Berdasarkan hasil survei partisipasi
publik pada Tahun 2019 diketahui bahwa hanya 37 persen dari responden
masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi, dan hanya 13 persen responden
dari segmen pemerintah yang pernah melaporkan gratifikasi. Masih di tahun yang
sama, berdasarkan survei penilaian integritas pada 27 Kementerian/Lembaga, 15
Pemerintah Provinsi, dan 85 Pemerintah Kabupaten/Kota, diperoleh hasil bahwa gratifikasi
ada pada 91 persen instansi yang disurvei tersebut. Hal tersebut menunjukan
istilah gratifikasi masih belum dipahami dengan benar dan dikenal secara luas oleh
masyarakat, dan masih sedikit sekali orang atau instansi yang bersedia
melaporkan adanya gratifikasi. Hal ini mungkin karena masalah gratifikasi masih
dianggap sepele karena nilainya kecil, merepotkan, justru menganggap bersalah
bila menerima dan melaporkan gratifikasi atau menganggap tidak penting.
Anti gratifikasi harus mulai dilakukan
oleh diri kita sendiri, mulai dari saat ini juga, agar menjadi kebiasaan, sehingga
lama kelamaan akan menjadi budaya bagi instansi pemerintah, masyarakat dan
negara. Cara menerapkan anti gratifikasi tersebut sebenarnya sangatlah
sederhana, yaitu dengan menolak setiap pemberian gratifikasi atau apabila tidak
dapat menolak karena tidak diberikan secara langsung atau alasan lainnya adalah
menerima dan melaporkan gratifikasi tersebut. Langkah pertama dan yang lebih
utama apabila ada pihak yang memberikan gratifikasi adalah dengan menolak
secara langsung, secara tegas, dan jelas, namun dilakukan secara sopan. Terutama
terhadap gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan, berlawanan dengan
kewajiban dan tugas, diserahkan secara langsung, dan terdapat konflik
kepentingan. Alangkah baiknya apabila dalam menolak gratifikasi tersebut kita
bisa menyampaikan himbauan kepada pemberi gratifikasi tersebut untuk tidak lagi
memberikan gratifikasi kepada siapapun dalam memperoleh layanan pada instansi
pemerintah. Apabila karena sesuatu hal pemberian gratifikasi tersebut tidak
dapat ditolak, misalnya pemberi gratifikasi menyerahkan melalui orang lain
(satpam, atau petugas front office, pengemudi atau keluarga) atau bersikukuh
untuk memberikan sesuatu walaupun sudah ditolak, maka pemberian gratifikasi
tersebut dapat (terpaksa) diterima, namun gratifikasi tersebut harus dilaporkan
maksimal dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterima kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengertian Gratifikasi adalah suatu
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, yang
diberikan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berkaitan dengan
jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya. Pemberian bagi penyelenggara
negara atau pegawai negeri ini patut diduga berkaitan dengan jabatannya agar ia
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Serta penerimaan yang dilarang oleh
peraturan yang berlaku, kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan
penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar.
Gratifikasi merupakan akar dari
korupsi. Pada awalnya gratifikasi mungkin dianggap hanya sebagai tanda terima
kasih atas pelayanan yang diberikan, sehingga dianggap wajar, toh mungkin
nilainya juga tidak seberapa. Hanya sekedar uang rokok, atau uang lelah, dianggap
hal yang lumrah karena banyak juga orang lain yang menerimanya. Tetapi dari
sinilah bahaya korupsi itu bermula. Apabila sudah menjadi anggapan hal yang
wajar atau lumrah, maka suatu saat akan menjadi kebiasaan dan meningkat menjadi
suatu kewajiban, dimana pelayanan yang seharusnya diberikan secara gratis tidak
akan dilakukan tanpa adanya suatu pemberian gratifikasi. Bagi pegawai negeri
tersebut juga dapat menumbuhkan mental pengemis atau pemeras, serta
menghilangkan rasa malu. Bagi pribadi yang lain, kebaikan dari pemberi
gratifikasi akan menjadi investasi hutang budi. Seseorang yang sudah sering
menerima “kebaikan gratifikasi” dari orang lain, suatu saat bisa merasa tidak
enak untuk tidak memberikan bantuan yang mungkin melanggar hukum atau peraturan.
Penerimaan gratifikasi akan mendorong seorang penyelenggara negara atau pegawai
negeri untuk bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional.
Sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Seorang penyelenggara negara atau
pegawai negeri telah menerima gaji dari negara untuk melakukan tugas-tugasnya,
termasuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga tidak sepantasnya
seorang pejabat publik atau pegawai negeri itu menerima pemberian atas pelayanan
yang mereka berikan. Apabila suatu pelayanan tersebut dikenakan biaya, maka
pemungutan biaya tersebut harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikelola
dengan benar (ada tanda terima/kuitansi) dan disetorkan ke kas negara. Seseorang
tidak berhak meminta dan mendapatkan sesuatu melebihi haknya sekedar ia
melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya.
Bentuk rasionalisasi dalam menerima
gratifikasi diantaranya adalah sekedar tanda terima kasih, pemberian cuma-cuma,
dikasih secara ikhlas, cuma uang receh, proyeknya sudah selesai, budaya
ketimuran, semua orang di setiap instansi menerima, tidak ada kerugian keuangan
negara, dianjurkan dalam agama saling memberi hadiah, dan lain-lain. Padahal
disadari atau tidak, akibat dari seringnya menerima gratifikasi tersebut akan
menambah beban hutang budi dan beban atas kewenangan yang dimiliki oleh pegawai
tersebut. Senilai uang yang diterima, maka sebesar itu pula harga diri dari
pegawai tersebut dimata pemberi gratifikasi.
Apabila kita melakukan perjalanan
dinas pada suatu instansi di daerah, dan saat pulang diberi oleh-oleh khas
daerah tersebut atau oleh-oleh dalam bentuk apapun, maka itu juga termasuk gratifikasi.
Pemberian oleh-oleh kepada pejabat dari suatu instansi, maka ada kemungkinan adanya
penyalahgunaan anggaran negara. Karena tidak ada alokasi anggaran untuk itu,
maka bisa jadi ada manipulasi anggaran agar bisa memberikan oleh-oleh tersebut,
atau berasal dari sumber yang tidak halal. Dengan menolak oleh-oleh maka bisa
memutus mata rantai penyalahgunaan anggaran, perbuatan curang dan pemerasan. Demikian
juga halnya dengan kegiatan pegawai yang tidak terkait dengan tusi, seperti
pisah sambut atau perpisahan pegawai yang mutasi. Penyelenggaraan kegiatan
tersebut tidak boleh menggunakan anggaran negara. Apabila akan dilaksanakan
acara perpisahan pegawai maka harus menggunakan dana pribadi, termasuk dalam hal
ada pemberian tanda mata, tidak boleh menggunakan anggaran negara. Laksanakan
secara sederhana dengan uang pribadi pegawai atau tidak perlu dilaksanakan. Anggaran
negara tidak ada yang dialokasikan untuk kegiatan selain tusi, tidak untuk
kegiatan atas nama kebersamaan pegawai.
Mantan Jaksa Agung, Baharudin Lopa
pernah mengatakan bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah, karena ia memiliki
gaji, yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah. Gratifikasi itu
menular, dan membentuk circle yang
korup dan terus berulang menjadi siklus berkepanjangan. “Banyak yang salah
jalan tetapi merasa tenang karena banyak yang sama-sama salah. Beranilah menjadi
benar walaupun sendirian” Baharudin Lopa.
Budaya anti gratifikasi harus terus
digaungkan pada setiap instansi pemerintah, agar dapat terwujud birokrasi yang
bersih dan bebas dari korupsi. Implementasi budaya anti gratifikasi harus
mendapat dukungan dan komitmen yang kuat dari unsur pimpinan, pejabat, dan seluruh
pegawai pada instansi tersebut, serta dicanangkan dihadapan stakeholder dan
masyarakat umum, serta di publikasikan pada media massa atau media sosial. Implementasi
budaya tersebut pun harus terus dijaga dan dipelihara sepanjang tahun, sehingga
menjadi habit, kebiasaan yang seharusnya terjadi dalam kehidupan kita. Menurut
hemat penulis budaya anti gratifikasi dapat dibangun secara efektif melalui
pencanangan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih
dan Melayani (ZI WBK/WBBM).
(tulisan
ini merupakan rangkuman dari Webinar yang diselenggarakan oleh KPKNL Ambon pada
peringatan hari anti korupsi sedunia (HAKORDIA) 10 Desember 2021 dengan
Narasumber Muhammad Indra Furqon, Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik
KPK)