Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Langkah Strategis Wujudkan Revenue Centre Djkn Melalui Optimalisasi Pengelolaan Barang Sitaan Dan Rampasan Negara
N/a
Kamis, 01 Desember 2016 pukul 16:49:36   |   1842 kali

Penulis Dedy Christanto

Kasi Hukum dan Informasi KPKNL Batam

Pendahuluan
Sebagaimana arahan Menteri Keuangan pada Rapat Pimpinan Kinerja Triwulan III 2015 dan selaras dengan tema “Perubahan Paradigma DJKN Sebagai Revenue Center Pengelolaan Kekayaan Negara Dengan Mengedepankan Pelayanan Prima dan Mitigasi Risiko Yang Efektif” pada Rapat Kerja Nasional DJKN tanggal 25 Mei 2016, peran DJKN sebagai pengelola kekaaan negara perlu ditingkatkan menjadi revenue centre. DJKN harus melakukan perubahan paradigma dari sebelumnya hanya sebagai Administrator Aset menjadi Pengelola Aset/Manajer Aset. Sebagai manajer aset, seluruh jajaran DJKN harus mempunyai jiwa entrepreneur yang dapat memanfaatkan aset dengan optimal untuk mendorong peningkatan penerimaan negara dengan tetap memperhatikan administrasi tata kelola dan aspek legalitas sebagai bagian dari mitigasi risiko. Bahkan untuk mempertegas arahan tersebut, Menteri Keuangan menginstruksikan agar memasukkan revenue centre sebagai Indikator Kinerja Utama DJKN di Semester II 2016.
Dalam rangka menindaklanjuti arahan Menteri Keuangan, DJKN langsung merespon cepat dengan menyusun langkah-langkah strategis mewujudkan peran DJKN sebagai revenue centre dalam pengelolaan aset sebagaimana dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor : SE-2/KN/2016 tanggal 7 Juni 2016 tentang Butir-Butir Rapat Kerja Nasional DJKN 2016.
Dilihat dari tusi DJKN terkait revenue centre mengarah pada 2 (dua) peran sekaligus, yakni sebagai unit pemungut/penghasil penerimaan dan unit yang berperan sebagai koordinator atas penerimaan yang dihasilkan oleh unit lain. Sebagai unit pemungut/penghasil penerimaan, sumber penerimaan berasal dari pendapatan jasa bea Lelang dan biaya administrasi pengurusan piutang negara, dan pengelolaan aset Bendahara Umum Negara (BUN). Sedangkan sebagai koordinator pengelolaan aset negara yang berada pada Kementerian/Lembaga, sumber penerimaan berasal dari pendapatan penjualan hasil sitaan/rampasan dan pendapatan dari pemindahtanganan dan pemanfaatan aset.
Salah satu yang tidak kalah penting dan harus menjadi perhatian DJKN ke depan adalah barang sitaan (Basan) dan barang rampasan (Baran) yang berpotensi untuk dikelola secara optimal sebagai alternatif  penerimaan negara untuk mendukung revenue centre DJKN. Secara yuridis, Basan dan Baran tersimpan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan (Rupbasan) atau tersebar di tempat penyidik/penuntut yang menangani perkara. Akibat tata kelola yang ala kadar dan tidak satu pintu, kondisi Basan dan Baran sebagian besar tidak terawat, terbengkalai dan nilainya turun drastis pada saat dilakukan penjualan.dan bahkan tidak terdeteksi keberadaanya/hilang.
Selama ini, peran DJKN dalam pengelolaan Basan dan Baran lebih didominasi fungsi pelayanan lelang eksekusi barang sitaan, temuan dan rampasan. Hal ini berbeda perlakuanya dalam pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) yang bersumber dari APBN, semua unit DJKN sangat berperan dari mulai penatausahaan, rekonsiliasi, pemberian persetujuan pemindahtangan ataupun pemanfaatan, layanan penilaian untuk menentukan nilai wajar BMN baik dalam rangka inventarisasi dan penilaian (LKPP) maupun pemindahtangan atau pemanfaatan, dan layanan lelang untuk penjualan BMN.
Kondisi ini sangat kontraproduktif bagi upaya DJKN mewujudkan revenue centre dari pengelolaan aset. DJKN sebagai pengelola aset negara harus mengambil peran lebih dalam pengelolaan Basan dan Baran.

Sekilas Tentang Pengelolaan Basan dan Baran  
Untuk melihat sejauh mana DJKN dapat mengambil peran lebih dalam pengelolaan Basan dan Baran, perlu dikaji terlebih dahulu hal-hal berikut : Pertama, Kedudukan Basan dan Baran sebagai BMN. Sebagaimana kita ketahui bahwa BMN meliputi barang yang dibeli/diperoleh dari beban APBN dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dengan demikian, Baran merupakan BMN yang menjadi kewenangan DJKN sebagai pengelola.
Adapun Basan adalah barang yang disita oleh penyidik, penuntut umum atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan. Basan selanjutnya dapat menjadi Baran, apabila Basan tersebut berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dirampas untuk negara. Namun apabila putusan hakim menyatakan bahwa Basan tersebut dikembalikan kepada yang berhak/pemilik dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah diberitahukan secara resmi atau diumumkan media massa dan tidak diambil oleh pemiliknya, maka Basan tersebut menjadi barang temuan dan dapat dilelang oleh kejaksaan dan hasilnya disetorkan ke kas negara. Dengan demikian, Basan merupakan potensi menjadi BMN untuk dapat dikelola sebagai sumber penerimaan negara.
Kedua, Lemahnya tata kelola Basan dan Baran. Secara yuridis, setiap Basan dan Baran harus disimpan di Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan) yang berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sesuai amanat Pasal 26 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di tiap Kabupaten/Kotamadya agar dibentuk Rupbasan. Faktanya saat ini baru ada 63 Rupbasan di Indonesia. Jumlah ini tentunya tidak sebanding dengan jumlah penyidik atau penuntut umum sebagai pihak yang menyerahkan Basan dan Baran. Sehingga sebagian Basan tetap disimpan di instansi yang menyita, seperti kepolisian dan kejaksaan di seluruh tingkatan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Karena Basan dan Baran tercecer di berbagai instansi, maka benda tersebut banyak yang tidak terdeteksi keberadaanya, hilang dan tidak terawat bahkan sangat rentan untuk disalahgunakan.
Pengelolaan Basan dan Baran di Rupbasan adalah suatu rangkaian kegiatan yang merupakan sistem dimulai sejak proses penerimaan sampai pada pengeluaran Basan dan Baran. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi Penerimaan, penelitian, penilaian, pendaftaran dan penyimpanan; Pemeliharaan, Pemutasian, Pengeluaran dan Penghapusan, Penyelamatan dan Pengamanan.
Dari kegiatan pengelolaan Basan dan Baran tersebut jelas bahwa kedudukan dan kewenangan Rupbasan tidak sangat kuat. Rupbasan tidak bisa berbuat apa-apa jika penyidik atau penuntut umum tidak menyerahkan Basan dan Baran ke Rupbasan karena tidak ada jangka waktu, sanksi dan pengawasan terhadap penyerahan ini. Rupbasan juga tidak memiliki kewenangan terhadap Basan dan Baran yang lekas rusak dan biaya penyimpanan yang tinggi atau jika proses peradilan telah selesai dan inkracht untuk melakukan tindaklanjut seperti penjualan, semuanya kembali kepada penyidik atau penuntut umum. Fakta menunjukkan bahwa penyidik atau penuntut umum sebagai penanggung jawab yuridis atas Basan dan Baran sangat lamban dalam melaksanakan eksekusi lelang sehingga nilai ekonomis atas Basan dan Baran turun drastis pada saat dilakukan lelang dan bahkan dibiarkan terbengkalai.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pengelolaan Basan dan Baran selama ini belum optimal sehingga diperlukan langkah-langkah strategis sebagai berikut :


Penguatan Peran DJKN Dalam Pengelolaan Basan dan Baran
Sebagai pengelola kekayaan negara, DJKN harus berperan aktif dalam pengelolaan kekayaan negara termasuk barang sitaan dan rampasan negara. Salah satu peran DJKN yang bertanggung jawab atas perumusan dan kebijakan pengelolaan barang rampasan negara adalah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan nomor : 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi. Regulasi ini dimaksudkan sebagai pedoman Kejaksaan dalam pelaksanaan pengelolaan barang rampasan negara yang bertujuan untuk mewujudkan optimalisasi pengelolaan barang rampasan negara yang tertib, terarah, optimal, transparan dan akuntabel untuk meningkatkan penerimaan negara dan/atau sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selain sebagai perumus kebijakan, DJKN memiliki wewenang dan tanggung jawab yang meliputi menetapkan status penggunaan barang rampasan, memberikan keputusan atas usulan pemanfaatan, pemindahtanganan dan penghapusan barang rampasan negara, dan melaksanakan kewenangan lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Sedangkan kejaksaan melakukan pengurusan atas barang rampasan negara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan pengurusan barang rampasan negara, kejaksaan memiliki wewenang dan tanggung jawab meliputi : penatausahaan, penjualan secara lelang barang rampasan negara dalam waktu 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan, pengamanan administrasi, fisik, dan hukum terhadap barang rampasan negara, mengajukan usul penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemindahtangan, pemusnahan dan penghapusan kepada DJKN dan kewenangan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan barang rampasan negara, ada beberapa hal yang harus dilakukan kejaksaan antara lain : (1) melakukan inventarisasi atas barang rampasan negara yang berada di dalam penguasaanya paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun dan menyampaikan laporan hasil inventarisasi kepada Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya inventarisasi. (2) menyampaikan laporan barang rampasan negara semesteran dan tahunan kepada menteri. Pada prakteknya, sudah hampir 6 tahun berlaku Peraturan Menteri Keuangan nomor : 03/PMK.06/2011, belum semua kejaksaan menyampaikan laporan barang rampasan negara dalam penguasaannya ke Kejaksaan Agung. Hal ini yang menyebabkan Kejaksaan Agung kesulitan untuk membuat daftar barang rampasan yang valid ke DJKN sehingga tidak ada data pasti berapa jumlah dan nilai barang rampasan baik yang sudah dilakukan penjualan maupun pemanfaatan. Ketidaktaatan kejaksaan dalam penyampaian laporan dikarenakan tidak ada sanksi dan ketegasan baik dari pihak Kejagung kepada kejaksaan negeri atau kejaksaan tinggi dan instruksi kepada  Kanwil DJKN atau KPKNL di daerah untuk melakukan koordinasi dan rekonsiliasi.
Melihat kondisi ini, DJKN berinisiatif membuat Master of Understanding (MoU) dengan Kejaksaan Agung demi meningkatkan koordinasi, pengetahuan dan pemahaman bersama antara kejaksaan dan DJKN dalam hal pengelolaan barang rampasan. Pada tanggal 15 April 2012 telah ditandatangani Kesepakatan Bersama antara DJKN dengan Jaksa Agung Muda Pembinaan nomor: PRJ-04/KN/2012 dan nomor : B-099/c/04/2012 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara, Pengurusan Piutang Negara, dan Lelang. Salah satu ruang lingkup yang disepakati adalah percepatan penyelesaian barang rampasan negara; percepatan penetapan status penggunaan, pemanfaatan, pemusnahan atau penghapusan atas barang rampasan negara yang diajukan kejaksaan; penyampaian laporan penyelesaian pengurusan barang rampasan negara kepada DJKN tepat waktu; dan percepatan penilaian atas barang rampasan negara.  Namun sangat disayangkan, sampai dengan berakhirnya kesepakatan tersebut,  MoU tidak berjalan sebagaimana mestinya karena tidak dijalankan sampai level Kejaksaan Negeri dan KPKNL di daerah.
Dalam hal penjualan barang rampasan negara, kejaksaan selalu lamban mengajukan eksekusi Lelang ke KPKNL. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi antara  lain : (1) Batasan kewenangan memberikan izin Lelang oleh kepala kejaksaan berdasarkan harga dasar barang rampasan membutuhkan waktu yang lama, apalagi izin lelangnya harus dari Kejaksaan Tinggi ataupun Kejaksaan Agung. (2) keterbatasan anggaran kejaksaan untuk persiapan Lelang. Pada tahap pra Lelang diantaranya penilaian misalnya kejaksaan mengeluarkan biaya apabila penilaian menggunakan jasa penilai independen (appraisal) atau instansi yang berwenang (seperti Dinas perindustrian dan perdagangan, dinas kehutanan, syahbandar) dan biaya pengumuman Lelang di media massa.  Karena keterbatasan anggaran, maka kejaksaan biasanya mengumpulkan terlebih dahulu barang rampasan untuk diajukan Lelang sekaligus ke KPKNL demi efisiensi sehingga akan memmperlambat proses Lelang barang rampasan. (3) Penilaian barang rampasan negara oleh KPKNL belum menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Selain itu, dalam rangka penjualan, penilaian Barang Milik Negara (BMN) selain tanah dan/atau bangunan menjadi tanggung jawab Pengguna Barang (dalam hal ini Kejaksaan). Karena tidak menjadi prioritas penilaian oleh Penilai DJKN dan tidak ada kewajiban kejaksaan mengajukan permohonan penilaian ke KPKNL untuk menentukan nilai barang rampasan negara sebagai dasar penetapan nilai limit Lelang, maka penilaian barang rampasan negara lebih sering dilaksanakan oleh penilai eksternal yang membutuhkan biaya dan waktu yang lama. 

Akselerasi Layanan Lelang Eksekusi Basan dan Baran
Melihat kondisi barang sitaan negara (Basan) yang selama ini tidak terawat dan menghindari penurunan nilai ekonomis, sejatinya peraturan perundangan-undangan telah memberikan kemudahan kepada Penyidik/Penuntut Umum untuk melakukan penjualan lelang atas Basan yang memiliki kriteria benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, dengan persetujuan tersangka atau kuasanya sebelum putusan atas perkara tersebut berkekuatan tetap (inkracht). Hasil penjualan atas Basan digunakan sebagai pengganti barang bukti.  Apabila putusan hakim yang telah berkekuatan tetap menyatakan dirampas negara, maka uang hasil Lelang tersebut disetor ke kas negara. Namun sebaliknya, apabila putusan hakim menyatakan bahwa barang tersebut dikembalikan, maka uang hasil lelang diserahkan kepada pemilik/yang berhak. Sedangkan Basan yang telah diputus hakim dan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan dikembalikan kepada pemilik atau yang berhak, namun setelah diberitahukan secara patut dan diumumkan melalui media masa dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tidak diambil, maka Basan tersebut menjadi barang temuan yang dapat dilelang dan hasilnya disetorkan ke kas negara.
Kedua jenis Basan tersebut dapat dilaksanakan lelang melalui KPKNL yang disebut dengan Lelang eksekusi berdasarkan Pasal 45 KUHAP dan Lelang eksekusi barang temuan. Namun faktanya tidak semua Penyidik/Penuntut Umum memanfaatkan kedua jenis lelang ini dalam rangka optimalisasi penyelesaian barang sitaan negara. Frekuensi dan hasil lelang atas kedua jenis lelang ini sangat kecil bila dibandingkan dengan frekuensi lelang barang rampasan.
Hal ini menunjukan bahwa penyidik/penuntut umum lebih memilih untuk melaksanakan penjualan Basan setelah diputus hakim dirampas Negara daripada melelang Basan berdasarkan pasal 45 KUHAP. Ada beberapa faktor penyebab hal ini terjadi diantaranya : (1) keterbatasan waktu proses lelang dengan pelimpahan berkas perkara (tersangka dan barang bukti) ke Penuntut Umum dan/atau pelimpahan perkara oleh Penuntut Umum ke Pengadilan serta jangka waktu penahanan Tersangka. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan kerja yang simultan oleh lebih dari satu Penyidik/Penuntut dengan pembagian tugas diantara Penyidik/Penuntut, ada penangan administrasi, penanganTersangka, dan penangan barang bukti serta adanya koordinasi yang baik antara penyidik/penuntut dan pengadilan. (2) Penyidik/Penuntut Umum lebih menitikberatkan penanganan pelaku kejahatan ketimbang penanganan barang bukti sehingga banyak barang bukti yang tidak terawat/rusak/terbengkalai/hilang. Perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan perkara oleh aparat penegak hukum bahwa penanganan barang bukti sangat penting untuk menjamin keselamatan dan keamananya dalam rangka perlindungan, pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia dan penyelamatan aset negara. (3) proses penilaian Basan yang membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Hal ini sebenarnya dapat diatasi jika penilaian Basan dilakukan dan menjadi prioritas oleh Penilai DJKN. Regulasi DJKN masih belum mendukung hal ini karena Basan yang termasuk kategori Pasal 45 KUHAP dikecualikan dari obyek penilaian yang dapat dilakukan penilaian oleh Penilai DJKN.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Basan yang tersimpan di Rupbasan, diperlukan adanya penguatan organisasi Rupbasan meliputi sarana prasarana, anggaran, sumber daya manusia dan kewenangan. DJKN dapat menyediakan tanah dan bangunan BMN idle untuk digunakan Kemenkumham untuk menambah jumlah Rupbasan sehingga setiap Kabupaten/Kota terdapat Rupbasan untuk dapat menampung jumlah Basan yang sangat besar. Selain itu, DJKN dapat berperan dalam mendukung pembuatan regulasi penguatan kewenangan Rupbasan dalam pengelolaan Basan diantaranya kepastian jangka waktu penyerahan Basan oleh Penyidik/Penuntut Umum, memberikan kewenangan kepada Rupbasan untuk dapat melaksanakan penjualan Basan yang memenuhi kategori Pasal 45 KUHAP, Basan yang sudah melampaui jangka waktu pengelolaanya dan tidak memiliki kejelasan perkembangan pelimpahan perkara setelah dilakukan klarifikasi kepada Penyidik/Penuntut, Basan yang telah inkracht namun dalam jangka waktu tertentu dan telah diberitahukan oleh Rupbasan namun tidak ada tanggapan, dan Basan yang inkracht diputus untuk dikembalikan kepada pemilik/yang berhak namun dalam jangka waktu tertentu tidak diambil. Atas penguatan peran Rupbasan ini, DJKN dapat berperan dalam pembinaan, pengendalian dan pengawasan pengelolaan Basan. 
.
Kesimpulan
1. Pengelolaan barang sitaan (Basan) dan rampasan negara (Baran) belum dilakukan secara optimal dan kurang mendukung revenue centre DJKN. Fakta menunjukan Basan dan Baran baik yang disimpan di Rupbasan maupun di tempat instansi Penyidik/Penuntut Umum tidak terawat/rusak, terbengkalai dan hilang sehingga mempengaruhi penurunan nilai ekonomis hasil penjualan lelang Basan dan Baran yang tidak sebanding dengan jumlah dan nilainya  yang berpotensi besar untuk dioptimalkan sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Hal ini disebabkan antara lain lemahnya organisasi Rupbasan secara kelembagaan maupun kewenangan sehingga mengalami disfungsi dan paradigma penanggung jawab yuridis Basan dan Baran yang hanya berorientasi pada penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan dan belum menjamin keselamatan dan keamanan barang bukti (baca : Basan dan Baran) dalam rangka perlindungan, pemenuhan dan penegakkan hak asasi manusia dan penyelamatan aset negara sebagai sumber penerimaan negara.
2. DJKN sebagai pengelola aset negara belum mengambil peran penting dalam pengelolaan Basan dan Baran. Regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan DJKN terkait pengelolaan Basan dan Baran belum menyentuh permasalahan inti diantaranya penilaian, penatausahaan, pengawasan dan pengendalian.

Saran
1. Mengingat pengelolaan Basan dan Baran belum optimal dalam mendukung revenue centre DJKN, maka diperlukan langkah strategis diantaranya : Pertama, Penguatan peran Rupbasan dalam pengelolaan Basan dan Baran melalui penyusunan regulasi baru yang memberikan kewenangan lebih kepada Rupbasan untuk optimalisasi pengelolaan dan pembukaan Rupbasan-Rupbasan baru untuk menyeimbangkan jumlah Basan dan Baran hasil penyitaan penanggung jawab yuridis dengan penyediaan sarana prasarana, sumber dana dan manusia yang memadai. Kedua, perlu adanya perubahan paradigma dari para penanggung jawab yuridis Basan dan Baran dari hanya penegakan hukum atas pelaku kejahatan menjadi penegakan hukum yang berorientasi pada penyelamatan aset negara sebagai sumber penerimaan negara melalui percepatan pelaksanaan lelang.
2. Memperkuat peran DJKN dalam pengelolaan Basan dan Baran melalui : Pertama, penyempurnaan regulasi terkait penilaian, penatausahaan, pengawasan dan pengendalian Basan dan Baran dalam rangka optimalisasi pengelolaan dan sistem lelang yang efisien dan efektif. Kedua, penyusunan database Basan dan Baran melalui aplikasi atau modul yang handal dan rekonsiliasi secara periodik sebagai fungsi pengawasan dan pengendalian. Ketiga, mendukung penguatan fungsi Rupbasan melalui penyediaan tanah dan bangunan BMN idle untuk digunakan oleh Rupbasan baru yang akan dibentuk dan berperan dalam merumuskan regulasi penguatan peran dan kewenangan Rupbasan dalam pengelolaan Basan dan Baran. Keempat, meningkatkan sinergi dengan instansi penanggung jawab yuridis dan fisik atas Basan dan Baran melalui forum komunikasi dan koordinasi baik di tingkat pusat maupun daerah secara berkelanjutan.

Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1947 Tentang Mengurus Barang-Barang Yang Dirampas Dan Barang-Barang Bukti
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Barang Sitaan dan Barang Rampasan di Rupbasan
Keputusan Jaksa Agung nomor : KEP-089/J.A/8/1988 Pasal 4 tentang Penyelesaian Barang Rampasan 
Peraturan Menteri Keuangan nomor : 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Berasal dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi
Peraturan Menteri Keuangan nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Peraturan Menteri Keuangan nomor 64/PMK.06/2016 tentang Penilai Pemerintah di Lingkungan DJKN
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.06/2016 tentang Penilaian Barang Sitaan Dalam Rangka Penjualan Secara Lelang
Surat Edaran Jaksa Agung nomor SE-001/C/Cu.3/03/2011 tanggal 10 Maret 2011
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan nomor E.2.UM.01.06 tahun 1986 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan di Rupbasan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Pemasayarakatan nomor E.1.35.PK.03.10 tahun 2002
Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor 6/KN/2013 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang.
Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor : SE-02/KN/2016 tentang Butir-Butir Rapat Kerja Nasional DJKN Tahun 2016
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 (Audited)
Laporan Kinerja DJKN Tahun 2015
Buletin Kinerja edisi XXIX/2016
https://www.modulknl.kemenkeu.go.id,
http://www.beritateratas.com/2016/06/jokowi-tata-ulang-benda-sitaan-dan.html
http://www.gresnews.com/berita/hukum/140204-barang-sitaan-mangkrak-miliaran-rupiah-terbang/2/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571a0164d9920/ini-peran-penegak-hukum-terhadap-barang-sitaan-dan-rampasan-negara
https://www.lamashuri.wordpress.com/sistem-pengendalian-manajemen/
http://news.detik.com/berita/3191317/barang-sitaan-kejahatan-tak-terurus-negara-bisa-dirugikan-ratusan-miliar

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini