Siapa sih yang tidak ingin
merasakan ketenangan dalam hidupnya? Semua orang pasti ingin merasa tenang.
Namun sayangnya, manusia lebih tertarik dengan “rumput tetangga”. Mereka sibuk
mengintip kehidupan orang lain yang justru berakhir dengan menyengsarakan diri
sendiri.
Ingatlah bahwa tidak ada kehidupan yang sempurna! Kita sering berpikir
bahwa orang lain memilki nasib dan jalan hidup yang lebih baik. Padahal setiap
manusia pasti memiliki luka. Hanya saja luka yang dirasakan setiap orang berbeda-beda.
Saya teringat kutipan yang menarik yaitu luasnya rumah tidak bisa
dijadikan ukuran kebahagiaan suatu keluarga. Begitu pula besarnya penghasilan
tidak bisa mengukur sifat seseorang. Kita terlalu sering menggunakan standar
kehidupan menggunakan angka. Memangnya semua hal bisa diukur dengan angka?
Tidak. Yang terpenting dalam hidup adalah menemukan hal-hal yang tidak perlu
dinilai dengan angka. Mulailah menjalani hidup dengan menghapus angka dari
kehidupan!
Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dinilai dengan angka. Misalnya,
bisa rutin berolahraga, membaca buku, dan tertawa bersama dengan orang yang
disayangi. Hal sederhana yang tidak bisa dinilai dengan angka tetapi itulah
yang benar-benar berarti di dalam kehidupan. Apresiasilah pengalaman-pengalaman sederhana tersebut!
Dua bulan yang lalu, saya menemukan sebuah filosofi yang menarik, yaitu
Filosofi Stoicism atau sering disebut juga Filosofi Stoa yang dikemukakan oleh
seorang filsuf dari Yunani Kuno. Saya sangat tertarik dengan istilah “Dikotomi
Kendali” yang dikemukakan oleh Zeno bahwa kita harus bisa membedakan hal apa
saja yang bisa dikendalikan dan hal apa saja yang tidak bisa dikendalikan.
Saya ingin sedikit bercerita tentang bagaimana saya dulu yang terlalu
fokus dengan hal yang tidak bisa dikendalikan. Tiga bulan yang lalu saya
menonton film Spiderman: No Way Home
di salah satu mall. Saya sangat antusias
sejak awal film tersebut ditayangkan. Namun, semua berubah setelah 15 menit
film dimulai. Tiba-tiba layar bioskop menjadi merah, hitam, dan tidak
beraturan.
Apa yang saya rasakan? Tentunya saya kesal dengan pihak bioskop. Rasa
kesal tersebut semakin memuncak saat pihak bioskop mengembalikan tiket kami.
Kami diberikan kompensasi boleh menonton di jam berbeda. Saya semakin jengkel
karena kursi yang tersedia tinggal di tiga deret paling depan. Di hari-hari
berikutnya, emosi tersebut telah terkompilasi dengan masalah lainnya yang
menyebabkan perubahan sikap pada diri saya sendiri.
Siapa yang rugi? Jelas saya sendiri yang rugi. Saya terlalu fokus dengan
kesalahan teknis dari pihak bioskop. Padahal kesalahan tersebut bukan salah
saya atau pun salah petugasnya. Kejadian itu adalah hal yang tidak bisa
dikendalikan oleh siapapun. Tidak ada yang mengira bahwa di hari Sabtu siang
tanggal 18 Desember 2021 di Auditorium 6 akan terjadi kesalahan teknis saat film
diputar.
Kesalahan fatal yang sering kita lakukan adalah langsung percaya dengan
emosi yang dirasakan dan menjadikan emosi itu menjadi kekal. Padahal, apa yang
kita rasakan saat ini belum tentu esok hari juga akan merasakan hal yang sama.
Boleh saja hari ini kita merasa bahagia, tetapi esok bisa aja bahagia itu
menjadi sirna. Emosi hanyalah plang penunjuk jalan bukan sebuah perintah.
Petunjuk untuk membantu menunjukkan sesuatu hal yang dapat dikatakan baik atau
buruk sehingga ke depannya kita tidak akan melakukan kesalahan yang sama di
masa depan.
Kita tidak dilarang untuk menghindari emosi negatif. Akan tetapi, emosi
negatif tersebut diekspresikan dengan suatu cara yang dapat diterima, yakni
dengan hal yang positif. Misalnya, berolahraga, memasak, atau bahkan bisa
dengan memukul guling. Kita berhak mengekspresikan emosi karena pada dasarnya
menyangkal emosi negatif sama saja mengekalkan sebuah masalah, bukan
menyelesaikan.
Rasa tenang berasal dari sendiri, bukan berasal dari keluarga atau orang lain. Kita sendiri yang memilih ingin hidup seperti apa. Tetap terikat dengan masa lalu atau mulai melangkah ke depan? Ingat bahwa kita hidup di masa sekarang bukan masa lalu. Terimalah masa lalumu! Jangan terus menghindar karena ketika kita berani menghadapinya maka di situlah titik awal yang baru sedang menunggu kita.
Sumber:
1.
Suhyun, Kim. 2016. Hidup Apa Adanya. Jakarta:
TransMedia Pustaka
2.
Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni untuk Bersikap
Bodo Amat. Jakarta: Gramedia
3.
Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras.
Jakarta: Kompas Media Nusantara