Pada artikel sebelumnya (https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14247/Performa-Berkelanjutan-Pengasuransian-BMN.html),
penulis telah mengulas arti pentingnya penerapan asuransi atas Barang Milik
Negara (BMN), yakni dalam rangka menjaga kestabilan fiskal mengingat asuransi
dapat mengurangi defisit fiskal akibat berbagai risiko atas BMN yang belum
dimitigasi. Risiko dimaksud khususnya yang timbul karena adanya bencana alam
dan dalam rangka memberikan kepastian keberlangsungan pemberian pelayanan umum dan/atau
kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara
yang dilaksanakan secara selektif, efisien, dan efektif. Selanjutnya artikel
ini akan memberikan insight yang
lebih mendalam atas penerapan manajemen risiko aset publik melalui skema asuransi.
Manajemen risiko merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pengelolaan aset yang andal, khususnya pada sektor publik, sekaligus menjadi
elemen yang penting dalam mewujudkan good
corporate governance. Berbagai bentuk penerapan manajemen risiko
dilaksanakan oleh entitas yang memiliki aset, seperti pelaksanaan analisa
sensivitas ataupun pembelian asuransi perlindungan atas aset, yang bertujuan
agar pemerintah dapat meminimalisasi risikio dalam penyediaan pelayanan publik
dan mengoptimalkan aset yang ada.
Manajemen risiko merupakan metode sistemis dan logis yang
digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisa, mengevaluasi, memperlakukan,
mengawasi, dan memonitor risiko yang timbul, yang memungkinkan organisasi
meminimalisir kerugian dan mengoptimalkan kesempatan.1 guidance management risk
public assets western australia p5 Metode ini tidak hanya sebatas
membantu organisasi untuk menghindari risiko, tetapi lebih menekankan pada
pengoptimalan kesempatan seiring dengan mitigasi kerugian.
Implementasi manajemen risiko yang efektif berdampak signifkan pada organisasi 2 guidance management risk public assets western australia p9 karena memungkinkan pemerintah dapat menjaga kesinambungan pelayanan umum secara efisien dan efektif. Pemahanan atas elemen risiko dapat pula membantu pemerintah dalam menyusun rencana strategis pelayanan. Selain itu, manajemen risiko yang tidak diharapkan dapat menghindarkan pemerintah dari pengeluaran belanja yang sangat material (contohnya alokasi belanja untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana yang tidak disertakan dalam program cathastrophic insurance). Dampak penerapan manajemen risiko di sektor publik, khususnya terkait aset publik, adalah dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan good corporate governance.
Adapun proses manajemen risiko adalah sebagai berikut 3 guidance management risk public assets western australia p14:
RISIKO
Risiko adalah akibat dari ketidakpastian atas suatu tujuan.
Oleh karena itu, risiko, baik berupa tantangan maupun kesempatan, harus
dikelola secara efektif dan memadai, sehingga tujuan organisasi tetap tercapai.
Risiko ini perlu diprioritaskan sebagai berikut:
Setelah didapatkan prioritas dan kemungkinan terjadinya,
dilakukan langkah-langkah untuk menghadapi risiko tersebut, yaitu meliputi:
pencegahan risiko (menghilangkan sumber risiko), mitigasi risiko
(meminimalisasi dampak risiko), transfer risiko (memindahkan risiko ke tempat
lain) dan menerima risiko (apabila risiko sudah tidak dapat dihindari atau
ditransfer).
Asuransi adalah instrumen yang ideal ditempuh untuk menutup
berbagai risiko yang dihadapi oleh aset publik, khususnya chatatrospic risk, yang berdampak sangat signifikan pada kemampuan
fiskal suatu negara. Pengalihan risiko dengan asuransi adalah suatu cara yang
tepat guna dari segi biaya yang dikeluarkan untuk menangani risiko keuangan
yang akan terlalu mahal untuk dikurangi risikonya/dimitigasi.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
telah mendefinisikan asuransi sebagai perjanjian antara dua pihak (perusahaan
asuransi dan pemegang polis), yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh
perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
(1) memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang
polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau (2) memberikan
pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Sebagai salah satu strategi manajemen yang efektif untuk
mengalihkan risiko, asuransi dedefinisikan sebagai bentuk produk untuk
memitigasi berbagai risiko dan menyediakan kompensasi keuangan pada saat
potensi risiko terealisasi. Namun demikian, asuransi bukanlah satu-satunya
strategi manajemen risiko untuk mengalihkan risiko secara ketersediaan asuransi
akan sangat tergantung kepada kebutuhan pasar, sehingga tidak semua aset publik
dapat diasuransikan dan juga kemampuan perusahaan asuransi untuk menanggung
kerugian akibat risiko yang tidak direspon dengan sempurna.
Pada umumnya, pemerintah di berbagai negara seperti
Indonesia, membiayai kerugian aset yang timbul akibat risiko katastropik
setelah kejadian bencana, yang pada umumnya
akan memerlukan resources dana yang
lebih besar, dengan cara menggunakan dana yang ada (melalui realokasi dana), meningkatkan
pajak, melakukan peminjaman ke lembaga keuangan multilateral bahkan meminta
bantuan kepada lembaga internasional. Upaya-upaya yang dilaksanakan ini
sifatnya adalah post-event financing
tools, menyelesaiakan permalahan keuangan setelah terjadi bencana.
Manajemen risiko yang efektif akan memperhitungkan pre-event financing tools dan post-event financing tools, sehingga
akan tersedia dana cadangan (reserves) untuk
menanggulangi risiko yang tidak dapat dimitigasi. Metode ini paling tepat
dilaksanakan terhadap aset dengan eksposure risiko yang rendah, contohnya
penanggulangan risiko yang sering terjadi tetapi dampaknya relatif kecil.
Metode penanggulangan dampak risiko juga dapat dilaksanakan
melalui contingent credit facilities, berupa
pinjaman yang disediakan oleh lembaga keuangan dalam rangka menanggulangi
dampak bencana. Skema ini lebih efisien dalam hal pemerintah mengalami
kesulitan untuk menyediakan dana penanggulangan bencana atau pemerintah
memiliki pertimbangan bahwa dana cadangan yang digunakan untuk menanggulangi
bencana akan lebih efektif apabila diinvestasikan ke dalam instrumen investasi
lainnya.
Metode lainnya yang digunakan dalam pengelolaan risiko
adalah melalui penggunaan asuransi. Skema ini tepat digunakan oleh pemerintah
yang memiliki tingkat eksposure tinggi terhadap risiko sedangkan dana cadangan
yang dimiliki tidak cukup untuk menanggulangi dampak risiko tersebut. Asuransi
akan memindahkan risiko yang ada kepada perusahaan asuransi atau reasuransi,
yang memiliki lini usaha untuk mengumpulkan dan mendiversifikasi risiko.
Metode penanggulangan risiko lainnya yang dapat
dilaksanakan adalah melalui penerbitan surat berharga di pasar modal melalui catastrophe-linked securities (sebagai
contoh catastrophe bond), dengan
pertimbangan bahwa risiko dapat ditanggulangi dan sekaligus dapat meningkatkan
investasi pemerintah.
Secara umum, terdapat 2 jenis program asuransi yang
diterapkan oleh perusahaan asuransi untuk menanggulangi kerugian (termasuk
aset), yaitu: asuransi kerugian (indemnity
insurance) dan asuransi parametrik. Jenis yang pertama merupakan suatu
janji bahwa dalam hal terjadi suatu kerugian maka pihak penanggung (perusahaan
asuransi) akan melakukan pembayaran kepada orang atau perusahaan/pihak yang
telah membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi, sedangkan asuransi
parametrik merupakan jenis asuransi dimana penanggung (perusahaan asuransi)
setuju untuk melakukan suatu pembayaran apabila terjadi suatu peristiwa pemicu (triggering event) yang telah disepakati
bersama. Untuk asuransi parametrik risiko gempa, yang biasa digunakan sebagai
pemicu (trigger) adalah magnitude di
pusat gempa. Bisa juga ditambahkan dan kedalaman pusat gempa dari permukaan bumi.
Polis asuransi parametrik menggunakan suatu pengukuran atas
suatu tingkat bahaya (hazard) untuk
memperkirakan, dengan menggunakan suatu model bencana (catastrophe model), perkiraan terjadinya bencana alam pada tingkat
intensitas tertentu, sedangkan asuransi indemnity
menggunakan kerugian aktual yang terjadi.
Adapun contoh penerapan asuransi parametrik adalah
perhitungan awal dari pemicu parametrik yang terjadi segera dilakukan setelah
terjadinya gempa bumi, seperti lokasi dan intensitas gempa. Biasanya data bisa
didapat, selain dari sumber dalam negeri, dari US Geological Survey atau
European-Mediterranean Seismologic Centre. Sedangkan perhitungan akhir dibuat (biasanya
dalam waktu beberapa hari) setelah kejadian bencana untuk meyakinkan
tersedianya sumber informasi terbaik dari badan pelapor bencana. Apabila pemicu
parametrik memang terbukti terjadi di atas suatu nilai yang telah ditentukan,
dilakukan pembayaran klaim kepada pemerintah, yang pada umumnya, pembayaran
dilakukan dalam waktu dua minggu.
Contoh penerapan asuransi indemnity adalah sebagai berikut: perusahaan asuransi harus
melakukan verifikasi klaim pada setiap bangunan yang dijadikan obyek asuransi.
Sangat mungkin terjadi ketidaksepakatan antara tertanggung dengan perusahaan
asuransi dalam penentuan besarnya jumlah klaim yang harus dibayarkan. Hal ini
akan memakan waktu yang lama, apalagi kalau prosesnya sampai ke pengadilan.
Masalah ketersediaan data obyek pertanggungan asuransi yang harus sudah
tersedia di awal masa pertanggungan adalah suatu masalah tersendiri.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah, belum tentu memiliki data yang detail
tentang obyek pertanggungan, seperti misalnya rumah dan gedung yang akan
diasuransikan.
Peranan pemerintah yang paling tepat dalam pengelolaan
risiko melalui skema asuransi perlu ditentukan terlbih dahulu sehingga tujuan
asuransi dalam menanggulangi dampak risiko dapat berjalan dengan efektif. Peranan
pemerintah dalam berbagai skema pengelolaan risiko sangat bergantung pada skema
asuransi yang dipilih, tujuan penggunaan asuransi dan pertimbangan biaya yang
akan ditanggung oleh asuransi. Adapun peranan pemerintah dalam penggunaan
asuransi adalah sebagai berikut:
a. Backstop Liquidity Provider
Pemerintah
menyiapkan dana melalui fasilitas pinjaman untuk memastikan tersedia cukup dana
dalam penanggulangan risiko, khususnya risiko katastropik. Skema ini
memungkinkan perusahaan asuransi untuk mengelola risiko utama, sedangkan
pemerintah menyediakan dana jangka pendek untuk menghindari kerugian akibat
risiko sepanjang waktu.
b. Reinsurer
Pemerintah
atau lembaga pengelola risiko mengasuransikan aset yang menjadi pertanggungan
kepada pasar asuransi global dengan pertimbangan keterbatasan kemampuan
perusahaan asuransi lokal dalam menanggulangi risiko. Skema ini juga
dilaksanakan dalam rangka menjaga solvency
perusahaan asuransi.
c. Direct Insurer
Pemerintah atau lembaga pengelola risiko menyediakan asuransi untuk menanggulangi risiko. Langkah ini ditempuh apabila pasar asuransi tidak berminat atau tidak memiliki kemampuan untuk menanggulangi dampak risiko. Mengingat tidak ada pembagian risiko dengan industri asuransi, perusahaan swasta akan bertindak sebagai marketing, pengumpul premi dan klain sebagai wakil dari pemerintah.
d. Guarantor
Pemerintah bertindak sebagai penyedia garansi atas risiko yang terjadi dengan cara menyediakan dana penanggulangan bencana yang dapat membiayai seluruh dampak risiko yang tidak dapat dimitigasi. Peranan ini dapat dikombinasikan dengan fungsi pemindahan risiko oleh Pemerintah.
Keterlibatan pemerintah dalam melaksanakan risk sharing
dengan industri asuransi sangat penting dalam mencapai tujuan pelaksanaan
asuransi dan keseimbangan antara risiko dan reward yang diterima pemerintah dan
sektor industri perasuransian. Adapun dua metode untuk penentuan pricing
asuransi adalah sebagi berikut:
a. Risk Based Pricing
Metode
ini memperhitungkan perbedaan risiko dari seluruh wilayah yang menggambarkan
risiko teknis dan insentif yang diterima dari pengurangan risiko yang
dilakukan. Metode ini pada umumnya sulit diterapkan karena memerlukan penyedia
asuransi untuk investasi yang lebih dalam rangka memperoleh perbedaan risiko
dari setiap konsumen secara benar. Untuk itu, beberapa perusahaan memilih
metode yang lebih sederhana dan praktis, dengan menggunakan gradasi risiko
berdasarkan indikator risiko dan penentu risiko (contohnya lokasi, tipe konstruksi
dan ukuran pemitigasian risiko) untuk meningkatkan efisiensi.
b. Flat Rated Pricing
Metode flat-rated pricing memperhitungkan
persentase tetap untuk tarif dasar premium atau persentase dari jumlah properti
yang diasuransikan tanpa mempertimbangkan perbedaan risiko teknis. Namun
demikian, metode ini memberikan jaminan yang lebih pasti atas asuransi yang
disubsidi dari berbagai asuransi yang ditangani perusahaan asuransi tersebut.
Penggunaan metode ini menghilangkan perbedaan risiko teknis
yang kemungkinan timbul dalam suatu wilayah. Untuk itu, dilakukan pengurangan
tarif, sebagai contoh perusahaan asuransi menolak menyediakan asuransi indemnity atas aset yang dibangun di
area yang rentan terhadap risiko katastropik.
Adapun implementasi post-event
financing tools melalui penggunaan asuransi dapat mengurangi beban keuangan
pemerintah setelah terjadi risiko yang tidak dapat dimitigasi, sehingga dapat
mengurangi pengaruh akibat bencana terhadap ketahanan fiskal suatu negara.
Metode ini tepat diterapkan untuk mengelola risiko yang material, sehingga dana
penanggulangan bencana dapat diinvestasikan ke instrumen investasi yang lainnya.
Aset publik yang disediakan dalam rangka mendukung
pemberian pelayanan umum, sangat rentan terhadap berbagai risiko. Meskipun
pemerintah telah mengalokasikan dana cadangan untuk penanggulangan risiko,
pemindahan sebagian risiko melalui penggunaan skema asuransi, memungkinkan
pemerintah untuk mengalokasikan dana cadangan untuk pos yang lainnya, contohnya
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
program pengentasan kemiskinan dan program-program pemerintah lainnya.
Tujuan penggunaan asuransi ini sebagai salah satu alternatif penerapan pengelolaan risiko yang andal adalah kecepatan ketersediaan dana penanggulangan risiko, mengurangi eksposure aset publik terhadap risiko, dan mengurangi ketergantungan suatu negara terhadap bantuan keuangan dari lembaga donor untuk menanggulangi dampak risiko, khususnya risiko katastropik, sehingga kesinambungan fungsi aset publik dapat mendukung pelayanan umum tetap dapat terjaga.