Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
DJKN dan Capaian Opini WTP Pemda
N/a
Rabu, 19 Oktober 2016 pukul 09:15:50   |   1707 kali

Oleh:

Acep Hadinata
Kepala KPKNL Banda Aceh

Menjelang triwulan ketiga 2016, opini laporan keuangan Pemda sudah disampaikan oleh para kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di daerah-daerah. Di provinsi Aceh, penyampaian ini disambut gembira oleh sebagian aparat pemerintah pemda setempat. Mengapa hanya sebagian? Mengingat dari 23 kabupaten/kota di propinsi Aceh masih terdapat dua kabupaten/kota yang belum mendapatkan opini maksimal. Peningkatan tren opini WTP ini diungkapkan BPK sangat baik. Tahun 2013 hanya enam kabupaten/kota yang mendapatkan opini WTP. Tahun berikutnya meningkat menjadi 13 kabupaten kota/kota. Setiap tahun hampir dua kali lipat kabupaten/kota yang mendapatkan pencapaian opini WTP.

Menurut BPK, apa yang dicapai oleh Provinsi Aceh hanya kalah oleh Provinsi Gorontalo yang tahun 2016 ini semua kabupaten/kotanya mendapatkan opini WTP (Serambi Indonesia, 27/09/2016). Tapi tahukah anda, Provinsi Gorontalo hanya memiliki 6 kabupaten/kota, atau hanya sepertiga jika dibandingkan dengan Propinsi Aceh. Atas semua pencapaian tersebut, tentu kita harus apresiasi. Jika kita amati, apakah insan DJKN hanya jadi pengamat semata atas sukses raihan WTP ini? Bagaimana peran DJKN terhadap pencapaian opini tersebut? 

Kontribusi DJKN atas Opini BPK terkait LKPD

Sesuai dengan Peraturan Dirjen Kekayaan Negara nomor 34/KN/2015 tentang Pedoman Penilaian Barang Milik Daerah (BMD) oleh Penilai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara disebutkan bahwa penilaian BMD yang permohonan penilaiannya diajukan oleh kabupaten/kota dilakukan oleh penilai KPKNL. Sedangkan untuk penilaian BMD yang permohonannya diajukan oleh propinsi maka penilaiannya dilaksanakan oleh Kanwil DJKN. Hal ini dikecualikan untuk di wilayah DKI Jakarta, yang semua permohonan penilaian BMD dilaksanakan oleh Kanwil DJKN namun dapat diteruskan kepada KPKNL yang wilayah kerjanya sesuai dengan pembagian yang diatur oleh Perdirjen ini.
KPKNL Banda Aceh yang wilayah kerjanya meliputi 13 kabupaten/kota dengan formasi tujuh  penilai, tiga diantaranya bertugas di seksi penilaian harus dengan cermat menentukan program kerja untuk penilaian BMD. Sebagai informasi, KPKNL saat ini sudah menerima permohonan secara resmi dari lebih dari 6 kabupaten/kota yang meminta penilaian BMD. Beberapa kabupaten diantaranya memiliki kurang lebih dari 100 item yang nilai tercatat di laporan keuangan satu Rupiah. Salah mengambil langkah, jika terjadi degradasi opini karena masalah penyajian aset di neraca, suatu saat malah DJKN yang bisa disalahkan oleh Pemda.

Pelaksanaan penilaian BMD harus ditangguhkan sementara waktu apabila terdapat permohonan penilaian yang sifatnya mandatory. Misalnya terdapat permohonan BMN dari satker yang akan dimanfaatkan atau dipindahtangankan. Selain itu, beban kerja penilai di KPKNL juga bertambah dengan kegiatan penilaian aset-aset BUMN sebagai implementasi dari Paket Kebijakan Ekonomi V yang diluncurkan oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu. Dua yang sudah dilaksanakan adalah revaluasi aset PT. Taspen (persero) dan Perum Navigasi sedang yang saat ini sedang dilaksanakan adalah revaluasi aset Perum Bulog. Dari gambaran di atas, secara eksplisit terlihat bagaimana peran DJKN dalam capaian opini WTP laporan keuangan pemda sangatlah signifikan.

Cut off Tanggal Penilaian BMD 

Mengambil pelajaran dari pengalaman Inventarisasi dan Penilaian (IP) tahun 2007 yang lalu, maka kegiatan IP adalah pekerjaan yang sangat penting. Kantor Pusat DJKN pada saat itu sampai harus membuat tim adhoc yang hampir setiap dua minggu sekali melakukan rapat untuk memonitor progres kegiatan ini.

Mari sejenak melihat ketentuan mengenai penyajian aset tetap. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) nomor 7 tentang Akuntansi Aset Tetap dikatakan bahwa :
Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya perolehan (paragaf 23). Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset tersebut adalah sebesar nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh (paragraf 24)”

Namun terkait hal ini, PSAP pada prinsipnya menekankan kepada aset tetap yang diterima sebagai hadiah atau donasi. Hadiah atau donasi misalnya tanah sisa yang dihadiahkan dari pengembang perumahan ke pemerintah atau pemerintah daerah yang tanpa nilai untuk tempat parkir, jalan atau pedestrian. Sedangkan  contoh lainnya adalah barang sitaan karena ketentuan atau aturan harus menjadi milik pemerintah. Jika tidak ada nilainya, maka aset tetap yang diperoleh harus dinilai berdasarkan nilai wajarnya.

Dalam paragraf selanjutnya (paragraf 27) dikatakan bahwa :  “Untuk keperluan penyusunan neraca awal suatu entitas, biaya perolehan aset tetap yang digunakan adalah nilai wajar pada saat neraca awal tersebut disusun. Untuk periode selanjutnya setelah tanggal neraca awal, atas peroleh aset tetap baru, suatu entitas menggunakan biaya peroleh atau harga wajar bila biaya perolehan tidak ada” 

Dengan kata lain, apabila Pemda mengajukan permohonan penilaian BMD, menjadi penting untuk mengetahui kapan neraca awal mereka dibuat. Jika tahun perolehan aset tetap tersebut adalah paling sedikit satu tahun sebelum tanggal neraca awal, maka inilah yang menjadi objek penilaian. Jangan sampai aset tetap seperti gedung atau bangunan yang diperoleh melalui pengadaan tahun 2013 misalnya, yang notebene ada nilai perolehan pada dokumen kontrak, termasuk yang dimintakan oleh pemda untuk dilakukan penilaian. Risiko perbedaan nilai antara nilai perolehan dari dokumen kontrak proyek dengan nilai wajar menjadi resiko yang akan ditanggung oleh DJKN.   

Hal lain yang juga perlu digarisbawahi adalah terkait dengan penilaian BMD berupa inventaris. Kiranya untuk BMD selain Tanah dan Bangunan berupa inventaris, cukuplah SKPD yang memberikan nilai taksiran untuk kepentingan laporan keuangan. Jika juga harus melibatkan DJKN, tugas dan fungsi organisasi tentu akan ‘tersandera’ hanya untuk kepentingan opini. Analisa biaya versus manfaat perlu diterapkan dalam hal ini.   

Desentralisasi Revenue Center

Sebagaimana kita ketahui bersama, sumber keuangan daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD), Perimbangan Keuangan (PK), Pinjaman Daerah (PD) dan Pendapatan Lain-Lain (PL). Atau secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut :

KD = ∑(PAD+PK+PD+PL)


Di mana PAD terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi, Laba Perusahaan Daerah dan Pendapatan Lain-Lain yang sah. Perimbangan Keuangan terdiri dari PBB, Bagian dari BPHTB, Bagian dari SDA, DAU dan DAK. Pinjaman Daerah umumnya adalah Pinjaman Daerah bersumber dari : Pemerintah Pusat, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah Daerah lain, Lembaga Keuangan Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank,  dan Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri (www.djpk.kemenkeu.go.id)

Mengingat desentralisasi adalah terkait dengan empat aspek pokok yaitu politik, administrasi, ekonomi dan fiskal (Otoda dan Manajemen Aset, Unpad 2013) maka bukan tidak mungkin pengelolaan BMD yang baik akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah-daerah otonom. Untuk Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat lebih kurang 10 tahun dari sekarang, dana otonomi khusus yang selama ini mereka nikmati akan berakhir. Maka penting bagi provinsi-provinsi ini mencari alternatif penerimaan daerah dari hasil pengelolaan aset daerah. Kiranya, setelah administrasi dan database aset daerah ditertibkan, maka modernisasi pengelolaan aset daerah menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.  

Jika dalam pengelolaan BMN, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk urusan uang dan bertindak sebagai pengelola barang untuk urusan aset. Maka dalam BMD, Pengelola Barang Milik Daerah umumnya dijabat oleh Sekretaris Daerah (Sekda) atau dinas yang mengelola keuangan dan aset daerah. Maka pengelola BMD (dengan jumlah lebih kurang 542 daerah otonom menurut Kemendagri 2014) kurang lebih 537 (dikurangi 5 kota administratif di Jakarta). Jika 537 daerah otonom tadi rata-rata memiliki 20-25 SKPD, maka SKPD sebagai pengguna barang di daerah otonom seluruh Indonesia hampir 10.740 – 13.425 SKPD. Dengan jumlah SKPD yang sangat banyak ini, maka potensi yang dapat dihasilkan dari penerimaan daerah bukan pajak yang berasal dari pengelolaan BMD juga sangat tinggi.

Upaya dan semangat pengelola barang dalam rangka menciptakan pengelolaan BMN sebagai sumber alternatif penerimaan APBN (revenue center) juga harus ditularkan ke daerah-daerah otonom. Hal ini selain akan meringankan keuangan pemerintah pusat juga menciptakan potensi peluang pertumbuhan ekonomi baru. Awareness daerah-daerah otonom yang selama ini lebih fokus kepada tertib pengelolaan keuangan mau tidak mau akan  bergeser juga kepada tertib pengelolaan aset. DJKN di daerah-daerah bisa mengambil peran menjadi pionir dalam peningkatan kapasitas pengelolaan BMD. Keterlibatan Kementerian Dalam Negeri dan pemimpin setingkat propinsi maupun kabupaten/kota sangat diperlukan. DJKN bisa membuat Forum Manajemen Aset Regional (FORMAL) di setiap provinsi yang anggotanya terdiri dari pihak-pihak yang sehari-hari tugas dan fungsinya terkait erat dengan aset. Bisa yang terkait dengan aset pemerintah pusat, aset pemerintah propinsi/kabupaten/kota maupun tenaga akademisi di perguruan tinggi yang mengajar mata kuliah manajemen aset ataupun aset di BUMN/D. Wadah ini bisa menjadi tempat untuk saling meningkatkan kapasitas manajer aset dan sharing knowledge pengelolaan aset di daerah-daerah.    

Semangat menciptakan pengelolaan aset sebagai revenue center menurut penulis adalah bagian kecil dari revolusi fiskal. Seperti semangat yang dibawa oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu, dalam hal mengajak pemerintah daerah dan masyarakat untuk mendukung upaya pembenahan efisiensi belanja negara/daerah demi meningkatkan pelayanan kepada publik (Teguh Budiarso DJPK, 2016). Aset bisa menjadi salah satu pintu masuk bukan hanya terkait efisiensi belanja negara/daerah tetapi juga sumber penerimaan baru.


 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini