Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Ternate > Artikel
Membangun Budaya Anti Gratifikasi
Wagino
Senin, 13 Desember 2021   |   1814 kali

Berdasarkan hasil survei partisipasi publik pada Tahun 2019 diketahui bahwa hanya 37 persen dari responden masyarakat yang mengetahui istilah gratifikasi, dan hanya 13 persen responden dari segmen pemerintah yang pernah melaporkan gratifikasi. Masih di tahun yang sama, berdasarkan survei penilaian integritas pada 27 Kementerian/Lembaga, 15 Pemerintah Provinsi, dan 85 Pemerintah Kabupaten/Kota, diperoleh hasil bahwa gratifikasi ada pada 91 persen instansi yang disurvei tersebut. Hal tersebut menunjukan istilah gratifikasi masih belum dipahami dengan benar dan dikenal secara luas oleh masyarakat, dan masih sedikit sekali orang atau instansi yang bersedia melaporkan adanya gratifikasi. Hal ini mungkin karena masalah gratifikasi masih dianggap sepele karena nilainya kecil, merepotkan, justru menganggap bersalah bila menerima dan melaporkan gratifikasi atau menganggap tidak penting.

Anti gratifikasi harus mulai dilakukan oleh diri kita sendiri, mulai dari saat ini juga, agar menjadi kebiasaan, sehingga lama kelamaan akan menjadi budaya bagi instansi pemerintah, masyarakat dan negara. Cara menerapkan anti gratifikasi tersebut sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu dengan menolak setiap pemberian gratifikasi atau apabila tidak dapat menolak karena tidak diberikan secara langsung atau alasan lainnya adalah menerima dan melaporkan gratifikasi tersebut. Langkah pertama dan yang lebih utama apabila ada pihak yang memberikan gratifikasi adalah dengan menolak secara langsung, secara tegas, dan jelas, namun dilakukan secara sopan. Terutama terhadap gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan, berlawanan dengan kewajiban dan tugas, diserahkan secara langsung, dan terdapat konflik kepentingan. Alangkah baiknya apabila dalam menolak gratifikasi tersebut kita bisa menyampaikan himbauan kepada pemberi gratifikasi tersebut untuk tidak lagi memberikan gratifikasi kepada siapapun dalam memperoleh layanan pada instansi pemerintah. Apabila karena sesuatu hal pemberian gratifikasi tersebut tidak dapat ditolak, misalnya pemberi gratifikasi menyerahkan melalui orang lain (satpam, atau petugas front office, pengemudi atau keluarga) atau bersikukuh untuk memberikan sesuatu walaupun sudah ditolak, maka pemberian gratifikasi tersebut dapat (terpaksa) diterima, namun gratifikasi tersebut harus dilaporkan maksimal dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengertian Gratifikasi adalah suatu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, yang diberikan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berkaitan dengan jabatannya yang berlawanan dengan kewajibannya. Pemberian bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri ini patut diduga berkaitan dengan jabatannya agar ia melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Serta penerimaan yang dilarang oleh peraturan yang berlaku, kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar.

Gratifikasi merupakan akar dari korupsi. Pada awalnya gratifikasi mungkin dianggap hanya sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang diberikan, sehingga dianggap wajar, toh mungkin nilainya juga tidak seberapa. Hanya sekedar uang rokok, atau uang lelah, dianggap hal yang lumrah karena banyak juga orang lain yang menerimanya. Tetapi dari sinilah bahaya korupsi itu bermula. Apabila sudah menjadi anggapan hal yang wajar atau lumrah, maka suatu saat akan menjadi kebiasaan dan meningkat menjadi suatu kewajiban, dimana pelayanan yang seharusnya diberikan secara gratis tidak akan dilakukan tanpa adanya suatu pemberian gratifikasi. Bagi pegawai negeri tersebut juga dapat menumbuhkan mental pengemis atau pemeras, serta menghilangkan rasa malu. Bagi pribadi yang lain, kebaikan dari pemberi gratifikasi akan menjadi investasi hutang budi. Seseorang yang sudah sering menerima “kebaikan gratifikasi” dari orang lain, suatu saat bisa merasa tidak enak untuk tidak memberikan bantuan yang mungkin melanggar hukum atau peraturan. Penerimaan gratifikasi akan mendorong seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri untuk bersikap tidak obyektif, tidak adil, dan tidak profesional. Sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

Seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri telah menerima gaji dari negara untuk melakukan tugas-tugasnya, termasuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga tidak sepantasnya seorang pejabat publik atau pegawai negeri itu menerima pemberian atas pelayanan yang mereka berikan. Apabila suatu pelayanan tersebut dikenakan biaya, maka pemungutan biaya tersebut harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, dikelola dengan benar (ada tanda terima/kuitansi) dan disetorkan ke kas negara. Seseorang tidak berhak meminta dan mendapatkan sesuatu melebihi haknya sekedar ia melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab dan kewajibannya.

Bentuk rasionalisasi dalam menerima gratifikasi diantaranya adalah sekedar tanda terima kasih, pemberian cuma-cuma, dikasih secara ikhlas, cuma uang receh, proyeknya sudah selesai, budaya ketimuran, semua orang di setiap instansi menerima, tidak ada kerugian keuangan negara, dianjurkan dalam agama saling memberi hadiah, dan lain-lain. Padahal disadari atau tidak, akibat dari seringnya menerima gratifikasi tersebut akan menambah beban hutang budi dan beban atas kewenangan yang dimiliki oleh pegawai tersebut. Senilai uang yang diterima, maka sebesar itu pula harga diri dari pegawai tersebut dimata pemberi gratifikasi.

Apabila kita melakukan perjalanan dinas pada suatu instansi di daerah, dan saat pulang diberi oleh-oleh khas daerah tersebut atau oleh-oleh dalam bentuk apapun, maka itu juga termasuk gratifikasi. Pemberian oleh-oleh kepada pejabat dari suatu instansi, maka ada kemungkinan adanya penyalahgunaan anggaran negara. Karena tidak ada alokasi anggaran untuk itu, maka bisa jadi ada manipulasi anggaran agar bisa memberikan oleh-oleh tersebut, atau berasal dari sumber yang tidak halal. Dengan menolak oleh-oleh maka bisa memutus mata rantai penyalahgunaan anggaran, perbuatan curang dan pemerasan. Demikian juga halnya dengan kegiatan pegawai yang tidak terkait dengan tusi, seperti pisah sambut atau perpisahan pegawai yang mutasi. Penyelenggaraan kegiatan tersebut tidak boleh menggunakan anggaran negara. Apabila akan dilaksanakan acara perpisahan pegawai maka harus menggunakan dana pribadi, termasuk dalam hal ada pemberian tanda mata, tidak boleh menggunakan anggaran negara. Laksanakan secara sederhana dengan uang pribadi pegawai atau tidak perlu dilaksanakan. Anggaran negara tidak ada yang dialokasikan untuk kegiatan selain tusi, tidak untuk kegiatan atas nama kebersamaan pegawai.

Mantan Jaksa Agung, Baharudin Lopa pernah mengatakan bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah, karena ia memiliki gaji, yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah. Gratifikasi itu menular, dan membentuk circle yang korup dan terus berulang menjadi siklus berkepanjangan. “Banyak yang salah jalan tetapi merasa tenang karena banyak yang sama-sama salah. Beranilah menjadi benar walaupun sendirian” Baharudin Lopa.

Budaya anti gratifikasi harus terus digaungkan pada setiap instansi pemerintah, agar dapat terwujud birokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi. Implementasi budaya anti gratifikasi harus mendapat dukungan dan komitmen yang kuat dari unsur pimpinan, pejabat,   dan seluruh pegawai pada instansi tersebut, serta dicanangkan dihadapan stakeholder dan masyarakat umum, serta di publikasikan pada media massa atau media sosial. Implementasi budaya tersebut pun harus terus dijaga dan dipelihara sepanjang tahun, sehingga menjadi habit, kebiasaan yang seharusnya terjadi dalam kehidupan kita. Menurut hemat penulis budaya anti gratifikasi dapat dibangun secara efektif melalui pencanangan Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (ZI WBK/WBBM).  

(tulisan ini merupakan rangkuman dari Webinar yang diselenggarakan oleh KPKNL Ambon pada peringatan hari anti korupsi sedunia (HAKORDIA) 10 Desember 2021 dengan Narasumber Muhammad Indra Furqon, Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini