Skema Bagi Hasil pada Kerja Sama Usaha dan Pemanfaatan Barang Milik Negara
SURYA HADI PURNAMA
Senin, 05 Agustus 2019 pukul 08:49:16 |
90791 kali
Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) merupakan bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara yang diharapkan menjadi tulang punggung bagi sumber pendapatan negara dari pengelolaan aset. Hal ini mengingat KSP dapat dijalankan dengan pendekatan bisnis atau komersial secara penuh. Pendekatan bisnis dalam pemanfaatan BMN merupakan upaya yang dilakukan guna memaksimalkan potensi aset dalam menghasilkan pendapatan. Pendekatan bisnis pada kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara dilakukan dengan pertimbangan saling menguntungkan. Pertimbangan saling menguntungkan tersebut diwujudkan dalam bentuk penetapan skema bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Skema bagi hasil yang adil dan disepakati masing-masing pihak merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar kerja sama yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Dalam praktik bisnis yang berlaku saat ini terdapat berbagai macam bentuk skema bagi hasil kerja sama. Bentuk yang paling umum ialah skema bagi hasil pada kerja sama dalam bentuk patungan usaha (joint venture). Dalam skema ini, pembagian hasil atas keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha didasarkan pada proporsi risiko dan beban kerja para pihak. Selain patungan usaha, skema bagi hasil yang jauh lebih tua dilakukan dalam bentuk kerja sama pengelolaan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap lahan. Dalam skema ini bagi hasil didasarkan pada proprosi yang disepakati di awal atas hasil panen yang diperoleh. Dalam tulisan ini, Penulis mencoba menguraikan mengenai bentuk-bentuk kerja sama dan skema bagi hasil yang digunakan serta membandingkannya dengan skema bagi hasil pada kerja sama pemanfaatan aset yang berlaku saat ini. Pemahaman akan skema bagi hasil dari berbagai bentuk kerja sama usaha diharapkan dapat memberi pandangan yang lebih luas atas skema bagi hasil yang sebaiknya diterapkan pada kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara.
Bentuk-bentuk Kerja Sama Usaha
Secara umum, bentuk kerja sama usaha dapat dibedakan menurut prinsip yang mendasari dan objek yang dikerjasamakan. Kerja sama usaha dapat dilakukan berdasarkan prinsip perusahaan dan prinsip pengusahaan. Objek kerja sama usaha berdasarkan prinsip perusahaan berupa badan usaha yang menjalankan kegiatan usaha. Sedangkan objek kerja sama usaha berdasarkan prinsip pengusahaan berupa aset atau kepentingan yang diusahakan. Kerja sama usaha atas suatu badan usaha dilakukan berdasarkan hubungan antara para pemilik usaha (business owner). Para pemilik usaha terikat dalam hubungan kepemilikan atau patungan usaha (joint venture) berdasarkan kontribusi modal dan tanggung jawab atas entitas usaha. Kewajiban investasi dan tanggung jawab atas kegiatan perusahaan dibagi berdasarkan kesepakatan para pihak. Hasil dari kegiatan usaha dibagi menurut kontribusi modal dan tanggung jawab tersebut. Sedangkan kerja sama usaha atas pengusahaan suatu aset (asset partnership) dilakukan berdasarkan hubungan antara pemilik aset atau kepentingan (principal) dengan pihak yang mengusahakan aset (agent). Pada prinsipnya pihak yang mengusahakan aset menjalankan suatu kegiatan usaha untuk kepentingan pemilik aset. Hasil dari kegiatan usaha merupakan hak pemilik aset. Pemilik aset, berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, memberikan sebagian hasil usaha tersebut kepada pihak yang mengusahakan aset sebagai kompensasi atas usaha yang dilakukan.
Patungan Usaha (Joint Ventures)
Kerja sama usaha dalam bentuk patungan usaha merupakan bentuk
kelembagaan badan usaha pada umumnya.[1]
Terdapat 2 (dua) jenis badan usaha berdasarkan konsep patungan usaha. Pembedaan
atas jenis badan usaha ini dilakukan berdasarkan tanggung jawab para pihak atas
kewajiban atau risiko yang imbul dari kegiatan yang diajalankan badan usaha.
Berdasarkan hal tersebut, kerja sama usaha dalam bentuk patungan usaha
dibedakan menjadi persekutuan (partnerships) dan perseroan terbatas (limited
liability). Pada badan usaha berbentuk persekutuan, tanggung jawab para
pihak tidak terbatas pada modal atau kontribusi yang diberikan kepada badan
usaha. Risiko usaha dan kewajiban yang timbul dari kegiatan usaha tidak hanya
ditanggung oleh perusahaan melainkan juga pemilik usaha. Pemilik dan perusahaan
pada persekutuan merupakan entitas yang tak terpisahkan (non-separable
entities)[2].
Hal ini berbeda dengan badan usaha berbentuk perseroan terbatas. Pada perseroan
terbatas, tanggung jawab para pihak hanya sebatas modal yang disetorkan kepada
perusahaan. Risiko usaha dan kewajiban
yang timbul dari kegiatan usaha ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan. Risiko
pemilik terbatas hanya pada investasi yang ditanamkan. Pemilik dan perusahaan
pada perseroaan terbatas merupakan dua entitas yang terpisah (separable
entities).
A.
Persekutuan
(partnerships)
Meskipun tanggung jawab pemilik atas
perusahaan yang tidak terbatas merupakan ciri utama persekutuan, pada
praktiknya tidak semua pemilik pada perusahaan persekutuan bertanggung jawab
sepenuhnya atas kewajiban perusahaan. Terkait dengan tanggung jawab pemilik
atas usaha tersebut terdapat dua bentuk persekutuan yaitu persekutuan umum (general
partnerships)[3]
dan persekutuan terbatas (limited partnerships)[4].
Pada persekutuan umum, selain kewajiban atas kontribusi modal, para pemilik atau
anggota persekutuan memiliki tanggung jawab yang sama dalam menjalankan usaha
dan memenuhi kewajiban yang timbul dari kegiatan usaha. Pada persekutuan
terbatas, anggota persekutuan atau sekutu dibagi menurut tanggung jawabnya atas
perusahaan. Berdasarkan hal itu, sekutu pada persekutuan terbatas dibedakan
atas sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekutu aktif merupakan anggota persekutuan
yang terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha persekutuan atau menjadi
pengurus perusahaan. Sedangkan sekutu pasif merupakan anggota persekutuan yang
hanya menanamkan modalnya tetapi tidak terlibat secara aktif pada kegiatan
usaha perusahaan. Dengan demikian sekutu aktif memiliki tanggung jawab yang
tidak terbatas atas perusahaan sedangkan sekutu pasif hanya bertanggung jawab
sebatas modal yang disetorkan.
B.
Perseroan
Terbatas (Limited Liabilities)
Perseroan terbatas tidak membagi
pemilik berdasarkan tanggung jawab atas perusahaan. Dengan penerapan sepenuhnya
konsep keterpisahan entitas, tanggung jawab atas kegiatan perusahaan merupakan
tanggung jawab sepenuhnya perusahaan. Perusahaan pada perseroan terbatas tidak
hanya entitas terpisah tetapi juga entitas yang berdiri sendiri sebagai badan
hukum yang dapat melakukan perikatan dan melakukan perbuatan hukum keperdataan.
Pemilik usaha (business owner) pada perseroan terbatas hanya bertanggung
jawab atas modal atau saham yang dimiliki. Pemegang saham tidak terlibat sama
sekali dalam kegiatan usaha perseroan. Kegiatan usaha perseroan dilakukan
sepenuhnya oleh manajemen atau pengurus perusahaan yang ditunjuk atau diangkat
oleh keputusan pemilik. Pengangkatan atau penetapan pengurus perusahan
dilakukan pada sebuah rapat umum yang dihadiri oleh para pemegang saham
perusahaan. Perseroan Terbatas dibedakan berdasarkan pemegang sahamnya menjadi
perusahaan terbuka (public company) dan perusahaan tertutup (private
company). Pemegang saham pada perusahaan terbuka dapat berasal dari
kalangan mana saja karena saham perusahaan terbuka ditawarkan secara luas
melalui bursa. Sedangkan pemegang saham pada perusahaan tertutup hanya berasal
dari kalangan tertentu saja karena saham perusahaan hanya ditawarkan secara
terbatas.
Kerja sama usaha dalam bentuk pengusahaan aset,
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, merupakan bentuk kerja sama usaha yang
didasarkan pada hubungan prinsipal dan agen (principal -agent relationship)[5].
Pengusahaan aset memiliki beragam bentuk tergantung pada jenis aset yang
diusahakan dan tujuan pengusahaan aset. Aset yang dapat dijadikan objek kerja
sama pengusahaan dapat berupa lahan (land), bangunan (buildings),
kekayaan alam (natural resources), dana investasi atau simpanan (funds),
dan lainnya. Kerja sama pengusahaan aset memiliki cakupan yang luas dan banyak
diterapkan di berbagai bidang usaha. Penerapan prinsip pengusahaan aset
tersebut antara lain dilakukan pada kerja sama pengolahan lahan pertanian,
pengelolaan minyak dan gas bumi, dan pengelolaan dana simpanan pada perbankan
syariah[6].
A.
Pengolahan
Lahan Pertanian
Bentuk paling tua dari kerja sama pengusahaan
aset ialah kerja sama pengolahan lahan pertanian. Di Indonesia, kerja sama
pengolahan lahan antara pemilik lahan dengan petani penggarap dilakukan berdasarkan
skema bagi hasil menurut kebiasaan, kesepakatan, dan adat istiadat yang berlaku[7].
Pemilik lahan akan menyerahkan lahan miliknya untuk digarap petani penggarap
dengan kesepakatan bahwa hasil panen yang dihasilkan akan dibagi antara pemilik
lahan dan penggarap. Dalam praktiknya juga diatur mengenai pihak yang akan
menyediakan benih dan mengeluarkan biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka perawatan,
pertumbuhan, dan pemanenan hasil tanaman. Namun demikian, secara umum
biaya-biaya yang harus dikeluarkan tersebut ditanggung oleh petani penggarap.
Biaya-biaya tersebut kemudian dapat diperhitungkan terlebih dahulu dari hasil
panen sebelum dibagi atau diperhitungkan pada bagian hasil panen yang diterima
penggarap. Pemilik lahan tidak terlibat dalam penggarapan lahan hanya mengawasi
pelaksanaan kegiatannya.
B.
Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi
Kerja sama pengolahan lahan pertanian
berdasarkan hubungan antara pemilik lahan (principal) dan petani
penggarap (agent) kemudian diterapkan secara luas pada kerja sama
pengusahaan lainnya. Penerapan yang paling terkenal dilakukan pada kerja sama
di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi (Migas). Di Indonesia,
kerja sama pengelolaan hulu migas dilakukan melalui skema kontrak bagi hasil
produksi (Production Sharing Contract/PSC) antara SKK Migas dengan perusahaan
migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). KKKS bertindak selaku agen
yang melakukan eksploitasi atas cadangan migas yang dimiliki atau dikuasai
negara berdasarkan kesepakatan dengan SKK Migas selaku prinsipal yang mewakili
negara. Hasil produksi berupa cadangan migas yang berhasil diangkat (lifting)
dibagi kepada kontraktor menurut proporsi yang ditentukan. Pembagian hasil
produksi tersebut dilakukan dengan memperhitungkan kembali biaya-biaya yang
dikeluarkan kontraktor dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi pada hasil
produksi migas (cost recovery) atau membebankan biaya-biaya yang
dikeluarkan kontraktor pada bagian hasil migas yang diterima kontraktor (gross
split).
C.
Perbankan
Syariah
Bagi hasil merupakan konsep dasar yang
digunakan pada perbankan atau keuangan syariah. Berbeda dengan perbankan
konvensional yang memberikan imbal atas dana yang disimpan nasabah dan
pembebanan atas penggunaan dana oleh pihak lain[8]
dalam bentuk bunga (interest), perbankan syariah memberlakukan imbal
hasil atas dana nasabah dan penggunaan dana oleh pihak lain[9]
berdasarkan konsep pembagian keuntungan (profit sharing). Pengelolaan
dana oleh perbankan syariah dilakukan berdasarkan prinsip atau akad mudharabah.
Akad mudharabah merupakan perjanjian atau akad yang dilakukan dalam
rangka pengelolaan dana dengan membagi keuntungan yang dihasilkan dari
pengelolaan dana tersebut sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Akad mudharabah
dilakukan dalam rangka penghimpunan dana simpanan dan pembiayaan dalam rangka
pengelolaan dana nasabah. Akad mudharabah dalam rangka penghimpunan dana
dilakukan antara nasabah yang menyimpan uangnya dengan bank. Nasabah bertindak
selaku pemilik dana (principal) sedangkan bank bertindak selaku
pengelola dana (agents). Akad mudharabah dalam rangka pembiayaan
dilakukan antara bank dengan nasabah yang menggunakan dana untuk kegiatan
usaha. Bank, dalam hal ini, bertindak selaku investor atau penyedia modal (principal)
sedangkan nasabah bertindak selaku pengelola dana (agents). Kedudukan
bank dan nasabah sebagai prinsipal atau agen pada perbankan syariah tergantung
pada jenis akad yang dilakukan.
Kerja sama pemanfaatan (KSP) Barang Milik Negara adalah pendayagunaan
BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan
penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya[10].
Sesuai pengertiannya, kerja sama pemanfaatan BMN dilakukan guna optimalisasi
aset dalam rangka menghasilkan atau meningkatkan penerimaan negara.
Pendayagunaan aset pada kerja sama pemanfaatan BMN dilakukan oleh pihak lain atau
mitra dengan cara mengembangkan suatu aset BMN menjadi aset yang dapat
menghasilkan pendapatan (income producing asset). Pengembangan aset
dapat dilakukan dengan cara mendirikan bangunan, fasilitas, atau konstruksi
lainnya (green field) atau dengan merehabilitasi, merenovasi, atau
merekonstruksi aset yang sudah ada (brown field). Investasi atau modal
yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan aset ditanggung oleh mitra KSP. Aset
BMN yang telah dikembangkan selanjutnya diusahakan atau diopersionalkan oleh
mitra KSP selama jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu kerja sama
berakhir, aset dimaksud kemudian diserahkan kepada Pemerintah selaku pemilik aset.
Selama masa kerja sama, pendapatan atau keuntungan yang diperoleh dari
pengusahaan aset dibagi berdasarkan proporsi investasi[11]
para pihak dan memperhitungkan risiko yang ditanggung mitra[12].
Selain pembagian keuntungan, mitra KSP juga diwajibkan membayar kontribusi
tetap kepada Pemerintah. Nilai kontribusi tetap yang harus dibayarkan dihitung
berdasarkan persentase tertentu dari nilai aset BMN yang menjadi objek KSP[13].
Kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dibayarkan setiap tahun dengan
ketentuan kontribusi tetap tahun kedua dan seterusnya dibayarkan berdasarkan
besaran kontribusi tetap tahun pertama dengan kenaikan tertentu.
Pada prinsipnya kerja sama pemanfaatan Barang Milik
Negara merupakan kerja sama usaha yang dilakukan berdasarkan prinsip
pengusahaan aset. Prinsip pengusahaan aset pada kerja sama pemanfaatan BMN
dilakukan berdasarkan hubungan antara Pemerintah sebagai pemilik aset (principal)
dengan mitra KSP sebagai pihak yang mengusahakan aset (agent). Meskipun
dalam pelaksanaanya terdapat kebutuhan investasi untuk mengembangkan aset,
investasi tersebut harus dipahami dalam konteks pengusahaan aset yang dilakukan
mitra. Investasi yang dikeluarkan mitra tersebut dapat dipersamakan dengan
investasi yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama dalam rangka
eksplorasi dan eksploitasi migas atau benih yang harus ditanam dalam rangka kerja
sama pengolahan lahan pertanian. Investasi itu dilihat dari sisi mitra yang
mengharapkan pengembalian atas dana yang telah dikeluarkan. Sedangkan dari sisi
Pemerintah, seluruh pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kerja sama diperlakukan
sebagai biaya pengusahaan yang harus diperhitungkan dari hasil pengusahaan atau
pendapatan aset.
Skema bagi hasil pada kerja sama usaha didasarkan pada
konsep hubungan para pihak dalam kerja sama. Pada kerja sama usaha atas dasar
hubungan kepemilikan atau patungan usaha, hasil usaha yang diperoleh entitas
usaha merupakan hak pemilik usaha. Hasil
usaha tersebut kemudian dibagikan diantara para pemilik berdasarkan kontribusi
dan pembagian risiko. Kontribusi yang diberikan dapat berupa kontribusi modal
dan operasional. Risiko yang ditanggung para pihak tergantung bentuk badan
usaha yang dijalankan. Pada badan usaha berbentuk persekutuan (partnership),
risiko yang ditanggung para pihak tidak hanya sebatas pada harta yang dimiliki
perusahaan tetapi juga harta pribadi yang dimiliki[14].
Pada badan usaha berbentuk perseroan terbatas (limited liability) risiko
yang ditanggung para pihak hanya sebatas modal yang disetor. Dengan demikian
skema pembagian keuntungan pada persekutuan berbeda dengan skema pembagian
keuntungan pada perseroan terbatas. Pada persekutuan, pembagian keuntungan
dapat dilakukan berdasarkan kontribusi modal dan tanggung jawab atau risiko
yang ditanggung para pihak. Sedangkan pada perseroan terbatas pembagian
keuntungan hanya didasarkan pada proporsi modal atau investasi.
Pada kerja sama pengusahaan aset atas dasar hubungan
antara pemilik aset dan pihak yang mengusahakan aset. Sebagai agen, pihak yang
mengusahakan aset pada prinsipnya bertindak untuk kepentingan prinsipal (pemilik
aset) sehingga hasil yang diperoleh dari pengusahaan aset pada hakikatnya merupakan
hak pemilik aset. Namun demikian, sebagai kompensasi atas usaha yang dilakukan,
pemilik aset menyerahkan sebagian hasil pengusahaan aset itu kepada pihak yang
mengusahakan. Penyerahan atau pembagian atas hasil pengusahaan aset tersebut
dilakukan menurut kesepakatan kedua belah pihak. Dalam kesepakatan tersebut
juga diatur mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengusahaan
aset. Biaya-biaya tersebut dapat diperhitungkan dari hasil pengusahaan aset
sebelum dibagi atau dibebankan pada bagian pihak yang mengusahakan. Secara
lebih lengkap, skema bagi hasil pengolahan lahan, pertambangan migas, dan
perbankan syariah diuraikan sebagai berikut.
A.
Bagi
Hasil Pengolahan Lahan
Dalam praktik tradisional kerja sama
pengolahan tanah pertanian di Indonesia, skema bagi hasil yang ditetapkan
antara pemilik dan penggarap lahan dapat dilihat dari nama atau istilah yang
disematkan pada perjanjian bagi hasil yang diterapkan. Skema atau perjanjian bagi
hasil tersebut berbeda-beda pada masing-masing daerah. Di Minangkabau misalnya
disebut: memperduai, di Minahasa: tojo, di Jawa Tengah dan Timur: maro atau
mertelu, di Priangan: nengah atau jejuron, di Lombok: nyakap[15].
Beberapa daerah menggunakan istilah yang sejatinya merujuk pada proporsi bagi
hasil yang digunakan pada perjanjian. Maro (Jawa), Paron (Madura), Memperduai
(Minangkabau), dan Nengah (Sunda) memiliki makna yang sama yaitu bagi hasil
tanah dengan membagi ½ hasil panen kepada pemilik tanah dan ½ sisanya kepada
penggarap. Demikian pula mertelu (Jawa), menigai atau mepertigai (Minangkabau),
dan juron (sunda) mengandung makna bagi hasil tanah dengan membagi 2/3 hasil
panen kepada pemilik lahan dan 1/3 sisanya kepada penggarap. Beberapa daerah
menggunakan istilah yang lebih umum yang tidak merujuk pada proporsi bagi hasil
secara spesifik. Variasi dari skema bagi hasil pertanian ini tak terbatas sesuai
dengan praktik, kebiasaan dan hukum adat yang berlaku pada tiap-tiap daerah.
Namun demikian skema 1:1 atau 50:50 dan skema 1:2 atau 1/3 merupakan skema bagi
hasil yang paling umum diterapkan.
B.
Bagi
Hasil Pertambangan Migas
Skema bagi hasil pada kerja sama hulu
migas dengan mekanisme production sharing contract (PSC) pada mulanya
dilakukan dengan rujukan pada praktik bagi hasil tanah antara pemilik tanah dan
petani penggarap. Skema bagi hasil tersebut, sebagaimana telah disebutkan,
dibedakan menjadi dua bentuk yaitu cost recovery dan gross split.
Pada skema cost recovery, proporsi antara Pemerintah dan kontraktor ditetapkan
sebesar 85:15 untuk minyak bumi dan 65:35 untuk gas bumi. Pembagian hasil
produksi tersebut dilakukan setelah memperhitungkan atau mengembalikan terlebih
dahulu biaya-biaya yang dikeluarkan kontraktor dalam rangka eksplorasi dan
eksploitasi migas. Sedangkan pada skema gross profit, proporsi antara
Pemerintah dan kontraktor ditetapkan sebesar 57:43[16]
untuk minyak bumi dan 52:48[17]
untuk gas bumi. Pembagian tersebut dilakukan atas hasil produksi sebelum
dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan kontraktor. Biaya-biaya yang
dikeluarkan kontraktor migas dibebankan pada hasil produksi yang menjadi bagian
kontraktor.
C.
Bagi
Hasil Perbankan Syariah
Skema
bagi hasil pada perbankan syariah berdasarkan akad mudharabah dilakukan
berdasarkan kesepakatan antara nasabah dengan bank. Kesepakatan tersebut termasuk
penentuan nisbah bagi hasil yang menjadi hak masing-masing pihak. Perhitungan
bagi hasil pada perbankan syariah dapat dilakukan berdasarkan pendapatan (revenue
sharing) atau laba bersih (profit sharing)[18].
Pendekatan bagi hasil berdasarkan pendapatan dihitung atas pendapatan yang
diperoleh sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. Pendekatan bagi hasil atas laba
bersih didasarkan pada pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya dan
pengeluaran lainnya. Pada akad mudharabah penghimpunan dana, besaran
nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank berbeda-beda tergantung penawaran
bank selaku pengelola dana (mudharib) dan kesepakatan nasabah selaku
pemilik dana (shahibul maal). Untuk deposito syariah misalnya, nisbah
bagi hasil ditetentukan dengan besaran yang berbeda-beda sesuai jangka waktu
penyimpanan dana. Nisbah bagi hasil nasabah atas tabungan atau deposito yang dihitung
berdasarkan pendapatan usaha rata-rata sekitar 10% sedangkan nisbah bagi hasil
nasabah yang dihitung berdasarkan laba bersih berkisar antara 46-54%[19].
Pada akad mudharabah pembiayaan, nisbah bagi hasil usaha ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah yang menjalankan usaha.
Besaran nibah bagi hasil ini berbeda-beda sesuai kesepakatan para pihak.
Besaran nisbah bagi hasil ini ditetapkan dengan berpedoman pada prospek usaha
dan keuntungan yang diperoleh.
Skema bagi hasil pada kerja sama pemanfaatan Barang Milik
Negara, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ditentukan berdasarkan rasio
investasi para pihak dan risiko yang ditanggung mitra. Dengan memperlakukan
nilai aset yang dikerjasamakan sebagai nilai investasi Pemerintah, proporsi
bagi hasil yang diperoleh Pemerintah dihitung dengan membandingkan nilai aset
sebelum dikembangkan dengan nilai total aset setelah dikembangkan[20].
Proporsi bagi hasil yang diperoleh tersebut kemudian diperhitungkan kembali
dengan premi risiko yang diberikan kepada mitra. Besaran premi risiko dihitung
berdasarkan proyeksi keuangan dan kelayakan usaha yang dijalankan. Dengan
mekanisme tersebut, dapat dipahami bahwa perhitungan bagi hasil pada kerja sama
pemanfaatan Barang Milik Negara menggunakan pendekatan investasi atau prinsip
patungan usaha. Bagi hasil atas usaha dilakukan berdasarkan kontribusi modal
para pihak dengan memberi bagian atau porsi tertentu kepada salah satu pihak sebagai
kompensasi atas tanggung jawab atau risiko yang ditanggungnya. Skema yang
digunakan ini mirip dengan skema bagi hasil pada persekutuan terbatas (limited
partnerships). Pemerintah, dalam hal ini, diperlakukan sebagai “sekutu
pasif” dan mitra sebagai “sekutu aktif”. Perbedaannya, meskipun sekutu aktif
dan sekutu pasif pada persekutuan terbatas memikul tanggung jawab yang berbeda
tetapi keduanya menanggung risiko kehilangan modal atau investasi yang sama.
Sedangkan Pemerintah pada kerja sama pemanfaatan tidak menanggung risiko
kehilangan modal[21].
Secara konseptual, kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara bukanlah kerja sama usaha berdasarkan prinsip patungan usaha sehingga perhitungan skema bagi hasil yang saat ini berlaku dianggap kurang tepat. Kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara harus didudukan kembali pada konsep dasarnya sebagai kerja sama pengusahaan aset. Hubungan antara Pemerintah selaku pemilik aset dan mitra selaku pihak yang mengusahakan aset bukanlah hubungan antara investor atau pemilik atas entitas bisnis kerja sama pemanfaatan melainkan hubungan yang didasarkan atas konsep prinsipal-agen. Mitra (agen) pada kerja sama pemanfaatan melakukan pengusahaan aset untuk kepentingan Pemerintah selaku pemilik aset (prinsipal). Bagian keuntungan atau hasil yang diperoleh dari pemanfaatan Barang Milik Negara yang menjadi bagian mitra merupakan bentuk kompensasi yang diberikan Pemerintah (pemilik aset) atas usaha yang dilakukan. Proporsi bagi hasil pemanfaatan tersebut tidak ditentukan berdasarkan proporsi modal melainkan kesepakatan antara “pemilik lahan” dengan “penggarap”. Mengingat pada pelaksanaan kerja sama pemanfaatan terdapat investasi awal (initial outlay), proporsi bagi hasil yang diberikan kepada mitra selain memperhitungkan usaha yang dilakukan juga harus memperhitungkan pengembalian investasi yang telah dikeluarkan. Kesepakatan atas besaran proporsi bagi hasil tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme penawaran umum (tender).
Kesimpulan
Kerja sama usaha, baik yang dilakukan berdasarkan prinsip
patungan usaha dan prinsip pengusahaan, merupakan praktik bisnis yang dilakukan
dengan prinsip saling menguntungkan (mutual benefit). Prinsip saling
menguntungkan terwujud dari pembagian yang adil diantara para pihak atas hasil
usaha. Pada kerja sama patungan usaha, pembagian yang adil itu dilakukan
berdasarkan risiko yang ditanggung para pihak. Risiko tersebut tercermin dari
kontribusi modal/investasi dan tanggung jawab masing-masing pihak. Patungan
usaha merupakan praktik bisnis yang berlaku pada umumnya. Prinsip kerja sama
ini didasarkan pada hubungan kepemilikan dari para pihak. Pada kerja sama
pengusahaan, pembagian yang adil itu dilakukan sesuai kesepakatan para pihak. Masing-masing
pihak memiliki pertimbangan atau ekspektasinya sendiri atas usaha yang akan
dijalankan. Kesepakatan yang terjalin menunjukan bahwa pertimbangan atau
ekspektasi tersebut telah terpenuhi sehingga kerja sama usaha dapat dilakukan.
Pengusahaan aset merupakan praktik bisnis yang diterapkan secara luas di
berbagai bidang. Prinsip kerja sama ini didasarkan pada hubungan antara pemilik
aset dan pihak yang mengusahakan aset. Penerapan prinsip kerja sama ini antara
lain dilakukan pada kerja sama pengolahan lahan pertanian, pertambangan minyak
dan gas bumi, dan perbankan syariah.
Kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara merupakan
penerapan konsep hubungan prinsipal-agen. Mitra pemanfaatan merupakan agen yang
mengusahakan aset untuk kepentingan Pemerintah/pemilik aset selaku prinsipal.
Namun demikian praktik yang ada saat ini memperlakukan kerja sama ini sebagai
patungan usaha antara Pemerintah dengan mitra berdasarkan prinsip investasi.
Penentuan bagi hasil dengan mendasarkan pada rasio investasi tidak sesuai
diterapkan pada bentuk kerja sama pengusahaan aset. Penentuan bagi hasil itu
seharusnya dilakukan sesuai praktik bisnis yang berlaku. Bentuk-bentuk kerja
sama pengusahaan aset dan kerja sama lainnya dengan penerapan prinsip yang sama
dapat dijadikan rujukan (benchmarking) dalam menentukan skema bagi hasil
yang sesuai. Perubahan dengan menyesuaikan dengan praktik bisnis yang sesuai
ini diharapkan dapat mengakselerasi pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Negara
sebagai sumber pendapatan negara dapat diwujudkan. Selain optimalisasi aset sebagai
sumber pendapatan, pelaksanaan kerja sama pemanfaatan diharapkan dapat memberi
kontribusi pada perekonomian melalui peningkatan investasi dan penciptaan
lapangan pekerjaan.
[1] Selain patungan
usaha, bentuk kelembagaan badan usaha lainnya ialah perusahaan perseorangan (sole
propietorship) dan koperasi.
[2] Ketidakterpisahan
yang dimaksud disini ialah ketidakterpisahan dari sisi tanggung jawab legal
antara pemilik dan perusahaan. Dalam akuntansi yang menganut konsep
keterpisahaan entitas (separate entity) ditegaskan adanya pemisahan
antara entitas usaha (business entity) dengan pemilik usaha (business
owner).
[3] Termasuk ke dalam
bentuk persekutuan umum ialah Firma.
[4] Termasuk ke dalam
bentuk persekutuan terbatas ialah persekutuan komanditer (Commanditaire
Vennootschap/CV)
[5] Selain pengusahaan
aset, bentuk kerja sama yang dilakukan berdasarkan hubungan prinsipal dan agen
ialah kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha dalam rangka penyediaan
infrstruktur (public private partnerships) dan kerja sama antara pemilik
dengan pengurus atau manajemen dalam pengelolaan perusahaan.
[6] Selain pada perbankan
syariah, pengelolaan dana berdasarkan prinsip pengusahaan juga dilakukan pada
pengelolaan dana investasi oleh pihak ketiga seperti reksa dana (mutual
funds) dan perusahaan atau manajer investasi.
[7] Perjanjian bagi hasil
tanah antara pemilik dan penggarap juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
[8] Perbankan
konvensional menggunakan konsep pinjam meminjam. Dalam konsep tersebut bank
bertindak selaku kreditor sedangkan pihak yang menggunakan dana bertindak
selaku debitor atau penanggung hutang.
[9] Perbankan syariah
tidak menggunakan konsep pinjam meminjam melainkan konsep investasi. Dalam
konsep investasi, bank bertindak selaku investor yang menempatkan dananya
kepada pihak lain untuk digunakan dalam kegiatan usahanya.
[10] Pasal 1 angka 12
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
[11] Nilai aset sebelum
dikembangkan yang menjadi objek KSP diperhitungkan sebagai nilai atau
kontribusi investasi pemerintah.
[12] Pasal 73 angka 1
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
[13] Pasal 71 angka 1
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
[14] Pada praktiknya
risiko ini tidak ditanggung semua pihak. Persekutuan membagi anggota sekutu
menjadi sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekutu aktif yang menjalankan usaha
bertanggungjawab penuh atas risiko bisnis yang dihadapi perusahaan. Sedangkan
sekutu pasif yang tidak terlibat dalam kegiatan perusahaan hanya bertanggungjawab
sebatas modal yang diserahkan kepada perusahaan.
[15] Penjelasan pasal 1
huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960.
[16] Pasal 5 angka 1 huruf
a Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017
[17] Pasal 5 angka 1 huruf
b Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017
[18] Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 15/DSN-MUI/IX/2000
[19] Angka ini penulis
peroleh dengan membandingkan nisbah bagi hasil untuk beberapa produk simpanan
yang ditawarkan Bank Muamalat, BNI Syariah, dan Bank Mandiri Syariah per
tanggal 1 Agustus 2019.
[20] Nilai aset setelah
dikembangkan merupakan nilai aset sebelum dikembangkan ditambah nilai investasi
yang dikeluarkan untuk mengembangkan aset.
[21] Kinerja usaha
pemanfaatan Barang Milik Negara tidak mempengaruhi kepemilikan aset.
Disclaimer |
---|
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja. |