Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Metodologi dan Analisis Penetapan Tarif Pemanfaatan Barang Milik Negara
Surya Hadi Purnama
Senin, 05 Agustus 2019 pukul 09:05:33   |   7801 kali

Pemanfaatan Barang Milik Negara memiliki tujuan untuk memperoleh pendapatan bagi pemerintah. Pemanfaatan Barang Milik Negara merupakan bentuk kesepakatan bisnis yang didasarkan pada kondisi saling menguntungkan. Pendapatan tersebut diperoleh berdasarkan penetapan tarif yang ditentukan dengan pertimbangan saling menguntungkan. Pertimbangan saling menguntungkan merupakan prasyarat bagi keberhasilan pelaksanaan pemanfaatan aset. Oleh karena itu, penetapan tarif memegang peranan penting bagi pencapaian tujuan pemanfaatan Barang Milik Negara. Penetapan tarif yang layak harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan masing-masing pihak. Bagi Pemerintah, pemanfaatan Barang Milik Negara sebisa mungkin dilakukan guna merealisasikan potensi yang paling optimal dari aset yang dimanfaatkan. Realisasi potensi optimal aset dilakukan dengan melakukan analisis penggunaan tertinggi dan terbaik dan penetapan tarif yang paling optimal sesuai penggunaan tertinggi dan terbaiknya. Bagi mitra pemanfaatan, pemanfaatan Barang Milik Negara dilakukan berdasarkan pertimbangan kelayakan bisnis. Suatu bisnis dinyatakan layak secara finansial apabila bisnis tersebut dapat memberikan tingkat pengembalian sebagaimana diharapkan.

PENDEKATAN PERHITUNGAN TARIF

Analisis penetapan tarif dilakukan untuk menghasilkan tarif yang layak. Tarif yang layak merupakan tarif yang mampu mengakomodir kepentingan masing-masing pihak. Untuk dapat mengakomodir kepentingan masing-masing pihak, dalam melakukan analisis penentuan tarif perlu dilakukan analisis kelayakan tarif bagi kedua pihak. Analisis kelayakan tarif tersebut setidaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tarif pasar dan kemampuan/kelayakan dari bisnis yang dijalankan atas pemanfaatan aset. Untuk itu, terdapat 2 (dua) pendekatan yang dapat digunakan dalam menentukan tarif pemanfaatan aset yaitu pendekatan nilai aset dan pendekatan kemampuan/kelayakan bisnis.

Pendekatan Nilai Aset (Asset Value Based)

Pendekatan nilai aset merupakan pendekatan yang dilakukan dalam menentukan tarif pemanfaatan aset dengan mendasarkan pada penggunaan/pemanfaatan aset. Pendekatan nilai aset dilakukan berdasarkan konsep investasi dan sewa. Berdasarkan konsep investasi, pendapatan potensial yang dapat diperoleh atas penggunaan aset dapat ditentukan dengan metode kapitalisasi dan tingkat pengembalian aset (return on asset). Metode kapitalisasi aset menyatakan bahwa nilai suatu aset merupakan kapitalisasi dari pendapatan potensial yang dapat diperolehnya sehingga potensi suatu aset dalam menghasilkan pendapatan tercermin dari nilai asetnya. Metode tingkat pengembalian aset menyatakan bahwa pendapatan potensial aset sebesar tingkat pengembalian yang diharapkan atas pemanfaatan aset. Berdasarkan konsep sewa, pendapatan potensial yang dapat diperoleh dari suatu aset dapat ditentukan berdasarkan nilai sewa wajar berdasarkan permintaan dan penawaran yang berlaku di pasar. Nilai sewa wajar atas aset ditentukan berdasarkan perbandingan nilai sewa aset atau properti sejenis.

Pendekatan Nilai Bisnis (Business Value Based)

Pendekatan nilai bisnis merupakan pendekatan yang dilakukan dalam menentukan tarif pemanfaatan aset dengan mempertimbangkan kemampuan aset untuk menghasilkan pendapatan. Berbeda dengan pendekatan nilai aset yang membebankan tarif atas penggunaan/pemanfaatan aset, pendekatan nilai bisnis membebankan tarif atas pendapatan yang diperoleh atau akan diperoleh dari penggunaan/pemanfaatan aset. Penentuan tarif dengan pendekatan nilai bisnis dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil. Prinsip bagi hasil dalam penentuan tarif pemanfaatan aset ditentukan berdasarkan proporsi tertentu yang disepakati kedua belah pihak atas pendapatan yang dihasilkan atas penggunaan/pemanfaatan aset. Proporsi bagi hasil ditentukan dengan mempertimbangkan kemampuan bisnis dalam menghasilkan pendapatan dan kelayakannya bagi masing-masing pihak.

TARIF STANDAR DAN NON STANDAR

Berdasarkan jenisnya, terdapat 2 (dua) jenis tarif penerimaan negara bukan pajak yaitu tarif spesifik dan tarif ad valorem.[1] Tarif spesifik merupakan tarif yang ditetapkan dengan nominal uang. Tarif ad valorem merupakan tarif yang ditetapkan dengan persentase dan formula. Sedangkan berdasarkan mekanisme penetapannya, penulis mengelompokan jenis tarif yang berlaku atas pemanfaatan Barang Milik Negara menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu tarif standar dan non standar. Tarif standar merupakan tarif pemanfaatan/penggunaan aset yang ditetapkan berdasarkan mekanisme ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pembebanan atas penggunaan/pemanfaatan aset dilakukan berdasarkan nominal tertentu atau persentase atas dasar perhitungan tertentu yang bersifat baku sesuai jenis-jenis layanan atau tujuan pemanfaatan/penggunaan aset tanpa memperhatikan nilai atau potensi aset. Tarif standar ditetapkan atas aset yang digunakan untuk menyediakan layanan yang diperlukan dalam rangka pembebanan tarif layanan. Mekanisme penetapan tarif standar dilakukan berdasarkan penetapan tarif yang bersifat umum.

Tarif non standar merupakan tarif pemanfaatan/penggunaan aset yang ditetapkan berdasarkan mekanisme ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pembebanan atas penggunaan/pemanfaatan aset dilakukan dengan mempertimbangkan nilai atau potensi aset. Potensi aset yang paling optimal dilihat dari penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari suatu aset. Oleh karenanya, tarif yang dibebankan atas pemanfaatan aset berbeda-beda satu sama lain sesuai potensinya. Mekanisme penetapan tarif non standar dilakukan menurut jenis pemanfaatan asetnya. Jenis pemanfaatan Barang Milik Negara yang berorientasi pada perolehan pendapatan meliputi sewa, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), dan Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG). Penetapan tarif untuk masing-masing jenis pemanfaatan tersebut sebagai berikut.

Jenis Pemanfaatan

Tarif Pemanfaatan

Jenis Tarif

Dasar Perhitungan

Sewa

Nilai Sewa

Spesifik

Nilai wajar sewa

KSP

Kontribusi Tetap

ad valorem

Persentase Kontribusi Tetap x Nilai Wajar BMN

Pembagian Keuntungan

ad valorem

Persentase Pembagian Keuntungan[2] x Dasar Pembagian Keuntungan[3]

BGS/BSG[4]

Kontribusi Tahunan

ad valorem

Persentase Kontribusi Tahunan x Nilai Wajar BMN

PENDEKATAN NILAI ASET (ASSET VALUE BASED)

Sebagaimana dijelaskan di awal, penetapan tarif dengan menggunakan pendekatan nilai aset dapat dilakukan berdasarkan metode kapitalisasi aset, tingkat pengembalian aset, dan nilai sewa pasar. Ketiga metode tersebut digunakan untuk menghitung pendapatan potensial yang dapat diperoleh suatu aset. Pendapatan potensial tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan untuk menentukan tarif pemanfaatan aset. Metode yang digunakan untuk menentukan potensi pendapatan yang dapat dihasilkan suatu aset dengan pendekatan nilai aset tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Dekapitalisasi Nilai Aset (Asset Value Decapitalization)

Kapitalisasi aset merupakan metode yang digunakan untuk menentukan nilai suatu aset berdasarkan pendapatan yang dihasilkan oleh aset tersebut. Nilai aset ditentukan dengan mengapitalisasi pendapatan bersih atau aliran kas yang dihasilkan atas pemanfaatan aset dengan tingkat kapitalisasi tertentu. Proses sebaliknya (reverse process) dapat diterapkan untuk menentukan pendapatan atau aliran kas potensial yang dapat dihasilkan suatu aset berdasarkan nilai asetnya. Proses dekapitalisasi[5] nilai suatu aset dapat digunakan untuk menentukan tarif pemanfaatan aset. Pendapatan suatu aset dapat ditentukan dengan mengalikan tingkat dekapitalisasi tertentu (d) dengan nilai asetnya. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

Pendapatan potensial aset/tahun

=

d x Nilai aset (asset value)

Tingkat dekapitalisasi dapat ditentukan berdasarkan tingkat kapitalisasi atau tingkat diskonto (discount factor) yang sesuai dengan memperhitungkan faktor likuiditas aset. Tingkat likuiditas aset berpengaruh terhadap mempengaruhi kemampuan aset dalam menghasilkan pendapatan. Faktor likuiditas (l) merupakan faktor pengurang dari tingkat kapitalisasi. Aset lancar memiliki tingkat likuiditas 1. Aset non lancar memiliki tingkat likuiditas < 1. Dengan menggunakan tingkat kapitalisasi (c), pendapatan potensial aset berdasarkan nilai asetnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Pendapatan potensial aset/tahun

=

[c x l] x Nilai aset (asset value)

Tingkat Pengembalian Aset (Return on Asset/ROA)

Tingkat pengembalian aset merupakan metode yang umum digunakan dalam akuntansi untuk mengevaluasi kinerja suatu entitas usaha terhadap optimalisasi penggunaan asetnya. Kinerja suatu entitas dinilai dengan membandingkan antara pendapatan operasional yang diperoleh dengan total aset yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat pengembalian aset suatu entitas semakin optimal entitas tersebut dalam penggunaan asetnya untuk menghasilkan pendapatan. Metode ini juga dapat digunakan untuk menentukan potensi pendapatan yang dapat diperoleh suatu aset melalui proses balikannya (reverse process). Untuk menentukan pendapatan potensial suatu aset, pertama kali ditentukan tingkat pengembalian yang diharapkan suatu aset (expected return on asset). Pendapatan potensial aset ditentukan dengan mengalikan tingkat pengembalian yang diharapkan aset (r) tersebut dengan nilai asetnya. Proses tersebut secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

Pendapatan potensial aset/tahun

=

r x Nilai aset (asset value)

Tingkat pengembalian aset (ROA) yang diharapkan dapat ditentukan berdasarkan analisis data historis usaha sejenis, rata-rata industri, dan hasil perhitungan analis. Tingkat pengembalian aset (ROA) berbeda-beda tergantung jenis usaha atau industri yang dijalankan. Industri yang padat modal (capital intensive) atau membutuhkan investasi awal (initial investments) yang besar biasanya memiliki tingkat pengembalian aset yang lebih rendah dibanding industri yang padat karya (labour intensive). Jenis usaha yang dijalankan pada pemanfaatan aset termasuk usaha yang padat modal sehingga tingkat pengembalian aset yang diharapkan pada pemanfaatan aset umumnya lebih rendah.

Nilai Sewa Pasar (Fair Rental Value)

Nilai sewa pasar menggambarkan potensi pendapatan yang dapat dihasilkan suatu aset berdasarkan konsep sewa. Dalam konsep sewa, seseorang diwajibkan membayar dengan nilai tertentu atas penggunaan suatu aset dalam bentuk hak sewa kepada pemilik aset. Nilai yang dibayarkan penyewa kepada pemilik aset ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengacu pada nilai sewa wajar yang berlaku. Nilai sewa wajar ditentukan berdasarkan analisis pasar dengan membandingkan nilai sewa atas aset atau properti sejenis. Nilai sewa atas properti sejenis kemudian disesuaikan dengan karakteristik aset yang dinilai dengan memperhitungkan faktor-faktor yang sesuai. Penyesuaian dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai sewa. Berbeda dengan metode dekapitalisasi dan tingkat pengembalian yang menghasilkan tarif ad valorem berupa persentase tertentu atas nilai aset, metode nilai sewa pasar menghasilkan tarif spesifik dengan nominal tertentu tanpa memperhitungkan nilai aset.

PENDEKATAN NILAI BISNIS (BUSINESS VALUE BASED)

Penetapan tarif dengan menggunakan pendekatan kemampuan bisnis dilakukan terhadap aset yang dikerjasamakan untuk menghasilkan pendapatan. Tarif pemanfaatan aset dengan pendekatan kemampuan bisnis ditetapkan berdasarkan proporsi bagi hasil atas pendapatan yang disepakati kedua pihak. Penetapan tarif lebih didasarkan pada nilai bisnis aset dibanding nilai asetnya. Nilai bisnis suatu aset tercermin dari kemampuan aset dalam menghasilkan aliran pendapatan atau arus kas dari pemanfaatan aset. Pendapatan atau arus kas tersebut yang kemudian menjadi dasar dalam menentukan tarif pemanfaatan aset berdasarkan proporsi bagi hasil[6] yang disepakati antara pemilik aset (asset owner) dengan pihak yang mengusahakan aset (asset operator). Dalam hal terdapat investasi tambahan[7] dalam pelaksanaan pemanfaatan aset, perlu diperhitungkan pula proporsi bagi hasil pihak yang mengeluarkan investasi (asset investor).[8] Pada prinsipnya, pengenaan tarif bagi hasil atas pemanfaatan aset didasarkan pada pendapatan bersih (net income) atau arus kas bersih yang dihasilkan dari kegiatan usaha aset. Pendapatan yang akan diterima merupakan hasil perkalian antara proporsi atau nisbah bagi hasil (p) dengan pendapatan atau keuntungan bersih yang diperoleh. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

Pendapatan Aset

=

p x Pendapatan bersih (net income)

………………… (a)

Pendapatan bersih merupakan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha aset dikurangi seluruh biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut. Pendapatan bersih menunjukan hasil bersih yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dapat didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak atas hasil usaha tersebut. Selain pendapatan bersih, hasil bersih yang dapat didistribusikan dapat berupa arus kas bersih. Arus kas bersih yang menjadi dasar pembagian hasil merupakan arus kas bersih yang dihasilkan dari kegiatan usaha. Dibanding pendapatan bersih, investor lebih menyukai arus kas bersih karena lebih mampu menggambarkan kemampuan usaha yang sebenarnya. Namun demikian arus kas bersih sebagai dasar pembagian keuntungan belum memperhitungkan pengembalian investasi yang dikeluarkan investor dalam hal pemanfaatan aset membutuhkan investasi awal dalam pelaksanaannya. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu cara yang dapat digunakan ialah menambahkan kembali nilai depresiasi[9] ke dalam arus kas bersih sebagai dasar perhitungan pembagian keuntungan. Perhitungan pendapatan pemanfaatan aset dengan menggunakan arus kas bersih dirumuskan sebagai berikut.

Pendapatan Aset

=

p x {Arus kas bersih (free cash flow) + biaya penyusutan (depreciation)}

………………… (b)

Pengenaan tarif atas pendapatan bersih atau arus kas bersih dianggap lebih baik bagi mitra. Namun demikian pembagian berdasarkan pendapatan bersih atau arus kas bersih tidak terlalu menguntungkan bagi pemilik aset. Hal ini dikarenakan pemilik aset tidak memiliki kendali atas opersional sehingga tidak dapat mengawasi struktur biaya operasional yang dikeluarkan mitra pemanfaatan. Oleh karena itu, bagi pemilik aset pembagian hasil lebih baik didasarkan pada pendapatan sebelum diperhitungkan biaya operasional. Dasar pembagian tersebut antara lain pendapatan (revenue), pendapatan kotor (gross income), Laba Operasi (EBITDA), atau arus kas bersih (net free cashflow). Penggunaan dasar pendapatan selain pendapatan bersih atau arus kas bersih dilakukan dengan mengonversi pendapatan tersebut terlebih dahulu ke dalam pendapatan bersih. Konversi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan yang sesuai. Konversi pendapatan, pendapatan kotor, dan laba operasi menjadi pendapatan bersih dapat menggunakan rasio berupa net profit margin (NPM), gross margin (GM), dan EBITDA margin sebagai berikut.

Net Profit Margin (NPM)

=

Pendapatan bersih

(net incomes)

=

NPM x Pendapatan (revenue)

……………………… (1)

Gross Margin (GM)

=

Pendapatan (revenue)

=

……………………… (2)

EBITDA margin

=

Pendapatan (revenue)

=

……………………… (3)

Dengan memasukan persamaan (a) dan (1) diperoleh konversi perhitungan pendapatan aset dengan menggunakan dasar pendapatan sebagai berikut:

Pendapatan Aset

=

r x NPM x Pendapatan (revenue)

…………………………. (c)

Dengan memasukan persamaan (a), (1), dan (2) diperoleh konversi perhitungan pendapatan aset dengan menggunakan dasar pendapatan kotor sebagai berikut:

Pendapatan Aset

=

x )

…………… (d)

Dengan memasukan persamaan (a), (1), dan (3) diperoleh konversi perhitungan pendapatan aset dengan menggunakan dasar EBITDA sebagai berikut:

Pendapatan Aset

=

x

………………...……. (e)

Rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagai dasar perhitungan pembagian hasil dengan menggunakan dasar selain pendapatan bersih (NPM, GM, EBITDA Margin) dapat ditentukan berdasarkan analisis data historis usaha sejenis, rata-rata industri, dan hasil perhitungan analis. Rasio-rasio keuangan tersebut berbeda-beda tergantung jenis usaha atau industri yang dijalankan. Perbedaan rasio-rasio keuangan itu disebabkan struktur pendapatan dan biaya berbeda-beda untuk masing-masing jenis usaha.

ANALISIS METODOLOGI YANG DIGUNAKAN

Dalam prakteknya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mekanisme penetapan tarif pemanfaatan BMN dilakukan dengan menggunakan kedua pendekatan sesuai dengan jenis pemanfaatannya. Pendekatan nilai aset (asset value based) digunakan untuk menentukan tarif pemanfaatan dalam bentuk sewa berupa nilai sewa, BGS/BSG berupa tarif kontribusi tahunan, dan KSP berupa tarif kontribusi tetap. Pendekatan nilai bisnis (business value based) digunakan untuk menentukan tarif pemanfaatan dalam bentuk KSP berupa pembagian keuntungan (profit sharing). Metodologi penentuan tarif pokok sewa dilakukan dengan menggunakan nilai sewa wajar (fair rental value).[10] Penetapan tarif kontribusi tahunan, kontribusi tetap, dan pembagian keuntungan dilakukan dengan metodologi sebagai berikut.

Kontribusi Tahunan

Kontribusi tahunan merupakan pendapatan tunai yang diperoleh Pemerintah dari pemanfaatan aset dalam bentuk BGS/BSG. Selain pendapatan tunai, Pemerintah memperoleh pendapatan non tunai dalam bentuk penggunaan langsung sebagian aset hasil BGS/BSG selama masa kerja sama. Penggunaan sebagian aset ditentukan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari aset hasil BGS/BSG. Kontribusi tahunan ditentukan berdasarkan nilai aset Pemerintah yang dilakukan BGS/BSG. Pendapatan Pemerintah tersebut ditentukan berdasarkan perkalian persentase kontribusi tetap (Ky) dengan nilai wajar aset. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

Besaran kontribusi tahunan

=

Ky x Nilai wajar BMN

Persentase kontribusi tahunan ditentukan berdasarkan hasil analisis kelayakan bisnis dengan mempertimbangkan nilai investasi Pemerintah[11], tingkat risiko yang ditanggung mitra, tingkat IRR dan NPV yang diterima mitra sesuai jenis industrinya, dan jangka waktu kerja sama. Analisis kelayakan bisnis yang dilakukan dalam rangka menentukan tarif kontribusi tahunan tersebut meliputi analisis tingkat diskon, analisis net present value (NPV), analisis internal rate of return (IRR), dan analisis payback period (PP) atau discounted payback period (DPP). Meskipun menggunakan dasar nilai aset (asset value based) dalam menentukan besaran kontribusi tahunan, secara konseptual perhitungan kontribusi tahunan sebenarnya menggunakan dasar nilai bisnis (business value based).

Perhitungan yang diperoleh berdasarkan hasil analisis bisnis kemudian dikonversi atau disesuaikan menjadi persentase tertentu terhadap nilai aset. Akibatnya persentase yang digunakan tidak dapat menggambarkan sepenuhnya tingkat pengembalian yang diperoleh dari pemanfaatan aset dan tidak dapat diperbandingkan antara satu kasus dengan kasus yang lain. Selain itu untuk menentukan besaran nisbah atau persentase yang sesuai dilakukan perhitungan yang rumit dengan menggunakan beragam asumsi dan analisis sensitivitas. Asumsi digunakan sebagai dasar melakukan proyeksi keuangan atas proyek yang akan dijalankan. Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui pengaruh dari beragam besaran persentase kontribusi tahunan yang dipilih terhadap tingkat IRR dan NPV yang dapat diterima mitra[12]. Dengan kata lain, besaran persentase kontribusi tahunan ditentukan dengan metode trial and error hingga diperoleh besaran yang menghasilkan tingkat IRR dan NPV yang dapat diterima mitra.

Kontribusi Tetap

Kontribusi tetap merupakan salah satu dari dua jenis pendapatan yang diperoleh Pemerintah dari pemanfaatan aset dalam bentuk KSP. Selain kontribusi tetap, dalam KSP Pemerintah juga mengenakan tarif dalam bentuk pembagian keuntungan. Perbedaan antara kontribusi tetap dan pembagian keuntungan terletak pada dasar pengenaan tarifnya. Kontribusi tetap menggunakan dasar nilai aset. Pembagian keuntungan menggunakan dasar pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan aset. Kontribusi tetap dihitung sebagai hasil perkalian persentase kontribusi tetap (Kt) dengan nilai wajar aset dengan rumus sebagai berikut.

Besaran kontribusi tetap

=

Kt x Nilai wajar BMN

………………..….. (f)

Seperti halnya kontribusi tahunan, persentase kontribusi tetap dihitung berdasarkan analisis kelayakan bisnis dengan mempertimbangkan nilai investasi Pemerintah, tingkat risiko yang ditanggung mitra, dan tingkat IRR dan NPV yang diterima mitra. Perhitungan kontribusi tetap pada KSP secara konseptual tidak jauh berbeda dengan perhitungan kontribusi tahunan pada BGS/BSG. Meskipun secara regulasi menggunakan dasar nilai aset, penentuan tarif kontribusi tetap pada praktiknya menggunakan dasar nilai bisnis dengan mengonversi atau menyesuaikan hasil yang diperoleh dari analisis kelayakan bisnis menjadi persentase tertentu terhadap nilai aset. Perbedaan dengan perhitungan besaran kontribusi tahunan, analisis sensitivitas yang dilakukan juga harus memperhitungkan persentase pembagian keuntungan. Akibatnya skema perhitungan atau penyesuaian yang dilakukan tidak tunggal sebagaiman kontribusi tahunan melainkan kombinasi dua parameter atau variabel berbeda.

Pembagian Keuntungan (Profit Sharing)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemanfaatan aset dalam bentuk KSP menerapkan pengenaan tarif ganda (double tariff). Kedua jenis tarif tersebut dibedakan berdasarkan dasar pengenaannya. Pembagian keuntungan merupakan jenis tarif pemanfaatan aset dalam bentuk KSP yang dibebankan atas pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan aset. Pembagian keuntungan dengan demikian dihitung berdasarkan pendekatan nilai bisnis (business value based). Pembagian keuntungan dihitung sebagai hasil perkalian nisbah atau proprosi bagi hasil (p) dengan pendapatan atau arus kas yang dihasilkan. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut.

Pembagian Keuntungan

=

p x Pendapatan/Arus Kas Bersih

…………. (g)

Pendapatan yang menjadi dasar perhitungan pembagian keuntungan dapat berupa penjualan (sales), laba bruto (gross profit), Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortisation (EBITDA), Earning Before Interest and Tax (EBIT), atau Earning After Tax (EAT)[13]. Arus kas bersih yang menjadi dasar perhitungan hanya arus kas bersih yang berasal dari kegiatan operasi dan investasi (AKBKOKI). Arus kas bersih yang berasal dari kegiatan pendanaan tidak diperhitungkan sebagai dasar pembagian keuntungan. Pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan hasil analisis kelayakan bisnis dengan mempertimbangkan nilai investasi Pemerintah, nilai investasi Mitra, dan risiko yang ditanggung Mitra. Metodologi perhitungan tarif pembagian keuntungan pada kerja sama pemanfaatan dengan menggunakan dasar arus kas bersih dijelaskan sebagai berikut.

Perhitungan persentase pembagian keuntungan dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan arus kas bersih dengan kontribusi tetap yang harus dibayarkan. Arus kas bersih tersebut kemudian dikurangi dengan premi risiko untuk Mitra sebelum dibagi atau didistribusikan sesuai kontribusi investasi/aset. Dengan demikian, dalam perhitungan pembagian keuntungan terdapat 3 (tiga) tipe arus kas bersih yaitu arus kas bersih yang dihasilkan dari kegiatan usaha (CF) atau dikenal sebagai free cash flow to firm (FCF-F)[14], arus kas bersih yang telah diperhitungkan pembayaran kontribusi tetap (CFt), dan arus kas bersih setelah dikurangi premi resiko (r) untuk mitra atau arus kas bersih yang tersedia untuk dibagi (CFr). Hubungan matematis ketiga tipe arus kas bersih tersebut ditunjukan sebagai berikut.

CFt

=

CF – Kontribusi Tetap (KT)

………………………………… (4)

CFr

=

CFt – (p x CFt)

CFr

=

CFt x (1 – r)

………………………………… (5)

Dengan memasukan persamaan (f), (4), dan (5) diperoleh rumusan perhitungan arus kas bersih setelah dikurangi premi resiko (CFr) terhadap arus kas bersih yang dihasilkan dari kegiatan usaha (CF) sebagai berikut:

CFr

=

{CF – (Kt x Nilai aset)} x (1 – r)

………………………………… (6)

CFr merupakan arus kas bersih yang menjadi dasar perhitungan pembagian keuntungan. Pembagian keuntungan atau arus kas bersih yang diterima Pemerintah (free cash flow to government/FCF-G) tersebut didasarkan pada proprosi (p) kontribusi investasi. Nilai investasi Pemerintah ditetapkan sebesar nilai wajar aset sehingga total investasi merupakan penjumlahan nilai aset Pemerintah (a) dan investasi awal (initial outlay) (b) yang dikeluarkan mitra.

p

=

p

=

p

=

………………………………………..………………………… (7)

Dengan memasukan persamaan (g), (6), dan (7), diperoleh rumusan perhitungan pembagian keuntungan (profit sharing) kerja sama pemanfaatan aset secara lengkap sebagai berikut.

Pembagian keuntungan

=

[ ] x [ CF – (Persentase Kontribusi Tetap x a)] x (1- Premi Risiko)

…. (h)

Dari persamaan itu diketahui adanya dua variabel yang nilainya tidak dapat ditentukan berdasarkan analisis kelayakan bisnis yaitu persentase kontribusi tetap (Kt) dan persentase premi risiko (r). Kedua variabel atau parameter kunci ini besarannya ditentukan dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dilakukan untuk menentukan kombinasi nilai kedua variabel yang menghasilkan tingkat IRR dan NPV yang dapat diterima mitra. Kombinasi besaran persentase kontribusi tetap dan premi risiko dapat menghasilkan lebih dari satu skema yang berbeda untuk menghasilkan tingkat IRR dan NPV yang sama yang dapat diterima mitra.

Meskipun regulasi mengatur beberapa jenis tarif (kontribusi tetap dan kontribusi tahunan) menggunakan dasar nilai aset, pada praktiknya seluruh perhitungan tarif ditentukan dengan menggunakan dasar nilai bisnis melalui analisis kelayakan bisnis. Penggunaan analisis kelayakan bisnis dalam penentuan tarif dilakukan berdasarkan proyeksi keuangan atas usaha yang dilakukan sampai dengan jangka waktu pemanfaatan. Proyeksi keuangan atas pendapatan dilakukan berdasarkan estimasi pertumbuhan dengan asumsi pertumbuhan tertentu. Estimasi biaya ditentukan berdasarkan analisis biaya. Kelayakan bisnis diukur dengan menggunakan tingkat diskonto (discount factor) yang sesuai. Besaran tarif ditentukan dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengacu pada tingkat IRR dan NPV yang dapat diterima mitra. Tingkat IRR dan NPV tersebut sesuai dengan tingkat yang berlaku di pasar atau rata-rata industri. Metodologi penetapan tarif dengan pendekatan tersebut menurut hemat Penulis terlalu rumit perhitungannya, tidak dapat diperbandingkan hasilnya, dan terlalu mendasarkan pada subyektifitas analis. Akibatnya, besaran tarif yang dihasilkan untuk sebagian kasus dianggap tidak layak dan sulit untuk diterapkan.

Kelemahan perhitungan dengan metodologi yang digunakan saat ini disebabkan karena dasar pengenaan tarif yang berbeda dengan pendekatan perhitungan yang digunakan, pengenaan tarif ganda (double tariff), dan pembagian keuntungan berdasarkan proporsi investasi. Penggunaan pendekatan perhitungan yang berbeda dengan dasar pengenaan tarif sebagaimana telah disinggung sebelumnya mengakibatkan besaran persentase kontribusi tetap dan kontibusi tahunan yang ditetapkan tidak dapat diperbandingkan satu sama lain. Akibatnya, evaluasi atas tingkat pengembalian aset tidak dapat dilakukan dengan membandingkan satu kasus pemanfaatan dengan kasus pemanfaatan yang lain. Penetapan tarif ganda dengan dasar pengenaan yang berbeda pada KSP mengakibatkan perhitungan atas besaran tarif menjadi terlalu rumit. Perhitungan harus dilakukan dengan menggunakan dua variabel yang berbeda sehingga kemungkinan menghasilkan beberapa kombinasi besaran tarif yang berbeda. Proporsi pembagian hasil pada KSP yang didasarkan pada proporsi investasi menimbulkan permasalahan konseptual dan praktik. Nilai aset Pemerintah yang diperlakukan sebagai nilai investasi Pemerintah dianggap tidak tepat secara konseptual[15]. Perhitungan tarif dengan mendasarkan pada proporsi investasi untuk kasus tertentu menghasilkan besaran tarif yang tidak layak[16]. Untuk membuat tarif menjadi layak, analis memberikan besaran persentase premi risiko yang cukup besar. Namun demikian besaran premi risiko yang diberikan tidak menggambarkan tingkat risiko yang ditanggung mitra. Tidak risiko yang ditanggung mitra sebenarnya sudah diperhitungkan dalam penentuan tingkat diskonto (discount factor) yang digunakan dalam analisa. Besaran premi risiko, persentase kontribusi tetap, dan persentase kontribusi tahunan ditentukan dengan menggunakan analisis kelayakan bisnis dan analisis sensitivitas yang pada praktiknya lebih mendasarkan pada subjektifitas analis.

Selain permasalahan yang berkaitan dengan perhitungan, Perhitungan tarif dengan mendasarkan pada proporsi investasi sulit diterapkan pada penetapan tarif atas pemanfaatan yang sedang berlangsung atau terlanjur. Dalam kasus pemanfaatan terlanjur, untuk menentukan proporsi pembagian keuntungan analis menghitung kembali nilai investasi masing-masing pihak berdasarkan nilai wajar aset pada saat ini. Penghitungan kembali proporsi investasi dengan nilai saat ini tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya pada saat investasi dilakukan pada awal kerja sama. Nilai aset yang dibangun mitra sebagai nilai investasi mitra seiring waktu mengalami penurunan nilai. Di sisi lain nilai tanah Pemerintah yang menjadi investasi Pemerintah seiring waktu terus mengalami kenaikan. Akibatnya seiring waktu proporsi investasi mitra cenderung terus menurun sedangkan proporsi investasi Pemerintah terus meningkat. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi mitra sehingga tarif yang dihasilkan dengan metodologi tersebut bagi mitra dianggap tidak layak.[17]

KESIMPULAN

Metodologi penetapan tarif pemanfaatan BMN yang berlaku saat ini perlu dikaji kembali untuk menghasilkan perhitungan tarif yang lebih sederhana, objektif, dan layak bagi para pihak. Perhitungan tarif yang lebih sederhana akan memudahkan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan perhitungan tarif yang lebih sederhana proses yang dibutuhkan dalam menetapkan persetujuan akan lebih singkat sehingga pemanfaatan BMN dapat dilakukan dengan lebih optimal. Perhitungan tarif yang lebih objektif memudahkan analis dalam menentukan besaran tarif dan memberikan pertimbangan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan. Pengenaan tarif berdasarkan data pasar dan rata-rata industri dianggap lebih objektif dibanding hasil proyeksi berdasarkan asumsi dan estimasi. Perhitungan tarif berdasarkan praktik bisnis yang berlaku dapat menghasilkan besaran tarif yang layak bagi mitra. Tarif yang layak bagi mitra dan tidak merugikan Pemerintah merupakan kunci keberhasilan pemanfaatan aset sebagai alternatif sumber penerimaan negara yang dapat diharapkan. Penetapan tarif tersebut dapat menggunakan pendekatan nilai aset dan pendekatan nilai bisnis sesuai kebutuhan dan karakteristik aset.


[1] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

[2] Persentase pembagian keuntungan ditentukan dengan mempertimbangkan nilai investasi pemerintah, nilai investasi mitra, dan risiko yang ditanggung mitra.

[3] Dasar pembagian keuntungan dapat dikenakan terhadap pendapatan (revenue), EBITDA, pendapatan bersih (net income), atau arus kas bersih (net free cashflow)

[4] Selain kontribusi dalam bentuk pengenaan tarif, dalam BGS/BSG juga ditetapkan kontribusi berupa penggunaan langsung paling sedikit 10% dari aset yang dibangun/dikerjasamakan.

[5] Istilah ini digunakan sebagai lawan dari istilah kapitalisasi aset.

[6] Proporsi atau nisbah bagi hasil yang paling sering digunakan ialah 50/50, 60/40, 65/35, 70/30 dari pendapatan bersih. Proporsi yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik bisnis dan bentuk pemanfaatan yang digunakan.

[7] Investasi tambahan tidak diperlukan dalam kerja sama operasionalisasi aset. Investasi tambahan merupakan faktor kunci dalam pelaksanaan pemanfaatan aset dalam bentuk KSP dan BGS/BSG.

[8] Dalam praktiknya pihak yang mengusahakan aset dengan yang menanamkan investasi merupakan pihak yang sama yang dikenal dengan istilah mitra pemanfaatan.

[9] Depresiasi dapat dianggap sebagai alokasi periodik atas pendapatan yang diperhitungkan sebagai pengembalian investasi mitra sehingga pada akhir kerja sama nilai total depresiasi yang dialokasikan menjadi sebesar nilai investasi awal yang dikeluarkan.

[10] Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.06/2016.

[11] Nilai investasi Pemerintah ditentukan sebesar nilai wajar aset yang menjadi objek BGS/BSG.

[12] Tingkat IRR dan NPV yang dapat diterima mitra ditentukan berdasarkan tingkat IRR dan NPV yang berlaku pada pasar atau rata-rata industri.

[13] Beban bunga tidak diperhitungkan dalam perhitungan Earning After Tax (EAT).

[14] Arus kas bersih dari kegiatan pendanaan atau AKBKOKI.

[15] Terkait hal ini Penulis telah menjelaskannya dalam artikel lain mengenai Konsep Entitas Bisnis Kerja Sama Pemanfaatan BMN.

[16] Contoh untuk kasus ini ialah pemanfaatan BMN berupa lapangan golf. Nilai tanah aset Pemerintah yang dimanfaatkan sebagai lapangan golf secara umum jauh lebih besar dibanding investasi yang dikleuarkan mitra. Akibatnya proprosi pembagian keuntungan antara mitra dan Pemerintah memiliki kesenjangan (gap) yang sangat signifikan.

[17] Permasalahan dalam menentukan tarif pemanfaatan aset yang sudah terlanjur dilakukan juga disebabkan metodologi analisis kelayakan bisnis tidak dapat dilakukan untuk menilai kelayakan proyek secara keseluruhan sesuai jangka waktu proyek. Analisa kelayakan yang dilakukan untuk sisa jangka waktu kerja sama dianggap tidak dapat menggambarkan sepenuhnya kelayakan bisnis yang dijalankan.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini