Seiring dengan
perkembangan teknologi informasi, pada saat ini terasa sangat absurd apabila
masih ada lembaga baik swasta maupun pemerintah yang masih melakukan transaksi
pembayaran secara manual. Lima tahun
yang lalu kita mungkin masih maklum bila ada kantor yang masih melakukan
pembayaran gaji, honor, tunjangan dan sebagainya bagi para pegawainya secara
manual. Bahkan, saat itu kita masih menemukan berita atau mendengar adanya
perampokan gaji pegawai yang baru diambil dari bank. Sungguh merupakan risiko
yang besar. Hal seperti itu, seharusnya tidak terjadi lagi pada era sekarang.
Pembayaran yang
dilakukan secara manual, sangat berisiko akan terjadinya penyelewengan dan
risiko keamanan. Pada zaman dahulu, sepertinya hal yang sudah jamak, apabila
dalam pembayaran gaji/tunjungan/bonus dan lain sebagainya, maka akan ada
“potongan administrasi” dari oknum bagian keuangan, atau kepala bagian dari
kantor tersebut. Hal ini tentu merupakan salah satu bentuk dari penyelewengan,
karena mengambil hak orang lain. Pembayaran secara manual juga akan menimbulkan
kerepotan dengan uang kecil. Contoh peristiwa terbaru adanya
penyelewengan sebagai akibat dari sistem manual adalah pemberian bantuan
langsung pemerintah berupa paket sembako bagi masyarakat yang terdampak
pandemic covid-19 beberapa waktu yang lalu. Orang
yang jahat atau curang memang akan selalu mencari celah untuk melakukan
kejahatan atau kecurangannya, namun hal tersebut akan dapat diminimalisir
dengan penggunaan sistem yang baik, yaitu sistem yang terbuka dan transparan,
yang meminimalkan adanya kontak fisik antara petugas atau pejabat dengan perusahaan
peserta tender proyek.
Sejak tahun
2018, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang Sistem Pemerintahan
Berbasis Elektronik (SPBE) melalui Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018.
Bahkan sistem pencatatan kependudukan kita telah dimulai secara eletronik jauh
sebelumnya. Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) telah
mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan rekening instansi pemerintah yang
mendorong penggunaan rekening elektronik melalui Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 182/PMK.05/2017 yang telah diubah dengan PMK Nomor 182/PMK.05/2018
tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian/Lembaga. Melalui
Peraturan Presiden dan PMK tersebut, seharusnya Kementerian/Lembaga atau Satuan
Kerja, baik Pemerintah Pusat maupun Daerah telah melakukan pengelolaan rekening
secara elektronik. Bahkan, kebijakan yang terbaru adalah mulai melakukan
pembelanjaan keperluan kantor (DIPA) melalui market place.
Namun demikian, sampai dengan saat ini sepertinya masih sedikit instansi pemerintah yang telah melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini tercermin dari kegiatan Forum Silaturahim Kementerian Keuangan dengan Perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan secara informal pada awal bulan Maret 2021 yang lalu. Kegiatan ini dipimpin oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Maluku Utara Bapak Bayu Andy Prasetya, yang dihadiri oleh para perwakilan dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), dan Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai (KPPBC) yang ada di Maluku Utara, serta perwakilan dari bank-bank BUMN yang ada di Maluku Utara. Penggunaan virtual account dan penggunaan marketplace untuk belanja dari anggaran pemerintah masih sedikit jumlahnya. Beberapa Satuan Kerja yang sudah memiliki virtual account pun masih ada yang belum menggunakannya. Hal ini terjadi mungkin karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait kebijakan tersebut. Sebagai suatu kebijakan yang aplikatif, penggunaan virtual account dan pembelanjaan melalui marketplace mungkin akan lebih efektif apabila kebijakan tersebut menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap Satuan Kerja. Tetapi masih banyak yang harus dipertimbangan apabila kebijakan tersebut menjadi suatu kewajiban. Seperti tersedianya perangkat infrastruktur yang memadai (jaringan internet yang handal, dukungan perangkat teknologi informasi, dan kemampuan sumber daya manusia yang menjalankannya).
Sementara untuk
budaya penggunaan uang elektronik maupun uang digital, secara nasional terus
mengalami peningkatan dari nilai transaksi dan jumlah penggunanya terutama di
kota kota besar. Menurut data pada Bank Indonesia nilai
transaksi uang elektronik pada April 2020 telah mencapai 16,7 triliun 1).
Penggunaan uang elektronik semakin dipercaya dan lebih sesuai digunakan di era
new normal saat ini, dimana kita dianjurkan untuk mengurangi adanya kontak
fisik. Penggunaan uang elektronik pada sarana transportasi seperti jalan tol, commuterline, Mass Rapid Train(MRT), kereta api, dan busway di Jakarta telah membuat penggunanya merasa praktis dan nyaman,
lebih cepat, mengurangi waktu antrian, dan kerepotan uang kembalian. Merebaknya
toko-toko online, dan merchant-merchant
yang menyediakan pembayaran secara elektronik juga telah meningkatkan
penggunaan uang elektronik.
Sejarah penggunaan
uang digital telah dimulai sejak tahun 2007, pada saat PT. Telkomsel
mengeluarkan produk T-cash, yang
diikuti dengan Indosat yang mengeluarkan Dompetku, XL mengeluarkan XL-Tunai 2).
Selanjutnya muncul penyedia uang digital seperti Dana, Ovo, Go-pay dan lain
sebagainya. T-cash selanjutnya
melebur dengan Link-aja. Pihak perbankan pun telah
mengeluarkan produk uang elektronik seperti Flash
BCA, BNI TapCash, E-Money dari Bank Mandiri, dan Brizzy dari BRI dan lain sebagainya.
Cukup banyak pilihan yang bisa diambil oleh masyarakat.
Namun demikian,
penggunaan uang elektronik sepertinya tidak
begitu banyak penggunaannya di daerah, termasuk di Maluku Utara. Di sini tidak
ada sarana transportasi yang mengharuskan pembayarannya menggunakan uang
elektronik. Demikian juga dengan pusat perbelanjaan, dan merchant-merchant yang menggunakan pembayaran secara elektronik,
jumlahnya masih sedikit. Salah satu instansi pemerintah di Kota Ternate yang
telah menggunakan pembayaran elektronik adalah KPKNL Ternate, disana telah
tersedia pembayaran melalui Quick
Response Code Indonesian Standart (QRIS), dan Electronic Data Capture (EDC), namun demikian penggunaannya masih
belum optimal. Adanya kendala di berbagai lini, tentu menjadi tantangan bagi
para pengusaha, dan pengambil kebijakan untuk menanganinya. Masih perlu
dilakukan kampanye penggunaan uang elektronik di daerah. Mungkin bisa melalui
bazar-bazar produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan produk yang sedang
tren dikalangan anak muda, termasuk kuliner, yang cara pembayarannya harus
dilakukan melalui uang elektronik atau uang digital. Tentu saja perlu
ditambahkan adanya promosi dan diskon yang menarik.
(tulisan ini adalah pendapat
pribadi, bukan sikap atau kebijakan dari institusi dimana penulis bekerja)
_______________