Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang secara kelembagaan didirikan pada tanggal 16 Desember 2015 dengan legalitas antara lain melalui PMK No. 219/PMK.01/2015 tanggal 07 Desember 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Manajemen Aset Negara, setelah sebelumnya diajukan pendiriannya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kemudian mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan sesuai dengan tata cara pendirian BLU yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Tugas dan fungsi utama LMAN selaku task force DJKN secara umum adalah mendongkrak kinerja instansi induknya yaitu DJKN dalam menjalankan tugas mengelola kekayaan negara dan tentu saja mendongkrak kinerja instansi atasannya lagi yaitu Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Tugas dan fungsi utama LMAN dapat dikatakan sebagai suatu “mission imposible” yang diberikan oleh DJKN dan harus dicapai dengan sempurna yaitu berupa tugas mengelola aset negara (BMN idle) dengan parameter kinerja yang jelas antara lain parameter tingkat ROA (Return on Assets) yang sehat yang selama ini belum dijalankan secara maksimum karena berbagai alasan dan hambatan. Sejak tahun 2016 sesuai Perpres No. 102 Tahun 2016 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, LMAN memperoleh tugas tambahan (additional special task) yaitu tugas merencanakan pendanaan dan pendayagunaan lahan landbank serta melakukan pembayaran ganti rugi pengadaan tanah untuk proyek-proyek dalam program-program prioritas/strategis nasional.
Dengan mengacu kepada sistim penganggaran yang dianut oleh Indonesia yaitu Performance Based Budgeting dan Money Follows Program, maka dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini anggaran negara yang terkucurkan untuk mendukung kinerja LMAN (a.l. mendukung program prioritas nasional terkait dengan model penganggaran Money Follows Program bukan lagi Money Follows Function) menunjukkan trend meningkat. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari besarnya akun Pembiayaan Investasi BLU LMAN yang tercantum di dalam APBNP 2016 sebesar Rp16 triliun, APBNP 2017 sebesar Rp32,05 triliun (menduduki porsi terbesar atau 52,8% dari total pembiayaan investasi pemerintah) setelah sebelumnya hanya dialokasikan anggaran sebesar Rp20 triliun saja, dan APBN 2018 sebesar Rp35,4 triliun. Besarnya anggaran negara tersebut menunjukan keseriusan pemerintah dalam menghidupkan kinerja LMAN sekaligus harapan yang besar atas manfaat yang mungkin diperoleh dari LMAN.
Sebagaimana dapat kita lihat, dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia mulai mengembangkan lembaga jenis BLU dengan cara mendirikan BLU pada berbagai sektor pelayanan publik seperti sektor kesehatan, pendidikan, perkebunan, infrastruktur, dan sebagainya seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Universitas Negeri Jakarta, Balai Besar Industri Agro Bogor, Pusat Investasi Pemerintah, Bandar Udara Djalaluddin Gorontalo, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Lembaga Manajemen Aset Negara, dan sebagainya. Terlepas dari alasan adanya law of supply and demand, pertanyaannya adalah mengapa harus didirikan (banyak) lembaga BLU (tidak hanya LMAN)? Apa yang melatar belakanginya? Apa dasar hukumnya?
Sejarah perkembangan BLU di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan model manajemen sektor publik dunia. Perkembangan manajemen sektor publik di dunia sendiri dipengaruhi oleh krisis moneter/ekonomi parah di beberapa negara di dunia (Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Asia, dan bahkan Indonesia, serta negara lainnya) yang kemudian berdampak kepada skala global yang mengakibatkan kinerja pemerintahan di negara-negara tersebut dan lainnya menjadi merosot yaitu pelayanan publik buruk, korupsi meraja lela, inefisiensi anggaran, kemiskinan, dan lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan efek lebih lanjut yaitu menurunnya secara drastis tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah (krisis kepercayaan) atau dalam bahasa lugasnya adalah pemerintah dianggap tidak becus menyelenggarakan manajemen sektor publik yang menjadi tugasnya. Sejarah mencatat bahwa krisis moneter dan /atau ekonomi telah beberapa kali melanda dunia antara lain Amerika Serikat: 1901, 1907, 1920, 1929, 1987, 2003-2011 (housing bubble), Jepang: 1986-1992 (asset price bubble), Rusia: 1998, Jerman: 1918, Indonesia dan Asia: 1997-1998, dan 2015.
Krisis dimaksud mengakibatkan kinerja pemerintah porak poranda sementara warganya menginginkan kinerja pemerintah yang bagus, pelayanan publik yang excellent yaitu terpenuhinya semua kebutuhan publik (barang dan jasa publik) dengan kualifikasi harga murah atau bahkan jika mungkin gratis namun kualitas tinggi serta dapat diakses dengan mudah oleh semua masyarakat tanpa terkecuali (tidak dibatasi oleh kondisi geografis dan strata sosial) sehingga dapat dicapai tingkat kepuasan masyarakat yang tertinggi . Adapun public goods dan /atau public services yang harus disediakan oleh pemerintah antara lain adalah bidang kesehatan (rumah sakit yang berkualitas, obat gratis, dokter yang selalu siap melayani, perawat yang ramah), pendidikan (kualitas bagus dan gratis), infrastruktur (tersedianya jalan raya, jembatan, irigasi yang berkualitas dan menjangkau semua), tersedianya perumahan (murah), asuransi kesehatan (murah atau bahkan gratis), pelayanan kereta api yang moderen dan murah, bandar udara yang moderen dan aman, pelabuhan yang mudah diakses untuk mengangkut komoditas, bahkan pelayanan untuk panti jompo sekalipun harus disediakan oleh pemerintah dalam kualitas dan jumlah yang cukup, dan sebagainya. Intinya negara (pemerintah) dituntut untuk dapat melindungi sekaligus memberikan kesejahteraan kepada warganya.
Bagaimana dengan pemerintahan Indonesia? Apakah sudah berkinerja baik? Pemerintah Indonesia saat ini telah menetapkan setidaknya sebelas fungsi publik yang harus ia jalankan demi tercapainya kepuasan masyarakat, yaitu: Fungsi pemerintahan umum, Fungsi pertahanan, Fungsi ketertiban umum dan keamanan, Fungsi perekonomian, Fungsi perlindungan lingkungan hidup, Fungsi perumahan dan fasilitas umum, Fungsi kesehatan, Fungsi rekreasi dan kebudayaan, Fungsi keagamaan, Fungsi pendidikan, dan Fungsi perlindungan sosial. Kesebelas fungsi publik pemerintahan Indonesia tersebut pun sudah sejalan dengan rekomendasi PBB yang dalam COFOG (Classification of Functions of Government) PBB menstandarkan fungsi pemerintahan negara-negara di dunia dalam melindungi dan mensejahterakan warganya setidaknya harus meliputi sepuluh fungsi/bidang yaitu: General public services, Defense; Public order and safety, Economic affairs, Environmental protection, Housing and community amenities, Health, Recreation, Culture and religion, Education, dan Social protection.
Sejalan dengan kewajiban pemerintah untuk melayani masyarakatnya dalam berbagai bidang tersebut di atas, maka berkembang berbagai model manajemen sektor publik yang kemudian menjadi pilihan best practices negara-negara di dunia dalam upayanya menunjukkan kinerja terbaik kepada masyarakatnya yaitu model OPA/Old Public Administration dengan ciri pemerintahan yang kaku, birokratif, dan cenderung tidak melayani. Model OPA kemudian berkembang menjadi model NPM/New Public Management (Dicetuskan oleh David Osborne and Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector”: 1992) dengan konsep menswastakan pemerintahan. Model NPM tersebut kemudian berkembang lagi menjadi model NPS/New Public Service (Dicetuskan oleh Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt dalam buku berjudul “The New Public Service: Serving Not Steering” expanded edition: 2007) dengan ciri pemerintahan yang memberdayakan masyarakatnya. Terakhir, berkembang konsep Dynamic Governance (Dicetuskan oleh Boon Siong Neo dan Geraldine Chen dalam bukunya yang berjudul “Dynamic Governance”: 2008) dengan ciri pemerintahan yang wajib mempunyai kemampuan Dynamic Capabilities.
Bagaimana dengan model manajemen sektor publik yang dipraktikan oleh pemerintahan Indonesia? Praktik manajemen sektor publik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir (pasca orde baru tahun 1998) cenderung mendekati konsep New Public Management dengan beberapa ciri antara lain: Pemerintahan Indonesia sudah bersifat desentralistik bukan sentralistik lagi yaitu diberlakukannya sistim pemerintahan otonomi daerah sehingga daerah memiliki kewenangan yang luas (1999), Adanya standar dan ukuran kinerja pemerintah yang jelas yaitu diberlakukannya sistim manajemen kinerja SAKIP (1999), Penggunaan metode manajemen kinerja yang lebih moderen berbasis konsep Balanced Scorecard (khusus pada Kemenkeu) tahun 2011, pemerintahan yang berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan publik terbaiknya/pemerintahan yang melayani (deliver services) dengan diberlakukannya Standar Pelayanan Publik (2009), dan di jalankannya program menswastakan pemerintah/Run government like bussiness (public entrepreneurs) dalam bentuk pendirian berbagai BLU pada berbagai bidang/fungsi pemerintahan mulai tahun 2006.
Terobosan pemerintah Indonesia menswastakan pemerintahannya dengan cara mendirikan BLU pada berbagai sektor publik dimaksud telah di-back-up dengan regulasi yang kuat antara lain adalah Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang antara lain mengatur bahwa BLU dibentuk dengan tujuan untuk “meningkatkan pelayanan” kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; Kekayaan BLU merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan; dan Pembinaan keuangan BLU pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan sementara pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan, sedangkan Pembinaan keuangan BLU pemerintah daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) dan pembinaan teknisnya dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berwenang. Undang-undang tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam beberapa level peraturan perundang-undangan di bawahnya antara lain adalah: PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; PMK No. 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran Serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum; PMK No. 66/PPMK.02/2006 tentang Tata Cara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan, dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran Serta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum; PMK No. 220 /PMK.05/2016 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum; PMK No. 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum; dan lainnya.
Terkait LMAN sebagaimana tersebut di atas, maka sebagaimana BLU lainnya, LMAN mempunyai kewajiban untuk mendukung kinerja (performance booster) bahkan turut bertanggung jawab atas tercapai tidaknya visi dan misi organisasi induknya. Dalam hal ini hasil cascading Strategy Map dan Strategic Objectives, bahkan Initiative Strategics yang disusun oleh LMAN haruslah inline dengan yang disusun oleh DJKN cq. Kemenkeu (dalam konsep manajemen kinerja BSC). Bahkan tidak hanya itu, LMAN harus dapat menyesuaikan diri secara cepat apabila terjadi perubahan strategi bahkan visi dan misi (jika mungkin berubah) pada instansi induknya yaitu DJKN cq. Kemenkeu. Secara umum dapat dikatakan bahwa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LMAN tidak terlepas dari instansi induknya. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena status hukumnya yang tidak terpisah dari instansi induk, LMAN menjadi bagian perangkat pencapaian tujuan DJKN dan Kementerian Keuangan (walking together).
Walaupun dapat dikatakan seia sekata dan saling menyatu yaitu setidaknya terlihat dari Rencana Kerja dan Anggaran serta Laporan Keuangan dan Kinerja LMAN yang wajib disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana Kerja dan Anggaran serta Laporan Keuangan dan Kinerja instansi induknya yaitu DJKN dan Kemenkeu, dalam praktiknya LMAN dengan status “BLU Penuh” (diferensiasi jenis BLU) mempunyai kewenangan yang sangat berbeda yaitu LMAN menjalankan praktik model Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) yaitu model pola pengelolaan keuangan yang memiliki berbagai “fleksibilitas” berupa keleluasaan untuk menerapkan “praktek-praktek bisnis yang sehat” yang nota bene merupakan pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Mengingat kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, secara umum LMAN sebagaimana BLU pada umumnya mempunyai karakteristik pengelolaan keuangan (PPK-BLU) yang berbeda dengan instansi induknya, antara lain:
1. Pengelolaan kas LMAN dilakukan berdasarkan praktek bisnis yang sehat;
2. Sumber pendapatan LMAN dapat berasal dari penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN, jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, hasil kerjasama dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, hibah baik hibah terikat maupun tidak terikat, dan pendapatan lainnya;
3. Jika terdapat piutang macet, maka LMAN wajib menyerahkan kepengurusannya kepada PUPN. Selain itu, piutang macet LMAN pun, dengan kualifikasi tertentu, dapat dihapus secara mutlak atau bersyarat dengan persetujuan pejabat yang berwenang;
4. Jika dipandang perlu, LMAN dapat melakukan utang baik utang jangka pendek maupun jangka panjang kepada pihak ketiga dengan ketentuan utang jangka pendek ditujukan hanya untuk belanja operasional, sedangkan utang jangka panjang hanya untuk belanja modal;
5. Bagi pihak ketiga yang mempunyai piutang kepada LMAN, maka hak tagih atas utang LMAN tersebut akan kadaluarsa setelah lima tahun sejak jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh suatu undang-undang;
6. LMAN pada dasarnya “dilarang” melakukan investasi jangka panjang antara lain penyertaan modal, pemilikan obligasi untuk masa jangka panjang, atau investasi langsung (pendirian perusahaan). Namun jika dianggap menguntungkan, LMAN dapat melakukan investasi jangka panjang dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan terlebih dahulu dan keuntungan dari investasi jangka panjang dimaksud dicatat sebagai pendapatan BLU;
7. Setiap kerugian negara pada LMAN yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diselesaikan sesuai undang-undang tentang Tuntutan Ganti Rugi (TGR) kebendaharaan, Non-kebendaharaan, dan Pejabat Lainnya, dan bahkan dapat dituntut secara pidana dengan tidak menutup kemungkinan juga untuk dituntut secara perdatanya;
8. Aset yang digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan LMAN dicatat sebagai BMN (kekayaan negara yang tidak dipisahkan), kecuali terhadap aset yang dimanfaatkan “sepenuhnya” untuk menyelenggarakan kegiatan pelayanan umum LMAN (tidak dicatat sebagai BMN);
9. Proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) LMAN sepanjang sumber dananya bukan berasal dari APBN dapat tidak menggunakan prosedur PBJ pemerintah sebagaimana yang diatur di dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Hal yang menjadi kekhawatiran sebagian masyarakat adalah apakah “swastanisasi” pemerintah dengan membentuk BLU seperti LMAN dapat dijamin profesionalitas dan akuntabilitasnya? Pertanyaan ini wajar terbersit dalam diri setiap orang, mengingat dana yang digunakan untuk pendirian dan operasionalnya menggunakan uang negara akan tetapi cara kerjanya menggunakan prinsip swasta (prinsip bisnis secara umum) yang jika mengalami kerugian dan /ataupun defisit tetap menjadi beban pemerintah untuk menanggungnya. Dalam hal ini pengelolaan dana APBN oleh LMAN wajib dilakukan secara akuntabel dan harus memenuhi unsur efisiensi serta produktifitas (unsur pembeda BLU dengan instansi pemerintah pada umumnya).
Terkait dengan pengelolaan keuangan negara yang harus
akuntabel dan profesional dimaksud, LMAN pun harus mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran negara pada umumnya sebagaimana siklus yang berjalan pada instansi
induknya yang antara lain terdiri dari: perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan, pembinaan dan pertanggungjawaban,
sebagai berikut:
Sebagaimana tujuan awal dibentuknya BLU yaitu meningkatkan pelayanan publik sesuai dengan program/sektor yang dimiliki instansi induknya dengan prinsip kerja ala private walaupun menggunakan uang negara (APBN/APBD), maka hal yang perlu menjadi perhatian LMAN adalah sosialisasi kinerja kepada para stakeholders/publik, setidaknya setelah hampir tiga tahun sejak didirikan. Hal ini mengingat akses data yang lengkap (clear) atas program kerja dan kinerja BLU tersebut dirasa masih sulit, di sisi lain organisasi LMAN sendiri tentunya tidak menginginkan kejadian sebagaimana digambarkan dalam peribahasa masyarakat Ukraina yang menyatakan “They danced, but didn't take a bow”. (Risman, S.H., M.Ak./KPKNL Jakarta III/01 Oktober 2018)