Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Artikel DJKN
Spirit Leicester Dalam Pengelolaan BMN
N/a
Kamis, 12 Mei 2016 pukul 17:56:30   |   1824 kali

Sejarah baru dalam industri sepakbola Inggris mencatat torehan manis. Seratus tiga puluh dua tahun sejak berdiri menjadi sebuah penantian panjang bagi klub Leicester (baca : leyister) City FC menjadi kampiun. Goresan manis klub ini juga memberikan banyak catatan, diantaranya Leicester menjadi klub yang nilai pemainnya adalah peringkat 12 dengan total nilai pemain 95,25 juta Pounds yang pernah menjadi juara liga Inggris. Peringkat satu total nilai pemain dipegang oleh klub Manchester City dengan total nilai 376,31 juta Pounds. Untuk gaji pemain, total gaji pemain Leicester City adalah 48,2 juta Pounds berbanding 193 juta Pounds dengan Manchester City (Kompas 4/5/2016). Selain efisien dalam hal belanja, Leicester City juga tim yang paling efektif dalam penguasaan bola. Statistik menunjukkan, klub ini hanya memiliki catatan penguasaan bola sebanyak 46 persen perlaga dengan akurasi umpan hanya 71 persen perlaga. Bandingkan dengan klub terdegradasi pada akhir April 2016 yakni Aston Villa, yang memiliki penguasaan bola 49 persen perlaga dan penguasaan bola 79 persen (Republika 4/5/2016).

Transformasi klub ini menjadi juara tentu membawa efek ganda bagi kota Leicester. Kota yang berpenduduk tidak lebih dari 330 ribu jiwa ini pernah dipimpin oleh walikota muslim yaitu Abdul Razak Osman (2012). Walikota saat ini adalah Sir Peter Soulsby. Wakil walikota Leicester, Rory Palmer, beberapa waktu lalu saat wawancara dengan sebuah televisi mengatakan seandainya pun Leicester City tidak juara, pemerintah kota tetap harus bersiap  menyambut tamu dari negara-negara Eropa lainnya. Hal ini berkaitan dengan masuknya klub dalam Liga Champion Eropa tahun depan. Tentu akan banyak tamu dan Investasi yang akan masuk ke kota ini. Infrastruktur akan ditambah dan dipercantik, Kepolisian dipersiapkan dan pariwisata akan menyambut potensi jutaan Pounds yang datang.

Apakah ada yang bisa kita petik dari hingar bingar industri sepakbola di benua Eropa ini? Saya tidak ragu mengatakan ada. Diantaranya adalah soal efisien, efektif, transformasi dan (kesiapan diri) menjadi pencetak pendapatan.

 

PERAN KEPEMIMPINAN

Tak pelak sukses Leicester yang ibarat kisah dongeng ini membawa nuansa baru dalam industri sepakbola Inggris. Kepemimpinan pelatih Claudio Ranieri dipuji sebagai metode efektif dalam mencari, membeli dan menggunakan sumber daya manusia (baca : pemain) dalam mencapai tujuan. Dalam Kubik Leadership, istilah efektif harus mendahului efisien. Dalam sebuah organisasi, pemimpin harus mencari cara-cara efektif dalam memberikan pelayanan masyarakat. Mencari cara efektif  ini harus ditempuh melalui pembinaan yang tepat kepada seluruh pegawai yang menjadi tanggungjawabnya. Kepemimpinan dalam hal ini dapat penulis analogikan sebagai kemampuan untuk menentukan kemana organisasi akan diarahkan, apa saja yang perlu dilakukan, dan jalan mana yang harus ditempuh untuk mencapainya (Farid, Indra dan Jamil, 2008)

Jika direflesikan ke DJKN perubahan paradigma dari assets administration ke assets management menuntut DJKN menciptakan pemimpin yang paham dan mampu mempraktekkan manajemen aset. Proses menciptakan pemimpin tidak boleh lagi by condition melainkan by design. Siapapun yang mampu menjadi manajer aset, tanpa memandang umur namun mempertimbangkan asesmen, dapat dipertimbangkan menjadi pemimpin organisasi setingkat KPKNL maupun Kanwil DJKN.

Pemimpin yang baik akan dapat mengarahkan SDM untuk mencapai tujuan organisasi dengan efektif dan dengan pengeluaran (baca : DIPA) yang efisien. Beruntung bahwa Kementerian Keuangan telah menerapkan pengukuran kinerja secara menyeluruh. Ukuran siapa yang lebih efektif maupun siapa yang lebih efisien kiranya dapat dikembang lebih lanjut dari pengukuran kinerja yang sudah ada.

 

TRANSFORMASI BERKELANJUTAN

Jika lahirnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dianggap sebagai pondasi awal tranformasi di bidang Keuangan Negara, maka tahun 2006 adalah tahun transformasi birokrasi di Kementerian Keuangan. Pada tahun ini beberapa organisasi selevel eselon II maupun eselon I bergabung menjadi satu organisasi baru seperti yang di alami oleh DJKN. Setelah hampir sewindu menata organisasi, proses bisnis dan SDM, maka tahun 2014 dimulailah era baru transformasi kelembagaan.

Era ini pada akhirnya membuat SDM DJKN baik di pusat maupun di daerah harus membiasakan diri terhadap perubahan. Perubahan adalah sebuah keadaan yang tidak bisa dihindari. Transformasi haruslah dimaknai sebagai proses berkelanjutan agar organisasi dapat going concern seperti yang diharapkan oleh pemilik modal (investor) saat menciptakan entitas bisnis pertama kali. Terkait dengan transformasi kelembagaan kali ini, Menteri Keuangan memberikan amanat berat untuk DJKN. DJKN harus dapat menjadi Revenue Center keempat setelah DJP, DJPBC dan DJA (Direktorat PNBP). Hal ini mudah sebagai wacana, tetapi sulit dalam implementasi.

Sama dengan yang terjadi di Leicester City FC di atas. Pelatih Ranieri awalnya dikenal dengan pelatih yang sering gonta ganti skema permainan. Sebelum berlabuh di Leicester, pelatih ini sudah 10 kali melatih di klub-klub Eropa mulai dari klub di negara Italia, Spanyol dan Perancis. Beberapa diantaranya adalah klub-klub besar. Namun entah karena ketidakkonsistenan dengan skema permainan entah karena hal lain, pelatih ini hanya memiliki prestasi nyaris juara di klub-klub besar. Di Leicester, setelah konsisten menggunakan skema 4-4-2 dan mempercayai sejumlah pemain untuk rutin masuk tim inti, Leicester City FC seperti yang sama-sama kita ketahui menjadi juara liga Inggris 2015-2016. Terlambat bertransformasi masih lebih baik dibandingkan tidak melakukannya sama sekali.

 

DJKN SEBAGAI REVENUE CENTER   

Untuk DJKN sebagai Revenue Center kali ini penulis tidak dapat membandingkannya dengan klub sepakbola di atas. Leicester City akan mudah menjadi penghasil pendapatan besar, jika semua pemain-pemain mereka, yang membawa klub ini juara, saat ini dijual dengan harga tinggi. Untuk solusi jangka pendek hal ini adalah cara yang paling mudah. Namun untuk jangka panjang, langkah ini riskan dilakukan. Leicester akan mencoba meraih pundi-pundi pendapatan mereka dari ajang Liga Champion Eropa. Semakin lama berada di peringkat atas klasemen pada tahun-tahun berikutnya, maka kemungkinan tetap mendapatkan profit dari Liga Champion tersebut semakin besar.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa DJKN dituntut menjadi kontributor keempat fiskal pemerintah. Mari kita lihat situasi faktualnya.  Dalam Laporan Realisasi APBN dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Audited tahun 2013, PNBP adalah termasuk ke dalam kategori Pendapatan Negara dan Hibah. Pendapatan Negara dan Hibah terbagi menjadi 3 penerimaan, yaitu : Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Penerimaan Hibah. PNBP berdasarkan sumbernya dikelompokkan menjadi penerimaan : Sumber Daya Alam (SDA), Bagian Pemerintah atas Laba BUMN (Div), PNBP lainnya (PNBPL) dan penerimaan BLU (pBLU). Secara sederhana dapat digambarkan PNBP APBN = ∑ (SDA+Div+PNBPL+pBLU). Jika ditelusuri lebih lanjut, maka PNBP dari Pengelolaan BMN masuk ke dalam kategori PNBP Lainnya, sehingga dapat disederhanakan menjadi PNBPL = ∑ (PNBP FUNG+PNBP NON FUNG).

Sebagai gambaran lebih konkrit, dapat dilihat dari tabel di bawah ini :

 

No

Tahun

Jenis PNBP Lainnya

Total

Fungsional

Non Fungsional

1

2006

36,362,095,542,523

105,501,763,856

36,467,597,306,379

2

2007

56,738,399,459,236

144,091,420,700

56,882,490,879,936

3

2008

66,769,735,239,430

194,660,931,860

66,964,396,171,290

4

2009

61,821,941,463,091

234,260,918,344

62,056,202,381,435

5

2010

58,753,385,024,367

411,377,496,168

59,164,762,520,535

6

2011

69,039,319,530,257

321,183,302,275

69,360,502,832,532

7

2012

73,061,097,688,268

397,406,836,139

73,458,504,524,407

8

2013

69,191,242,903,504

480,612,986,998

69,671,855,890,502

Tabel 1, Realisasi PNBP Lainnya 2006 – 2013 (Sumber LKPP diolah)

Jika dikutip dari tabel di atas, terlihat bahwa PNBP non fungsional masih tertinggal jauh dibandingkan dengan PNBP fungsional. Maka tuntutan DJKN sebagai Revenue Center jika hanya mengandalkan penerimaan non fungsional pengelolaan BMN saja sangat sulit untuk direalisasikan. Sebagai contoh, jika mengacu pada PP nomor 1 tahun 2013 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Keuangan, maka PNBP yang berasal dari bea lelang dan biad pengurusan Piutang Negara (PN) masuk kategori PNBP fungsional yang dikelola oleh Direktorat PNBP DJA.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah penerimaan yang dihasilkan oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang dibentuk oleh DJKN. BLU Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) jika nanti menghasilkan pendapatan, menurut ketentuan, pendapatannya masuk kategori penerimaan BLU. Dan seperti penulis telah jelaskan di persamaan fungsi Penerimaan PNBP di atas, maka tidak dapat dikategorikan sebagai PNBP non fungsional. Berdasarkan contoh tersebut di atas, maka menjadikan DJKN sebagai Revenue Center sebagai amanat dari Menteri Keuangan beberapa waktu yang lalu adalah bukan hal mudah. Kiranya hal ini perlu didiskusikan dan ditegaskan kembali, apakah penerimaan PNBP yang dihasilkan tersebut di atas dapat dikelompokkan sebagai PNBP Non fungsional.

DJKN perlu mengkaji penggalian potensi PNBP non fungsional atau intensifikasi penerimaan PNBP non fungsional. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan konsep capital charge kepada Kementerian/Lembaga (K/L) yang menggunakan aset. Capital charge ini sebetulnya secara sederhana dapat dianalogkan dengan konsep opportunity cost yang keluar dari pemerintah karena pemerintah mengeluarkan uang untuk memperoleh/membeli/mengadakan aset, walaupun aset tersebut digunakan untuk pelayanan kepada publik. Maka capital charge menurut penulis akan tepat diterapkan kepada K/L yang sudah dialokasikan dan merealisasikan anggaran untuk memperoleh/membeli/mengadakan aset tetapi aset tersebut tidak segera digunakan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya (terlepas dari sudah atau belum mendapatkan penetapan status penggunaan dari pengelola barang). Sebelum aset tersebut masuk kategori aset idle, K/L harus membayar capital charge kepada Pengelola Barang. Hal ini tentu akan mendorong K/L melaksanakan perencanaan kebutuhan dan penganggaran aset secara tepat dan akurat.

Selain itu, tuntutan DJKN sebagai Revenue Center hendaknya juga dapat memperhitungkan nilai moneter ‘penghematan’ yang berhasil dilakukan oleh DJKN saat melaksanakan tugas fungsinya dalam perencanaan penganggaran dan kebutuhan Kementerian/Lembaga. Sekali lagi, DJKN harus bersiap diri untuk mengemban amanat menjadi kontributor terbesar keempat setelah DJP, DJBC dan DJA. Hal ini memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, tetapi juga tidak mustahil seperti melukis cakrawala. Semangat teman-teman!

 

Acep Hadinata

Kepala KPKNL Banda Aceh

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini