PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah
merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia. Sumber daya
tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala
lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai
bangsa. Tanah itu sendiri memberikan manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek
kehidupan kepada pemiliknya, baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk
dalam hubungannya dengan pembangunan.
Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan
akan tanah merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah sebagai salah satu
langkah untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pengaturan mengenai tanah merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan
bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dalam artian negara
memiliki kewenangan mengatur dan mengelola tanah karena tanah adalah bagian
dari bumi yang mana harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Seiring dengan
tingginya laju pertumbuhan penduduk,
penggunaan akan tanah dan ruang juga semakin meningkat karena manusia
membutuhkan ruang untuk mereka hidup dan beraktivitas. Hal demikian bila tidak dikendalikan sejak dini, maka akan
terjadi lingkungan yang tidak teratur. Keadaan seperti ini perlu segera
diantisipasi, karena pada perkembangan selanjutnya akan banyak menimbulkan
permasalahan yang sangat kompleks, tidak saja menyangkut masalah fisik, namun
juga menyangkut masalah non fisik.
Sebagai contoh, hal tersebut dapat
dilihat dari semakin kompleksnya permasalahan pertanahan di daerah perkotaan.
Wilayah perkotaan memiliki luas yang relatif tetap, sementara kebutuhan akan tanah semakin
meningkat. Banyaknya kepentingan berbagai pihak dalam pemanfaatan ruang di kawasan
perkotaan juga menambah rumitnya permasalahan penataan ruang di kawasan
perkotaan. Kelemahan dalam manajemen perkotaan kemudian secara tidak langsung
akan menyebabkan timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan
untuk pemukiman, tumbuh dan berkembangnya penguasaan dan pemilikan tanah serta
pemanfaatan tanah secara liar atau tidak sah, perkampungan kumuh (slum area),
dan sebagainya.
Dengan begitu, menunjukkan perlu
adanya suatu sistem pengaturan mengenai penguasaan dan
pemanfaatan tanah secara optimal guna meningkatkan
efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan melalui konsolidasi
tanah sehingga dapat dijadikan sebagai solusi
alternatif bagi pihak pemerintah untuk mewujudkan fungsi sosial tanah serta kualitas lingkungan perkotaan yang
tertib dan tertata rapi. Salah satu cara dalam mencapai hal tersebut yaitu melalui kegiatan
konsolidasi tanah. Konsolidasi Tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai
penataan kembali, penguasaan tanah serta usaha pengadaaan tanah untuk
kepentingan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup
atau pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi aktif
masyarakat.
Konsolidasi tanah yang sebagian besar dilakukan adalah konsolidasi tanah perkotaan, karena di
kawasan perkotaan banyak ditemukan pemanfataan tanah yang tidak tertib dan
merupakan daerah padat pemukiman. Konsep konsolidasi tanah perkotaan merupakan
suatu kegiatan menata tanah yang tidak beraturan sehingga lebih teratur dengan
menggeser, menggabungkan, memecahkan, menghapuskan, dan mengubah hak yang
dimiliki terhadap tanah baik di daerah perkotaan atau pinggiran kota dalam
konteks pemekaran serta penataan permukiman meliputi fasilitas sosial dan umum
yang diperlukan oleh pemilik tanah yang sesuai Rencana Umum Tata Ruang Kota
serta Daerah melalui partisipasi aktif dari masyarakat.
B. Rumusan Masalah
I. Bagaimana sistem pelaksanaan
konsolidasi tanah sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas
pemanfaatan tanah perkotaan?
II. Apa saja yang menjadi hambatan dalam
pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan?
C. Pembahasan
I. Pelaksanaan
Konsolidasi Tanah Sebagai Upaya Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas
Pemanfaatan Tanah Perkotaan
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah,
bahwa konsolidasi tanah memiliki tujuan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara
optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah, dan
memiliki sasaran yaitu terwujudnya suatu tatanan penguasaan serta penggunaan
tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya dalam rangka tata
tertib pertanahan. Untuk itu perlu
adanya penataan kembali seluruh aspek yang meliputi:
a. Penataan kembali aspek yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan,
pengadaan dan penggunaan tanah, di mana tidak hanya berfokus pada penataan dan
penerbitan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi termasuk juga hubungan
hukum antara pemilik tanah dengan tanahnya;
b. Penataan kembali aspek yang
berkaitan dengan penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata ruang maupun
tata guna tanah;
c. Penataan kembali aspek yang
berkaitan dengan penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan prasarana dan
fasilitas umum yang diperlukan;
d. Penataan kembali aspek yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber
daya alam.
Pelaksanaan konsolidasi tanah itu sendiri terdiri dari
mendaftarkan subjek dan objek tanah, pengukuran bidang tanah, serta pemetaan
topografi dan penggunaan tanah. Hasil pendaftaran tersebut selanjutnya
dijadikan dasar untuk pembuatan desain blok, yang kemudian dibawa dalam
musyawarah bersama masyarakat.
Konsolidasi tanah mengenal adanya 2 (dua) sistem
pelaksanaan yang terdiri dari:
a. Sistem Sukarela
Sistem sukarela dapat dilakukan apabila telah diperolehnya suatu
persetujuan dari pemilik tanah di wilayah yang akan dikonsolidasi. Sistem
sukarela diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang menyatakan bahwa
konsolidasi tanah dapat dilakukan setidaknya 85 persen dari pemilik tanah
dimana luas tanah tersebut mencakup sekurang-kurangnya 85 persen dari luas
seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuan.
Penerapan sistem sukarela dalam konsolidasi tanah akan menimbulkan
keuntungan bagi pemilik tanah berupa:
1. Pemilik tanah dapat secara
langsung menikmati peningkatan nilai tanah;
2. Akan terbentuk
petak-petak tanah yang teratur dan menghadap ke jalan serta meningkatkan
efisiensi penggunaan tanah;
3. Mempermudah
terciptanya lingkungan hidup yang lebih baik;
4. Realisasi
pembangunan prasarana umum akan lebih cepat;
5. Mengurangi adanya
pihak-pihak yang dirugikan seperti yang biasa terjadi dalam pembangunan sistem
konvensional;
6. Dapat mewujudkan
administrasi pertanahan yang tertib karena setiap bidang tanah secara langsung
diterbitkan haknya saat pemberian sertifikat tanah.
b. Sistem Wajib
Dasar pelaksanaan sistem wajib adalah
ikatan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk itu. Prinsip yang dianut
dalam pelaksanaan konsolidasi tanah adalah prinsip penyediaan tanah untuk
pembangunan prasarana berupa jalan serta fasilitas umum lainnya tanpa melalui
pembebasan tanah. Dimana, penyediaan tanah tersebut diperoleh melalui sumbangan
sebagian tanah dari pemiliknya yang disebut dengan istilah Sumbangan Wajib
Tanah untuk Pembangunan (SWTP). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi tanah.
Dalam menetapkan besarnya Sumbangan
Wajib tanah untuk Pembangunan (SWTP), lazimnya menggunakan sistem berdasarkan
perhitungan luas tanah; perhitungan nilai atau harga tanah serta perhitungan
campuran baik antara luas tanah dengan harga tanah. Berdasarkan Pasal 7 ayat
(1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah, bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah dengan sistem wajib pada
dasarnya dibiayai oleh pemilik tanah melalui sumbangan yang telah ditentukan
dalam Pasal 6. Sehingga terkait penyediaan tanah untuk kepentingan prasarana
jalan dan fasilitas umum lainnya melalui konsolidasi tanah dengan sistem wajib,
dapat dikembangkan alternatif kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan
jalur swadaya mayarakat, dimana pengadaan tanah prasarana dan fasilitas umum
lainnya serta pembangunannya dilakukan oleh warga masyarakat itu sendiri. Pemilihan
alternatif ini sangat ideal untuk diterapkan karena beban pemerintah akan
diringankan. Namun dalam pengembangannya, harus memerlukan landasan hukum yang
kuat bagi pelaksana yang berkaitan dengan sistem dan metode kerja dari
perencanaan sampai pelaksanaan pengawasan;
2. Kebijaksanaan jalur
campuran antara swadaya masyarakat dengan pemerintah, dimana pengadaan tanah
untuk prasarana dan kepentingan umum lainnya dilakukan oleh warga masyarakat
sendiri sementara pemerintah melaksanakan pembangunannya melalui APBN/APBD.
Pemilihan alternatif ini merupakan langkah awal untuk mewujudkan partisipasi
masyarakat secara penuh dalam melaksanakan konsolidasi tanah;
3. Kebijaksanaan jalur
campuran antara pemerintah dengan swadaya masyarakat yang dikaitkan dengan konsolidasi
tanah, di mana pemerintah yang melaksanakan pengadaan tanah dan pembangunannya
sementara tanah-tanah warga masyarakat yang langsung dapat memanfaatkan
prasarana, dilakukan konsolidasi. Alternatif ini dilaksanakan agar hasil dari
pembangunan prasarana yang dibangun oleh pemerintah dapat langsung dimanfaatkan
oleh masyarakat;
4. Kebijaksanaan
khusus pada tanah-tanah objek landreform, dimana tanah untuk prasarana
dan fasilitas umum serta bidang tanah yang dikonsolidasikan adalah tanah yang
langsung dikuasai oleh negara sebagai objek dari landreform tersebut.
Alternatif ini dikembangkan dalam mengatur penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah
sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
Dalam upaya peningkatan efisiensi dan
produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan secara optimal di kawasan perkotaan,
maka dilakukan pembangunan melalui pemilihan lokasi yang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang Kota harus memperhatikan kondisi lingkungan, dan kemampuan serta
keinginan para pemilik tanah sebagai peserta konsolidasi. Oleh karena itu,
wilayah yang dapat dijadikan sasaran konsolidasi tanah meliputi:
a. Wilayah yang
direncanakan menjadi kota atau pemukiman baru, di mana bentuk konsolidasi tanah
dilakukan secara swadaya berupa kapling-kapling tanah matang (KTM) oleh developer
yang akan membangun pemukiman baru di wilayah tersebut, serta developer juga
dapat menjual dalam bentuk KTM maupun lengkap dengan rumahnya;
b. Wilayah yang sudah
mulai tumbuh, di mana pada umumnya tanah ini berlokasi di pinggiran kota yang
sudah dihuni oleh kaum urban;
c. Wilayah pemukiman
yang tumbuh pesat, di mana pemukiman tersebut tumbuh dengan pola persil tanah
yang tidak teratur sehingga mempunyai kesulitan untuk menjangkau atau mengakses
prasarana dan fasilitas umum lainnya;
d. Wilayah yang
relatif kosong, di mana dalam perkembangannya dapat dimungkinkan untuk
dikembangkan;
e. Wilayah yang
sebelumnya merupakan wilayah bencana alam maupun sosial, di mana untuk
membangun kembali diperlukan renovasi/rekonstruksi.
Bentuk peningkatan efisiensi dan
produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan dari sasaran konsolidasi tanah yaitu
dengan merealisasikan prasarana dan fasilitas umum yang diperlukan masyarakat
seperti jalan, jalur hijau, pengairan, dan lain-lain sehingga memungkinkan
tercapainya optimalisasi terhadap efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah
perkotaan yang juga menunjang efektivitas percepatan pembangunan dan
pengembangan kota yang sesuai rencana tata ruang. Selain itu, nilai tanah juga
mengalami peningkatan karena wilayah tanah tersebut telah dikapling secara
teratur dan dilengkapi dengan fasilitas umum.
II. Hambatan dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan
Konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Permasalahannya, untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang di kawasan
yang ditetapkan adalah adanya hak-hak atas tanah perorangan atau badan hukum
perdata. Terdapat batas kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia dengan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah berkaitan dengan
rencana tata ruang.
Pembebasan
tanah untuk rencana tata ruang yang lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat
tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang berarti memindahkan
mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan umum. Penetapan tersebut
akan mengakibatkan terjadi pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang
mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya
sendiri. Dikeluarkannya instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota
tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah, menimbulkan pertanyaan apa
hambatan-hambatan yang terjadi dalam rangka konsolidasi tanah sebagai
alternatif penyediaan tanah untuk pembangunan sarana umum dan fasilitas umum.
Hambatan-hambatan
yang dimaksud, antara lain:
1. Hambatan dari Pemilik
Tanah
Salah
satu persyaratan
penetapan obyek konsolidasi tanah adalah adanya kesediaan pemilik tanah untuk
menyepakati pelaksanaan konsolidasi tanah. Kesepakatan melahirkan perjanjian.
Perjanjian menimbulkan perikatan, dan perikatan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum diatur dalam hukum perjanjian. Untuk mencapai hal tersebut,
langkah yang ditempuh Kantor Pertanahan Kabupaten/kota sebagai pelaksana
konsolidasi tanah adalah melakukan penyuluhan untuk mendapatkan persetujuan
dari pemilik tanah.
Adapun
materi penyuluhannya yaitu:
a) kegiatan
konsolidasi tanah secara umum;
b) manfaat
konsolidasi tanah bagi peserta;
c) sumbangan peserta dalam konsolidasi tanah berupa Sumbangan Tanah
Untuk Pelaksanaan (STUP);
d) susunan organisasi pelaksana konsolidasi tanah;
e) dan lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konsolidasi
tanah.
Perjanjian
diatur dalam Pasal 1338 BW bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan–persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Merujuk
Pasal 1338 BW, menurut hukum perdata, tanpa persetujuan pemilik tanah untuk
melepaskan hak atas tanahnya, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun tidak bisa menggunakan
kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah. Di sisi lain,
Bupati/Walikota tidak mempunyai wewenang mengatur di bidang pertanahan, hanya
berwenang menetapkan lokasi konsolidasi tanah. Bupati/Walikota bisa menetapkan
lokasi konsolidasi tanah tetapi tidak bisa melaksanakan keputusan tersebut
apabila tidak ada persetujuan dari pemilik tanah. Dengan demikian, peran serta
(inspraak) atau persetujuan pemilik tanah dalam konsolidasi tanah menentukan.
2. Masalah dari Pemerintah
Daerah
Masalah
dari pemerintah daerah dalam konsolidasi tanah adalah wewenang yang terbatas
karena pembatasan hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota. Percampuran
antara wewenang Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan dalam menetapkan
lokasi konsolidasi tanah dengan tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi
dalam konsolidasi tanah. Penggunaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1991 dalam konsolidasi tanah membuka peluang yang besar
terjadinya gugatan dari pemilik tanah atau badan hukum perdata.
Selain
kendala yang dihadapi pemerintah seperti yang disebutkan di atas, permasalahan
juga terjadi pada penetapan kapling tanah yang sulit dilakukan karena belum
semua peserta konsolidasi menyetujui dilakukan konsolidasi terhadap tanahnya
sehingga pengukuran dan penataan persil tanah juga sulit untuk dilakukan dan
masih ada masyarakat tidak menerima hasil penataan tanah awal, pendanaan yang
kurang memadai serta masih adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk
mendapatkan tanah pada lokasi strategis.
Banyaknya
pemilik tanah mengeluhkan tentang batas-batas tanahnya setelah penataan karena
kurangnya penjelasan dari pemerintah, tidak jelasnya batas-batas tanah dari
pemilik tanah menimbulkan persengketaan antara sesama pemilik tanah sehingga
sebagian pemilik tanah lebih cenderung mempertahankan batas-batas tanahnya
sebelum konsolidasi.
Kalaupun
mereka telah mengetahui tentang batas-batas tanahnya setelah konsolidasi tetapi
masih ada pemilik tanah yang lain tidak mau menyerahkan tanahnya setelah hasil
dari konsolidasi karena merasa masih berhak atas tanah tersebut dan merasa
berat untuk menerima pengurangan atas tanahnya. Inilah salah satu yang menjadi
permasalahan kenapa sampai sekarang pelaksanaan konsolidasi tanah ini tidak
kunjung selesai.
D. Penutup
Simpulan
Dari penjalasan yang sudah dibahas, konsolidasi tanah memiliki
tujuan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan
efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah serta bertujuan mewujudkan tatanan
penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan
fungsinya.
Dari segi pelaksanaan konsolidasi tanah itu sendiri
yang terdiri dari mendaftarkan subjek dan objek tanah, pengukuran bidang tanah,
serta pemetaan topografi dan penggunaan tanah. Kemudian hasil pendaftaran
tersebut akan dijadikan dasar pembuatan desain blok. Dalam pelaksanaannya
Konsolidasi tanah sendiri memiliki 2 (dua) sistem yaitu sistem sukarela yang
dimana telah diperolehnya persetujuan setidaknya 85 persen dari pemilik tanah.
Kemudian juga terdapat sistem wajib yang dimana
pelaksanaan konsolidasi tanah mengikat peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang dimana prinsip yang dianut adalah prinsip penyediaan tanah untuk
pembangunan prasarana berupa jalan serta fasilitas umum lainnya tanpa melalui
pembebasan tanah yang mana diperoleh melalui sumbangan sebagian tanah dari
pemiliknya yang disebut dengan istilah Sumbangan Wajib Tanah untuk Pembangunan
(SWTP).
Dari beberapa sistem pelaksanaan konsolidasi tanah
tersebut, masih sering terjadinya hambatan-hambatan yang membatasi rencana tata
ruang perkotaan seperti adanya batas kewenangan antara Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia dengan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah
berkaitan dengan rencana tata ruang. Hal itu menngakibatkan terjadinya
pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau
badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Kemudian juga
terdapat hambatan dari pemilik tanah serta dari pemerintah daerah itu sendiri,
yang dimana salah satu syarat obyek konsolidasi adalah adanya kesediaan pemilik
tanah untuk menyepakati pelaksanaan konsolidasi tanah, dan tanpa persetujuan
pemilik tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya, Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun
tidak bisa menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah dan
di sisi lain Bupati/Walikota juga tidak mempunyai kewenangan mengatur di bidang
pertanahan.
Hambatan dari pemerintah daerah yaitu wewenang yang
terbatas karena pembatasan hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota,
kemudian juga sering terjadi permasalahan pada penetapan kapling tanah yang
sulit dilakukan karena belum semua peserta konsolidasi menyetujui dilakukan
konsolidasi terhadap tanahnya sehingga pengukuran dan penataan persil tanah
juga sulit untuk dilakukan dan masih ada
masyarakat tidak menerima hasil penataan tanah awal, pendanaan yang kurang
memadai serta masih adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mendapatkan
tanah pada lokasi strategis.
Saran
Untuk mengatasi beberapa permasalahan yang terjadi
dalam pelaksanaan konsolidasi tanah, dengan meningkatkan 'budaya' partisipasi
masyarakat dengan mengembangkan roadmap dan skema pembiayaan yang menyesuaikan
karakter masyarakat setempat sehingga dari masyarakat sendiri tidak akan
keberatan dengan dilakukannya konsilidasi tanah. Pengembangan dan penerapan
program konsolidasi tanah di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang
sangat penting bagi pemerintah dan seluruh elemen-elemen yang terlibat. Apabila
program konsolidasi tanah ini berhasil diterapkan secara efektif, maka upaya
penyediaan perumahan bagi seluruh masyarakat Indonesia pun akan menjadi lebih
mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Hasni, 2010, Hukum
Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA-UUPR-UUPLH,
Rajawali Pers, Jakarta.
Sumardjono, Maria
S.W, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas,
Jakarta.
Waksito, dan Hadi
Arnowo, 2017, Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang, Kencana, Jakarta.
Jurnal
Rahayu, Desak Putri
Tri dan I Ketut Tjukup, 2018, Pengaturan Hukum Terhadap Penataan Ruang Di
Kota Denpasar Dalam Mengimplementasikan Fungsi Sosial Tanah dari Perspektif
Agraria, Jurnal Kerthanegara, Vol. 6 No. 2, diakses tanggal 19 September
2021.
Ariyani, Ni Made Desy dan I Wayan
Parsa, 2019, Konsolidasi Tanah Sebagai
Upaya Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Tanah Perkotaan
Secara Optimal, Jurnal Kerthanegara, Vol. 7 No. 4, diakses tanggal 19 September 2021.
Bustomi, Abuyazid dan Barhamudin,
2020, Konsolidasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Tanah untuk Pembangunan
Sarana dan Fasilitas Umum, Vol. 18 No. 1, diakses tanggal 19 September
2021.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
-----------------------------------------
Penulis : Christian Nova Putra