Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Konsep Entitas Bisnis Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara
Surya Hadi Purnama
Jum'at, 01 Februari 2019 pukul 11:09:29   |   13181 kali

Secara sederhana, terdapat 2 model bisnis kerja sama pendayagunaan lahan untuk tujuan komersial/bisnis melalui skema bangun guna serah (build-operate-transfer/BOT) dan skema lain yang sejenis[1]. Pertama, konsep patungan modal (joint venture). Dalam konsep ini pemilik lahan (landlord) diperlakukan sebagai salah satu investor yang menginvestasikan lahan kedalam entitas bisnis yang akan mengusahakan lahan tersebut. Lahan yang dimiliki dianggap sebagai modal atau nilai investasi pemilik lahan. Hubungan antara pemilik lahan dengan entitas bisnis yang akan mengusahakan lahan merupakan hubungan kepemilikan yang bersifat langsung. Kedua, konsep sewa guna usaha (leasing). Berbeda dengan konsep patungan modal, dalam konsep sewa guna usaha, pemilik lahan tidak menjadi bagian dari entitas bisnis yang akan mengusahakan lahan. Hubungan antara pemilik lahan dengan entitas bisnis tersebut tidak bersifat langsung. Pemilik lahan hanya berhubungan dengan pemilik entitas bisnis dalam kedudukannya sebagai pihak yang menyewakan lahan (lessor) dan penyewa (lessee). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, kedua konsep ini dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

A. Patungan Modal (Joint Venture)

Konsep patungan modal dalam rangka kerja sama pendayagunaan lahan tidak berbeda jauh dengan konsep patungan modal dalam rangka pendirian usaha. Dalam model ini pemilik lahan dan mitra kerjasama masing-masing bertindak selaku investor yang menanamkan modalnya pada sebuah entitas bisnis yang dibentuk guna menjalankan suatu usaha yang berkaitan dengan penggunaan lahan (operator). Nilai tanah yang dimiliki pemilik lahan menjadi nilai investasi pemilik lahan. Sedangkan jumlah uang yang dikeluarkan mitra kerja sama untuk mendirikan bangunan dan membeli peralatan yang akan digunakan untuk operasional bangunan menjadi nilai investasi mitra. Proporsi antara nilai tanah dan nilai investasi mitra menjadi dasar dalam menentukan proporsi kepemilikan atau ekuitas masing-masing pihak. Oleh karena dasarnya adalah ekuitas, skema kompensasi yang digunakan adalah skema bagi hasil (profit sharing) berdasarkan keuntungan yang diperoleh. Yang membedakan konsep patungan modal dalam rangka kerja sama pendayagunaan lahan dengan konsep patungan modal dalam rangka pendirian usaha ialah kepemilikan mitra kerja sama bersifat terbatas waktu. Perjanjian antara pemilik lahan dan mitra kerja sama menyaratkan pengalihan seluruh kepemilikan mitra kepada pemilik lahan setelah jangka waktu berakhir. Oleh karena itu, mitra kerja sama umumnya memperoleh pembagian hasil yang lebih besar dibanding proporsi modal yang dimiliki. Kelebihan tersebut merupakan kompensasi yang diberikan agar pada akhir masa kerja sama, mitra kerja sama dapat memperoleh kembali jumlah investasi yang dikeluarkan dan pengembalian investasi (return on investment) yang diharapkan.

B. Sewa Guna Usaha (Leasing)

Konsep sewa guna merupakan bentuk lain konsep sewa menyewa. Dalam model ini, pemilik lahan dan mitra kerjasama masing-masing bertindak selaku pihak yang menewakan (lessor) dan penyewa (lessee) dalam suatu perjanjian sewa guna (leases agreement). Namun, berbeda dengan sewa pada umumnya, dalam perjanjian sewa guna, pihak penyewa diberi keleluasaan untuk mengusahakan lahan yang disewa termasuk mengembangkan lahan dengan mendirikan bangunan diatasnya dengan syarat setelah jangka waktu penyewaan berakhir tanah dan segala sesuatu yang berdiri diatasnya diserahkan sepenuhnya kepada pemilik lahan. Oleh karena dasarnya adalah perjanjian sewa, skema kompensasi yang digunakan adalah skema tarif yang didasarkan pada nilai tanah. Berbeda dengan konsep patungan modal, dalam konsep sewa guna usaha, penyewa dimungkinkan untuk menjalankan sendiri suatu usaha yang berkaitan dengan penggunaan lahan atau membentuk entitas bisnis baru selaku operator. Pembentukan entitas bisnis tersebut dapat dilakukan tanpa keterlibatan pemilik lahan. Pemilik lahan tidak berhak atas pendapatan atau keuntungan yang diperoleh atas penggunaan lahan baik yang dilakukan sendiri oleh penyewa atau oleh operator yang ditunjuk penyewa. Pemilik lahan hanya berhak atas nilai sewa yang harus dibayarkan penyewa dengan besaran yang telah disepakati pada awal perjanjian.

Penerapan kedua konsep tersebut dalam skema kerja sama pendayagunaan aset memiliki implikasi yang berbeda. Pertama, dengan diperhitungkan sebagai investasi, penerapan konsep patungan modal menyebabkan perubahan kepemilikan lahan. Hubungan kepemilikan antara pemilik lahan dengan lahan yang dimiliki tidak lagi bersifat langsung. Sesuai prinsip pemisahan kepemilikan (separation of ownership and control), lahan tersebut tidak lagi menjadi milik “pemilik lahan” melainkan milik entitas bisnis yang dimiliki. Kepemilikan aset berupa menjadi kepemilikan ekuitas. Kedua, dengan adanya perubahan kepemilikan lahan pada konsep patungan modal, pada akhir jangka waktu kerja sama yang diserahkan mitra kerja sama bukanlah aset yang digunakan dan diadakan dalam rangka pelaksanaan kerja sama melainkan kepemilikan parsial atas entitas bisnis kerja sama berupa nilai ekuitas yang dimiliki[2]. Ketiga, sebagai akibat dari hubungan kepemilikan, meskipun terbatas, kewajiban yang timbul/dimiliki entitas bisnis kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha sebagian menjadi tanggung jawab “pemilik lahan” sesuai proporsi kepemilikan.[3]

Perubahan kepemilikan tidak terjadi dalam konsep sewa guna usaha. Hak kepemilikan lahan sepenuhnya berada pada pemilik lahan. Entitas bisnis hanya memiliki hak memanfaatkan dan memperoleh manfaat atas lahan selama jangka waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan. Setelah jangka waktu berakhir, lahan yang digunakan dikembalikan kepada pemilik lahan dan seluruh aset yang dibangun/diadakan dalam rangka pelaksanaan kerja sama diserahkan kepada pemilik lahan.[4] Selanjutnya, dengan tidak adanya hubungan langsung antara pemilik lahan dengan entitas bisnis kerja sama, segala kewajiban yang dimiliki atau timbul akibat pelaksanaan kegiatan operasional usaha yang dilakukan entitas bisnis kepada pihak lain menjadi tanggung jawab entitas bisnis dan pemiliknya. Tanggung jawab atas kewajiban tersebut, bahkan tidak berubah setelah jangka waktu kerja sama berakhir. Berbeda dengan konsep patungan modal, pengalihan aset dari entitas bisnis kepada pemilik lahan dalam konsep sewa guna usaha, tidak mencakup pengalihan kewajiban entitas bisnis. Kewajiban pemilik lahan hanya sebatas kewajiban kepada entitas bisnis sebagaimana yang diperjanjikan.

Tabel Perbedaan konsep Patungan Modal dan Sewa Guna Usaha dalam kaitannya dengan entitas bisnis kerja sama Pendayagunaan Lahan.

Konsep Patungan Modal

(Pemilik lahan sebagai Investor)

Konsep Sewa Guna Usaha

(Pemilik Lahan sebagai Lessor)

Kendali terhadap entitas bisnis

Pemilik lahan memiliki kendali operasional entitas bisnis atas dasar kepemilikan terhadap entitas.

Pemilik lahan tidak memiliki kendali sama sekali atas operasional entitas

Kepemilikan lahan pada masa kerja sama

Dimiliki entitas karena telah diperhitungkan sebagai investasi pemilik lahan

Dimiliki pemilik lahan

Kepemilikan aset yang dibangun atau diadakan dalam rangka pelaksanaan kerja sama

Dimiliki entitas baik selama masa kerja sama maupun setelah kerja sama berakhir

Dimiliki entitas selama masa kerja sama. Setelah masa kerja sama dialihkan kepemilikannya kepada pemilik lahan

Tanggung jawab atas kewajiban entitas bisnis kepada pihak lain

Pemilik lahan bertanggung jawab meskipun tanggung jawab tersebut hanya sebesar modal yang disetor.

Pemilik lahan tidak memiliki tanggung jawab apapun baik selama maupun setelah jangka waktu kerja sama.

Skema kompensasi

Pembagian keuntungan (profit sharing) sesuai proporsi modal dan dengan memperhitungkan pengembalian investasi mitra

Pembayaran royalti (royalti fee)

Aset yang diserahkan kepada pemilik lahan setelah masa kerja sama berakhir

Hak kepemilikan mitra atas sebagian ekuitas entitas bisnis

Lahan dan seluruh aset yang dibangun atau diadakan dalam rangka pelaksanaan kerja sama

Dengan pemahaman akan implikasinya, skema BOT, umumnya menggunakan konsep sewa guna usaha (leasing). Pemilik lahan tidak berhubungan secara langsung atau menjadi bagian dari entitas bisnis mitra kerja sama. Meskipun demikian, dalam praktikanya, penentuan besaran royalti fee kepada pemilik lahan seringkali tidak dilakukan berdasarkan nilai tanah atau nilai sewa tanah (land rent) melainkan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh dari penggunaan lahan (revenue sharing)[5]. Penggunaan konsep sewa guna usaha, terlihat jelas dalam skema Bangun Guna Serah/Bangun Serah Guna (BGS/BSG) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/PMK.06/2014. Dalam beleid tersebut, pengenaan royalti fee yang disebut dengan istilah kontribusi tahunan, ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari nilai tanah.[6]

Hal ini berbeda dengan skema Kerja Sama Pemanfaatan[7] yang tidak menganut secara jelas salah satu diantara dua konsep tersebut. Skema Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 78/PMK.06/2014 tampaknya menganut kedua konsep tersebut sekaligus. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa nilai tanah yang menjadi obyek KSP diperhitungkan sebagai besaran nilai investasi Pemerintah[8]. Hal ini menunjukan penggunaan konsep patungan modal. Penggunaan konsep patungan modal ini, kemudian diperkuat dengan penerapan skema pembagian keuntungan (profit sharing) dalam menentukan besaran kompensasi kepada Pemerintah.[9] Namun demikian, selain kompensasi berdasarkan skema pembagian keuntungan, mitra KSP juga dibebankan royalti (royalti fee) berupa kontribusi tetap yang harus dibayarkan kepada Pemerintah selama jangka waktu kerja sama.[10] Kontribusi tetap dihitung berdasarkan persentase tertentu dari nilai tanah.[11] Pengenaan royalti (royalti fee) atas dasar nilai tanah merupakan bentuk penerapan konsep sewa guna usaha. Penggunaan konsep sewa guna usaha diperkuat dengan ketentuan yang menyatakan bahwa hasil KSP yang diserahkan mitra kepada Pemerintah pada akhir kerja sama berupa tanah, gedung, sarana, dan fasilitas yang diadakan mitra bukan kepemilikan atas entitas bisnis kerja sama.[12]

Ambiguitas penerapan konsep dalam skema KSP setidaknya menimbulkan dua permasalahan inkonsistensi. Permasalahan pertama terkait kepemilikan aset. Dengan memperhitungkan nilai obyek KSP sebagai nilai investasi pemerintah seharusnya mengakibatkan peralihan kepemilikan aset menjadi kepemilikan ekuitas. Namun demikian, peralihan kepemilikan tersebut tidak dimungkinkan karena bertentangan dengan prinsip dasar pemanfaatan Barang Milik Negara.[13] Permasalahan kedua terkait pembagian resiko bisnis (risk sharing). Dengan memperlakukan diri sebagai bagian dari investor, Pemerintah semestinya harus menanggung resiko bisnis yang sama sebagaimana investor lainnya. Resiko bisnis tersebut tercermin dari skema pembagian keuntungan (profit sharing) yang digunakan dalam menentukan besaran kompensasi yang diberikan kepada Pemerintah. Namun permasalahannya, Pemerintah juga menetapkan kontribusi tetap dengan besaran yang sudah ditetapkan di awal. Besaran kontribusi tetap tersebut tidak tergantung dari kinerja keuangan entitas bisnis karena dihitung berdasarkan nilai tanah. Pembebanan kontribusi tetap ini menunjukkan bahwa, Pemerintah sebagai pemilik lahan tidak ingin menanggung resiko bisnis yang sama dengan investor lainnya.[14]

Permasalahan ini kemungkinan yang menyebabkan pelaksanaan Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) selama ini belum berjalan secara optimal. Pengenaan tarif ganda (pembagian keuntungan dan kontribusi tetap) sebagai kompensasi yang diberikan kepada Pemerintah menyebabkan bisnis KSP tidak menarik bagi investor secara finansial karena dianggap memberatkan. Akibatnya potensi penerimaan negara tidak dapat direalisasikan secara optimal. Padahal sejak awal, KSP BMN merupakan bentuk pemanfaatan BMN yang digadang-gadang menjadi andalan sumber pendapatan negara dari pengelolaan BMN.[15] Oleh karena itu perlu kajian kembali mengenai skema KSP BMN yang berlaku saat ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menghilangkan ambiguitas konsep yang diterapkan dengan menyesuaikan dengan praktik terbaik (best practice) yang ada. Misalnya dengan menerapkan konsep sewa guna usaha dalam skema KSP. Dengan konsep tersebut maka Pemerintah hanya akan membebankan pembayaran royalti (royalti fee) kepada mitra kerja sama. Pembayaran royalti tersebut dapat didasarkan pada nilai tanah atau penghasilan yang diperoleh dari penggunaan tanah. Penghitungan royalti dengan mendasarkan pada nilai tanah (land value based) dilakukan dalam hal Pemerintah tidak yakin dengan prospek bisnis yang akan dijalankan mitra. Hal ini dilakukan dalam rangka pengelolaan resiko. Sebaliknya, penggunaan dasar pendapatan (revenue based) dilakukan dalam hal prospek bisnis mitra dianggap cukup menjanjikan. Hal ini dilakukan guna mengoptimalkan pendapatan yang diterima Pemerintah.

Hal kedua yang harus dilakukan ialah mendefinisikan ulang skema KSP sebagai bentuk pemanfaatan BMN. Pada dasarnya pemanfaatan dalam bentuk KSP[16] tidak berbeda dengan BGS/BSG. Kedua bentuk pemanfaatan tersebut termasuk ke dalam skema BOT yang umum dilakukan dalam kerja sama pendayagunaan aset maupun penyediaan infrastruktur. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tujuan, prosedur, jenis kontribusi, dan objek pemanfaatannya. Pemanfaatan dalam bentuk KSP lebih menitikberatkan pada penerimaan yang akan diperoleh (revenue generating)[17], sedangkan BGS/BSG lebih menitikberatkan pada aset yang akan digunakan/diperoleh untuk kegiatan operasional pemerintah (asset acquisition)[18]. BGS/BSG hanya dilakukan terhadap aset berupa tanah kosong (greenfield), sedangkan KSP dapat dilakukan baik terhadap lahan kosong, lahan yang telah berdiri bangunan diatasnya (brownfield)[19], maupun aset lainnya. Tidak adanya perbedaan yang substansial tersebut semestinya tidak mengakibatkan perbedaan perlakuan diantara keduanya. Hal yang semestinya dilakukan ialah memberikan pengaturan yang lebih rinci terkait pemanfaatan dalam bentuk kerja sama operasional (operating agreement).[20] KSP dapat digunakan sebagai istilah umum (general term) yang digunakan untuk merujuk pada semua bentuk pendayagunaan aset dalam jangka panjang yang melibatkan kerja sama dengan pihak lain. Bentuk-bentuk kerja sama semacam itu mencakup antara lain BOT dan turunannya, kerja sama operasional (operating contract), sewa guna usaha (leases/aftermage), konsesi (concession agreement), dan patungan usaha (joint ventures and partial divestiture).[21]


Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.


[1] Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud PMK Nomor 78/PMK.06/2014 pada dasarnya tidak berbeda dengan skema BOT pada umumnya, kecuali untuk Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam rangka menoperasionalkan Barang Milik Negara yang termasuk ke dalam kerja sama operasional (operating contract).

[2] Dalam hal ini terjadi perubahan kepemilikan ekuitas dengan kepemilikan seluruhnya oleh pemilik lahan. Sesuai konsep keberlanjutan usaha (going concern), entitas bisnis dapat terus beroperasi secara normal seperti sedia kala.

[3] Tanggung jawab pemilik atas kewajiban entitas bisnis yang dimilikinya sebatas modal yang disetor.

[4] Dalam hal ini terjadi perubahan kepemilikan aset. Dengan adanya pengalihan aset, entitas bisnis tidak dapat lagi beroperasi secara normal seperti sedia kala kecuali dengan membuat perjanjian baru kepada pemilik aset misalnya dalam bentuk kerja sama operasional atau bentuk lainnya.

[5] Pengenaan atas dasar keuntungan yang diperoleh dianggap lebih adil dibanding pengenaan atas dasar nilai tanah sehingga lebih sering digunakan.

[6] Pasal 114 ayat (1) PMK 78/PMK.06/2014.

[7] Kerja Sama Pemanfaatan disini tidak termasuk Kerja Sama Pemanfaatan dalam rangka mengoperasionalkan Barang Milik Negara.

[8] Pasal 73 ayat (3) PMK 78/PMK.06/2014

[9] Pasal 70 ayat (1) huruf b PMK 78/PMK.06/2014

[10] Pasal 70 ayat (1) huruf a PMK 78/PMK.06/2014

[11] Pasal 71 ayat (1) PMK 78/PMK.06/2014

[12] Pasal 62 ayat (3) dan pasal 65 PMK Nomor 78/PMK.06/2014

[13] Pasal 4 ayat (3) PMK 78/PMK.06/2014

[14] Untuk menyiasati hal ini, PMK 78/PMK.06/2014 menetapkan premi resiko bagi mitra dalam perhitungan proporsi pembagian keuntungan. Namun demikian perlu dicermati bahwa premi resiko yang dimaksud sebenarnya tidak berkaitan dengan tingkat resiko yang ditanggung mitra. Premi resiko dimaksud lebih merupakan kelebihan yang diberikan sebagai kompensasi atas investasi yang dikeluarkan mitra sehubungan dengan kewajiban untuk menyerahkan seluruh ekuitas yang dimilikinya pada saat jangka waktu kerja sama berakhir.

[15] Pasal 62 PMK 78/PMK.06/2014 secara tegas menyatakan bahwa KSP BMN dilaksanakan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara (revenue generating).

[16] Dikecualikan dalam hal ini, KSP dalam rangka mengoperasionalkan BMN sebagaimana dimaksud pasal 75 PMK Nomor 78/PMK.06/2014

[17] Dalam praktiknya, pasal 70 ayat (3) PMK Nomor PMK 78/PMK.06/2014 memberikan kemungkinan penggantian kompensasi paling banyak 10% dalam bentuk bangunan dan fasilitas yang akan digunakan untuk kegiatan operasional pemerintah.

[18] BGS/BSG dalam hal ini memiliki kesamaan tujuan dengan skema BOT dalam penyediaan infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (public private partnership)

[19] Kerja sama semacam ini merupakan bentuk turunan dari BOT yang dilakukan dengan cara merehabilitasi, merenovasi, atau mengembangkan aset yang telah ada (existing asset) untuk kemudian dioperasionalkan selama jangka waktu tertentu dan diserahkan kepada pemilik aset setelah jangka waktu kerja sama berakhir. Kerja sama dalam bentuk ini dikenal dengan istilah rehabilitasi/renovasi, guna, serah (rehabilitation/ renovation/redevolepment operate transfer/ROT)

[20] Dalam ketentuan pengelolaan BMN setidaknya terdapat dua bentuk kerja sama operasional. Pertama, kerja sama operasional yang dilakukan dalam rangka operasionalisasi BMN dalam rangka pelayanan umum (non commercial use). Bentuk kerja sama semacam ini termasuk dalam lingkup penggunaan BMN yang disebut dengan istilah penggunaan untuk dioperasionalkan pihak lain. Kerja sama opersional terhadap BMN yang dapat menghasilkan penerimaan (commercial use). Bentuk kerja sama ini termasuk dalam lingkup pemanfaatan yang dikenal dengan istilah KSP dalam rangka operasional BMN.

[21] https://ppp.worldbank.org/public-private-partnership/agreements

Penulis Surya Hadi Purnama

Pegawai pada Direktorat PKNSI



Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini