Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Model Bisnis Bank Tanah Di Indonesia Guna Percepatan Pembangunan
N/a
Senin, 13 Juni 2016 pukul 10:58:28   |   5464 kali

I. PENDAHULUAN
Infrastruktur merupakan salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur yang memadai menyebabkan biaya produksi, transportasi, komunikasi dan logistik akan semakin murah, jumlah produksi meningkat, laba usaha meningkat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Ketersediaan infrastuktur juga mempercepat pemerataan pembangunan sehingga mendorong investasi yang baru.

Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2014/2015 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF),  daya saing Indonesia (Global Competitiveness Index-GCI) berada pada peringkat ke-34 dunia. Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-56 dari 144 negara di dunia. Keterbatasan infrastruktur ini diidentifikasi sebagai faktor penghalang keempat untuk melakukan bisnis di Indonesia setelah faktor korupsi dan inflasi.

Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia untuk bergerak cepat dalam pembangunan infrastruktur yang memadai dan berkelanjutan. Dalam masa pemerintahan Jokowi-JK, telah ditetapkan sembilan agenda prioritas yang disebut NAWA CITA. Dimana menjadi salah satu fokus utama pemerintah adalah pembangunan infrastuktur berupa pembangunan jalan baru sepanjang 2.650 Km dan jalan tol 1.000 Km, 15 bandara baru, 24 pelabuhan baru dan pelabuhan penyeberangan, pembangunan jalur kereta api sepanjang 3.258 Km, 49 waduk baru dan 33 PLTA, pembangunan kilang minyak dan juga pembangkit listrik sebesar 35.000 MW.

Dalam proses perwujudan program pembangunan infrastruktur tersebut, ketersediaan lahan masih menjadi permasalahan yang utama. Sebagai contoh, dalam situs http://www.energibersama.com/, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said memaparkan bahwa salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan proyek pembangkit listrik 35.000 MW adalah pengadaan dan pembebasan lahan. Hal serupa juga terjadi di Riau, dimana pembebasan lahan untuk pembangunan jalur kereta api membutuhkan waktu lama dan biaya cukup besar (Rp80 miliar).

UU Nomor 2  Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum belum berhasil menjadi solusi masalah pembebasan dan penyediaan lahan ini. Bernhard Limbong, Pakar Hukum Pertanahan Universitas Padjadjaran Bandung melalui tulisannya berpendapat bahwa salah satu konsep yang patut dipertimbangkan dalam menangani kompleksitas persoalan ketersediaan lahan untuk pembangunan bagi kepentingan umum adalah dengan kehadiran bank tanah (land banking). Bernhard Limbong menjelaskan bahwa secara substansi bank tanah melakukan pencadangan tanah pemerintah untuk kemudian digunakan bagi kepentingan umum seperti yang telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Belanda, Swiss, Swedia dan Amerika Serikat.

Selain kebutuhan lahan guna pembangunan infrastruktur, Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada cepatnya perkembangan properti yang dikelola oleh pihak swasta. Hal ini mengakibatkan melonjaknya harga tanah yang didorong oleh tingginya permintaan masyarakat akan kebutuhan perumahan. Dalam hal ini pemerintah harus segera mengambil peran untuk melakukan penaatan dan pengendalian properti agar tidak kebablasan yang mengakibatkan pihak-pihak pemodal mengambil keuntungan dalam kondisi seperti ini. Hal ini selaras dengan program pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah. Untuk itu perlu dibangun sebuah pola pengelolaan properti khususnya tanah dengan One Map Policy dan penyelenggaraan Bank Tanah sebagai instrumen pendukung utama.

II. KAJIAN TEORITIS BANK TANAH
Konsep Bank Tanah sudah dicetuskan di negara Barat sejak tahun 1700an yang kemudian diadopsi oleh banyak negara termasuk negara asia. Ada beberapa pengertian tentang Bank Tanah. Menurut Prof. Maria S.W. Sumardjono, Bank Tanah merupakan setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari. Evans (2004) mengatakan bahwa land banking as acquisition of land ahead of development either by construction companies or by central or local government or their agencies. Alexander (2011) menjelaskan bahwa land banking is the process or policy by which local governments acquire surplus properties and convert them to productive use or hold them for long-term strategic public purposes. Selanjutnya, Wilson, J. menyebutkan Land Banking is a government financial institution mandated to spur countryside development, with its mission to promote grow and properity, especially in the countryside. It has taken the lead in extending financial assistance to various development players. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa mekanisme bank tanah diperuntukan untuk penyedian tanah guna keperluan publik dan kesejahteraan masyarakat sehingga diperlukan campur tangan pemerintah.

Secara konseptual, ada dua bentuk bank tanah, yaitu bank tanah umum (general land banking) dengan misi utama untuk menyediakan tanah bagi kebutuhan sosial dakam skala besar dan tidak mengejar keuntungan serta menjaga stabilitas harga tanah dan yang kedua adalah bank tanah khusus (special land banking) yang bertugas menyediakan tanah dalam skala kecil untuk tujuan komersial.

Ditinjau dari fungsinya, bank tanah memiliki beberapa fungsi, menurut Siregar (2004) dalam Annaningsih (2007) fungsi bank tanah adalah sebagai berikut : (1)land keeper, sebagai penghimpun  tanah yaitu inventarisasi dan pengembangan database tanah, administrasi dan penyediaan sistem informasi pertanahan; (2)land warantee, sebagai pengamanan tanah yaitu menjamin penyediaan tanah untuk pembangunan, menjamin nilai tanah dan efisiensi pasar tanah yang berkeadilan, dan mengamankan peruntukkan tanah secara optimal; (3)land purchaser, sebagai pengendali tanah yaitu penguasaan tanah, penetapan harga tanah yang terkait dengan persepsi kesamaan nilai pajak bumi dan bangunan; (4)land valuer, sebagai penilai tanah yaitu melakukan penilaian tanah yang obyektif dalam menciptakan satu sistem nilai dalam penentuan nilai tanah yang berlaku untuk berbagai keperluan; (5)land distributor, sebagai penyalur tanah yaitu menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil berdasarkan kesatuan nilai tanah, mengamankan perencanaan, penyediaan dan distribusi tanah; (6)land management, sebagai manajer tanah yaitu melakukan manajemen pertanahan yang merupakan bagian dan manajemen aset secara keseluruhan, melakukan analisis, penetapan strategi dan pengelolaan implementasi berkaitan dengan pertanahan.

III. MODEL BISNIS BANK TANAH
Bank tanah sudah lama diterapkan di berbagai negara dengan berbagai misi khusus yang disesuaikan dengan kondisi yang saat itu terjadi serta melihat pada tujuan kedepan yang ingin dicapai. Di Amerika Serikat, bank tanah dibangun untuk menangani fenomena masalah properti kosong yang terbengkalai dan mempercepat pembangunan kembali lingkungan tersebut serta berupaya untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat. Hal ini dilakukan untuk mengamankan properti dari spekulan tanah yang bermodal kuat. Seiring perkembangan waktu, bank tanah di Amerika Serikat juga mengakomodir pencadangan dan penyediaan tanah untuk kegiatan industri. Ini serupa dengan bank tanah yang ada di Kolombia. MetroVivienda yang terletak di Bogota sebagai bank tanah mempunyai misi untuk penyediaan lahan guna pembangunan perumahan. Bank tanah Kolombia menerapkan pembelian lahan di daerah pinggiran kota untuk kemudian dijadikan kawasan perumahan terjangkau. Dalam pendistribusian tanah, bank tanah Kolombia membaginya untuk kepentingan komersial, perumahan dan kelembagaan.

Negara Belanda dan Filipina menyelenggarakan bank tanah untuk mendukung kegiatan di sektor pertanian. Dalam perkembangannya, Land Bank of the Philippines bertumbuh menjadi bank komersial namun tetap menjalankan mandat sosial negara. Hal serupa juga dijalankan oleh Land Bank of Taiwan.

Proses pengadaan tanah merupakan suatu tantangan tersendiri bagi bank tanah. Dalam makalah  Dr. Ir. Soedjarwo Soeromihardjo sebagaimana dikutip dalam jurnal Cut Lina Mutia – Bank Tanah : Antara Cita-cita dan Utopia (2004), dijelaskan beberapa mekanisme bank tanah di beberapa negara. Negara Jepang menentukan suatu kebijakan bahwa orang yang membeli tanah dan kemudian menjual kembali tanah itu dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak tanah dibeli, maka dikategorikan sebagai kegiatan spekulasi tanah sehingga dikenakan pajak yang sangat tinggi. Guatemala menerapkan cara dengan memberikan keringanan pajak kepada setiap pemilik tanah yang menjual tanahnya kepada negara, sedangkan bila tidak menjual kepada negara maka akan dikenakan pajak yang tinggi. Pemerintah Swiss berhasil mengkoleksi hampir 40% tanah di negaranya dengan mengimplementasikan aturan bahwa setiap warga yang akan menjual tanahnya harus melaporkan kepada pemerintah setempat. Sedangkan Belanda menjalankan peraturan bahwa masyarakat pemilik tanah yang tidak memanfaatkannya dalam kurun waktu tertentu, tanahnya diambil oleh negara dengan memberikan ganti rugi. Dengan ketentuan dan peraturan di beberapa negara tersebut, terbukti Swiss dan Belanda sebagai negata yang wilayahnya kecil berhasil membangun bank tanah untuk pembangunan bagi rakyat.

Bagaimana Implementasi Bank Tanah di Indonesia ?
Memperhatikan kondisi Indonesia saat ini, pertama-tama pemerintah perlu fokus pada kebijakan penyediaan lahan untuk infrastruktur dan perumahan rakyat. Sejalan dengan program pemerintah mengenai pembangunan infrastruktur dan penyediaan perumahan terjangkau bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah. Oleh sebab itu, penting dibangun sebuah metode One Map Policy dalam pengelolaan tanah yang disesuaikan dengan rencana jangka panjang pemerintah sehingga dapat ditetapkan zonasi pemanfaatan lahan demi pemerataan pembangunan.

Kegiatan pengadaan, perlu dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, inventarisasi dan penguasaan kembali secara penuh tanah yang dikuasai negara meliputi tanah bekas HGU, tanah terlantar, tanah fasos/fasum yang diserahkan developer, tanah aset BPPN, tanah aset BUMN/BUMD yang belum digunakan, aset idle pada Kementerian/Lembaga/Pemda, tanah negara dari pencabutan hak dan tanah negara yang berasal dari pembebasan tanah. Kedua, pembelian tanah yang mendesak, harus dilaksanakan segera/saat itu juga untuk digunakan dalam pelaksanaan pembangunan yang sudah direncanakan. Dalam pengadaan tanah ini, Indonesia dapat mengadopsi skema yang diterapkan di Guatemala, dimana pihak/perorangan yang tidak bersedia menjual tanahnya kepada negara untuk kepentingan umum akan dikenakan pajak yang sangat tinggi. Ketiga, pengadaan tanah untuk dicadangkan (invesment). Sebagai bank tanah, tentunya perlu memiliki cadangan tanah yang cukup dan harus selaras dengan rencana pembangunan jangka panjang pemerintah. Untuk menjalankan pengadaan dengan tujuan pencadangan, Indonesia dapat menerapkan metode yang juga diterapkan di Belanda dan Jepang. Guna mendorong peningkatan pendapatan pajak, Indonesia dapat memberlakukan kebijakan bahwa setiap pihak yang membeli tanah dan menjualnya kembali dalam kurun waktu tertentu/singkat (kurang dari 10 tahun) maka akan dikenakan pajak sangat tinggi. Dan dalam rangka mendorong optimalisasi pemanfaatan tanah oleh semua pihak, maka dapat diberlakukan peraturan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan dalam kurun waktu tertentu akan diambil negara dengan ganti rugi, jika pihak/orang tersebut tidak setuju, maka diberlakukan aturan pertama mengenai pengenaan pajak sangat tinggi terhadap tanah. Dengan mekanisme ini, diharapkan tanah yang berada di seluruh Indonesia dapat dioptimalkan untuk lahan produktif ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat sehingga menekan gerak spekulan tanah.

Selain kegiatan pengadaan, bank tanah harus agresif dalam fungsi pengamanan dan pemeliharaan tanah yang telah dikuasai dengan menerapkan standarisasi dalam pengamanan. Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi, banyak tanah negara yang diduduki oleh warga tanpa ijin dan hal itu berlangsung bertahun-tahun. Hal ini mengindikasikan adanya proses pengamanan dan pemeliharaan yang perlu diperbaiki. Disamping itu, untuk menjaga ketersediaan tanah bagi kepentingan bersama maupun pembangunan, pemerintah seyogyanya turut aktif mengendalikan pergerakan pembangunan properti oleh pihak swasta. Harus lebih tegas dan diselaraskan dengan kebijakan One Map Policy.

Perkembangan teknologi mengharuskan Indonesia menerapkan teknologi terkini dalam pengelolaan tanah ini. Indonesia dapat mencontoh pada Philadelphia Land Bank, USA yang telah berhasil mengelola dan mengembangkan lahan sesuai tujuan strategis jangka panjang dengan memanfaatkan Geographic Information System (GIS) yang diintegrasikan dengan sistem pengambilan keputusan yang mereka kembangkan. GIS merupakan sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database (wikipedia.org). Sistem ini tentunya dapat diaplikasikan dalam penerapan One Map Policy.

IV. KESIMPULAN
Penerapan Bank Tanah di Indonesia merupakan suatu keharusan yang mendesak. Pemerintah harus berkoordinasi dengan seluruh pihak terkait, mulai Kementerian/Lembaga hingga instansi swasta yang berkepentingan untuk dapat membangun One Map Policy yang tepat. Dengan kebijakan One Map Policy ini diharapkan pengelolaan aset lebih terencana dan dapat optimal bagi kepentingan umum. Pendapat di atas merupakan pendapat pribadi penulis, sehingga perlu kajian lebih mendalam yang disesuaikan dengan rencana strategis jangka panjang pemerintah dalam penerapan Bank Tanah di Indonesia. Dengan dibentuknya Badan Layanan Umum LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) oleh pemerintah, LMAN diharapkan mampu menjadi lembaga yang optimal dalam menjalankan fungsi oprtimalisasi aset dengan penerapan bank tanah ini.

 

(Penulis : Tri Wibowo - Pelaksana Seksi PKN pada KPKNL Jambi)

 

  REFERENSI
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
• http://www3.weforum.org/docs/WEF_GlobalCompetitivenessReport_2014-15.pdf
• http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf
• http://www.energibersama.com/index.php/2015/08/26/ini-dia-hambatan-utama-proyek-35-000-mw/
• http://www.katariau.com/read-100-9978935-2016-04-15-pelepasan-lahan-rel-kereta-api-di-riau-belum-tuntas.html
• http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/artikel/2.pdf
• http://www.metrovivienda.gov.co/index.php/2013-04-02-16-45-18/mision2
• http://www.landbank.com.tw/Eng/index.aspx?EpfJdId9UuAh1zCqhIpaZ9UpCSACwurxbBasxA94KT8%3d#6922
• Banking Of Land Resources: A Framework, A. Damodaran, Professor ; Student Contributors: Hemant Kumar and Sher Singh Meena
• https://www.landbank.com/about - LAnd Bank Of The Philippines
• Transforming Land Bank into a Microfinance Development Institution, Mario B. Lamberte, Discussion Paper Series No.200-34
• The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia, Noer Fauzi Rachman, 2011
• http://conserveland.org/wp-content/uploads/2015/07/Land-Bank-Top-Ten-Updated-January-2015.pdf
• https://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/artikel/mengenal-bank-tanahland-banking-sebagai-alternatif-manajemen-pertanahan
• International Land Banking Practices : Considerations For Gauteng Province, Dr Kirsten Harrison, 2007
• Penerapan Konsep Land Banking Di Indonesia Untuk Pembangunan Perumahan Mbr Di Kawasan Perkotaan, Noegi Noegroho, ComTech Vol.3 No. 2 Desember 2012: 961-965
• Keberadaan Bank Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Hairani Mochtar, Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.2 Desember 2013: 127–135
• Bank Tanah : Antara Cita-Cita dan Utopia, Cut Lina Mutia, Lex Jurnalica/Vol.1/No.2/April 2004

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini