Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Samarinda > Artikel
Kendalikan Dirimu Sendiri Jika Ingin Hidup Tenang
Linta Atina Rahmah
Jum'at, 25 Februari 2022   |   23146 kali

Siapa sih yang tidak ingin merasakan ketenangan dalam hidupnya? Semua orang pasti ingin merasa tenang. Namun sayangnya, manusia lebih tertarik dengan “rumput tetangga”. Mereka sibuk mengintip kehidupan orang lain yang justru berakhir dengan menyengsarakan diri sendiri.

Ingatlah bahwa tidak ada kehidupan yang sempurna! Kita sering berpikir bahwa orang lain memilki nasib dan jalan hidup yang lebih baik. Padahal setiap manusia pasti memiliki luka. Hanya saja luka yang dirasakan setiap orang berbeda-beda.

Saya teringat kutipan yang menarik yaitu luasnya rumah tidak bisa dijadikan ukuran kebahagiaan suatu keluarga. Begitu pula besarnya penghasilan tidak bisa mengukur sifat seseorang. Kita terlalu sering menggunakan standar kehidupan menggunakan angka. Memangnya semua hal bisa diukur dengan angka? Tidak. Yang terpenting dalam hidup adalah menemukan hal-hal yang tidak perlu dinilai dengan angka. Mulailah menjalani hidup dengan menghapus angka dari kehidupan!

Banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dinilai dengan angka. Misalnya, bisa rutin berolahraga, membaca buku, dan tertawa bersama dengan orang yang disayangi. Hal sederhana yang tidak bisa dinilai dengan angka tetapi itulah yang benar-benar berarti di dalam kehidupan. Apresiasilah  pengalaman-pengalaman sederhana tersebut!

Dua bulan yang lalu, saya menemukan sebuah filosofi yang menarik, yaitu Filosofi Stoicism atau sering disebut juga Filosofi Stoa yang dikemukakan oleh seorang filsuf dari Yunani Kuno. Saya sangat tertarik dengan istilah “Dikotomi Kendali” yang dikemukakan oleh Zeno bahwa kita harus bisa membedakan hal apa saja yang bisa dikendalikan dan hal apa saja yang tidak bisa dikendalikan.

Saya ingin sedikit bercerita tentang bagaimana saya dulu yang terlalu fokus dengan hal yang tidak bisa dikendalikan. Tiga bulan yang lalu saya menonton film Spiderman: No Way Home di salah satu mall. Saya sangat antusias sejak awal film tersebut ditayangkan. Namun, semua berubah setelah 15 menit film dimulai. Tiba-tiba layar bioskop menjadi merah, hitam, dan tidak beraturan.

Apa yang saya rasakan? Tentunya saya kesal dengan pihak bioskop. Rasa kesal tersebut semakin memuncak saat pihak bioskop mengembalikan tiket kami. Kami diberikan kompensasi boleh menonton di jam berbeda. Saya semakin jengkel karena kursi yang tersedia tinggal di tiga deret paling depan. Di hari-hari berikutnya, emosi tersebut telah terkompilasi dengan masalah lainnya yang menyebabkan perubahan sikap pada diri saya sendiri.

Siapa yang rugi? Jelas saya sendiri yang rugi. Saya terlalu fokus dengan kesalahan teknis dari pihak bioskop. Padahal kesalahan tersebut bukan salah saya atau pun salah petugasnya. Kejadian itu adalah hal yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun. Tidak ada yang mengira bahwa di hari Sabtu siang tanggal 18 Desember 2021 di Auditorium 6 akan terjadi kesalahan teknis saat film diputar.

Kesalahan fatal yang sering kita lakukan adalah langsung percaya dengan emosi yang dirasakan dan menjadikan emosi itu menjadi kekal. Padahal, apa yang kita rasakan saat ini belum tentu esok hari juga akan merasakan hal yang sama. Boleh saja hari ini kita merasa bahagia, tetapi esok bisa aja bahagia itu menjadi sirna. Emosi hanyalah plang penunjuk jalan bukan sebuah perintah. Petunjuk untuk membantu menunjukkan sesuatu hal yang dapat dikatakan baik atau buruk sehingga ke depannya kita tidak akan melakukan kesalahan yang sama di masa depan.

Kita tidak dilarang untuk menghindari emosi negatif. Akan tetapi, emosi negatif tersebut diekspresikan dengan suatu cara yang dapat diterima, yakni dengan hal yang positif. Misalnya, berolahraga, memasak, atau bahkan bisa dengan memukul guling. Kita berhak mengekspresikan emosi karena pada dasarnya menyangkal emosi negatif sama saja mengekalkan sebuah masalah, bukan menyelesaikan.

Rasa tenang berasal dari sendiri, bukan berasal dari keluarga atau orang lain. Kita sendiri yang memilih ingin hidup seperti apa. Tetap terikat dengan masa lalu atau mulai melangkah ke depan? Ingat bahwa kita hidup di masa sekarang bukan masa lalu. Terimalah masa lalumu! Jangan terus menghindar karena ketika kita berani menghadapinya maka di situlah titik awal yang baru sedang menunggu kita.

Penulis: Devy Kusumaningrum (Subbagian Umum)

Sumber:

      1.       Suhyun, Kim. 2016. Hidup Apa Adanya. Jakarta: TransMedia Pustaka

      2.       Manson, Mark. 2018. Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Jakarta: Gramedia

      3.       Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras. Jakarta: Kompas Media Nusantara

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini