Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Penting Versus Genting
N/a
Rabu, 08 Maret 2017 pukul 10:55:44   |   3391 kali

Oleh  Hakim SB Mulyono

Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Bukittinggi.

Minimal ada dua hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu kepentingan dan kegentingan. Ada sebagian orang yang melakukan sesuatu karena didorong oleh sifat penting hal tersebut dan ada juga yang melakukan sesuatu karena didorong oleh sifat genting atau mendesak.

Sebagian hal yang penting tidak selalu tampak genting. Dengan kata lain, hal-hal penting tidak selalu tampak mendesak. Namun hal-hal genting atau mendesak, nyaris semuanya tampak sebagai hal penting. Namun apa yang tampak belum tentu menunjukkan sifat aslinya. Maksudnya, meskipun tidak tampak sebagai hal genting atau mendesak, hal-hal penting sebaiknya dijadikan sebagai prioritas utama. Sebaliknya, hal-hal genting atau mendesak, meskipun seakan-akan tampak sebagai hal penting; sebaiknya tidak dijadikan sebagai prioritas utama. Meski tidak semuanya, hal-hal mendesak lebih sering bersifat menipu daripada tidak.

Bagaimana dengan hal-hal yang genting yang memang penting? Memang tidak semua yang genting itu tidak penting. Ada hal-hal genting yang sekaligus memang penting. Misalnya, kebakaran, kecelakaan, perang, krisis, dan hal-hal semacam itu. Pola yang bisa kita perhatikan adalah: hal-hal genting yang sekaligus penting, itu terjadi karena mengabaikan hal-hal penting ketika ia belum berubah menjadi genting atau mendesak.

Seperti apa hal-hal penting yang belum mendesak itu? Hal-hal penting yang belum mendesak adalah segala sesuatu yang bersifat pencegahan, preventif, atau antisipatif. Misalnya mencegah untuk jangan merokok di area POM Bensin, mematuhi rambu-rambu lalu-lintas sebelum kecelakaan terjadi, mengantisipasi masalah sebelum tersulut menjadi perang, menjalin persaudaraan. Semua itu tampaknya tidak mendesak tapi penting. Itulah hal-hal penting yang belum mendesak. Hidup kita akan semakin efektif jika kita banyak meluangkan waktu untuk hal-hal penting yang belum mendesak ini.

Hal-hal penting yang mendesak disebut dengan krisis. Misalnya kebakaran, chaos, pertolongan pertama pada korban kecelakaan, terjadinya perang tak terelakkan, dan lain-lain. Hal-hal penting yang mendesak ini harus segera diselesaikan. Kebakaran harus segera dipadamkan. Korban kecelakaan harus segera ditolong. Perang harus segera ditangani. Tak ada manusia yang bisa lepas dari hal-hal penting yang mendesak. Selama seseorang hidup di dunia ini, krisis akan selalu menyertainya. Entah sekali, entah beberapa kali. Namun sekali lagi, krisis bisa dicegah sebelum terjadi. Kebakaran bisa dicegah dengan memitigasi penyebabnya. Kecelakaan bisa dicegah dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Perang bisa diantisipasi dengan menjalin persahabatan.

Namun sayangnya kita lebih suka mengobati daripada mencegah. Kita lebih suka menghilangkan gejala daripada menghilangkan penyebabnya. Tanpa sadar kita mengundang kedatangan krisis itu sendiri disebabkan lalainya kita menangani penyebabnya sebelum masalah berubah menjadi krisis. Krisis datang karena kita terlena oleh sesuatu yang tampaknya tidak genting untuk ditangani. Kebanyakan orang menghadapi krisis karena tidak pernah meluangkan waktu untuk mencegah gumpalan salju menjadi bola salju besar. Munculnya krisis itu sebenarnya bukan sesuatu yang mengherankan.

Intinya, hal-hal penting harus diprioritaskan diprioritaskan terlebih dulu sebelum hal-hal tidak penting, tak peduli hal tidak penting itu mendesak ataupun (apalagi) tidak mendesak. Urutan prioritasnya sebagai berikut: (1) Prioritas utama adalah hal penting yang mendesak; (2) prioritas kedua adalah hal penting yang tidak atau belum mendesak, di sinilah seharusnya kita perlu fokus; (3) prioritas ketiga adalah hal tidak penting tapi mendesak; (4) yang terakhir barulah hal tidak penting yang tidak mendesak.

Bagaimana cara membedakan antara hal yang penting dengan yang tidak penting? Hal-hal penting biasanya berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan, hal-hal prinsip, personal, nilai-nilai moral atau kemanusiaan, berhubungan dengan manusia, hubungan dengan cita-cita luhur, berkaitan erat dengan jiwa, bersifat jangka panjang, atau menyangkut tentang sebuah peran yang tak tergantikan.

Peran yang tak tergantikan adalah sebuah peran penting yang tak bisa didelegasikan. Misalnya peran seseorang sebagai ayah. Beberapa tugas bisa didelegasikan kepada orang lain, misalnya untuk memperbaiki genteng yang bocor, seorang ayah bisa menyewa tukang untuk mengerjakannya. Peran ayah tidak harus muncul di sini. Mengecek mesin mobil juga bisa didelegasikan kepada orang bengkel; itu hanyalah pilihan yang tidak mengharuskan keterlibatan seseorang dalam perannya sebagai ayah. Sementara peran ayah terhadap anaknya tidak bisa tergantikan oleh orang lain.

Krisis harus ditangani oleh peran yang tak tergantikan ini. Misalnya saat terjadi krisis hubungan antara ayah dan anak, maka sang ayah harus menangani hubungan ini dengan anaknya, memainkan perannya sebagai ayah, yang tidak bisa diwakilkan atau didelegasikan kepada kakek, nenek, atau ibu sang anak.  Kebakaran harus ditangani oleh petugas pemadam kebakaran yang tidak bisa diwakilkan kepada sopir truk damkarnya. Mengoperasi pasien harus ditangani oleh dokter yang perannya tak bisa didelegasikan kepada perawat rumah sakit. Segala peran yang tak bisa tergantikan itu pastilah penting. Dan peran itu sangat dibutuhkan saat terjadinya krisis, yakni saat terjadinya hal-hal penting yang genting atau mendesak.

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini