Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Penerapan Discounted Cash Flow Dalam Penilaian Sewa Slot Pada Menara LPP RRI Untuk BTS
N/a
Kamis, 01 September 2016 pukul 09:59:23   |   4334 kali

PENERAPAN DISCOUNTED CASH FLOW DALAM PENILAIAN
SEWA  SLOT PADA MENARA LPP RRI UNTUK BTS

Oleh Fransiscus Raja Doly, ST, M.Ec.Dev
Kepala Seksi Penilaian I Kanwil DJKN Papua dan Maluku

Sejalan dengan semangat  DJKN sebagai revenue center, pemanfaatan BMN merupakan salah satu sumber revenue yang terus digali dan dioptimalkan. Penilaian memegang peranan penting dalam pemanfaatan BMN, salah satunya dalam penentuan nilai sewa BMN. Nilai sewa BMN harus mampu mengakomodir kepentingan seluruh pihak baik pemilik (pemerintah) maupun penyewa. Penetapan nilai sewa yang terlalu tinggi dapat berpotensi menyebabkan kerugian akibat batalnya suatu penyewaan yang disebabkan mundurnya calon penyewa, sebaliknya penetapan nilai sewa yang terlalu rendah tentu akan merugikan Negara dan tidak sejalan dengan semangat revenue center.

Berbeda dengan kegiatan penilai sebelumnya yang pernah dilakukan Tim Penilai Kanwil DJKN Papua dan Maluku dimana penilaian sewa berupa sewa tapak yang akan dimanfaatkan sebagai menara telekomunikasi, kali ini Kanwil DJKN Papua dan Maluku mendapatkan tantangan berbeda yaitu penilaian sewa slot pada menara LPP RRI di Kota Wamena, Papua oleh salah satu provider telekomunikasi. Sewa slot tersebut mencakup pemasangan perangkat antena pada tower baik radio antenna dan microwave antenna serta fasilitas penunjang lainnya berupa feeder, shelter greenfiled yang berisi BTS, baterai, microwave system. Adapun Menara RRI yang akan disewakan slotnya berbentuk rectangular (segi empat dengan empat kaki) dan dari letaknya dikategorikan sebagai greenfield (berdiri di atas tanah).

Penentuan pendekatan yang digunakan merupakan kunci dari akurasi dan kualitas nilai yang dihasilkan. Umumnya penilaian sewa slot BTS dapat menggunakan Pendekatan data pasar dan pendekatan pendapatan.


a. Pendekatan data pasar
Dalam hal tersedia data pembanding yang memadai, pendekatan data pasar memberikan hasil yang paling meyakinkan karena secara langsung dapat menggambarkan supply dan demand serta persepsi pasar. Data pembanding yang dimaksudkan tentu adalah data yang sebanding dan sejenis serta memiliki kriteria kompetitif dan  merupakan subtitusi bagi penyewa potensial.

Dalam kasus ini, maka data pembanding adalah data sewa slot pada menara telekomunikasi lainnya yang bisa menjadi alternatif bagi calon penyewa apabila tidak menyewa pada menara RRI tersebut. Akan tetapi ada hal lainnya yang perlu mendapat perhatian yaitu seberapa luas lokasi pencarian data pembanding. Untuk itu perlu dipahami mengenai segmentasi properti yang akan dinilai.

Dari sudut pandang provider telekomunikasi selaku calon penyewa, penempatan BTS  didasarkan pada suatu sistem jaringan yang saling terhubung satu sama lain yang dimaksudkan agar dapat menjangkau seluruh wilayah. Untuk itu masing-masing provider memiliki titik kandidat  penempatan BTS berupa titik koordinat. Dalam hal pada titik kandidat tersebut tidak dimungkinkan ditempatkan BTS misalkan karena harga sewa lahan terlalu tinggi, jalan akses yang sulit, titik tersebut merupakan tanah fasilitas umum warga yang tidak bisa digunakan seperti Masjid, Balai Desa, atau bisa juga karena topologi titik tersebut pas di daerah lembah sehingga jika dipasang tower akan kurang maksimal,  maka titik tersebut dapat digeser dengan toleransi sekitar 200 m dari titik awal. Adanya batas toleransi tersebut akan membatasi luasan wilayah pencarian data pembanding. Dengan kata lain, data pembanding tidak boleh diambil dari luar radius titik kandidat tersebut karena bukan merupakan subtitusi bagi provider selaku calon penyewa.

Berdasarkan hasil pengamatan dan survei di lapangan, Tim penilai tidak memperoleh data pembanding dalam radius 200 dari titik kandidat, sehingga pendekatan data pasar tidak dapat digunakan dalam penilaian sewa slot pada menara RRI tersebut.

 

b. Pendekatan Pendapatan

Konsep utama dari pendekatan ini adalah nilai terbentuk dari harapan arus kas di masa mendatang. Mengingat tower tersebut dapat dikategorikan sebagai income producing property, maka pendekatan pendapatan dapat diterapkan. Dalam menentukan besaran sewa, Tim Penilai menggunakan analisa kelayakan investasi, dengan konsep utamanya adalah berapakah nilai sewa slot yang merupakan sumber cash inflow selama umur proyeksi agar investasi tower tersebut dapat dikategorikan layak secara finansial. Adapun indikator yang digunakan oleh Tim Penilai untuk mengklasifikasi apakah proyek tersebut layak secara keuangan adalah
1) Nett Present Value positif
2) Internal Rate of Return > discount rate
3) Payback period < dari umur proyeksi.

Terdapat beberapa asumsi yang dibangun dalam penilaian ini di antaranya:
1. LPP RRI (selaku satker pemilik tower) bertindak sebagai jasa penyewaan tower telekomunikasi.
2. Mengingat LPP RRI juga turut menggunakan tower tersebut, maka LPP RRI juga bertindak sebagai salah satu penyewa.
3. Mengingat pembangunan tersebut berasal dari APBN, maka capital struktur-nya diasumsikan 100 % berasal dari ekuitas.

Data-data awal yang perlu dikumpulkan tim adalah umur manfaat tower, umur faktual dan umur efektif tower. Adanya pemeliharaan berkala menyebabkan umur efektif tower lebih kecil bila dibandingkan umur faktualnya. Diperlukan kejelian Tim Penilai dalam menentukan umur efektif. Selisih antara umur manfaat dan umur efektif inilah yang dijadikan dasar asumsi jangka waktu proyeksi arus kas.

Dalam penilaian sewa slot tersebut, initial outlay meliputi tanah, tower, bangunan yang digunakan sebagai shelter untuk ruang BTS, baterai, microwave system. Selanjutnya dalam menentukan besaran initial outlay, maka Tim penilai melakukan penilaian tower beserta fasilitas penunjangnya dengan menggunakan pendekatan biaya. Satu persatu bangunan yang berupa fasilitas penunjang diukur dengan telaten dan disurvei spesifikasi beserta kondisinya. Bahkan karena tidak tersedia as built drawing tower, maka untuk menentukan ketinggian, spesifikasi serta kondisi fisik tower, tim memutuskan untuk memanjat tower tersebut.

Selanjutnya penentuan proyeksi cash flow bukan perkara yang mudah. Tim Penilai perlu memetakan potensi revenue tower dimaksud. Tim penilai membuat asumsi jumlah slot yang dapat disewakan berdasarkan kapasitas fisik tower dan potensi calon penyewa. Selama jangka waktu proyeksi, nilai sewa di proyeksikan meningkat berdasarkan tren kenaikan nilai sewa slot tower sekitar. Penentuan expense diperoleh dari hasil wawancara dengan satker, dan perusahaan penyewaan menara telekomunikasi lainnya terkait biaya pemeliharaan per tahun. Expense juga diprediksi mengalami kenaikan dengan asumsi kenaikan berdasarkan inflasi di kota wamena. Pada akhir umur proyeksi tim juga memproyeksikan nilai sisa dari aset tetap. Untuk nilai tanah, Tim Penilai memproyeksi kenaikan nilai tanah berdasarkan tren kenaikan harga tanah di Kota Wamena dalam 5 tahun terakhir.

Mengingat nantinya hasil sewa tersebut masuk ke kas Negara dalam bentuk PNBP maka sesuai Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-523/PJ.311/2005, tidak termasuk sebagai objek pajak,atau dengan kata lain pajak nya sebesar 0%.

Kelar urusan cash flow, tantangan selanjutnya adalah menentukan discount rate yang sesuai. Discount rate menggambarkan cost of capital apabila dilihat dari sisi perusahaan yang besarnya setara dengan tingkat imbal hasil yang dipersyaratkan oleh investor. Penentuan tingkat kapitalisasi tergolong tidak mudah, harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kekeliruan, karena selisih satuan desimal saja jika diterapkan untuk menilai properti dapat menghasilkan kesimpulan nilai properti yang tidak akurat dan menyesatkan (Lusht, 1997:265-270; Albright,1997:359-360). Salah satu cara yang umum digunakan untuk menghitung Discount rate adalah Weighted Average Cost of Capital (WACC). Mengingat asumsi awalnya struktur modal adalah 100 % berasal dari ekuitas maka dapat disimpulkan WACC = cost of equity (Ke). Adapun Cost of equity (Ke) dihitung menggunakan metode CAPM (Capital Asset Pricing Model) dimana data risk free rate diambil dari yield SUN. Mengingat beragamnya SUN yang beredar, maka pemilihan seri SUN didasarkan jangka waktu jatuh tempo yang disesuaikan dengan pada umur proyeksi.

Selanjutnya beta dihitung berdasarkan data historis dari perusahaan jasa penyewaan menara telekomunikasi sejenis seperti PT. Tower Bersama, PT. Sarana Menara Nusantara, PT. Solusi Tuna Pratama, dll. Beta unleverage dihitung menggunakan Hamada’s Formula. Sebagai alat kontrol, Tim Penilai mengggunakan benchmarking dari beta yang diperoleh www.reuters.com.

Market risk premium diperoleh dengan mengurangkan return pasar dengan risk free rate. Return pasar yang diproyeksi berdasarkan data historis. Sebagai alat control, Tim penilai juga melakukan benchmarking dari market risk premium yang diperoleh dari dari www.valuewalk.com.
Setelah cash flow dan discount rate diperoleh, maka cash flow didiskontokan dengan discount rate tersebut untuk mendapatkan present value dari cash flow. Selanjutnya NPV, IRR dan Discounted Payback Period dapat dihitung dengan mudah.

Dalam menentukan berapakah nilai sewa yang tepat, maka dilakukan beberapa kali simulasi dengan nilai sewa sebagai variabel. Simulasi dilakukan sampai ditemukan berapakah nilai sewa sehingga investasi tersebut disebut layak (NPV nya positif,   IRR > discount rate, Payback Period < jangka waktu proyeksi). Selanjutnya hasil simulasi tersebut dibandingkan dengan prediksi Tim Penilaian terkait willingness to pay dari calon konsumen, dengan demikian diperoleh nilai sewa yang dapat menjembatani kedua belah pihak, yaitu menguntungkan bagi Negara dan masih dalam batasan kesanggupan calon penyewa.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini