Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Sorong > Artikel
Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Sebagai Upaya Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Tanah Perkotaan
Ade Setiana
Jum'at, 22 April 2022   |   27558 kali

 

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia. Sumber daya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai bangsa. Tanah itu sendiri memberikan manfaat dan kegunaan dalam berbagai aspek kehidupan kepada pemiliknya, baik dalam aspek ekonomi, aspek sosial, termasuk dalam hubungannya dengan pembangunan.

Pada dasarnya, pemenuhan kebutuhan akan tanah merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah sebagai salah satu langkah untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengaturan mengenai tanah merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dalam artian negara memiliki kewenangan mengatur dan mengelola tanah karena tanah adalah bagian dari bumi yang mana harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, penggunaan akan tanah dan ruang juga semakin meningkat karena manusia membutuhkan ruang untuk mereka hidup dan beraktivitas. Hal demikian bila tidak dikendalikan sejak dini, maka akan terjadi lingkungan yang tidak teratur. Keadaan seperti ini perlu segera diantisipasi, karena pada perkembangan selanjutnya akan banyak menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks, tidak saja menyangkut masalah fisik, namun juga menyangkut masalah non fisik.

Sebagai contoh, hal tersebut dapat dilihat dari semakin kompleksnya permasalahan pertanahan di daerah perkotaan. Wilayah perkotaan memiliki luas yang relatif tetap, sementara kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Banyaknya kepentingan berbagai pihak dalam pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan juga menambah rumitnya permasalahan penataan ruang di kawasan perkotaan. Kelemahan dalam manajemen perkotaan kemudian secara tidak langsung akan menyebabkan timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, tumbuh dan berkembangnya penguasaan dan pemilikan tanah serta pemanfaatan tanah secara liar atau tidak sah, perkampungan kumuh (slum area), dan sebagainya.

Dengan begitu, menunjukkan perlu adanya suatu sistem pengaturan mengenai penguasaan dan pemanfaatan tanah secara optimal guna meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan melalui konsolidasi tanah sehingga dapat dijadikan sebagai solusi alternatif bagi pihak pemerintah untuk mewujudkan fungsi sosial tanah serta kualitas lingkungan perkotaan yang tertib dan tertata rapi. Salah satu cara dalam mencapai hal tersebut yaitu melalui kegiatan konsolidasi tanah. Konsolidasi Tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali, penguasaan tanah serta usaha pengadaaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup atau pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Konsolidasi tanah yang sebagian besar dilakukan adalah konsolidasi tanah perkotaan, karena di kawasan perkotaan banyak ditemukan pemanfataan tanah yang tidak tertib dan merupakan daerah padat pemukiman. Konsep konsolidasi tanah perkotaan merupakan suatu kegiatan menata tanah yang tidak beraturan sehingga lebih teratur dengan menggeser, menggabungkan, memecahkan, menghapuskan, dan mengubah hak yang dimiliki terhadap tanah baik di daerah perkotaan atau pinggiran kota dalam konteks pemekaran serta penataan permukiman meliputi fasilitas sosial dan umum yang diperlukan oleh pemilik tanah yang sesuai Rencana Umum Tata Ruang Kota serta Daerah melalui partisipasi aktif dari masyarakat.

 

 

B.   Rumusan Masalah

       I.  Bagaimana sistem pelaksanaan konsolidasi tanah sebagai upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan?

       II.  Apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan?

 

 

C.   Pembahasan

 

       I.   Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Sebagai Upaya Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Tanah Perkotaan

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, bahwa konsolidasi tanah memiliki tujuan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah, dan memiliki sasaran yaitu terwujudnya suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya dalam rangka tata tertib pertanahan. Untuk itu perlu adanya penataan kembali seluruh aspek yang meliputi:

a.    Penataan kembali aspek yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan, pengadaan dan penggunaan tanah, di mana tidak hanya berfokus pada penataan dan penerbitan bentuk fisik bidang-bidang tanah, tetapi termasuk juga hubungan hukum antara pemilik tanah dengan tanahnya;

b.    Penataan kembali aspek yang berkaitan dengan penyerasian pengguna tanah dengan rencana tata ruang maupun tata guna tanah;

c.    Penataan kembali aspek yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan prasarana dan fasilitas umum yang diperlukan;

d.    Penataan kembali aspek yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup atau konservasi sumber daya alam.

Pelaksanaan konsolidasi tanah itu sendiri terdiri dari mendaftarkan subjek dan objek tanah, pengukuran bidang tanah, serta pemetaan topografi dan penggunaan tanah. Hasil pendaftaran tersebut selanjutnya dijadikan dasar untuk pembuatan desain blok, yang kemudian dibawa dalam musyawarah bersama masyarakat.

Konsolidasi tanah mengenal adanya 2 (dua) sistem pelaksanaan yang terdiri dari:

a.    Sistem Sukarela

Sistem sukarela dapat dilakukan apabila telah diperolehnya suatu persetujuan dari pemilik tanah di wilayah yang akan dikonsolidasi. Sistem sukarela diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang menyatakan bahwa konsolidasi tanah dapat dilakukan setidaknya 85 persen dari pemilik tanah dimana luas tanah tersebut mencakup sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuan.

Penerapan sistem sukarela dalam konsolidasi tanah akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik tanah berupa:

       1.    Pemilik tanah dapat secara langsung menikmati peningkatan nilai tanah;

       2.    Akan terbentuk petak-petak tanah yang teratur dan menghadap ke jalan serta meningkatkan efisiensi penggunaan tanah;

       3.    Mempermudah terciptanya lingkungan hidup yang lebih baik;

       4.    Realisasi pembangunan prasarana umum akan lebih cepat;

       5.    Mengurangi adanya pihak-pihak yang dirugikan seperti yang biasa terjadi dalam pembangunan sistem konvensional;

       6.    Dapat mewujudkan administrasi pertanahan yang tertib karena setiap bidang tanah secara langsung diterbitkan haknya saat pemberian sertifikat tanah.

 

       b.  Sistem Wajib

Dasar pelaksanaan sistem wajib adalah ikatan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk itu. Prinsip yang dianut dalam pelaksanaan konsolidasi tanah adalah prinsip penyediaan tanah untuk pembangunan prasarana berupa jalan serta fasilitas umum lainnya tanpa melalui pembebasan tanah. Dimana, penyediaan tanah tersebut diperoleh melalui sumbangan sebagian tanah dari pemiliknya yang disebut dengan istilah Sumbangan Wajib Tanah untuk Pembangunan (SWTP). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi tanah.

Dalam menetapkan besarnya Sumbangan Wajib tanah untuk Pembangunan (SWTP), lazimnya menggunakan sistem berdasarkan perhitungan luas tanah; perhitungan nilai atau harga tanah serta perhitungan campuran baik antara luas tanah dengan harga tanah. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, bahwa pelaksanaan konsolidasi tanah dengan sistem wajib pada dasarnya dibiayai oleh pemilik tanah melalui sumbangan yang telah ditentukan dalam Pasal 6. Sehingga terkait penyediaan tanah untuk kepentingan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya melalui konsolidasi tanah dengan sistem wajib, dapat dikembangkan alternatif kebijaksanaan sebagai berikut:

       1.    Kebijaksanaan jalur swadaya mayarakat, dimana pengadaan tanah prasarana dan fasilitas umum lainnya serta pembangunannya dilakukan oleh warga masyarakat itu sendiri. Pemilihan alternatif ini sangat ideal untuk diterapkan karena beban pemerintah akan diringankan. Namun dalam pengembangannya, harus memerlukan landasan hukum yang kuat bagi pelaksana yang berkaitan dengan sistem dan metode kerja dari perencanaan sampai pelaksanaan pengawasan;

       2.    Kebijaksanaan jalur campuran antara swadaya masyarakat dengan pemerintah, dimana pengadaan tanah untuk prasarana dan kepentingan umum lainnya dilakukan oleh warga masyarakat sendiri sementara pemerintah melaksanakan pembangunannya melalui APBN/APBD. Pemilihan alternatif ini merupakan langkah awal untuk mewujudkan partisipasi masyarakat secara penuh dalam melaksanakan konsolidasi tanah;

       3.    Kebijaksanaan jalur campuran antara pemerintah dengan swadaya masyarakat yang dikaitkan dengan konsolidasi tanah, di mana pemerintah yang melaksanakan pengadaan tanah dan pembangunannya sementara tanah-tanah warga masyarakat yang langsung dapat memanfaatkan prasarana, dilakukan konsolidasi. Alternatif ini dilaksanakan agar hasil dari pembangunan prasarana yang dibangun oleh pemerintah dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat;

       4.    Kebijaksanaan khusus pada tanah-tanah objek landreform, dimana tanah untuk prasarana dan fasilitas umum serta bidang tanah yang dikonsolidasikan adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagai objek dari landreform tersebut. Alternatif ini dikembangkan dalam mengatur penguasaan pemilikan dan penggunaan tanah sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;

Dalam upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan secara optimal di kawasan perkotaan, maka dilakukan pembangunan melalui pemilihan lokasi yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kota harus memperhatikan kondisi lingkungan, dan kemampuan serta keinginan para pemilik tanah sebagai peserta konsolidasi. Oleh karena itu, wilayah yang dapat dijadikan sasaran konsolidasi tanah meliputi:

       a.    Wilayah yang direncanakan menjadi kota atau pemukiman baru, di mana bentuk konsolidasi tanah dilakukan secara swadaya berupa kapling-kapling tanah matang (KTM) oleh developer yang akan membangun pemukiman baru di wilayah tersebut, serta developer juga dapat menjual dalam bentuk KTM maupun lengkap dengan rumahnya;

       b.    Wilayah yang sudah mulai tumbuh, di mana pada umumnya tanah ini berlokasi di pinggiran kota yang sudah dihuni oleh kaum urban;

       c.    Wilayah pemukiman yang tumbuh pesat, di mana pemukiman tersebut tumbuh dengan pola persil tanah yang tidak teratur sehingga mempunyai kesulitan untuk menjangkau atau mengakses prasarana dan fasilitas umum lainnya;

       d.    Wilayah yang relatif kosong, di mana dalam perkembangannya dapat dimungkinkan untuk dikembangkan;

       e.    Wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah bencana alam maupun sosial, di mana untuk membangun kembali diperlukan renovasi/rekonstruksi.

Bentuk peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan dari sasaran konsolidasi tanah yaitu dengan merealisasikan prasarana dan fasilitas umum yang diperlukan masyarakat seperti jalan, jalur hijau, pengairan, dan lain-lain sehingga memungkinkan tercapainya optimalisasi terhadap efisiensi dan produktivitas pemanfaatan tanah perkotaan yang juga menunjang efektivitas percepatan pembangunan dan pengembangan kota yang sesuai rencana tata ruang. Selain itu, nilai tanah juga mengalami peningkatan karena wilayah tanah tersebut telah dikapling secara teratur dan dilengkapi dengan fasilitas umum.

 

       II.  Hambatan dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

Konsolidasi tanah tidak bisa dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Permasalahannya, untuk mewujudkan suatu rencana tata ruang di kawasan yang ditetapkan adalah adanya hak-hak atas tanah perorangan atau badan hukum perdata. Terdapat batas kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang.

Pembebasan tanah untuk rencana tata ruang yang lazimnya ditempuh oleh badan atau pejabat tata usaha negara adalah melalui pengadaan tanah yang berarti memindahkan mereka dengan suatu rencana peruntukan kepentingan umum. Penetapan tersebut akan mengakibatkan terjadi pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Dikeluarkannya instrumen hukum publik berupa Keputusan Bupati/Walikota tentang Penetapan Lokasi Konsolidasi Tanah, menimbulkan pertanyaan apa hambatan-hambatan yang terjadi dalam rangka konsolidasi tanah sebagai alternatif penyediaan tanah untuk pembangunan sarana umum dan fasilitas umum.

Hambatan-hambatan yang dimaksud, antara lain:

1.    Hambatan dari Pemilik Tanah

Salah satu persyaratan penetapan obyek konsolidasi tanah adalah adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyepakati pelaksanaan konsolidasi tanah. Kesepakatan melahirkan perjanjian. Perjanjian menimbulkan perikatan, dan perikatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum diatur dalam hukum perjanjian. Untuk mencapai hal tersebut, langkah yang ditempuh Kantor Pertanahan Kabupaten/kota sebagai pelaksana konsolidasi tanah adalah melakukan penyuluhan untuk mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah.

Adapun materi penyuluhannya yaitu:

       a)    kegiatan konsolidasi tanah secara umum;

       b)    manfaat konsolidasi tanah bagi peserta;

       c)    sumbangan peserta dalam konsolidasi tanah berupa Sumbangan Tanah Untuk Pelaksanaan (STUP);

       d)    susunan organisasi pelaksana konsolidasi tanah;

       e)    dan lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah.

Perjanjian diatur dalam Pasal 1338 BW bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan–persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Merujuk Pasal 1338 BW, menurut hukum perdata, tanpa persetujuan pemilik tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun tidak bisa menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah. Di sisi lain, Bupati/Walikota tidak mempunyai wewenang mengatur di bidang pertanahan, hanya berwenang menetapkan lokasi konsolidasi tanah. Bupati/Walikota bisa menetapkan lokasi konsolidasi tanah tetapi tidak bisa melaksanakan keputusan tersebut apabila tidak ada persetujuan dari pemilik tanah. Dengan demikian, peran serta (inspraak) atau persetujuan pemilik tanah dalam konsolidasi tanah menentukan.

2.    Masalah dari Pemerintah Daerah

Masalah dari pemerintah daerah dalam konsolidasi tanah adalah wewenang yang terbatas karena pembatasan hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota. Percampuran antara wewenang Bupati/Walikota dalam rencana tata ruang dan dalam menetapkan lokasi konsolidasi tanah dengan tugas Bupati/Walikota sebagai tim koordinasi dalam konsolidasi tanah. Penggunaan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 dalam konsolidasi tanah membuka peluang yang besar terjadinya gugatan dari pemilik tanah atau badan hukum perdata.

Selain kendala yang dihadapi pemerintah seperti yang disebutkan di atas, permasalahan juga terjadi pada penetapan kapling tanah yang sulit dilakukan karena belum semua peserta konsolidasi menyetujui dilakukan konsolidasi terhadap tanahnya sehingga pengukuran dan penataan persil tanah juga sulit untuk dilakukan dan masih ada masyarakat tidak menerima hasil penataan tanah awal, pendanaan yang kurang memadai serta masih adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mendapatkan tanah pada lokasi strategis.

Banyaknya pemilik tanah mengeluhkan tentang batas-batas tanahnya setelah penataan karena kurangnya penjelasan dari pemerintah, tidak jelasnya batas-batas tanah dari pemilik tanah menimbulkan persengketaan antara sesama pemilik tanah sehingga sebagian pemilik tanah lebih cenderung mempertahankan batas-batas tanahnya sebelum konsolidasi.

Kalaupun mereka telah mengetahui tentang batas-batas tanahnya setelah konsolidasi tetapi masih ada pemilik tanah yang lain tidak mau menyerahkan tanahnya setelah hasil dari konsolidasi karena merasa masih berhak atas tanah tersebut dan merasa berat untuk menerima pengurangan atas tanahnya. Inilah salah satu yang menjadi permasalahan kenapa sampai sekarang pelaksanaan konsolidasi tanah ini tidak kunjung selesai.

D.   Penutup 

       Simpulan

Dari penjalasan yang sudah dibahas, konsolidasi tanah memiliki tujuan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas penggunaan tanah serta bertujuan mewujudkan tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur sesuai kemampuan dan fungsinya.

Dari segi pelaksanaan konsolidasi tanah itu sendiri yang terdiri dari mendaftarkan subjek dan objek tanah, pengukuran bidang tanah, serta pemetaan topografi dan penggunaan tanah. Kemudian hasil pendaftaran tersebut akan dijadikan dasar pembuatan desain blok. Dalam pelaksanaannya Konsolidasi tanah sendiri memiliki 2 (dua) sistem yaitu sistem sukarela yang dimana telah diperolehnya persetujuan setidaknya 85 persen dari pemilik tanah.

Kemudian juga terdapat sistem wajib yang dimana pelaksanaan konsolidasi tanah mengikat peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dimana prinsip yang dianut adalah prinsip penyediaan tanah untuk pembangunan prasarana berupa jalan serta fasilitas umum lainnya tanpa melalui pembebasan tanah yang mana diperoleh melalui sumbangan sebagian tanah dari pemiliknya yang disebut dengan istilah Sumbangan Wajib Tanah untuk Pembangunan (SWTP).

Dari beberapa sistem pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut, masih sering terjadinya hambatan-hambatan yang membatasi rencana tata ruang perkotaan seperti adanya batas kewenangan antara Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan Bupati/Walikota dalam konsolidasi tanah berkaitan dengan rencana tata ruang. Hal itu menngakibatkan terjadinya pencabutan atau pembatasan hak atas tanah yang mengakibatkan seseorang atau badan hukum perdata kehilangan hak atas tanahnya sendiri. Kemudian juga terdapat hambatan dari pemilik tanah serta dari pemerintah daerah itu sendiri, yang dimana salah satu syarat obyek konsolidasi adalah adanya kesediaan pemilik tanah untuk menyepakati pelaksanaan konsolidasi tanah, dan tanpa persetujuan pemilik tanah untuk melepaskan hak atas tanahnya, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan di bidang pertanahan sekalipun tidak bisa menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan konsolidasi tanah dan di sisi lain Bupati/Walikota juga tidak mempunyai kewenangan mengatur di bidang pertanahan.

Hambatan dari pemerintah daerah yaitu wewenang yang terbatas karena pembatasan hak atas tanah bukan wewenang Bupati/Walikota, kemudian juga sering terjadi permasalahan pada penetapan kapling tanah yang sulit dilakukan karena belum semua peserta konsolidasi menyetujui dilakukan konsolidasi terhadap tanahnya sehingga pengukuran dan penataan persil tanah juga sulit untuk dilakukan  dan masih ada masyarakat tidak menerima hasil penataan tanah awal, pendanaan yang kurang memadai serta masih adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mendapatkan tanah pada lokasi strategis.

       Saran

Untuk mengatasi beberapa permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan konsolidasi tanah, dengan meningkatkan 'budaya' partisipasi masyarakat dengan mengembangkan roadmap dan skema pembiayaan yang menyesuaikan karakter masyarakat setempat sehingga dari masyarakat sendiri tidak akan keberatan dengan dilakukannya konsilidasi tanah. Pengembangan dan penerapan program konsolidasi tanah di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting bagi pemerintah dan seluruh elemen-elemen yang terlibat. Apabila program konsolidasi tanah ini berhasil diterapkan secara efektif, maka upaya penyediaan perumahan bagi seluruh masyarakat Indonesia pun akan menjadi lebih mudah.


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Buku

Hasni, 2010, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA-UUPR-UUPLH, Rajawali Pers, Jakarta.

Sumardjono, Maria S.W, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas, Jakarta.

Waksito, dan Hadi Arnowo, 2017, Pertanahan, Agraria, dan Tata Ruang, Kencana, Jakarta.

 

 

Jurnal

Rahayu, Desak Putri Tri dan I Ketut Tjukup, 2018, Pengaturan Hukum Terhadap Penataan Ruang Di Kota Denpasar Dalam Mengimplementasikan Fungsi Sosial Tanah dari Perspektif Agraria, Jurnal Kerthanegara, Vol. 6 No. 2, diakses tanggal 19 September 2021.

Ariyani, Ni Made Desy dan I Wayan Parsa, 2019, Konsolidasi Tanah Sebagai Upaya Meningkatkan Efisiensi dan Produktivitas Pemanfaatan Tanah Perkotaan Secara Optimal, Jurnal Kerthanegara, Vol. 7 No. 4, diakses tanggal 19 September 2021.

Bustomi, Abuyazid dan Barhamudin, 2020, Konsolidasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Tanah untuk Pembangunan Sarana dan Fasilitas Umum, Vol. 18 No. 1, diakses tanggal 19 September 2021.

 

 

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.



-----------------------------------------

Penulis : Christian Nova Putra

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini