Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Ternate > Artikel
Penerapan Kebijakan Virtual Account dan Budaya Cashless di Maluku Utara
Wagino
Selasa, 23 Maret 2021   |   1429 kali

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, pada saat ini terasa sangat absurd apabila masih ada lembaga baik swasta maupun pemerintah yang masih melakukan transaksi pembayaran  secara manual. Lima tahun yang lalu kita mungkin masih maklum bila ada kantor yang masih melakukan pembayaran gaji, honor, tunjangan dan sebagainya bagi para pegawainya secara manual. Bahkan, saat itu kita masih menemukan berita atau mendengar adanya perampokan gaji pegawai yang baru diambil dari bank. Sungguh merupakan risiko yang besar. Hal seperti itu, seharusnya tidak terjadi lagi pada era sekarang.

Pembayaran yang dilakukan secara manual, sangat berisiko akan terjadinya penyelewengan dan risiko keamanan. Pada zaman dahulu, sepertinya hal yang sudah jamak, apabila dalam pembayaran gaji/tunjungan/bonus dan lain sebagainya, maka akan ada “potongan administrasi” dari oknum bagian keuangan, atau kepala bagian dari kantor tersebut. Hal ini tentu merupakan salah satu bentuk dari penyelewengan, karena mengambil hak orang lain. Pembayaran secara manual juga akan menimbulkan kerepotan dengan uang kecil. Contoh peristiwa terbaru adanya penyelewengan sebagai akibat dari sistem manual adalah pemberian bantuan langsung pemerintah berupa paket sembako bagi masyarakat yang terdampak pandemic covid-19 beberapa waktu yang lalu. Orang yang jahat atau curang memang akan selalu mencari celah untuk melakukan kejahatan atau kecurangannya, namun hal tersebut akan dapat diminimalisir dengan penggunaan sistem yang baik, yaitu sistem yang terbuka dan transparan, yang meminimalkan adanya kontak fisik antara petugas atau pejabat dengan perusahaan peserta tender proyek.

Sejak tahun 2018, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) melalui Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018. Bahkan sistem pencatatan kependudukan kita telah dimulai secara eletronik jauh sebelumnya. Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) telah mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan rekening instansi pemerintah yang mendorong penggunaan rekening elektronik melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 182/PMK.05/2017 yang telah diubah dengan PMK Nomor 182/PMK.05/2018 tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian/Lembaga. Melalui Peraturan Presiden dan PMK tersebut, seharusnya Kementerian/Lembaga atau Satuan Kerja, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah telah melakukan pengelolaan rekening secara elektronik. Bahkan, kebijakan yang terbaru adalah mulai melakukan pembelanjaan keperluan kantor (DIPA) melalui market place.

Namun demikian, sampai dengan saat ini sepertinya masih sedikit instansi pemerintah yang telah melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini tercermin dari kegiatan Forum Silaturahim Kementerian Keuangan dengan Perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan secara informal pada awal bulan Maret 2021 yang lalu. Kegiatan ini dipimpin oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Maluku Utara Bapak Bayu Andy Prasetya, yang dihadiri oleh para perwakilan dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dan Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai (KPPBC) yang ada di Maluku Utara, serta perwakilan dari bank-bank BUMN yang ada di Maluku Utara. Penggunaan virtual account dan penggunaan marketplace untuk belanja dari anggaran pemerintah  masih sedikit jumlahnya. Beberapa Satuan Kerja yang sudah memiliki virtual account pun masih ada yang belum menggunakannya. Hal ini terjadi mungkin karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait kebijakan tersebut. Sebagai suatu kebijakan yang aplikatif, penggunaan virtual account dan pembelanjaan melalui marketplace mungkin akan lebih efektif apabila kebijakan tersebut menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Satuan Kerja. Tetapi masih banyak yang harus dipertimbangan apabila kebijakan tersebut menjadi suatu kewajiban. Seperti tersedianya perangkat infrastruktur yang memadai (jaringan internet yang handal, dukungan perangkat teknologi informasi, dan kemampuan sumber daya manusia yang menjalankannya).

Sementara untuk budaya penggunaan uang elektronik maupun uang digital, secara nasional terus mengalami peningkatan dari nilai transaksi dan jumlah penggunanya terutama di kota kota  besar.  Menurut data pada Bank Indonesia nilai transaksi uang elektronik pada April 2020 telah mencapai 16,7 triliun 1). Penggunaan uang elektronik semakin dipercaya dan lebih sesuai digunakan di era new normal saat ini, dimana kita dianjurkan untuk mengurangi adanya kontak fisik. Penggunaan uang elektronik pada sarana transportasi seperti jalan tol, commuterline, Mass Rapid Train(MRT), kereta api, dan busway di Jakarta telah membuat penggunanya merasa praktis dan nyaman, lebih cepat, mengurangi waktu antrian, dan kerepotan uang kembalian. Merebaknya toko-toko online, dan merchant-merchant yang menyediakan pembayaran secara elektronik juga telah meningkatkan penggunaan uang elektronik.

Sejarah penggunaan uang digital telah dimulai sejak tahun 2007, pada saat PT. Telkomsel mengeluarkan produk T-cash, yang diikuti dengan Indosat yang mengeluarkan Dompetku, XL mengeluarkan XL-Tunai 2). Selanjutnya muncul penyedia uang digital seperti Dana, Ovo, Go-pay dan lain sebagainya. T-cash selanjutnya melebur dengan Link-aja. Pihak perbankan pun telah mengeluarkan produk uang elektronik seperti Flash BCA, BNI TapCash, E-Money dari Bank Mandiri, dan Brizzy dari BRI dan lain sebagainya. Cukup banyak pilihan yang bisa diambil oleh masyarakat.

Namun demikian, penggunaan uang elektronik sepertinya  tidak begitu banyak penggunaannya di daerah, termasuk di Maluku Utara. Di sini tidak ada sarana transportasi yang mengharuskan pembayarannya menggunakan uang elektronik. Demikian juga dengan pusat perbelanjaan, dan merchant-merchant yang menggunakan pembayaran secara elektronik, jumlahnya masih sedikit. Salah satu instansi pemerintah di Kota Ternate yang telah menggunakan pembayaran elektronik adalah KPKNL Ternate, disana telah tersedia pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standart (QRIS), dan Electronic Data Capture (EDC), namun demikian penggunaannya masih belum optimal. Adanya kendala di berbagai lini, tentu menjadi tantangan bagi para pengusaha, dan pengambil kebijakan untuk menanganinya. Masih perlu dilakukan kampanye penggunaan uang elektronik di daerah. Mungkin bisa melalui bazar-bazar produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan produk yang sedang tren dikalangan anak muda, termasuk kuliner, yang cara pembayarannya harus dilakukan melalui uang elektronik atau uang digital. Tentu saja perlu ditambahkan adanya promosi dan diskon yang menarik.

(tulisan ini adalah pendapat pribadi, bukan sikap atau kebijakan dari institusi dimana penulis bekerja)

 

_______________

1.    1.   https://yoursay.suara.com/news/2020/10/21/143816/regulasi-kebijakan-cashless-dianggap-optimal-di-tengah-pandemi?page=all

2.    2.  https://yoursay.suara.com/news/2020/10/21/143816/regulasi-kebijakan-cashless-dianggap-optimal-di-tengah-pandemi?page=all

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini