Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
DJKN, Kementerian Keuangan, dan Balanced Scorecard
N/a
Selasa, 28 Juni 2016 pukul 10:16:53   |   6333 kali

DJKN, Kementerian Keuangan, dan Balanced Scorecard

Risman, KPKNL Jakarta III

Juni, 2016

Jika sebuah organisasi merencanakan untuk menerapkan manajemen kinerja, maka hal yang umum terjadi adalah penolakan. Demikian pula konsep Balanced Scorecard (BSC), yaitu alat yang dipilih oleh Kementerian Keuangan untuk mengukur kinerja organisasi, sering diplesetkan menjadi kalimat BSC Bikin Saya Capek, dan BSC Bikin Saya Cemas. Bikin Saya Capek, karena dianggap hanya menambah beban kerja, dan Bikin Saya Cemas, karena dihantui kekhawatiran para pegawai akan hasil capaian kinerja yang akan dihubungkan dengan sistem reward dan punishment. Hal tersebut sangat wajar terjadi, saat suatu organisasi mereformasi dirinya untuk menjadi lebih baik, maka hambatan dari internal organisasi sering kali muncul (Buletin Kinerja Kementerian Keuangan, 2009).

Pada awalnya konsep BSC hanya diterapkan pada beberapa organisasi privat di Amerika Serikat hingga kemudian berhasil diterapkan di banyak perusahaan di dunia seperti Rockwater Inc., AT&T Canada Long Distance, Siemens AG, BMW Financial Services, Daimler Chrysler, Bank of Tokyo-Mitsubishi, Philips Electronics, Lloyds TSB Bank, Mobil North American Marketing & Refining, NCR Corp., DuPont, Exxon Mobil Corp., Pfizer Inc., IBM, United Way of Southeastern New England, Reuters America Inc., UPS, Ingersoll-Rand, Crown Castle International Corp., Volvofinans, Nova Scotia Power Inc., dan lainnya.

Namun seiring perkembangannya, konsep BSC telah berhasil diterapkan juga pada organisasi sektor publik di seluruh dunia. Organisasi sektor publik yang pertama kali menerapkan konsep BSC adalah pemerintah kota Charlotte City, North Caroline, Amerika Serikat pada tahun 1996. Berawal dari kesuksesan tersebut, maka kemudian BSC sudah berhasil diterapkan di banyak lembaga pemerintahan di berbagai negara seperti di Amerika Serikat (University of California, Northwest Fire District, Mecklenburg County NC, Defence Finance and  Accounting Service, Federal Aviation Administration Logistics Center, Department of Energy Federal Procurement System, Department of Energy Federal Personal Property Management Program), Inggris (UK Ministry of Defence), Kanada (Royal Canadian Mounted Police), Ethiopia (Federal Ministry of Health), Kenya (Kenya Red Cross), pemerintahan Malaysia, Singapura, dan  Filipina, dan lainnya.

Bagaimana dengan organisasi sektor publik di Indonesia? Salah satu organisasi sektor publik berbentuk pemerintahan di Indonesia yang pertama kali menerapkan konsep BSC adalah Kementerian Keuangan pada tahun 2008, namun penerapan dimaksud dilakukan secara bertahap yaitu baru pada level atas saja belum sampai pada level unit organisasi terkecil. Sedangkan penerapan BSC sampai pada unit organisasi terkecil (secara koheren) baru dimulai pada tahun 2011 sebagaimana diatur melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan yang kemudian diganti dengan KMK No. 454/KMK.1/2011, dan kemudian diganti lagi dengan KMK No. 467/KMK.01/2014 sebagaimana kemudian diubah dengan KMK No. 556/KMK.01/2015. Kebijakan Kementerian Keuangan mengadopsi BSC sebagai tools untuk mengukur kinerja organisasi sekaligus sebagai alat manajemen strategis adalah merupakan terobosan besar bagi pemerintah Indonesia. Hal ini tidak lain untuk menciptakan pemerintahan yang good governance yang goal akhirnya adalah terciptanya public trust.

Penerapan konsep BSC pada Kementerian Keuangan didasari oleh adanya program reformasi birokrasi berskala nasional sebagaimana diatur di dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Di dalam Inpres tersebut diatur secara umum (diktum umum) yang menyatakan bahwa seluruh kementerian wajib membuat penetapan indikator dan target kinerja yang dapat menjelaskan keberhasilan pencapaian kinerja organisasinya baik berupa hasil (output) maupun berupa manfaat (outcome). Selain pengaturan yang bersifat umum, terdapat beberapa pengaturan yang bersifat khusus (diktum khusus) antara lain amanat agar Kementerian Keuangan melaksanakan tugas dan fungsi yang strategis dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara, sehingga Kementerian Keuangan mempunyai peran sangat strategis dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi tidak terlepas dari keuangan dan kekayaan negara.

Namun demikian pada dasarnya reformasi birokrasi pada Kementerian Keuangan telah dimulai sejak tahun 2003 yaitu adanya reformasi di bidang keuangan negara melalui penerbitan paket undang-undang keuangan negara yang terdiri dari: 1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan 3) UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung Jawab Keuangan Negara.

Adapun tujuan reformasi birokrasi secara lebih spesifik pada Kementerian Keuangan adalah terwujudnya tata kelola keuangan negara yang profesional, amanah, dan tepat arah (good governance) selain tujuan umumnya berupa tercapainya kepercayaan publik (public trust). Program reformasi birokrasi pada Kementerian Keuangan tersebut kemudian dikuatkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No. 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi di internal Kementerian Keuangan, kemudian Kementerian Keuangan membuat inisiatif tersendiri yaitu membuat agenda reformasi birokrasi yang khusus diberlakukan pada internal Kementerian Keuangan. Agenda reformasi dimaksud bertumpu pada tiga pilar utama yaitu: 1) Penataan dan penajaman fungsi organisasi, 2) Penyempurnaan proses bisnis (business process), dan 3) Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Untuk mencapai keberhasilan reformasi birokrasi dan keberhasilan perencanaan strategis, kemudian Kementerian Keuangan menciptakan sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kinerja. Penilaian kinerja meliputi seluruh organisasi dan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk itu sejak tahun 2007 Kementerian Keuangan telah menetapkan penggunaan konsep BSC sebagai alat pengukuran sekaligus pengelolaan kinerja yang penerapannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2008. Hasil penilaian kinerja dengan menggunakan konsep BSC oleh Kementerian Keuangan dijadikan sebagai alat “early warning system” bagi pimpinan organisasi, untuk itu para pimpinan dituntut untuk selalu siap sedia (standby) dengan cara bersikap antisipatif dan proaktif terhadap perubahan kondisi, serta harus mampu mencuri kesempatan emas yang dapat muncul kapan saja, demi tercapainya tujuan reformasi birokrasi.

Model pengukuran kinerja BSC diperkenalkan pertama kali oleh Profesor Robert S. Kaplan dan Doktor David P. Norton tahun 1992 melalui tulisan ilmiahnya yang berjudul “BSC: Measures That Drive Performance” pada jurnal ilmiah Amerika Serikat yaitu Harvard Business Review edisi Januari-Februari 1992. Setelah melakukan berbagai riset lanjutan dan penyempurnaan kemudian mereka menjelaskan konsep BSC secara lebih gamblang lagi melalui beberapa buku antara lain melalui buku yang berjudul “BSC: Translating Strategy into Action” diterbitkan oleh Harvard Business School Press Tahun 1996, dan tulisan ilmiah lainnya yang berjudul “Using The BSC as Strategic Management System” diterbitkan oleh majalah Harvard Business Review edisi Januari-Februari 1996.

Konsep BSC muncul karena adanya hipotesa yang kemudian berhasil dibuktikan oleh Kaplan dan Norton (1992) yang menyatakan bahwa pengukuran kinerja organisasi tidak cukup hanya menggunakan satu perspektif saja yaitu perspektif financial. Jika selama ini kinerja organisasi hanya dilihat dari hasil analisa laporan keuangannya saja, maka menurut Kaplan dan Norton hal tersebut belumlah memadai. Seharusnya kinerja organisasi diukur dari segi masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang dengan cara mengukur kinerjanya secara komprehensif terhadap semua perspektif yaitu perspektif financial, customer, internal process, dan learning & growth. Menurut Kaplan dan Norton (1992), inti dari konsep Balanced Scoredcard adalah suatu sistem manajemen kinerja yang bisa membantu organisasi untuk mewujudkan visi dan stategi organisasi menjadi sebuah tindakan nyata dengan cara melakukan pengukuran terhadap seluruh aspek strategis organisasi yang meliputi 4 (empat) perspektif yaitu perspektif keuangan (financial), pelanggan (customer), proses internal (internal process), dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth), sehingga menghasilkan output, outcomes, dan atau impact yang diinginkan organisasi.

Pengukuran kinerja dari sudut pandang yang komprehensif tersebut sering kali tidak disadari oleh pelaku bisnis bahwa pada dasarnya konsep pengukuran kinerja tersebut bukan hanya sebagai alat ukur kinerja saja, tetapi sebenarnya merupakan bagian dari strategi yang dijalankan oleh organisasi (Kaplan dan Norton, 1993). Hal ini sejalan dengan transformasi konsep BSC yang terus dikembangkan oleh para ahli. Jika BSC pada awalnya hanya merupakan alat ukur kinerja sekaligus merupakan bagian dari strategi organisasi, dalam perkembangannya kemudian BSC berubah menjadi suatu sistem manajemen strategis (strategic management system). Hal ini disebabkan dengan menggunakan scorecard memungkinkan para manajer organisasi dapat menjalankan empat jenis proses manajemen, yaitu: 1) Translating the vision, 2) Communicating and linking, 3) Business planning, dan 4) Feed back and learning (Kaplan dan Norton, 1996).

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa Kementerian Keuangan harus memilih konsep BSC? Pada dasarnya konsep BSC bukanlah satu-satunya alat ukur kinerja yang menggunakan aspek pengukuran secara menyeluruh, tetapi terdapat metode lain di antaranya adalah metode Six Sigma, Malcolm Bridge, dan Bussiness Process Reengineering (BPR). Perbedaannya adalah konsep BSC mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode pengukuran kinerja lainnya yaitu konsep BSC sebagaimana dijelaskan tersebut di atas, tidak hanya dapat digunakan sebagai alat ukur kinerja tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai proses manajerial oleh organisasi, antara lain adalah: 1) Mengklarifikasi dan menjabarkan visi dan strategi organisasi, 2) Mengkomunikasikan dan menghubungkan tujuan strategis dan pengukurannya, 3) Membuat perencanaan dan target yang selaras dengan strategic initiatives, 4) Mendorong adanya strategic feed back, dan 5) Dapat dilaksanakannya proses pembelajaran yang berkesinambungan (Kaplan dan Norton, 1996).

Kelebihan lainnya dari konsep BSC adalah dengan menggunakan BSC maka strategi organisasi dapat dibuat dan dijelaskan melalui suatu hubungan logis sebab akibat (cause and effect). Hubungan sebab akibat dimaksud ditunjukan dengan adanya sasaran-sasaran strategis dalam berbagai perspektif yang tercantum di dalam peta strategi, dan melalui ukuran-ukuran kinerja yang tercantum di dalam scorecard, yang kesemuanya harus saling berhubungan dalam suatu hubungan logis sebab akibat (Niven, 2006).

Pertanyaan mendasar lainnya yang harus dijawab adalah mengapa Kementerian Keuangan  perlu mengadopsi BSC? Terdapat beberapa alasan mengapa organisasi publik/pemerintahan perlu mengadopsi konsep BSC, antara lain adalah:

1. Kondisi menurunnya kemampuan pendanaan pemerintah dan adanya tuntutan untuk meningkatkan kinerja pemerintah. Niven (2003) menyatakan bahwa sudah saatnya penekanan pengukuran kinerja tidak hanya pada organisasi sektor privat, namun organisasi publik dan nonprofit juga dapat menggunakan sistem pengukuran kinerja untuk menghadapi kondisi menurunnya kemampuan pendanaan dan demi menghadapi adanya tuntutan agar pemerintah dapat selalu meningkatkan hasil kerja (kinerja).

2. Adanya tekanan untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Alasan lain mengapa pemerintah harus mengimplementasikan konsep BSC dinyatakan oleh Niven (2009) yang menyatakan bahwa adanya tekanan untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas memaksa organisasi nonprofit untuk dapat menunjukan hasil kinerja dan akuntabilitasnya dengan baik. Untuk keperluan tersebut maka BSC dapat menjadi alat yang membantu organisasi nonprofit menunjukan kinerja dan akuntabilitasnya.

3. BSC merupakan alat ukur kinerja yang lebih modern. Pemerintah pada umumnya telah memiliki konsep pengukuran kinerja tersendiri, namun pengukuran tersebut hanya sebatas pada kinerja pelaksanaan anggaran saja melalui pembuatan laporan pertanggungjawaban keuangan. Dalam dunia yang semakin modern dan adanya peran akademisi telah mendorong pemerintah untuk menggunakan sistem pengukuran kinerja yang lebih modern yaitu menggunakan konsep BSC (Niven, 2003).

4. Organisasi publik dan nonprofit tidak kebal terhadap perubahan jaman. Masih menurut Niven (2003) organisasi publik dan nonprofit tidaklah kebal terhadap perubahan jaman, di sisi lain organisasi publik dan nonprofit memiliki karakteristik yang berbeda dengan swasta, dan telah terbukti bahwa konsep BSC merupakan cara praktik terbaik untuk menghadapi perubahan jaman tersebut. Untuk itu banyak hal unik yang terdapat pada sektor publik dan nonprofit yang harus dilakukan treatment khusus jika ingin menerapkan BSC. Adanya perbedaan karakteristik antara organisasi privat dan publik tersebut, maka pemerintah dan organisasi nonprofit harus menerapkan metode BSC secara sungguh-sungguh.

5. BSC dapat meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kaplan (2013) mengatakan bahwa produktivitas organisasi dan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di dalamnya dapat ditingkatkan melalui penerapan BSC. Saat ini BSC telah diterapkan sebagai management tool di banyak organisasi baik profit maupun nonprofit. BSC tidak hanya berkutat pada usaha untuk meningkatkan kinerja, tetapi juga mencoba menyelaraskan antara performa manajemen dengan visi organisasi. Untuk itu yang ditekankankan adalah bagaimana organisasi sektor publik dan nonprofit dapat mengeksekusi strategi melalui implementasi peta strategi dan scorecard (Buletin Kinerja Kementerian Keuangan, 2013).

6. BSC dapat memenuhi ekspektasi stakeholder. Selain hal tersebut, menurut Kaplan (2013), pentingnya strategi melalui konsep BSC bagi pemerintah adalah karena pemerintah seharusnya secara efektif dapat mencapai outcomes yang diinginkan serta menggunakan metode best practices untuk mengelola pegawai, anggaran, dan sumber daya lainnya. Dengan demikian, pemerintah dapat menentukan ekspektasi stakeholder melalui penguatan visi, mengkoordinasikan berbagai stakeholder untuk men-deliver values, mengimplementasikan kebijakan, program dan inisiatif serta mengembalikan kepercayaan publik (Bultein Kinerja Kementerian Keuangan, 2013).

Sedangkan beberapa permasalahan yang menjadi hambatan dalam implementasi konsep BSC  pada organisasi publik berbentuk pemerintahan antara lain adalah:

1. Adanya beberapa hambatan yang umumnya muncul. Terdapat beberapa hambatan yang umumnya muncul pada setiap organisasi baik publik maupun, antara lain adalah: a) Kurangnya komitmen dari para pimpinan, b) Rendahnya semangat individu terhadap implementasi BSC, c) BSC hanya familiar pada level atas saja, d) Proses implementasi BSC yang sangat lambat, e) Memperlakukan BSC hanya sebagai suatu proyek belaka, f) Kesalahan dalam menunjuk konsultan yang tidak berpengalaman, dan g) Pemahaman bahwa implementasi BSC hanya sebagai kewajiban belaka. Terkait hal tersebut, organisasi seharusnya dapat menggunakan BSC sebagai alat untuk mengkomunikasikan dan sekaligus menyelaraskan strategi organisasi. Bahkan menurut Davies (2007), dilaporkan bahwa 70% organisasi gagal menerapkan BSC pada berbagai tahapan, mulai dari tahap desain, implementasi, hingga tahap penguatan dan pembaharuan (Kaplan dan Norton, 2001).

2. Adanya kelemahan yang umum terjadi pada pemerintahan. Kaplan (2013) menyatakan bahwa dalam menerapkan BSC suatu institusi pemerintahan biasanya akan dihadapkan pada beberapa permasalahan, yaitu: a) Visi dan strategi yang tidak jelas, b) Kurangnya penyelarasan dalam organisasi, c) Proses perencanaan dan penganggaran yang tidak berhubungan, dan d) Ketidakmampuan mengadaptasi sistem pengelolaan kinerja. Namun demikian, Kaplan mencontohkan pemerintahan di beberapa negara Asia Tenggara yang ternyata telah sukses merencanakan dan mengimplementasikan strateginya berbasis BSC, seperti Malaysia, Singapura, dan Filipina. Penyebab keberhasilan negara-negara tersebut adalah mereka telah berhasil memenuhi lima pilar kunci sukses dalam implementasi strategi, yaitu: a) Menetapkan tujuan yang ambisius, b) Menerjemahkan visi dan strategi ke dalam peta strategi yang jelas, c) Menghubungkan dan menyelaraskan antara organisasi dan pegawai dengan strategi, d) Menghubungkan anggaran dengan strategi, dan e) Menjadikan strategi sebagai suatu proses yang berkelanjutan (Buletin Kinerja Kementerian Keuangan, 2013).

3. Kegagalan dalam menyusun peta strategi. Strategi tidak dapat dieksekusi dengan baik jika tidak ada pemahaman, namun untuk dapat memahaminya, maka strategi harus terlebih dahulu digambarkan melalui peta strategi. Dengan demikian salah satu kunci kegagalan implementasi BSC adalah ketidakmampuan membuat suatu peta strategi yang dapat menggambarkan strategi organisasi dengan jelas (clear) (Kaplan dan Norton, 2001).

4. Perspektif financial sulit didiagnosa dan diukur. Kaplan dan Norton (1999) menyatakan bahwa sebagian besar organisasi sektor publik kesulitan dalam melakukan pengukuran kinerjanya terutama dari perspektif keuangan. Berbeda dengan sektor private yang dari perspektif keuangannya mempunyai banyak sasaran strategis yang sudah jelas dan luas, maka pada organisasi sektor publik hal keuangan adalah hal yang sangat terbatas (jumlah dana telah dianggarkan).

5. Penerapan konsep BSC yang tidak sempurna. Niven (2005) menyatakan bahwa tidak semua organisasi yang menerapkan BSC dapat memperoleh hasil kinerja yang diharapkan yaitu tidak mencapai potensi manfaat BSC secara penuh. Hal tersebut disebabkan oleh penerapan konsep BSC yang tidak sempurna.

Apakah implementasi BSC pada Kementerian Keuangan telah berhasil dengan baik? BSC didefinisikan oleh kementerian keuangan sebagai suatu alat manajemen strategis yang dapat menerjemahkan visi, misi, tujuan, dan strategi ke dalam kerangka operasional. Sebagai sistem pengukuran kinerja sekaligus manajemen kinerja pada organisasi nonprofit seperti pemerintahan memang tidak mudah, butuh proses belajar yang memadai untuk mencapai kesempurnaan. Meskipun demikian, Kementerian Keuangan telah didatangi banyak kementerian/lembaga lain untuk melakukan studi komparasi ataupun mendapatkan pengetahuan implementasi BSC. Kementerian Keuangan dengan bekal pengalaman implementasi BSC yang dimiliki siap berbagi dengan K/L atau organisasi lain dalam rangka menuju organisasi yang berkinerja tinggi (Buletin Kinerja Kementerian Keuangan, 2013).

Sampai dengan saat ini, implementasi BSC oleh Kementerian Keuangan telah berjalan kurang lebih selama 8 (delapan) tahun yaitu sejak tahun 2008, dan telah mengalami berbagai perkembangan. Perkembangan dimaksud berupa penyempurnaan proses implementasinya menjadi lebih sempurna menuju konsep ideal sebagaimana dicetuskan oleh para ahli, dan tampaknya berusaha mendekati best practices di dunia. Penyempurnaan dimaksud terlihat dari adanya pemberlakukan aturan yang mewajibkan implementasi BSC secara koheren yaitu pemberlakuan penerapan konsep BSC pada semua level organisasi tanpa terkecuali dari level menteri sampai pada unit kerja terkecil bahkan sampai kepada level pegawai, dan adanya tindakan perbaikan terhadap standardisasi implementasi BSC melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku di internal Kementerian Keuangan.

Untuk mengetahui progress implementasi konsep BSC-nya, maka pada tahun 2012 Kementerian Keuangan telah melakukan reviu/survei dengan bantuan lembaga survei independen yaitu McKinsey. Survei meliputi dua hal pokok yaitu melakukan reviu kontrak kinerja dan melakukan survei Strategy Focused Organization (SFO). Reviu kontrak kinerja bertujuan untuk mereviu kualitas strategi dan scorecard (IKU dan target) baik pada level organisasi maupun pada level individu pegawai. Hal ini perlu dilakukan untuk menilai apakah implementasi strategi sudah mendukung pencapaian tujuan serta visi dan misi organisasi. Sedangkan survei SFO bertujuan untuk mengetahui sejauh mana implementasi BSC dengan cara menguji proses formulasi dan implementasi strategi dengan menggunakan patokan berupa 5 prinsip SFO sebagaimana dikemukakan oleh Kaplan dan Norton yaitu: 1) Memobilisasi perubahan melalui kepemimpinan, 2) Menerjemahkan strategi menjadi kerangka operasional, 3) Menyelaraskan organisasi pada strategi, 4) Memotivasi untuk menjadikan strategi sebagai pekerjaan seluruh pegawai, dan 5) Mengelola untuk menjadikan strategi sebagai proses yang berkelanjutan.

Tahun 2015 Kementerian Keuangan kembali melakukan survei SFO yang hasilnya adalah tingkat Kementerian Keuangan memperoleh score 3.35 (skala 1-5), sedangkan untuk tingkat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) memperoleh score 3.37 (skala 1-5). Pada tahun yang sama Kementerian Keuangan juga melakukan survei Penilaian Kesehatan Organisasi Kementerian Keuangan (Ministry of Finance Organizational Fitness Index/MOFIN), survei didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh Keller dan Price (2011). Survei MOFIN dimaksud dilakukan dengan tujuan untuk mendiagnosa kesehatan pada organisasi, dan dapat memberikan hasil yang dapat digunakan sebagai masukan bagi para pimpinan dalam mengeluarkan keputusan yang mendukung pencapaian tujuan organisasi. Pelaksanaan survei MOFIN tersebut ditetapkan secara legal melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK.01/2014 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Organisasi Kementerian Keuangan (Kementerian Keuangan, 2016).

Dalam posisinya sebagai lembaga vertikal di bawah Kementerian Keuangan, maka Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), dan Eselon I lainnya di bawah Kementerian Keuangan juga harus tunduk pada aturan pemberlakukan reformasi birokrasi dan ikut melakukan implementasi BSC secara menyeluruh pada internal organisasinya masing-masing.

Melihat pada perkembangan implementasi konsep BSC pada Kementerian Keuangan, dengan case study pada DJKN, maka saat ini dapat dilihat adanya perubahan yang signifikan di internal organisasi DJKN antara lain setiap pegawai telah mempunyai Indikator Kinerja Utama (IKU) dan target kinerja masing-masing, dan pada level  organisasi (corporate) telah dibuat peta strategi yang dapat menggambarkan strategi unit kerjanya secara jelas (clear), yang kesemuanya dibuat secara top down melalui proses cascading dan alignment. Bagi pegawai atau unit kerja yang tidak mencapai target yang ditetapkan akan mendapatkan sanksi, begitupun bagi yang mencapai atau bahakan melebihi target kinerja maka ia akan diberikan reward. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mewujudkan misi dan visi organisasi. Namun demikian, kiranya perlu dilakukan penelitian lebih mendalam lagi untuk mengetahui apakah implementasi konsep BSC pada DJKN telah berjalan dengan baik yaitu apakah telah benar-benar sesuai dengan konsep BSC yang dicetuskan oleh para ahli dan best practices di dunia, serta untuk mengetahui apakah tujuan reformasi birokrasi telah tercapai ataukah belum. (Risman, 23 Juni 2016)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini