ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DAN MANAJEMEN ASET
Jose A. Lukito
Tenaga Pengkaji Optimalisasi Kekayaan Negara - DJKN
( jose@kemenkeu.go.id )
1. Pendahuluan
Makna Perubahan Iklim (Climate Change) dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (6) Peraturan Presiden No. 61/2011 tentang “Rencana Aksi Nasional. Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca” yang menyebutkan Perubahan Iklim adalah “berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan”.
Dalam banyak penelitian yang telah dilakukan, Perubahan Iklim mengakibatkan kenaikan suhu, peningkatan permukaan air laut serta meningkatkan frekuensi cuaca ekstrim seperti cyclone, badai, kekeringan maupun banjir. Fenomena tersebut berdampak terhadap banyak hal mulai dari sektor pertanian, kelautan, kehutanan, kesehatan sampai dengan infrastruktur khususnya bangunan gedung sebagai aset publik (aset pemerintah) yang merupakan fasilitas pelayanan kepada masyarakat (Queensland Government, 2011).
2. Dampak terhadap Aset
Aset berupa gedung yang merupakan fasilitas pelayanan pemerintah baik yang akan dibangun ataupun yang telah ada saat ini (existing) perlu untuk adaptif dan lebih tangguh terhadap iklim (Camilleri, Jaques, &Isaacs, 2001; CSIRO, 2007; de Wilde & Coley, 2012; Guan, 2007, 2009;Hasegawa, 2004; Jones & Desai, 2006; Susilawati & Goonetilleke, 2013). Organisasi, baik pemerintah atau swasta yang beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim akan lebih terjamin dalam kesinambungan pemberian pelayanannya kepada stakeholders/customers. Adaptasi terhadap perubahan iklim menimbulkan konsekuensi biaya, namun biaya dalam rangka adaptasi yang dilakukan saat ini diperkirakan akan lebih rendah ketimbang dilakukannya penundaan (atau adaptasi yang dilakukan di kemudian hari) (Environmental Resources Management, 2000; The Climate Institute, 2012; Wilson, 2006).
Salagnac (2004) mengemukakan pendapat beberapa narasumber dari 6 (enam) negara (i.e. du Plessis, Irurah, and Scholes (2003); Lowe (2003); Milne(2004); Sanders and Phillipson (2003); Shimoda (2003); Steemers (2003)) mengenai fakta perubahan iklim itu sendiri dan persiapan dalam perubahan iklim. Beberapa narasumber tersebut sepakat bahwa antisipasi perubahan iklim dapat dikatakan relatif masih tahap awal (early stage) sehingga masih diperlukan banyak penelitian, data, dan pengembangan lebih lanjut dibidang ini. Salagnac (2004) mengidentifikasikan bahwa dari seluruh narasumber tersebut paling tidak terdapat 3 (tiga) hal yang disepakati dimana hal ini sejalan dengan pandangan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahwa: (1) Gas Rumah Kaca (GRK) telah mengalami peningkatan dalam beberapa dekade; (2) Suhu global meningkat sebagai konsekuensi peningkatan GRK;dan (3) Bangunan dan Gedung akan terdampak akibat dari peningkatan GRK dan suhu global.
Salagnac (2004); Shimoda (2003); Steemers (2003) menggarisbawahi bahwa perlunya pendekatan yang sistemik dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim. Dengan kata lain, bahwa dalam kebijakan adaptasi atau mitigasi perubahan iklim tidak cukup hanya fokus pada aspek teknologi sebagai solusi, namun juga harus mempertimbangkan aspek perubahan prilaku akibat perubahan iklim. Dalam hal ini Pemerintah sangat berperan penting dalam terus menyediakan regulasi terkait yang diperlukan, sedangkan di sisi lain kalangan peneliti dan akademisi yang sangat paham aspek keilmuan perlu diberi ruang lebih luas untuk melakukan riset guna mendukung terciptanya kualitas keputusan atau kebijakan Pemerintahyang didukung hasil penelitian (research-based policy) (Salagnac, 2004).
Di sektor infrastruktur khususnya aset publik (Barang Milik Negara/Daerah), peran Pemerintah sangat penting karena Pemerintah sesungguhnya memiliki beberapa peran yang tersebar di beberapa lembaga, mulai dari selaku pemilik aset, manajer aset sampai dengan regulator yang membuat peraturan, standar serta pedoman dalam rangka memastikan bahwa aset yang dimiliki lebih resilient/tangguh dalam menghadapi dampak perubahan iklim (Guan, 2007; Susilawati & Goonetilleke, 2013; Warren,2010). Dengan demikian, Pemerintah perlu untuk membangun, memprioritaskan dan mengevaluasi langkah aksi dalam rangka meminimanilasi resiko yang timbul dan dapat melindungi aset publik dengan mengandalkan pengetahuan yang ada tentang perubahan iklim (CSIRO, 2007; Government of South Australia, 2012; NSWGovernment, 2010; Queensland Government, 2011). Dengan kata lain, ditinjau dari perspektif manajemen aset publik, maka hal yang tidak dapat ditunda lagi adalah perlunya mempertimbangkan dampak perubahan iklim dalam tahapan-tahapan pengelolaan aset (asset life cycle) dalam hal ini aset pemerintah. Artinya, dalam pengelolaan aset pemerintah perlu ada langkah-langkah beradaptasi dengan perubahan iklim.
3. Tujuan Adaptasi Perubahan Iklim
Adaptasi terhadap perubahan iklim atas aset dimaksudkan untuk membuat aset lebih tangguh dan memiliki umur ekonomis (economic life) sesuai rencana/proyeksi. Aset menjadi lebih siap dengan perubahan di masa depan, terkuranginya efek negatif perubahan iklim, dan melihat peluang yang ada. Resiko terhadap aset atau suatu infrastruktur secara individual, akibat perubahan iklim tidak dapat dilihat sebagai resiko yang berdiri sendiri atas suatu aset karena aset publik merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dan bergantung satu sama lain (interdependence). Konkritnya adalah, bahwa sebagai suatu sistem maka ketika aset (misalnya berupa instalasi listrik, telekomunikasi, atau transportasi) mengalami gangguan akibat dampak perubahan iklim, maka akan terjadi “efek domino” bagi terganggu atau bahkan tidak berfungsinya aset dan aktivitas lainnya dalam rangka memproduksi barang atau pelayanan kepada customer/stakeholder. Sebagaimana diungkapkan oleh Queensland Government (2011) bahwa “failure in one sector, will impact the whole system resulting in a cascade of failures”.
Snow and Prasad (2011) menambahkan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam rangka meminimalisasi biaya pemeliharaan aset, menjaga kestabilan ekosistem dan wilayah yang layak huni. Disamping itu Hasegawa (2004) mengemukakan bahwa perkembangan adaptasi perubahan iklim masih belum banyak menjadi perhatian selama ini di banyak negara. Sehingga penelitian di bidang ini masih sangat terbuka lebar sebagaimana dapat dilihat di beberapa negara termasuk Indonesia. Salagnac (2004) menyatakan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam rangka mewujudkan pemahaman bagi publik dan pemerintah selaku pengambil kebijakan. Dalam Tabel 1, dapat diperoleh gambaran yang menunjukkan dampak perubahan iklim pada bangunan/gedung.
Tabel 1. Dampak perubahan iklim pada bangunan dan pilihan adaptasi (diadaptasi dari ABCB (Australian Building Codes Board) (2010); AGO (2006); (Amitrano et al., 2007); Cuny (1994); Freeman dan Warner (2001) Otero dan Marti (1995); Snow dan Prasad (2011)
Dampak Iklim |
Potensi Maslaah Bangunan |
Potensi Risiko |
· Banjir · Kenaikan permukaan laut · Kekeringan · Intensitas curah hujan |
Stabilitas lokasi |
- Peningkatan pergerakan tanah - Peningkatan erosi dan risiko longsor |
Sistem drainase |
- Ketidakmampuan drainase untuk mengatasi volume air. - Air limpasan (stormwater) mengalir kembali ke dalam gedung |
|
· Banjir · Salinitas (peningkatan kadar garam) · Kenaikan permukaan laut · Kekeringan · Intensitas curah hujan · Cyclones |
Pondasi, struktur, dinding, lantai, daya tahan dan akses |
- Rusaknya dan/atau kegagalan fungsi struktur dan pondasi - Peningkatan kerusakan karena instabilitas pondasi yang disebabkan oleh salinitas dan asam sulfat. - Ketidakmampuan struktur untuk mengatasi beban angin yang tinggi - Ketidakmampuan struktur untuk mengatasi badai - Kerusakan struktural akibat penetrasi air - Kerusakan termasuk retak dan degradasi material - Kerusakan akibat penetrasi air - Bahan cladding menjadi udara, tekanan angin tinggi - Kerusakan dan gerakan termasuk retak dan degradasi material, mengakibatkan kerusakan struktural. - Mengurangi umur bahan bangunan - Gerakan dan kondisi retak di jalur akses atau jalan |
· Angin · Suhu · Intensitas hujan |
Atap dan pelapis atap |
- Kerusakan/retak dan degradasi material - Bahan atap berisiko rusak atau terbawa oleh dorongan angin kencang - Kerusakan akibat luapan selokan |
· Banjir · Kenaikan permukaan laut |
Kesehatan dan Amenitas (sarana, prasarana, fasilitas, dll) |
- Peningkatan suhu yang mempengaruhi penghuni bangunan - Kelembaban yang menyebabkan pertumbuhan mikrobiologis yang menyebabkan peningkatan alergi dan masalah pernapasan |
· Salinitas · Kenaikan permukaan laut · Banjir · Intensitas hujan |
Penetrasian/rembesan air |
- Peningkatan kerusakan material bangunan/gedung |
· Kekeringan · Kenaikan suhu |
Air, penggunaan energy, dan efisiensi |
- Kurangnya supply air yang diperlukan - Peningkatan penggunaan AC - Insulasi tidak memadai |
Australia, Inggris, dan Indonesia secara umum telah meletakkan dasar dalam rangka membangun kerangka kebijakan untuk mewujudkan strategi adaptasi perubahan iklim. Inggris memiliki kebijakan dalam rangka adaptasi perubahan iklim dimana di dalamnya meliputi adaptasi perubahan iklim untuk infrastruktur (aset publik) yang dituangkan dalam dokumen UKCIP (United Kingdom Climate Impacts Programme) dan Department for Environment, Food & Rural Affairs (Defra). Kita bersyukur, Indonesia telah menyiapkan garis besar kerangka kebijakan khusus dalam rangka pengelolaan aset yang mempertimbangkan strategi adaptasi perubahan iklim salah satunya sebagaimana dilihat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.11 tentang “Rencana Aksi Nasional Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020”, namun masih diperlukan langkah-langkah teknis dan lanjutan untuk aset pemerintah dalam rangka mewujudkan pengelolaan aset pemerintah yang memasukan strategi adaptasi perubahan iklim. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup penting bagi penyusun kebijakan dan pengelolaan aset negara baik di level Pemerintah Pusat maupun di Daerah sesuai prioritas dan ketersediaan anggaran yang ada.
4. Adaptasi Perubahan Iklim dalam konteks Manajemen Aset di Indonesia
Kebutuhan adaptasi terhadap dampak Perubahan Iklim atas Aset Pemerintah dilakukan dengan penerapan manajemen risiko atas Aset Pemerintah guna mendukung efektifitas penggunaannya, mempertahankan kualitas layanan dan memastikan risiko seminimal mungkin bagi pengguna layanan (stakeholders) yang menggunakan layanan pada fasilitas Pemerintah. Termasuk masukan bagi kebijakan Rencana Kebutuhan BMN dan Pengasuransian BMN sepanjang telah dilakukan piloting dan kalibrasi. Adaptasi perubahan iklim harus menjadi bagian dari kebijakan yang ada berikut ketersediaan pendanaan. Terdapat banyak aspek dalam rangka menghadapi perubahan iklim atas aset yang dimiliki pemerintah, salah satunya adalah manajemen risiko atas aset pemerintah, tanpa perlu memulai dari awal mengingat Kementerian Keuangan d.h.i. DJKN telah mengenal dengan baik manajemen risiko sebagai bagian dari dinamika organisasi yang dibahas dalam Dialog Kinerja Organisasi (DKO) selama ini. Selanjutnya atas manajemen risiko yang sudah ada tinggal ditinjau, dikembangkan, dan dimodifikasi seperlunya, untuk memastikan bahwa dampak perubahan iklim saat ini dan potensi risiko di masa depan semakin tajam.
Manajemen risiko perubahan iklim dapat dianggap sebagai perpanjangan dari manajemen risiko yang sudah ada dan menjadi bagian dari proses manajemen dan pengambilan keputusan yang ada di DJKN. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa perubahan iklim diperkirakan tidak akan menciptakan risiko baru, tetapi dapat mengubah frekuensi dan intensitas risiko dan bahaya yang ada. Namun pendapat lain menyatakan bahwa data dan fakta mengungkapkan beberapa kasus perubahan iklim merupakan jenis risiko baru. Pendekatan berbasis risiko dalam kajian ini juga menghasilkan sebuah framework yang dikembangkan dari:
a. Standar Australia “AS 5334” sebagai pendekatan berbasis risiko untuk adaptasi perubahan iklim atas pemukiman dan infrastruktur yang berakar dari ISO31000, tetapi disesuaikan untuk risiko perubahan iklim;
b. Pedoman lain yang ada juga dipertimbangkan, seperti dokumen berjudul ‘Climate change impacts and risk management: a guide for business and government’ yang diterbitkan oleh Australia Greenhouse Office of the Department of Environment and Heritage atau Department of the Environment and Energy tahun 2006. Dokumen ini adalah panduan untuk mengintegrasikan dampak perubahan iklim ke dalam manajemen risiko dan kegiatan perencanaan strategis lainnya di organisasi sektor publik dan swasta Australia; dan
c. Pendekatan berbasis risiko dalam adaptasi perubahan iklim konteks Indonesia, yang dikenal sebagai pendekatan “Kajian dan Risiko Adaptasi Perubahan Iklim (KRAPI)” yang diperkenalkan oleh ahli dari Indonesia. KRAPI adalah penilaian risiko dan adaptasi perubahan iklim yang awalnya dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 2012 yang bertujuan merumuskan adaptasi perubahan iklim untuk perencanaan pembangunan (sektoral). Namun demikian, pendekatan ini dianggap umum, dan dimana adaptasi perubahan iklim untuk pengelolaan aset belum ditentukan. Oleh karena itu, pendekatan ini perlu diperluas untuk mencakup sektor aset pemerintah terutama bangunan.
Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya dalam
tahapan-tahapan pengelolaan BMN, maka dilakukan pada saat perencanaan kebutuhan
BMN (RKBMN) baik untuk Pengadaan dan Pemeliharaan. Hasil monitoring dan
evaluasi atas manajemen risiko menjadi masukan dalam RKBMN dimaksud. Peran data
menjadi hal yang sangat penting dan diperlukan kajian lebih lanjut denga studi
kasus di wilayah yang telah dipertimbangkan rentan dampak perubahan iklim antara
lain Jakarta dan Semarang untuk kemudian
strateginya direplikasi di kota lain yang rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Framework yang dibangun dalam Kajian ini berbasis risiko artinya
pola Manajemen Risiko yang telah ada saat ini tinggal dikembangkan lebih lanjut
untuk konteks Aset. Sebelum diterapkan sebaiknya dilakukan pengujian dan
kalibrasi sehingga dapat dijadikan salah satu pedoman penambahan substansi
dalam Peraturan Menteri Keuangan No.150/PMK.06/2014 tentang Perencanaan
Kebutuhan Barang Milik Negara dan menjadi referensi dalam penambahan materi
pada PMK No.97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara.
_____________________
*Tulisan merupakan pendapat pribadi
Referensi