Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Meningkatkan Kualitas Belanja Pemerintah
Andar Ristabet Hesda
Kamis, 04 Mei 2017 pukul 16:46:39   |   90820 kali

Pendahuluan

Belanja negara merupakan bentuk realisasi rencana kerja pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Akitivitas pemerintah baru dapat dirasakan oleh masyarakat ketika proses belanja selesai dilakukan, seperti belanja penyediaan infrastruktur, belanja subsidi, belanja di bidang pendidikan, dan lain-lain. Salah satu titik strategis penyelenggaraan pemerintahan adalah belanja negara. Mekanisme belanja harus disusun sedemikian rupa sehingga proses belanja dapat dilakukan secara terkendali. Pemerintah selaku organisasi nonprofit memang tidak dituntut untuk menghasilkan keuntungan, tapi bukan berarti mereka dapat mengeluarkan uang (belanja) dengan seenaknya. Auditor pemerintah juga memberi perhatian lebih pada audit atas belanja, karena pada kenyataannya sebagian besar kebocoran APBN terletak pada pelaksanaan belanja. Kebocoran tersebut dapat disebabkan oleh adanya praktik KKN maupun karena ketidakpahaman penyelenggara negara dalam melakukan proses belanja.

Belanja negara yang tidak semestinya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu 1) overspending (belanja yang melebihi kebutuhan), 2) misspending (belanja yang tidak sesuai kebutuhan), 3) underspending (belanja yang tidak terlaksana) 4) fraud spending (belanja yang melanggar ketentuan hukum). Kesalahan proses belanja ini disebabkan oleh beberapa hal, untuk kategori 1), 2), dan 3) pada umumnya disebabkan oleh ketidakpahaman penyelenggara negara dalam melakukan proses belanja. Adapun untuk kategori 4) disebabkan oleh adanya oknum penyelegara negara yang secara sengaja melakukan penyelewengan atas pelaksanaan belanja.

Proses belanja tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan anggaran. Mekanisme penyusunan anggaran sangat berpengaruh pada kualitas belanja. Sistem penganggaran berbasis kinerja yang saat ini diterapkan mendorong proses penyusunan anggaran menjadi lebih terukur. Berdasarkan sistem ini, setiap penyusunan anggaran harus disusun atas output yang ingin dicapai. Indikator output ini sangat bermanfaat untuk mengetahui efektivitas belanja. Oleh karena itu, kualitas output sangat menentukan kualitas belanjanya. Output yang baik akan memberikan outcome (hasil) dan benefit (manfaat) yang baik, sementara output yang buruk akan berakibat pada tidak optimalnya hasil sehingga belanja yang dikeluarkan pun tidak efektif. Selain itu, output yang baik adalah output yang disusun atas dasar analisis kebutuhan.

Menurut pendapat penulis, proses penyusunan anggaran dan pelaksanaan belanja pemerintah kita masih terdapat beberapa kelemahan. Seperti yang telah diuraikan di atas, kelemahan tersebut terletak pada dua hal, yaitu ketidakpahaman penyelenggara negara dalam melakukan proses belanja dan adanya oknum penyelenggara negara yang secara sengaja melakukan penyelewengan. Dua hal ini akan menyebabkan adanya overspending, underspending, misspending, dan fraud spending.

Ketidakpahaman penyelenggara negara dalam melakukan proses belanja adalah salah satu konsekuensi penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja. Melkers dan Willoughby (2001) menyimpulkan bahwa sistem anggaran berbasis kinerja juga memiliki dampak negatif yaitu adanya peningkatan beban kerja. Oleh karena itu, OECD (2007) menyarankan agar dalam implementasi sistem PBB juga harus memperhatikan bagaimana sumber daya manusia yang ada dan tingkat dukungan pimpinan. Implementasi anggaran berbasis kinerja menuntut setiap penyelenggara negara, baik staf maupun pimpinan mengerti setiap aktivitas belanja yang dibutuhkan dalam setiap pelaksanaan program. Apabila hal ini tidak dipahami oleh setiap penyelenggara negara maka proses penyusunan anggaran dan belanja menjadi tidak optimal. Sebagai contoh, banyak penyelenggara yang tidak mengetahui bahwa anggaran berbasis kinerja memiliki prinsip lets the manager manage dan fleksibilitas. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa para pemimpin sebagai manajer memiliki fleksibiltas dalam mengelola anggaran, namun kebanyakan penyelenggara negara menganggap anggaran itu kaku, sehingga ketika mereka tiba-tiba menghadapi kegiatan yang harus dilaksanakan namun belum dianggarkan mereka mengalami kebingungan dan pada akhirnya kegiatan tidak berjalan optimal.

Tindak lanjut atas kelemahan-kelemahan tersebut harus dilakukan secara massive, terutama terkait dengan upaya peningkatan kapasitas penyelenggara negara dalam bidang keuangan negara. Namun, proses tersebut tidak dapat kita kontrol sepenuhnya. Proses tersebut memerlukan pihak-pihak lain. Namun bukan berarti langkah untuk mengoptimalkan belanja negara tidak dapat dilakukan. Beberapa langkah kecil yang masih berada dalam rentang kendali kita dan dapat kita terapkan diantaranya adalah penajaman peran PIC anggaran, penyusunan analisis kebutuhan yang komprehensif, evaluasi value for money, dan meningkatkan pemahaman penyelenggara negara terkait mekanisme bisnis dan pasar. Berikut ini adalah uraian beberapa hal yang perlu kita pahami agar proses pelaksanaan program pemerintah berjalan dengan efisien dan efektif.

Penajaman Peran Person In Charge (PIC) Anggaran

Penerapan anggaran berbasis kinerja menuntut adanya PIC anggaran pada setiap unit/divisi. PIC anggaran tersebut bertugas untuk menyusun RKAKL unit/divisi yang bersangkutan. Prinsip penyusunan detail anggaran adalah kombinasi antara top down dan bottom up, sehingga anggaran yang disusun benar-benar merupakan ekspresi keuangan dari rencana kerja bagian/divisi yang bersangkutan.

PIC anggaran seharusnya tidak hanya bertugas sebagai rekapitulator atas usulan anggaran dari unit lain. PIC anggaran harus mampu bertindak sebagai narasumber untuk peningkatan pemahaman proses bisnis dan aktivitas keuangan staf atau pimpinan pada unit masing-masing. Hendaknya PIC anggaran harus berani memberikan penjelasan kepada para staf atau pimpinan tentang bagaimana menyusun dan mengelola anggaran dengan benar, sehingga anggaran yang dihasilkan memiliki output yang benar-benar dibutuhkan. Salah satu kelemahan sistem penganggaran inkremental yang masih terbawa sampai saat ini adalah adanya pola pikir bahwa anggaran harus selalu bertambah. Banyak pimpinan yang masih belum tahu bahwa sistem anggaran berbasis kinerja memiliki prinsip fleksibilitas. Jadi sebenarnya, kita tidak perlu takut atas kuranganya anggaran di tahun mendatang, karena pada dasarnya anggaran dapat menyesuaikan dengan kebutuhan. Salah satu indikator rencana anggaran yang baik memang ditunjukan dengan sedikitnya revisi anggaran berjalan. Namun, adakalanya memang dinamika kebutuhan pada tahun berjalan tidak dapat dihindarkan. Perubahan anggaran atas dinamika kebutuhan sebenarnya tidak menjadi masalah. Seringnya, perubahan ini tidaklah signifikan karena masih dalam satu output yang sama. Lalu bagaimana apabila perubahan tersebut merupakan kegiatan yang benar-benar baru? Hal inilah yang seharusnya kita kurangi. PIC anggaran harus mencoba menjelaskan bahwa kegiatan atau output baru sebaiknya tidak dilaksanakan pada tahun berjalan, karena hal ini akan mengganggu stabilitas pelaksanaan output lainnya. Output baru sebaiknya dilaksanakan pada tahun yang akan datang agar proses penyusunan rencana anggarannya dapat disiapkan dengan baik.

Hal lain yang perlu dipahamkan kepada staf/pimpinan adalah bahwa realisasi anggaran harus selalu dipantau. Siwanto dan Rahayu (2010) menyatakan bahwa, salah satu penyebab rendanya realisasi anggaran adalah keterlambatan pelaksanaan anggaran. Keterlambatan ini dipicu oleh tidak adanya self-monitoring oleh unit yang bersangkutan. Kesadaran untuk mereviu dan melihat kembali rencana anggaran yang telah disusun masih sangat rendah. Oleh karena itu, PIC anggaran mau tidak mau secara periodik harus proaktif mengingatkan kepada staf/pimpinan pada unitnya untuk melaksanakan rencana anggaran yang telah diusulkan.

Analisis Kebutuhan yang Komprehensif

Analisis kebutuhan adalah salah satu hal yang seringkali dilupakan, kalaupun ada pada umumnya tidak disusun secara komprehensif. Roger Kaufman dan Fenwick W. English (1979) mendefinisikan analisis kebutuhan sebagai sutu proses formal untuk menentukan jarak atau kesenjangan antara keluaran dan dampak yang nyata dengan keluaran dan dampak yang diinginkan, kemudian menempatkan deretan kesenjangan ini dalam skala prioritas, lalu memilih hal yang paling penting untuk diselesaikan masalahnya. Beberapa kata kunci dalam analisis kebutuhan adalah 1) kondisi existing 2) kondisi ideal dan 3) skala prioritas. Kesenjangan antara kondisi yang ada (existing) dengan kondisi ideal menimbulkan kebutuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut tentu memerlukan sumber daya yang mungkin terbatas, sehingga harus ada skala prioritas atas pemenuhan kebutuhan tersebut. Secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses penyusunan analisis kebutuhan adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi kondisi yang ada (existing).

2. Mengidentifikasi kondisi ideal yang telah ditetapkan. Misalnya standarisasi yang telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Apabila standar ini tidak ada, maka harus disusun asumsi-asumsi ideal yang dibutuhkan oleh unit yang bersangkutan.

3. Mengidentifikasi kebutuhan sebagai hasil kesenjangan antara kondisi yang ada (existing) dengan kondisi/asumsi ideal.

4. Mengidentifikasi kebutuhan sesuai dengan standar/asumsi ideal yang telah ditetapkan.

5. Mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki.

6. Menentukan skala prioritas berdasarkan sumber daya yang dimiliki, misalnya dengan melakukan pemecahan pemenuhan kebutuhan dalam beberapa tahun.

Evaluasi Value For Money

Value for money terdiri atas tiga prinsip yaitu, ekonomis, efisien, dan efektif. Di Inggris konsep ini digunakan sebagai alat untuk asesmen efektivitas penganggaran dan belanja sektor publik. Tiga prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Prinsip ekonomis berarti bagaimana mendapatkan sumber daya input dengan nilai biaya minimal.

2. Prinsip efisien berarti bagaimana meminimalkan sumber daya input untuk mendapatkan output tertentu.

3. Prinsip efektif berarti bagaimana output yang dihasilkan menghasilkan outcome yang telah ditentukan.

Tools analisis yang digunakan dalam konsep value for money ada dua, yaitu cost-benefit analysis dan cost-effectiveness analysis. Kedua tools ini sebenarnya memiliki konsep yang sama, yaitu bagaimana mengelola biaya untuk mendapatkan dampak ekonomi (benefit)/non ekonomi (efektivitas) yang optimal. Cost-benefit analysis biasanya digunakan untuk kegiatan yang dampaknya dapat diukur secara ekonomis, sedangkan cost-effectiveness analysis digunakan untuk kegiatan yang dampaknya tidak dapat diukur secara ekonomis.

Sebelum menyusun analisis value for money, dalam setiap evaluasi rencana kegiatan perlu disusun alternatif metode pelaksanaan, sehingga pada akhirnya dapat dipilih mana metode pelaksanaan yang paling ekonomis, efisien, dan efektif. Beberapa langkah yang harus dilakukan ketika melakukan asesmen value for money atas efektivitas penganggaran dan belanja adalah sebagai berikut:

1. Menentukan target yang ingin dicapai, target ini biasanya turunan dari sasaran strategis presiden. Target ini sebaiknya berupa output/outcome yang sudah ditentukan indikator-indikator sebagai tolak ukur pencapaiannya.

2. Pengukuran target sebaiknya tidak hanya terbatas pada pencapaian output, tetapi juga dievaluasi bagiamana pencapaian outcome-nya. Evaluasi capaian output biasanya dilakukan dalam tahun yang bersangkutan, sedangakan evaluasi outcome mungkin saja baru akan bisa dievaluasi di beberapa tahun yang akan datang. Evaluasi outcome inilah yang sering kita lupakan, akibatnya pelaksanaan program pemerintah mungkin semakin akuntabel, namun seberapa hasil dan manfaat dari program tersebut dalam jangka panjang tidak pernah kita evaluasi.

3. Setelah target ditetapkan, maka kita harus menyusun detail perencanaan, mulai dari menentukan sumber daya yang belum kita miliki, bagaimana cara memperoleh sumber daya tersebut, kapan kita melaksanakan program, sampai bagaimana kita melaksanakan program tersebut. Proses adalah salah satu rangkaian sangat penting karena akan menentukan seberapa biaya yang akan kita keluarkan untuk mencapai output/outcome. Kesalahan yang sering kita lakukan adalah kita hanya terpaku pada satu proses dan tidak menyusun alternatif proses. Contoh sederhana ketika kita membutuhkan sumber daya kendaraan, maka kita hanyak menggunakan metode pembelian tanpa mempertimbangkan metode sewa atau pinjam. Semua alternatif proses harus kita kaji untuk mendapatkan biaya yang paling efisien sehingga proses yang kita lakukan ekonomis.

4. Melaksanakan rencana sesuai jadwal. Hal ini adalah hal tersulit untuk dilakukan. Pada umumnya di instansi pemerintah akan mengalami keterlambatan penyerapan anggaran. Penyebabnya sangat kompleks, namun pada intinya adalah adanya perubahan rencana yang tidak pernah diantisipasi sebelumnya. Perubahan rencana sebenarnya dimungkinkan, karena sistem anggaran kita berprinsip fleksibel. Namun tentunya jika perencanaannya baik perubahan itu tidak akan bersifat massive. Bagaimana membuat perencanaan yang baik telah diuraikan pada poin-poin sebelumnya.

5. Evaluasi output secara berkala. Begitu banyaknya kegiatan dan program yang kita lakukan seringkali membuat kita lupa untuk mengevaluasi output. Apakah output tersebut dapat dicapai diakhir tahun, apakah output tersebut perlu ditambah, apakah output tersebut perlu dihilangkan, dll. Evaluasi ini penting karena pada tahun berjalan mungkin akan ada perubahan-perubahan.

Kelima langkah di atas merupakan cerminan dari konsep value for money, bagaimana kita melakukan asesmen mulai dari komponen input, proses, output, sampai dengan outcome/benefit. Konsep ini sangat sejalan dengan sistem penganggaran berbasis kinerja, namun masih belum benar-benar dipahami oleh pengelola keuangan dan diterapkan secara komprehensif dalam proses pelaksanaan penyusunan rencana kerja dan anggaran.

Pemahaman atas Mekanisme Bisnis

Pemahaman atas mekanisme bisnis akan sangat berguna dalam tahapan pelaksanaan program. Instansi pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Mereka membutuhan pihak pelaku bisnis/pihak swasta untuk mendukung program-program mereka. Disinilah akan terjadi proses tranksasional yang berakibat pada belanja negara. Pengetahuan terhadap mekanisme bisnis akan sangat membantu kita dalam penyusunan alternatif proses, sepertinya bagaimana menilai kewajaran suatu harga, bagaimana teknik negosiasi, bagaimana menilai kualitas barang, bagaimana menjalin hubungan B2B, G2G, B2G, dan lainnya. Pengetahuan ini tidak akan kita miliki tanpa ada pendidikan, pelatihan, dan pengalaman. Sayangnya, proses ini belum banyak kita lakukan. Kurikulum diklat yang ada pada intansi pemerintah selama ini belum banyak yang memasukan materi bisnis yang membahas tentang strategi bisnis, pembentukan harga, pemasaran, quality control, dan lainnya.

Kesimpulan

Pemerintah adalah organisasi yang bergerak, harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungan ekonomi, sosial, dan politik. Namun dengan perencanaan dan belanja yang baik, lingkungan itu dapat dikendalikan. Setiap perubahan sistem memerlukan sumber daya yang besar, sikap terbuka, dan profesionalisme. Ketiga hal ini memerlukan usaha yang massive dari setiap lini pemerintah. Namun, dari hal-hal kecil pun bisa kita lakukan untuk memperbaiki proses belanja pemerintah yang saat ini berada dalam tahap transisi sistem. Keempat poin di atas adalah berberapa langkah yang bisa kita lakukan saat ini. Pengendalian belanja harus kita lakukan karena pada dasarnya uang yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah uang rakyat.

(Andar Ristabet Hesda - Sekretariat Ditjen)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini