadi nilai limit dalam persetujuan/ijin penjualannya dan menjadi harga limit dalam pelaksanaan lelang. Penilaian dilakukan dalam hal Pengelola Barang dhi. DJKN merasa perlu melakukan perbaikan atas nilai taksiran yang diajukan oleh Pengguna Barang dhi. Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja atau jika Pengguna Barang tidak melakukan penaksiran harga atas BMN yang akan dipindahtangankan. Penilaian dilakukan oleh Penilai yang ada pada Kantor Pusat DJKN, Kanwil atau KPKNL setempat sesuai batas dan jenis kewenangannya.

Sudut Pandang Penilai

Dari sudut pandang Penilai, nilai yang dihasilkan dari proses penilaian BMN sebagaimana dimaksud adalah nilai wajar. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 27 tahun 2014 dan PMK Nomor 111 tahun 2016 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pemindahtanganan BMN (termasuk penjualan) dilakukan penilaian yang dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar.

Dalam penilaian BMN ini, sering kali sebagian Penilai memiliki kekhawatiran apabila harga lelang yang terbentuk ternyata jauh lebih tinggi dari harga limit (yang notabene berasal dari hasil penilaian) atau sebaliknya apabila BMN yang dijual secara lelang tidak laku, berarti hasil penilaian dianggap "tidak handal", padahal tidak selalu demikian kondisinya.

Sudut Pandang Pengelola Barang

Dari sudut pandang Pengelola Barang, untuk BMN yang sudah rusak berat dan cost-nya lebih besar dari manfaat yang bisa diperoleh, maka semakin cepat barang tersebut dihapuskan/dipindahtangankan akan semakin baik, karena disamping membebani dan menimbulkan potensi kebocoran biaya pemeliharaan, barang rusak berat tersebut berpotensi pula membebani laporan keuangan dan beresiko menjadi temuan aparat pemeriksa. Dalam pelaksanaan penjualan BMN secara lelang, maka yang diharapkan adalah barang tersebut laku dalam 1 kali pelaksanaan lelang. Pelaksanaan lelang ulang memang dimungkinkan, namun akan memerlukan energi dan biaya karena akan mengulang proses sebelumnya.


Jika lelang yang dilakukan untuk penghapusan BMN dinyatakan TAP (tidak laku) maka BMN rusak berat tersebut akan membebani Satuan Kerja secara langsung serta membebani keuangan negara secara tidak langsung. Sebagaimana disebutkan di atas, terdapat skema lain yang dapat ditempuh dalam melakukan pemindahtanganan BMN selain melalui penjualan secara lelang, misalkan dihibahkan, dialihstatuskan, atau bahkan dimusnahkan, tergantung skema mana yang paling mungkin dilakukan dan paling menguntungkan negara, baik secara PNBP maupun dari sudut pandang daya ungkit ekonomi secara umum.

Sudut Pandang Pejabat Lelang


Dari sudut pandang Pejabat Lelang, harga limit yang menggunakan nilai wajar meningkatkan potensi Lelang Tidak Ada Peminat (TAP) dan berpotensi menurunkan tingkat produktivitas lelang. Mengapa demikian? Karena selain melalui lelang, calon pembeli memiliki opsi lain yaitu membeli barang serupa melalui dealer/toko yang tidak memerlukan effort tambahan. Jika ingin menarik calon pembeli lebih banyak maka penawaran secara lelang memerlukan sweetener, yang dalam hal ini berupa selisih antara nilai wajar dengan nilai likuidasi.

Calon pembeli memiliki pilihan membeli melalui dealer/toko atau membeli melalui lelang di KPKNL. Dalam 2 pilihan diatas, calon pembeli akan memilih untuk membeli melalui dealer/toko jika dibandingkan dengan lelang yang memakai nilai wajar. Lain halnya jika lelang menggunakan nilai likuidasi dan bukan nilai wajar, maka akan lebih besar kemungkinan calon pembeli lebih memilih lelang dibandingkan membeli melalui dealer/toko. Nilai Pasar memperkecil kemungkinan laku terjual, dan karenanya menimbulkan potensi pemborosan waktu (dalam hal dilakukan lelang ulang) ataupun potensi kehilangan PNBP (dalam hal dihapuskan dengan cara selain dilelang). Dalam kondisi normal, skala proritas calon pembeli dalam memperoleh barang adalah:

1. Membeli lelang, dengan harga limit menggunakan nilai likuidasi

2. Membeli melalui dealer/toko

3. Membeli melalui lelang, dengan harga limit menggunakan nilai wajar



Lelang dengan penawaran secara elektronik (e-auction) selalu menghasilkan harga pasar atas barang yang terjual, harga limit tidak banyak berpengaruh atas harga yang terbentuk. Penjual tidak perlu khawatir meskipun, misalnya, limit yang diajukan bagi sebagian pihak dianggap ‘terlalu rendah’. Lelang Barang Rampasan Kejaksaan adalah contoh, nilai limit yang diajukan pihak kejaksaan selaku penjual biasanya cukup rendah (bisa dianggap sama dengan nilai likuidasi) sehingga mengundang peserta lelang cukup banyak. Apakah nilai limit mempengaruhi harga terbentuk? Dalam sebagian besar Lelang Barang Rampasan Kejaksaan yang menggunakan e-auction, harga terbentuk pada akhirnya akan mengikuti harga pasar.

Terdapat beberapa pengertian nilai likuidasi, dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI) Edisi VI – 2015 nilai likuidasi diartikan sebagai sejumlah uang yang mungkin diterima dari penjualan suatu aset dalam jangka waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemasaran dalam definisi nilai wajar. Dalam PMK Nomor 185 tahun 2014 tentang penilaian barang jaminan dan/atau harta kekayaan lain dalam rangka pengurusan piutang negara oleh PUPN/DJKN, nilai likuidasi diartikan sebagai nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.

Nilai likuidasi sebagai harga limit lelang sesungguhnya telah diterapkan oleh perbankan dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, meskipun terkadang harus menunggu lelang kedua atau ketiga demi menghindari gugatan dari debitur. Dimasa lalu penilaian barang jaminan Piutang Negara juga bisa menghasilkan nilai likuidasi disamping nilai wajar. Kedua contoh itu bisa dijadikan yurisprudensi penentuan nilai likuidasi sebagai harga limit BMN yang akan dihapuskan dengan cara dilelang.

Helicopter View DJKN

Penilai, Pengelola Barang, dan Pejabat Lelang/Pelelang adalah bagian dari DJKN, mungkin sudah saatnya untuk bersinergi menggunakan sudut pandang yang lebih luas yaitu sudut pandang DJKN. Nilai ikuidasi yang dimunculkan dalam penilaian BMN yang akan dilelang bukan berarti menggantikan Nilai Wajar, namun bisa juga berdampingan atau dimunculkan kedua-duanya.

BMN rusak berat sering kali memenuhi gudang dan tempat parkir yang seharusnya bisa bisa lebih dioptimalkan untuk penyimpanan dan perparkiran. Disamping itu, semakin lama proses pemindahtanganan dilakukan, maka akan semakin menurun kondisi fisik dan nilainya. Sudah saatnya DJKN sebagai Distinguished Asset Manager mencurahkan perhatian terhadap permasalahan ini, apalagi ternyata semua prosesnya ada di DJKN.

Nilai Likuidasi perlu dimunculkan dalam penilaian BMN yang akan dihapuskan dengan cara dilelang setidaknya karena dua alasan yaitu (1) cost BMN rusak berat yang lebih besar dari manfaat yang bisa diperoleh, sehingga makin lama proses penghapusan akan makin membebani keuangan negara; dan (2) lelang secara elektronik (e-auction) selalu menghasilkan harga pasar sehingga kekhawatiran ‘nilai limit terlalu rendah’ dapat dihilangkan.


Rachmadi, Kepala Seksi Bimbingan Lelang II

Septiyanto Eko Phitarto, Kepala Seksi Penilaian II

Arif Nur Hidayat, Kepala Seksi Pengelolaan Kekayaan Negara II

-Kanwil DJKN Aceh-

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini